Anda di halaman 1dari 13

Sign in

 Home
 Profil
o
o
o
o
o
o
 Kegiatan
o
o
 Artikel
o
o
o
o
o
o
 Berita
 Publikasi
 Video
 Donasi
 Store
Home Artikel Islam di Madura: Legenda dan Fakta

 ARTIKEL

Islam di Madura: Legenda dan Fakta


By

masgono

26/11/2012

767

Oleh: Akhmad Rofii Damyati, MA dan Abdul Mukti


Thabrani, M.HI [1]

Bukan suatu hal yang berlebihan apabila seseorang


mengatakan bahwa Islamisasi Madura berjalan sukses
sehingga berhasil dan kini tak seorang pun penduduk
Madura yang bukan Muslim. Kalau pun ada yang bukan
Muslim, maka bisa dipastikan mereka itu pendatang baru.
Namun, sejak kapan dan bagaimana semua itu bermula,
amat sukar dirajut dengan sempurna. Ibarat benang kusut,
sejarah proses Islamisasi Madura ini belum dan tidak
terdokumentasi dengan rapi. Mitos dan legenda banyak
mewarnai kisah-kisah seputar Islamisasi penduduk pulau
garam ini. Beberapa kajian akademis yang hadir
belakangan terlalu banyak yang mengangkat Madura dari
segi budayaan sich, sehingga terkesan melupakan peran
tokoh-tokoh ulama-ulama yang membawanya. Tulisan ini
berusaha mengungkap sejarah Islamisasi Madura pada periode awal, yaitu masa peralihan agama
primitif orang Madura kepada Islam.

Agama Primitif Madura

Terletak di seberang timur laut pulau Jawa, pulau Madura dikatakan mulanya hanya terdiri dari
gundukan-gundukan tanah yang kadang tampak hijau dari kejauhan tatkala air laut surut namun
‘hilang’ dari pandangan bila air laut pasang. Sebab itulah orang Jawa menyebutnya “Lemah Dhuro”
yakni tanah yang tidak sesungguhnya; kadang terlihat dan kadang raib. Bahkan sampai sekarang pun
masih ada orang Jawa yang memanggil orang Madura itu “Wong Dhuro”.

Sejarah lisan (legenda) masyarakat Madura mengatakan bahwa nenek moyang penduduk Madura
berasal dari pulau Jawa, yaitu Raden Segoro, putra seorang raja dari negara Medangkamulan di dekat
gunung Semeru dan Bromo.[2] Meski sukar untuk dipastikan historisitasnya, keberadaan tokoh Raden
Segoro dan Kyai Poleng begitu kuat dipercaya oleh masyarakat turun-temurun.[3] Maka tak
mengherankan kalau sejarah Madura terkait erat dengan sejarah Jawa. Kerajaan-kerajaan Madura
sejatinya merupakan kelanjutan dari kerajaan-kerajaan besar di Jawa, mulai dari Kediri, Singasari,
Majapahit dan Mataram. Oleh karena itu, pada zaman pra-Islam, penduduk Madura umumnya
beragama Hindu-Buddha, sebagaimana masyarakat Jawa pada umumnya.[4]

Ahli-ahli sejarah mengakui sulitnya merekonstruksi zaman Hindu-Buddha di Madura ini karena
kelangkaan sumber sejarah. Hanya ada beberapa candi baik di Pamekasan dan Sumenep sebagai bukti
bahwa agama Hindu-Budha pernah dianut masyarakat Madura.[5] De Graaf, misalnya, mengatakan
bahwa merekonstruksi sejarah Jawa, termasuk Madura, ibarat menimba di sumur yang keruh
airnya.[6] Diperkirakan pengaruh Hindu-Budha yaitu sejak tahun abad ke 9, sejak berkembangnya
cerita Raden Segoro, sampai sekitar abad ke 15, yakni setelah mulai berkembangnya masyarakat
mengenal Islam lalu memeluknya.[7] Pengaruh kuat Hindu-Budha juga diperkuat dengan adanya
catatan bahwa di abad-abad itu secara berturut-turut Madura di bawah pengaruh Kediri (1050-1222),
Singosari (1222-1292) dan Majapahit (1294-1572), yang kesemuanya beragama Hindu dan
Budha.[8]Sebab itu, istilah “Madura” tidak jarang disebut-sebut dalam tulisan-tulisan orang Hindu
sebagaimana dalam Pararaton yang menyebut istilah “Madura Wetan”, Madura bagian timur, yakni
Sumenep.[9]

Sampai di sini agama primitif orang Madura bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan masyarakat
Jawa pra Islam, yaitu Hindu-Budha.[10] Adapun agama selain itu adalah agama baru yang datang
kemudian, termasuk Islam dan Kristen. Selanjutnya akan dijabarkan proses Islamisasi Madura.

Islamisasi Madura

Proses Islamisasi Madura boleh dibilang suatu proyek dakwah yang menuai hasil yang luar biasa.
Proyek dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari mega proyek Islamisasi Nusantara yang sangat
massif di antara abad ke-7 hingga abad ke-15 melalui tangan-tangan ikhlas para juru dakwah yang di
Jawa dikenal dengan Wali Songo. Madura juga menjadi bagian agenda mega proyek ini.[11]

Namun demikian, sepertinya perlu kerja keras untuk membangun sejarah Islamisasi Madura ini agar
tersusun secara utuh. Hal ini karena fakta telah berbaur dengan legenda. Stories, myths and legends
are to be foundin abundance, kata Lik Arifin Mansurnoor, dalam penelitiannya tentang peran ulama
dalam Islamisasi Madura.[12] Oleh karenanya, bukan suatu yang mudah menjawab pertanyaan-
pertanyaan seperti: sejak kapan Islamisasi Madura? Siapa yang pertama kali menyebarkan Islam di
Madura? Melalui apa penyebarannya? Bagaimana cara konversi masyarakat dari agama primitif
mereka kepada agama Islam? Setidaknya, ada dua jalur Islamisasi Madura yang bisa dielaborasi, yaitu
jalur kerajaan dan jalur para da’i atau yang lebih dikenal para Sunan.

Jalur Kerajaan
Jalur kerajaan adalah teori yang menggambarkan bahwa Islamisasi Madura itu melalui para pemimpin
dan bangsawan kerajaan. Karena raja-rajanya Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh
penduduk di bawahnya yang juga memeluk Islam.

Ada beberapa pendapat tentang hal ini. Di bagian timur Madura, yaitu Sumenep menyebutkan Islam
sudah masuk ke Sumenep sejak Panembahan Joharsari, penguasa Sumenep dari tahun 1319 hingga
1331 Masehi. Panembahan Joharsari mempunyai putra bernama Raden Piturut yang bergelar
Panembahan Mandaraka yang juga diyakini beragama Islam. Bukti keislamannya adalah makamnya
sudah berbentuk Islam yang terletak di desa Mandaraga, Keles, Ambunten. Panembahan Mandaraka
yang berkuasa sampai 1339 M mempunyai dua putra yaitu Pangeran Natapraja bertahta di Bukabu
dari thn 1339-1348 M dan Pangeran Nataningrat yang menggantikan kakaknya dengan karaton
Baragung, Guluk-Guluk. Pangeran Nataningrat berputra Agung Rawit yang bergelar Pangeran
Sekadiningrat I yang memerintah thn 1358-1366 M dengan keraton di Banasare. Kemudian ia diganti
oleh putranya yaitu Temenggung Gajah Pramada yang bergelar Sekadiningrat II yang memerintah thn
1366-1386 M. setelah itu ia diganti oleh cucunya yang bernama Jokotole atau Aria Kudapanole yang
bergelar Sekadiningrat III.[13]

Namun sepertinya masih terlalu lemah pembuktian keislaman penguasa-penguasa Sumenep di atas
karena minimnya bukti empiris yang mendukung. Ditambah lagi, ada yang mengatakan, Jokotole atau
Aria Kudapanole yang berkuasa sejak tahun 1415-1460 M baru masuk Islam kemudian melalui Juru
Dakwah yang dikenal dengan Sunan Paddusan. Nama Asli sunan ini adalah R. Bindara Dwiryapada anak
dari Haji Usman Sunan Manyuram Mandalika, penyebar agama Islam di Lombok. Sunan Paddusan
kemudian diambil menantu oleh Jokotole.[14]

Sementara itu, teori kerajaan lainnya adalah di Madura bagian Barat. Menurut beberapa sumber,
Prabu Brawijaya ke V, yakni Prabu Kertabumi, yaitu Raja Majapahit yang memerintah antara tahun
1468–1478 M telah memeluk Islam. Dari permaisurinya yang bernama Ratu Dworowati dikarunia
putra bernama Raden Ario Lembu Petteng. Ario Lembu Petteng kemudian menjadi Kamituo di
Madegan Sampang.[15] Sementara legenda lain menyebut putra Prabu Kertabumi lainnya bernama
Ario Damar (menjadi adipati di Palembang) mempunyai putra yaitu Raden Ario Menak Senoyo. Ario
Menak Senoyo ini kemudian meninggalkan Palembang dan menetap di Madura, tepatnya di Parupuh
(sekarang Proppo). Kisah Madura bagian Barat ini bermula dari kisah mereka berdua. Mereka masih
setia dengan agama primitifnya, yaitu Hindu. Sebagai bukti, di sana terdapat puing-puing candi yang
gagal dibangun. Orang menyebutnya Candi Burung (“burung” dalam bahasa Madura bermakna
gagal).[16]

Ario Lembu Petteng sudah mulai tertarik dengan agama baru yang waktu demi waktu tambah ramai
dianut orang, utamanya di lingkungan bangsawan Majapahit. Lalu kemudian ia memeluk Islam pada
tahun 1478 M. setelah menjadi santri dari Sunan Ampel.[17] Sebelumnya ia hanya mengutus
bawahannya untuk belajar Islam ke Sunan Ampel. Namun ternyata anak buahnya itu sudah keduluan
masuk Islam. Tidak mau ketinggalan, ia kemudian berangkat sendiri ke Ampel Delta dan nyantri
kepada Sunan Ampel. Akhirnya ia memeluk Islam dan tidak sempat pulang lagi ke Sampang karena
keburu meninggal dan dimakamkan di Ampel.[18]Namun, menurut cerita lain, di masanya ia menetap
di Sampang inilah Sunan Giri mengutus Syekh Syarif, yang juga dikenal dengan Khalifa Husein, untuk
membantunya untuk merangkul para pengikut baru di pulau tersebut.[19]
Lembu Petteng meninggalkan dua putra dan satu putri. Mereka adalah Raden Ario Manger, Raden
Ario Mengo dan Retno Dewi. Lalu kemudian Raden Ario Manger menggantikan bapaknya
sebagai Kamituodi Madegan Sampang. Ia mempunyai tiga orang putra, yaitu Kyai Ario Langgar, Kyai
Ario Panengah, Kyai Ario Pratikel. Namun, tidak semua keturunan Lembu Petteng memeluk Islam.
Tercatat Ario Mengo tetap menganut Budha dan oleh karenanya masyarakatnya masih kuat menganut
agama ini. Ario Mengo lah yang membuka hutan di sebelah timur dari kerajaan bapaknya, yaitu di
daerah Pamelingan (sekarang Pamekasan). Dialah yang memerintah pertama kali di sana dengan gelar
Kyai Wonorono di mana tempat keratonnya berada di daerah Lawangan Daya sekarang.[20]

Dua keturunan Prabu Kertabumi Barawijaya V ini kemudian menjadi satu kembali pada perkawinan
antara Raden Ario Pojok dari garis keturunan Raden Ario Damar dengan Nyai Budho dari garis
keturunan Raden Ario Lembu Petteng. Dari perkawinannya ini dikarunia lima anak yang salah satunya
adalah bernama Kyai Demang yang kemudian memimpin Plakaran Arosbaya, Bangkalan. Kyai Demang
kawin dengan Nyi Sumekar mendirikan Kraton di kota Anyar. Dari perkawinannya itu kemudian
mereka dikarunia lima orang putra, yaitu: (1) Kyai Adipati Pramono di Madegan Sampang; (2) Kyai
Pratolo disebut juga Pangeran Parambusan; (3) Kyai Pratali atau disebut juga Pangeran Pesapen; (4)
Pangeran Paningkan disebut juga dengan nama Pangeran Suka Sudo; dan (5) Kyai Pragalba yang
kemudian dikenal dengan nama Pangeran Plakaran karena bertahta di Plakaran.[21]

Menurut catatan sejarah, penguasa Plakaran ini masih enggan memeluk Islam, walaupun Islam sudah
menjadi buah bibir sebagian besar masyarakatnya, termasuk putranya sendiri Raden Pratanu. Namun
demikian, ia tidak melarang putranya belajar ilmu Islam kepada Sunan Kudus. Oleh karena itu, agama
Islam masih menemukan rintangan berkembang di Madura bagian Barat ini karena keengganan Raden
Pragalbo untuk memeluk Islam. Di penghujung usianya, Raden Pratanu membujuk bapaknya agar
mengucapkan dua kalimat syahadat. Saat itulah Raden Pragalbo wafat setelah beberapa saat
sebelumnya menganggukkan kepala tanda setuju dengan bimbingan anaknya. Mengangguk dalam
bahasa Madura disebut onggu’. Sejak itulah, menurut legenda ini, Raden Pragalbo kemudian lebih
dikenal dengan Pengeran Islam Onggu’.[22]

Panembahan Pratanu yang bergelar Lemah Dhuwur ini adalah pendiri kerajaan kecil yang berpusat di
Arosbaya, sekitar 20 km dari kota Bangkalan ke arah utara. Diperkirakan, Panembahan Pratanu
dinobatkan sebagai raja pada tahun 1531 setelah ayahnya, Raja Pragalbo, meninggal dunia.
Sebagaimana disebutkan di atas, walaupun sang Bapak masih enggan masuk Islam, namun ketika
Pratanu masih dalam masa mudanya ia pernah bermimpi didatangi orang yang memintanya agar
memeluk agama Islam. Mimpinya disampaikannya kepada sang ayah, lalu sang ayah mengirim Patih
Empu Bageno untuk mempelajari Islam di Kudus. Tidak tanggung-tanggung, sang Patih belajar Islam
sungguh-sungguh sampai akhirnya memeluk agama ini dan kembali ke Arosbaya. Dari dialah Pratanu
mengenal Islam dan iapun masuk Islam. Diperkirakan, setelah keislaman sang pangeran, ia bersama
Empu Bageno kemudian menyebarkan agama baru itu ke seluruh warga Arosbaya. Dilihat dari
masanya, di mana ia diperkirakan lahir tahun 1531 dan meninggal tahun 1592, Panembahan Pratanu
termasuk raja pertama di Madura Barat ini yang masuk Islam dan menyebarkannya.[23]

Di Pamekasan, Raja yang tercatat sebagai penganut Islam pertama adalah Panembahan
Ronggosukowati. Menurut catatan sejarah pamekasan, di masa muda Ronggosukowati pernah belajar
kepada Sunan Giri atau Raden Paku. Oleh karena itu, bisa dipastikan Ronggosukowati muda ini sudah
Muslim. Dialah yang kemudian menggantikan Bapaknya, yaitu Panembahan Bonorogo, karena usia
yang sudah lanjut. Namun, kepulangan Ronggosukowati ke Pamekasan tidaklah sendirian. Konon
Sunan Giri menyertakan muballigh bersamanya untuk menyiarkan Islam di Pamekasan yang bernama
Sayyid Muhammad bin Abdurrahman bil Faqih. Bersama muballigh itulah Ronggosukowati
mengislamkan Pamekasan.[24]

Sejauh penulis telusuri, pada periode awal, memang Madura berada di bawah kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha di Jawa. Itu diperkirakan antara abad ke 10-15. Di antara masa-masa ini aroma dakwah
Islam sudah masuk ke Jawa yang mengakibatkan beberapa orang masuk Islam, utamanya daerah-
daerah pesisir pantai utara jawa. Akibatnya, Madura juga menjadi bagian terpenting dari proses
Islamisasi ini melalui islamnya kalangan bangsawan di kala itu. Sehingga, sekitar abad ke 16 dan
seterusnya, semua kerajaan dan begitu juga masyarakatnya sudah Islam, utamanya setelah
penguasaan Mataram atas kerajaan-kerajaan Madura antara abad ke 16-17.[25]

(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonisasi’,
Vol.VII, No. 2, 2012).

[1] Makalah ini pernah dipresentasikan pada acara diskusi Sabtuan InPAS Surabaya
di UNAIR Surabaya pada hari Sabtu, 7 April 2012. Ini merupakan pra penelitian
tentang Islamisasi Madura. Oleh karena itu ia masih terbatas kepada survei dan
analisa literatur tentang Islamisasi Madura periode awal, yakni periode masuknya
Islam ke Madura sebelum penaklukkan Mataram atas pulau garam ini.

[2] Bambang Hartono, Panembahan Ronggosukowati, Raja Islam Pertama di Kota


Pamekasan-Madura(Sumenep: Nur Cahaya Ghusti, 2001), h. 3-8.

[3] Pamekasan dalam sejarah (Pamekasan: Kantor Arsip Daerah Kabupaten


Pamekasan, 2003), h. 21

[4] Ibid. h. 56.

[5] Di Pamekasan ditemukan arca di daerah Kecamatan Galis dan di Sumenep


ditemukan di daerah pantai Tungkek dan beberapa lagi di Rubaru. Ibid., h. 43. Lihat
juga daftar foto Sejarah Sumenep dalam Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan Sumenep, 2003), h. 187.

[6] H.J De Graaf, Awal Kebangkitan Mataram: Masa Pemerintahan Senapati (Jakarta
Utara: Pustaka Grafitipers, 1987) , h. 57.

[7] Pamekasan dalam Sejarah, h. 38.


[8] Lihat juga Lik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian World Ulama of
Madura (Yogyakarta: Gadjah mada University Press, 1990), h. 3.

[9] Lihat Aswab Mahasin, Ruh Islam dalam Budaya Bangsa (Jakarta, Yayasan Festival
Istiqlal, 1996), h. 326.

[10] Lihat juga Thomas Stamford Raffles, The History of Java(Yogyakarta: Narasi,
2008), h. 430-487.

[11] Perdebatan cukup esensial tentang kapan Islam datang ke Indonesia, dari mana
asalnya, siapa yang pertama kali membawanya, dengan cara apa? Teori-teori tentang
hal itu dikupas dan dianalisis dengan teliti oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas
dalam Syed Muhammad Naguib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan
Melayu (Kuala Lumpur: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia, 1972).
Bandingkan dengan penelusuran Azyumardi dalam Azyumardi Azra, Jaringan Ulama:
Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII(Bandung: Mizan, 1999),
h. 24-36.

[12] Iik Arifin Mansurnoor, Islam in an Indonesian world: Ulama of Madura (Yogyakarta:
UGM Press, 1990), h. 4.

[13] Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, 2003), h. 51.

[14] Abdurachman, Sejarah Madura: Selayang Pandang (Sumenep: tanpa penerbit, 1971),
h. 17.

[15] Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 466.

[16] Bambang Hartono Hs, Sejarah Pamekasan: Panembahan Ronggosukowati Raja Islam
Pertama di Kota Pamekasan-Madura(Sumenep: Nur Cahaya Gusti, 2001), h. 12.

[17] Lihat Situs Pemakaman Raja-Raja Bangkalan: Makam Aer Mata, yang disusun oleh
Slamet Mestu, Kasi Kesenian, Pengemb. Bahasa dan Budaya, Dinas P dan K Kab.
Bangkalan, per tgl 11 April 2003.

[18] Lihat Panembahan Ronggosukowati, h. 10.

[19] Thomas Stamford Raffles, The History of Java (Yogyakarta: Narasi, 2008), h. 466.
[20] Panembahan Ronggosukowati, h. 10.

[21] Lihat silsilah kerajaan Bangkalan yang disusun oleh Slamet Mestu, Kasi Kesenian,
Pengembangan dan Budaya Dinas P dan K Kab. Bangkalan.

[22] Panembahan Ronggosukowati, h. 10.

[23] Ibid.

[24] Panembahan Ronggosukowati, h. 15.

[25] Mataram waktu itu dikomandani oleh Sultan Agung, dimana Sultan Agung aktif
menaklukkan daerah-daerah di Jawa termasuk Madura antara tahun 1613-1619.
Mengenai penaklukan-penaklukan pertama Sultan agung Mataram ini, lihat dalam
H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Espansi Sultan Agung (Jakarta:
Pustaka Grafiti, 1990), h. 27-53. Lihat juga penelitian sejarah tentang upaya
masyarakat Madura mempertahankan kerajaannya dari invasi Mataram dalam
Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura atas Hegemoni Jawa (Yogyakarta:
Penerbit Jendela, 2003).

Previous articleIslamisasi Sulawesi Selatan: Peran Ulama dan Raja-raja


Next articleIslamisasi dan Deislamisasi Kebudayaan Jawa

masgono
RELATED ARTICLESMORE FROM AUTHOR

Artikel

[Makalah] Transmisi Hadits Syaikh Mahfuz at-Termasi dalam Kitab “Kifayat al-
Mustafid”

Artikel

Allah Bolehkan Ateis?

Artikel

Makna Kebahagiaan dalam Islam: Kajian Kitab Kimiya’ al-Sa’adah

1 COMMENT

1. wahyuti 06/05/2014 at 02:23


saya sgt menyukai crt tentang kerajaan madura n silsilah
abdurrahman BIL FAQQIH……………..ayah sy pernah diberi buku ttg
silsilh ttg kturunannya……………

Reply
Leave a Reply

F O LL OW US O N I NS T AG RAM @ I NS I ST S _I NDO NE S I A
INSISTS
(Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations)
Alamat: Jalan Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telepon dan Fax: 021-794 0381
Ponsel dan WhatsApp: 0812 9081 5528
Surel: info@insists.id / insistsindonesia@gmail.com

© Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations.

Anda mungkin juga menyukai