Anda di halaman 1dari 17

A.

KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk duodenum dalam
jumlah normal. Gangguan dapat terjadi mulai dari membrana-basolateral dari
hepatosit sampai tempat masuk saluran empedu ke dalam duodenum. Dari segi
klinis didefinisikan sebagai akumulasi zat-zat yang diekskresi kedalam empedu
seperti bilirubin, asam empedu, dan kolesterol didalam darah dan jaringan tubuh.
Secara patologi-anatomi kolestasis adalah terdapatnya timbunan trombus empedu
pada sel hati dan sistem bilier (Arief, 2010).
Kolestasis adalah kondisi yang terjadi akibat terhambatnya aliran empedu
dari saluran empedu ke intestinal. Kolestasis terjadi bila ada hambatan aliran
empedu dan bahan-bahan yang harus diekskresi hati (Nazer, 2010).
Mitchel (2008) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah
nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin terdapat
pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang bisa diidentifikasi.
Pasien penyakit ini ditemukan dengan hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama
(kolestasis neonatal), hepatomegali dan disfungsi hati dengan derajat yang
bervariasi (misalnya hipoprotrombinemia).

2. EPIDEMIOLOGI
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis
neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1
antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik (Arief, 2012).

3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic kolestasis dan
ekstrahepatic kolestasis.
a. Pada intrahepatic kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi

akibat: infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis
primer, virus hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc
atau sepsis, obat-obatan yang menginduksi kolestasis.
b. Pada extrahepatic kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista,

striktur (penyempitan saluran empedu), pankreatitis atau tumor pada


pankreas, tekanan tumor atau massa sekitar organ, cholangitis sklerosis
primer. Batu empedu adalah salah satu penyebab paling umum dari saluran
empedu diblokir. Saluran empedu Diblokir mungkin juga hasil dari infeksi,
kanker atau jaringan parut internal. Parut dapat memblokir saluran empedu,
yang dapat mengakibatkan kegagalan hati (Richard, 2002).
Kriteria Kolestasis

Kriteria Ekstrahepatik Intrahepatik


Warna tinja
- pucat 79 % 26%
21% 74%
- kuning
Berat lahir (g) 3226 ± 45 2678 ± 65
Usia saat tinja dempul 16 ± 1,5 30 ± 2
(hari) ± 2 minggu ± 1 bulan
Gambaran hati
- Normal 13 % 47 %

- Hepatomegali

- Konsistensi normal
12 35
- Konsistensi padat
63 47
- Konsistensi keras 24 6
Sumber: Behrman (1999)

4. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaan-
keadaan:
1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus
a. Tinja akolis/hipokolis/pucat
b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negatif
c. Urobilin dalam air seni negatif
d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
e. Steatore
f. Hipoprotrombinemia
2. Akumulasi empedu dalam darah
a. Ikterus
b. Gatal-gatal
c. Hiperkolesterolemia
3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu
a. Anatomis
1) Akumulasi pigmen
2) Reaksi peradangan dan nekrosis
b. Fungsional
1) Gangguan ekskresi (alkali fosfatase dan gama glutamil transpeptidase
meningkat)
2) Transaminase serum meningkat (ringan)
3) Gangguan ekskresi sulfobromoftalein
4) Asam empedu dalam serum meningkat
Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti
sindroma polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada),
sering bersamaan dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior
embriotokson, serta adanya bising pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan
dengan “paucity of the intrahepatic bile ductules” (arterio hepatic
displasia/Alagille’s syndrome) nafsu makan yang jelek dengan muntah,
“irritable”, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti
galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia.
Neonatal hepatitis lebih banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier
ekstrahepatal lebih banyak pada anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan
kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan
kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi
kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan
penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan
membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak.

5. KOMPLIKASI
a. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah
hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati.
b. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi,
gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan
pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8
minggu maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi
dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-
43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan
hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak
termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi >
60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya
duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal.

6. IMPLEMENTASI
Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke
dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman
dalam penatalaksanaannya, yaitu:
1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran
empedu
2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya
keadaan fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan
pertumbuhan
5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar
Dalam hal ini pengobatan dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
1. Tindakan medis
a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin,
ursodioxy cholic acid (UDCA).
b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalam bentuk MCT (medium
chain triglyceride) karena malabsorbsi lemak.
c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)
3. Tindakan bedah
Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan saluran
empedu yang ada. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure)
diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan
menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan saluran
empedu (lihat gambar di bawah). Untuk mencegah terjadinya komplikasi
cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan sesegera mungkin,
diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa operasi
Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya
tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat
perjalanan menuju kerusakan hati (Nezer, 2010).
4. Terapi suportif
a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan
mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT),
misalnya panenteral, progrestimil
c. Vitamin yang larut dalam lemak
1) A : 5000-25.000 IU
2) D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
3) E : 25-200 IU/kk/hari
4) K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu
d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-
coA reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin
f. Pruritus :
1) Atihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5
mg/kg/hati
Rifampisin : 10 mg/kg/hari
2) Kolestiramin : 0,25-0,5g/kg/hari
7. PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang
terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan
asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin
terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan
apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel
terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari
darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan
hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah satu contoh adalah penanganan dan
detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah
oleh transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim
UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air
dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian
yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam
empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu
pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun,
sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi,
obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan
hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif, 2010).
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural:
a. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam
empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.

b. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik


Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan
menyebabkan gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi,
sulfasi dan konyugasi akan terganggu.
c. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang
produksi serum protein albumin-globulin akan menurun.
d. Metabolisme asam empedu dan kolesterol
Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam
empedu dan kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi
menghambat HMG-CoA reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan
penurunan asam empedu primer sehingga menurunkan rasio
trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas hidropopik dan detergenik
akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi produksi di hati
menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.
e. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang
menurun. Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan
hepatosit oleh Cu karena Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik.
f. Metabolisme cysteinyl leukotrienes
Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses
sehingga kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan
progresifitas kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat
menyebabkan vaksokonstriksi pada ginjal.
g. Mekanisme kerusakan hati sekunder
Asam empedu, terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan
kerusakan hati melalui aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat
ini akan melarutkan kolesterol dan fosfolipid dari sistim membran sehingga
intregritas membran akan terganggu. Maka fungsi yang berhubungan dengan
membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase, enzim-enzim lain dan
fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air dan
bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.Sistem transport kalsium
dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkin berperan dalam
kerusakan hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran
utama dalam kerusakan hati pada kolestasis adalah asam empedu.
i. Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara
abnormal pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada
saluran empedu sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit
dan sel kolangiosit. Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier (Nazer, 2010)

8. PEMERIKSAAN FISIK
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis.
Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel
(pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar,
satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau
keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ
lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar
kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan
adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada
neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain (Arief,
2010).

9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada bayi dengan kolestasis harus dibedakan antara kolestasis intra- atau
ekstrahepatal dengan tujuan utama memperbaiki atau mengobati keadaan-
keadaan yang memang dapat diperbaiki/diobati.
Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan
apakah ada kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
pada tahap ini adalah:
a. Hapusan darah tepi
b. Bilirubin dalam air seni
c. Sterkobilinogen dalam air seni
d. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali
fosfatase serta serum protein
Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan
lanjutan yang lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila
fasilitas terbatas dapat hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni.
Hasil positf menunjukkan adanya kelainan hepatobilier. Bila ada bukti
keterlibatan hepar maka dilakukan tahap berikutnya untuk membuktikan kelainan
intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan etiologi, dan mengidentifikasi kelainan
yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Terhadap infeksi/bahan toksik
b. Terhadap kemungkinan kelainan metabolik
c. Mencari data tentang keadaan saluran empedu
Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah:
a. Virus:
1) Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta
2) TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes)
3) Virus lain: EBV, Coxsackie’s B, varisela-zoster
b. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses
piogenik
1) Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid
2) Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik
c. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting:
1) Galaktosemia, fruktosemia
2) Tirosinosis: asam amino dalam air seni
3) Fibrosis kistik
4) Penyakit Wilson
5) Defisiensi alfa-1 antitripsin
Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal
Excretion (RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu
kelainan saluran empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. PENGKAJIAN
a. Anamnesis
Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau
melahirkan, berat lahir, lingkar kepala, pertumbuhan janin (kolestasis
intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin
terganggu). Riwayat keluarga : riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B,
hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar keluarga. Resiko hepatitis
virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat.
b. Data subjektif
1) Bagaimana nafsu makan klien
2) Berapa kali makan dalam sehari
3) Banyaknya makan dalam satu kali makan
4) Apakah ada mual muntah
5) Bagaimana pola eliminasinya
6) Apakah ada anoreksia
7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
9) Bagaimanakah warna fesesnya
10) Bagaimanakah warna urinnya
c. Data Objektif
1) Bagaimana nafsu makan klien
2) Berapa kali makan dalam sehari
3) Banyaknya makan dalam satu kali makan
4) Apakah ada mual muntah
5) Bagaimana pola eliminasinya
6) Apakah ada anoreksia
7) Apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
8) Apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
9) Bagaimanakah warna fesesnya
10) Bagaimanakah warna urinnya
d. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
2) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi
berwarna kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi.
3) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan
besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
e. Pengkajian fisik
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan komunitas,
pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan hubungan anggota
keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat mempengaruhi
kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan lain-lain. Pengkajian
secara umum dilakukan dengan metode head to toe yang meliputi: keadaan
umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital, area kepala dan wajah, dada,
abdomen, eksteremitas, dan genita-urinaria.
 Pemeriksaan fisik abdomen antaralain:
1) Inspeksi
- Lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki
- Lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut
- Mata cekung dan pucat
- Lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak
- Lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau
tidak
2) Auskultasi
- Dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4
- Dengarkan bunyi peristaltik usus
- Dengarkan bunyi paru – paru terutama weezing dan ronchi
3) Perkusi
- Perut apakah terdengar adanya shitting duilnees
- Bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi
4) Palpasi
- Hati: bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada
permukaannya, berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan
- limpa : apakah terjadi pembesaran limpa
- tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai
 Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)
 Kulit : ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
 Mata : ikterik

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN (disusun berdasarkan prioritas)


a. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien dikeluhkan
BAB encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
factor biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan menurun,
klien dikeluhkan muntah.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi
ditandai dengan kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan, kulit
klien tampak bersisik.
d. Risiko keterlambatan tumbuh kembang berhubungan dengan nutrisi tidak
adekuat.

3. PERENCANAAN
1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien
dikeluhkan BAB encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan diare
teratasi dengan kriteria hasil :
Bowel Management
 Frekuensi BAB normal (1x1/hari)
 Melporkan tidak ada diare
 HR teraba dan da;am batas normal (100-120x/menit)
 Turgor kulit elastis<2 detik
 Tidak terjadi confusi
Gastrointestinal Function
Klien dapat mentoleransi makanan dan minuman

Intervensi:
Manajemen Diare
1. Monitor untuk tanda dan gejala diare
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
2. Monitor turgor kulit
Rasional: Turgor kulit yang tidak bagus menandakan terjadi dehidrasi
akibat diare
3. Pantau frekuensi BAB
Rasional: Frekuensi BAB yang berlebihan >3kali menandakan terjadinya
diare
Skin Surveilance
4. Monitor kulit pada bagian peri anal untuk terjadinya kemerahan
Rasional: Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat
mengakibatkan terjadinya kemerahan pada kulit
5. Pertahankan kondisi bagian anogenital tetap kering
Rasional: Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada kulit
Elektrolit Management
6. Monitor tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
7. Monitoring dan pertahankan keseimbangan intake dan output
Rasional: Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan
elektrolit
8. Kolaborasi pemberian cairan rehidrasi melalui oral, NGT atau intravena
sesuai indikasi
Rasional: Membantu menggantikan jumlah elektrolit yang telah hilang
atau sedang hilang
Management Nutrisi
9. Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien
Rasional: Input nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan status nutrisi
klien yang menurun akibat diare dan muntah
10. Dorong peningkatan intake protein yang sesuai
Rasional: Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan
meningkatkan sistem imun.
11. Monitoring Berat badan klien
Rasional: Untuk mengetahui status nutrisi klien dan efektifitas terapi
yang diberikan
12. Kolaborasi kepada ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe
nutrisi yang dibutuhkan terhadap perbaikan nutrisi klien.
Rasional: Kolaborasi dan pemberian nutrisi yang sesuai untuk
memperbaiki status nutrisi akibat muntah dan diare

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan


dengan factor biologi ditandai dengan klien tampak kurus, nafsu makan
menurun, klien dikeluhkan muntah.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi klien terpenuhi dengan kriteria hasil :
a. Status nutrisi:
- Masukan nutrisi adekuat (skala 5 = no deviation from normal
range)
- Masukan makanan dalam batas normal (skala 5 = no deviation
from normal range)
b. Status nutrisi : masukan nutrisi:
- Masukan kalori dalam batas normal (skala 5 = totally adekuat)
- Nutrisi dalam makanan cukup mengandung protein, lemak,
karbohidrat, serat, vitamin, mineral, ion, kalsium, sodium (skala 5 =
totally adekuat)
c. Status nutrisi : hitung biokimia
- Serum albumin dalam batas normal (3,4-4,8 gr/dl) (skala 5 = no
deviation from normal range)
Intervensi :
Nutrition therapy
1. Mengindikasikan pemberian terapi nutrisi parenteral (NGT).
Rasional : Membantu pemenuhan asupan nutrisi yang adekuat.
2. Monitor makanan/cairan yang dimakan dan hitung asupan kalori tiap hari
dengan tepat.
Rasional : Mengetahui perkembangan makan/minum klien sesuai
kebutuhan.
3. Monitor ketepatan diet order yang sesuai dengan kebutuhan nutrisi klien.
Rasional : Mencegah klien mendapat asupan yang tidak sesuai dengan
prosedur.
4. Jaga kebersihan mulut.
Rasional : Menjaga kebersihan mulut dapat meningkatkan nafsu makan
5. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi.
Rasional :Untuk menentukan jumlah kalori dan jenis nutrisi yang sesuai
dengan kebutuhan klien
Fluid/ electrolyte management
1. Monitor abnormal serum elektrolit klien.
Rasional : Membantu memberikan terapi yang tepat sesuai kebutuhan.
2. Berikan intravenous infusion sesuai indikasi.
Rasional : Membantu menambah cairan/elektrolit tubuh bila asupan oral
tidak memenuhi kebutuhan.
Penanganan berat badan:
1. Timbang berat badan klien secara teratur.
Rasional : Dengan memantau berat badan klien dengan teratur dapat
mengetahui kenaikan ataupun penurunan status gizi.
2. Pantau konsumsi kalori harian.
Rasional : membantu mengetahui masukan kalori harian klien
disesuaikan dengan kebutuhan kalori sesuai usia.
3. Pantau hasil laboratorium, seperti kadar serum albumin, dan elektrolit.
Rasional : kadar albumin dan elektrolit yang normal menunjukkan status
nutrisi baik. Sajikan makanan dengan menarik.

3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi


ditandai dengan kulit klien tampak kuning, terdapat bekas garukan,
kulit klien tampak bersisik.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan
kerusakan integritas kulit klien berkurang bahkan hilang dengan outcome :
Respon alergi local
- tidak ada kemerahan di kulit
- tidak ada rasa gatal di kulit
- tidak ada ruam di kulit
Integritas kulit
- tidak ada lesi di kulit
- tidak ada pengelupasan kulit

Intervensi
Skin surveillance
1. Inspeksi kulit klien untuk melihat adanya kemerahan dan lesi.
Rasional : Inspeksi merupakan pengkajian awal mengenai tingkat
kerusakan integritas kulit pada klien.
2. Monitor kulit klien terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan.
Rasional : Kekeringan dan kelembaban berlebihan dapat memperberat
gejala pruritus klien.
3. Monitor adanya lesiserosi kulit lebih lanjut.
Rasional : Membantu melihat perkembangan integritas kulit klien, adanya
erosi dan lesi lanjut menunjukkan gejala yang lebih
berat.
Perawatan kulit
1. Hindari penggunaan bed tekstur kasar.
Rasional : Mengurangi terjadinya gesekan yang memperberat pruritus
klien.
2. Anjurkan klien mandi dengan sabun antiseptic, bukan sabun biasa.
Rasional : Sabun biasa mengandung deterjen yang dapat menjadi faktor
pencetus alergi lebih lanjut.
3. Jaga tempat tidur agar tetap bersih, kering, dan bebas lipatan.
Rasional : Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat
memperberat rasa gatal.
4. Sarankan pasien menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat dan
menyerap kering.
Rasional : Pakaian ketat dapat menimbulkan gesekan sedangkan pakaian
menyerap keringat dapat menurunkan risiko
meningkatnya kelembaban kulit yang dapat memperberat
pruritus.
5. Kolaborasi : Kortikosteroid topical,antihistamin oral.
Rasional : Membantu menagatasi pruritus klien.
Managemen nutrisi
1. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien.
Rasional ; Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala.
2. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi Kalori Rendah
Protein
Rasional : Tinggi kalori membantu memenuhi kebutuhan kalori klien
sedangkan rendah protein membantu menurunkan respon
alergi, jika pruritus disebabkan alergi.
DAFTAR PUSTAKA

Anonym. 2010. available at http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/bileductdiseases.html

Anonym. 2010. available at http: ://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000215.htm

Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.

Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media
Aesculapius, FKUI.

Nazer, Hisham. 2010. Kolestasis. available at http://emedicine.medscape.com/article/927624-


overview

Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu
Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.

Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266. Jakarta: EGC.

Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell
Scientific Publication: London.

Anda mungkin juga menyukai