Anda di halaman 1dari 5

Hardian Ahmad Ujian Tengah Semester

2014841016 Masalah Lingkungan Binaan

Konsumerisme Ruang Publik

Shopping Mall = Ruang Publik


Ruang publik sejatinya merupakan milik bersama bagi warga dimana interaksi sosial dan
berbagai kegiatan yang rekreatif berjalan di dalamnya. Makna ruang publik tersebut mengacu
pada open space di tengah kota, di antara bangunan dengan berbagai macam interaksi sosial
yang terjadi didalamnya. Sayangnya pada masa sekarang terjadi pergeseran makna, ruang
tempat berlangsungnya interaksi sosial dan berbagai macam kegiatan telah bergeser menjadi
sebuah fungsi pusat perbelanjaan/ shopping mall. Shopping Mall dapat dikatakan sebagai kuil
pemujaan bagi konsumerisme di mana secara sadar pengalaman berbelanja berlanjut hingga
ke wilayah hiburan (Soedjatmiko, 2008).

Gambar 1 Ruang Publik pada Mall Paris Van Java


(sumber : images.google.com)

Pergeseran makna ini terjadi dikarenakan fungsi shopping mall yang sejalan dengan
kebutuhan akan kepuasan manusia. Shopping mall berkembang menjadi pusat pembentukan
gaya hidup, mengkonsentrasikan dan merasionalisasikan waktu dan aktivitas manusia,
sehingga menjadi pusat aktivitas sosial dan akulturasi. Shopping mall pun telah menjadi
tempat pembentukan citra dan eksistensi diri, sumber pengetahuan, informasi, tata nilai dan
tata moral. Kegiatan berbelanja di shopping mall dapat dikatakan sebagai bentuk yang tersisa
dari aktivitas publik (Harvard Project On The City, 2002)

Perkembangan ekonomi dengan pola kapitalis turut membantu perubahan makna ini. Ruang
publik yang tadinya diperuntukan bagi masyarakat umum tanpa adanya perberdaan kelas,
menjadi ruang yang diprivatisasi. Secara tersurat memang dibuka untuk umum, tetapi secara
tersirat terjadi pembatasan kelas sosial masyarakat tertentu. Kapitalisme mengemas ruang
publik-privat yang berada di dalam shopping mall masyarakat urban yang telah berubah
Hardian Ahmad Ujian Tengah Semester
2014841016 Masalah Lingkungan Binaan

menjadi masyarakat konsumer tidak lagi menjadi subjek atau objek, tetapi lebih penting
menjadi yang berbeda. Keinginan untuk menjadi yang berbeda dalam suatu lingkungan yang
jamak adalah sesuatu yang dicari oleh masyarakat masa kini. Peluang ini yang digunakan
dalam menciptakan ruang publik di dalam shopping mall tanpa melupakan hal yang dicari
oleh konsumen, yaitu kesenangan, kegembiraan, dan kemudahan. Menurut Baudrillard
(Poster, 1983) keinginan berbeda tersebut lebih kepada sikap keterpesonaan, bukan pada
makna-makna yang terkandung. Shopping mall secara aktif membentuk image mengenai
kehidupan “yang seharusnya”, image inilah yang disebut konsumerisme.

Pada awalnya pusat perbelanjaan mementingkan fungsi sebagai tempat untuk jual-beli. Saat
ini perkembangan pusat perbelanjaan juga memasukkan unsur pemenuhan dan aktualisasi
diri. Masyarakat pengguna shopping mall diberi kesempatan untuk menunjukkan identitas diri
serta mengekspresikan tingkatan sosial sebagai simbol komunikasi masyarakat konsumtif.
Ruang publik pada shopping mall tidak hanya pada koridor, lobby dan entrance, tetapi juga
pada beberapa node yang sengaja diciptakan agar pengunjung merasa betah. Adanya void
yang menerus ataupun tempat duduk yang disediakan baik yang tak berbayar maupun yang
berbayar (pada cafe) berhasil mengeksploitasi kebutuhan aktualisasi diri secara maksimal.

Ruang Publik Semu


Rancangan shopping mall seringkali merepresentasikan kota (Jerde Partnership, 2004) yang
tidak hanya nyaman dari cuaca luar namun jug amemiliki dunia sendiri yang semu. Ruang
publik shopping mall seolah-olah menjadi alun-alun kota yang baru, yang ideal bagi
masyarakat kota kebanyakan di mana aktivitas utama berada, yaitu di tengah keramaian,
aman, nyaman, dan gratis. Diibaratkan seperti masyarakat yang ingin menghirup udara segar
di taman, maka pada shopping mall keinginan masyarakat menjadi tergantikan dengan
pengkondisian udara serta lingkungan buatannya. Keduanya sama nyaman, tetapi pada
shopping mall lebih aman karena homogenitas pengunjungnya yang umumnya adalah kelas
menengah ke atas.

Kesemuan dalam ruang publik shopping mall juga memberi realisasi terhadap mimpi-mimpi
masyarakat perkotaan. Suasana taman bermain dalam Trans Studio Mall misalnya,
memberikan impian akan arena bermain layaknya Dunia Fantasi di Jakarta bagi masyarakat
yang ada di Kota Bandung. Upaya-upaya menciptakan identitas baru, eksploitasi fantasi,
pemanfaatan fasilitas tanpa batas, ajang pameran, perayaan, dan pertunjukan merupakan
beberapa contoh ideologi konsumerisme.
Hardian Ahmad Ujian Tengah Semester
2014841016 Masalah Lingkungan Binaan

Gambar 2 Suasana yang Mirip pada TSM dan Dufan


(sumber : images.google.com)

Perangkap kapitalis dengan membuat orang-orang betah berlama-lama di mall inilah yang
tanpa disadari sengaja diciptakan agar orang-orang penikmat ruang publik tidak hanya
sekedar duduk-duduk dan menghirup dara segar, tetapi menikmati dan membeli produk yang
ditawarkan. Ruang publik di dalam shopping mall sengaja diciptakan untuk keleluasaan
penggunanya dan pengalaman semu seperti bersantai di sofa dan melupakan rutinitas serta
kemacetan di kota. Hal ini memberikan pengalaman baru di mana imajinasi dan realitas
menjadi baur.

Realitas Ruang Publik


Dalam budaya waktu senggang, krisis identitas lebih mendorong masyarakat untuk
menjadikan shopping mall sebagai tujuannya. Cafe culture atau budaya nongkrong di cafe
merupakan bentuk pelarian dari kondisi ruang publik yang dianggap tidak nyaman dan tidak
bersahabat. Kegiatan in ilebih mengambil tempat di lokasi yang privat dan tertutup seperti
cafe atau mall. Hal ini salah satunya terjadi akibat kesenjangan ekonomi yang jauh antara
golongan masyarakat menengah ke bawah dengan golongan atas yang mampu membeli
gaya hidup.

Gaya hidup urban membawa tekanan pada ruang publik kota seperti alun-alun, taman,
museum yang jarang diperhatikan masyarakat. Representasi ruang publik dalam shopping
mall sebagai alun-alun di era post-modern, berbagai identitas ditampilkan dan telah menjebak
berbagai kelompok sosial masyarakat untuk bertarung secara simbolik. Sharon Zukin (1998)
menatakan bahwa kompetisi antara kaum kapitalis dan kota telah menciptakan pertambahan
atraksi yang standar dan justru menurunkan identitas urban/ keunikan yang dimiliki oleh kota.

Mode akan selalu berulang. Kejenuhan akan memperlihatkan kelompok-kelompok yang anti,
yang berlawanan, atau yang terpinggirkan, dalam hal ini adalah kelompok kaum sosial bawah
tampaknya akan dapat menikmati realitas ruang publik. Apabila mengikuti perkembangan
Hardian Ahmad Ujian Tengah Semester
2014841016 Masalah Lingkungan Binaan

budaa terkini dan budaya yang ada, maka bukan tidak mungkin apabila ruang publik di masa
yang akan datang dan mengikuti realitas memungkinkan pengunjungnya untuk berkomunikasi
dengan kerabatnya di tempat lain melalui kecanggihan teknologi dengan tidak menggunakan
kekuatan pasar sebagai tujuan utama.

Teknik yang digunakan pasar dalam mengelola realitas ruang publik kota merpakan salah
satu cara. Taman Cikapayang/ Taman Jomblo yang memberikan layanan Wifi gratis atau
Taman Film Cikapayang yang memberikan tontonan gratis ternata berhasil menarik perhatian
masyarakat. Apakah kata “gratis” atau perangkap gaya hidup perkotaan yang menjadi daya
tarik masyarakat modern. Ide dari Victor Papanek (1971) yang ekologis merupakan potensi
yang dimiliki ruang publik kota yang sulit dicapai oleh shopping mall yang berselimut beton.
Kreatifitas dalam memanfaatkan ruang sosial representatif dari LeFebvre yang lebih
merepresentasikan ruang yang berasal dari hidup sehari-hari penggunanya (1974) perlu
dipraktikkan pula dalam menciptakan ruang publik kota. Pada saat ini ruang publik yang
tercipta barulah representasi dari apa yang diinginkan perancangnya, belum menyentuh
kepada keseharian dari pengguna-pengguna dan masyarakat kotanya. Bisa jadi karena
image ruang publik yang ada pada shopping mall masih terbayang dalam pikiran
perancangnya.

Gambar 3 Kegiatan di Taman Jomblo dan Taman Film Bandung


(sumber : m.tempo.co dan news.liputan6.com)

Antusias masyarakat dalam menggunakan ruang publik di dalam shopping mall tidak terlepas
dari kondisi kotanya sendiri. Ruang publik yang disediakan oleh kota diyakini tidak dapat
menandingi ruang publik semu yang diciptakan oleh shopping mall. Kebijakan pemerintah
secara politik dan ekonomi secara tidak langsung sangat berperan dalam budaya
konsumerisme ini. Akan tetapi peran pemerintah dalam bidang polotik dan ekonomi pulalah
yang dapat menjadikan ruang publik kota kembali ke dalam realitasnya Dana yang minim
untuk pengelolaan dan kurangnya kekuatan politik untuk menentukan sikap terhadap ruang
publik kota-kota di Indonesia sudah menjadi hal yang klise. Hal-hal klise mulai menjadi
perhatian bagi kelompok-kelompok pergerakan bawah tanah yang mulai sadar akan
Hardian Ahmad Ujian Tengah Semester
2014841016 Masalah Lingkungan Binaan

pentingnya ruang publik kota. Seperti contoh adalah pergerakan Keuken Bandung dengan
tagline meng-klaim ulang ruang publik dengan berbagai macam festival jajanan di tempat-
tempat yang tidak terduga (gudang, jalan, bandara, dll.)

Gambar 4 Keuken Bandung, Mengklaim Ruang Publik dan Ruang Mati Melalui Festival Jajanan
(sumber : images.google.com)

Pemerintah Kota Bandung pun mulai sadar akan pentingnya ruang publik perkotaan, berawal
dari gerakan Car Free Day dengan menutup ruas jalan Dago untuk menjadikannya ruang
publik perkotaan walaupun hanya sementara waktu tetapi memberikan dampak yang luar
biasa besar bagi masyarakatnya dan Kota Bandung sendiri. Melalui Walikota yang baru
dengan latar belakang Urban Designer, Kota Bandung berhasil menambah ruang publik
perkotaannya dan perlahan-lahan tapi pasti menggeser ruang-ruang publik konsumerisme
semu ang terdapat pada shopping mall. Dapat dipastikan peran pemerintah dalam
menentukan arah kebijakan politik dan ekonomi berpengaruh besar dalam penciptaan ruang-
ruang publik yang memberikan dampak baik bagi masyarakatnya.

Daftar Pustaka
Harvard Project On The City. (2002). Shopping. In R. Koolhaas, Mutations (p. 124).
Bordeaux: ACTAR.
Jerde Partnership. (2004). Building Type Basics for Retail and Mixed Use Facilities. New
Jersey: John Wiley and Sons, Inc.
LeFebvre, H. (1974). The Production of Space. Oxford: Blackwell Publisher Ltd.
Papanek, V. (1971). Design for The Real World : Human Ecology and Social Change. New
York: Pantheon Books.
Poster, M. (1983). Jean Baudrillard Selected Writings. In J. Baudrillard, Simulacra and
Simulations (p. 166).
Soedjatmiko, H. (2008). Saya Berberlanja, Maka Saya Ada. Yogyakarta: Jalasutra.
Zukin, S. (1998). Urban Lifestyles Diversity and Standardisation in Spaces of COnsumption.
Urban Studies Vol. 35, 825-839.

Anda mungkin juga menyukai