2. EPIDEMIOLOGI
Kolestasis pada bayi terjadi pada ± 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis
neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi α-1
antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki
adalah 2:1, sedang pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik (Arief, 2012).
3. ETIOLOGI/FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 bagian: intrahepatic kolestasis dan
ekstrahepatic kolestasis.
a. Pada intrahepatic kolestasis terjadi akibat gangguan pada sel hati yang terjadi
akibat: infeksi bakteri yang menimbulkan abses pada hati, biliary cirrhosis
primer, virus hepatitis, lymphoma, cholangitis sclerosing primer, infeksi tbc
atau sepsis, obat-obatan yang menginduksi kolestasis.
b. Pada extrahepatic kolestasis, disebabkan oleh tumor saluran empedu, cista,
- Hepatomegali
- Konsistensi normal
12 35
- Konsistensi padat
63 47
- Konsistensi keras 24 6
Sumber: Behrman (1999)
4. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis pada kolestasis pada umunya disebabkan karena keadaan-
keadaan:
1. Terganggunya aliran empedu masuk ke dalam usus
a. Tinja akolis/hipokolis/pucat
b. Urobilinogen/sterkobilinogen dalam tinja menurun/negatif
c. Urobilin dalam air seni negatif
d. Malabsorbsi lemak dan vitamin yang larut dalam lemak
e. Steatore
f. Hipoprotrombinemia
2. Akumulasi empedu dalam darah
a. Ikterus
b. Gatal-gatal
c. Hiperkolesterolemia
3. Kerusakan sel hepar karena menumpuknya komponen empedu
a. Anatomis
1) Akumulasi pigmen
2) Reaksi peradangan dan nekrosis
b. Fungsional
1) Gangguan ekskresi (alkali fosfatase dan gama glutamil transpeptidase
meningkat)
2) Transaminase serum meningkat (ringan)
3) Gangguan ekskresi sulfobromoftalein
4) Asam empedu dalam serum meningkat
Tanda-tanda non-hepatal sering pula membantu dalam diagnosa, seperti
sindroma polisplenia (situs inversus, levocardia, vena cava inferior tidak ada),
sering bersamaan dengan atresia bilier: bentuk muka yang khas, posterior
embriotokson, serta adanya bising pulmunal stenosis perifer, sering bersamaan
dengan “paucity of the intrahepatic bile ductules” (arterio hepatic
displasia/Alagille’s syndrome) nafsu makan yang jelek dengan muntah,
“irritable”, sepsis, sering karena adanya kelainan metabolisme seperti
galaktosemia, intoleransi froktosa herediter, tirosinemia.
Neonatal hepatitis lebih banyak pada anak laki, sedangkan atresia bilier
ekstrahepatal lebih banyak pada anak perempuan. Pertumbuhan pasien dengan
kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien dengan
kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi
kemudian akan mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan
penyakit. Pasien dengan kolestasis perlu dipantau pertumbuhannya dengan
membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan bayi/anak.
5. KOMPLIKASI
a. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah
hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati.
b. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi,
gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan
pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8
minggu maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi
dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-
43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan
hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan. Anak
termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-faktor
yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi >
60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya
duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi penyulit hipertensi
portal.
6. IMPLEMENTASI
Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran empedu ke
dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi pedoman
dalam penatalaksanaannya, yaitu:
1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran
empedu
2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya
keadaan fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan
pertumbuhan
5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar
Dalam hal ini pengobatan dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu:
1. Tindakan medis
a. Perbaikan aliran empedu: pemberian fenobarbital dan kolestiramin,
ursodioxy cholic acid (UDCA).
b. Aspek gizi: lemak sebaiknya diberikan dalam bentuk MCT (medium
chain triglyceride) karena malabsorbsi lemak.
c. Diberikan tambahan vitamin larut lemak (A, D, E, dan K)
3. Tindakan bedah
Tujuannya untuk mengadakan perbaikan langsung terhadap kelainan saluran
empedu yang ada. Operasi Kasai (hepatoportoenterostomy procedure)
diperlukan untuk mengalirkan empedu keluar dari hati, dengan
menyambungkan usus halus langsung dari hati untuk menggantikan saluran
empedu (lihat gambar di bawah). Untuk mencegah terjadinya komplikasi
cirrhosis, prosedur ini dianjurkan untuk dilakukan sesegera mungkin,
diupayakan sebelum anak berumur 90 hari. Perlu diketahui bahwa operasi
Kasai bukanlah tatalaksana definitif dari atresia biliaris, namun setidaknya
tindakan ini dapat memperbaiki prognosis anak dan memperlambat
perjalanan menuju kerusakan hati (Nezer, 2010).
4. Terapi suportif
a. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
b. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan
mengandung lemak rantai sedang (Medium chain trigliseride-MCT),
misalnya panenteral, progrestimil
c. Vitamin yang larut dalam lemak
1) A : 5000-25.000 IU
2) D : calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
3) E : 25-200 IU/kk/hari
4) K1 : 2,5-5 mg : 2-7 x/ minggu
d. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
e. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-
coA reductase inhibitor contohnya kolestipol, simvastatin
f. Pruritus :
1) Atihistamin : difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5
mg/kg/hati
Rifampisin : 10 mg/kg/hari
2) Kolestiramin : 0,25-0,5g/kg/hari
7. PATOFISIOLOGI
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan
merupakan kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu
mengandung asam empedu, kolesterol, phospholipid, toksin yang
terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin terkonyugasi. Kolesterol dan
asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang bilirubin
terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah
sirkulasi enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana
permukaan basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan
apikal (kanalikuler) berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel
terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan pompa bioaktif memisahkan racun dari
darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi intraseluler, mengeluarkan
hasil proses tersebut kedalam empedu.Salah satu contoh adalah penanganan dan
detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi (bilirubin indirek).
Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah
oleh transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim
UDPGTa yang mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air
dan dikeluarkan kedalam empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian
yang bertanggungjawab terhadap aliran bebas asam empedu. Walaupun asam
empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh transporter lain, yaitu
pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu menurun,
sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan
hiperbilirubinemia terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi,
obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia menimbulkan gangguan pada
transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran empedu dan
hiperbilirubinemi terkonjugasi (Areif, 2010).
Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan
struktural:
a. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas
dari hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam
empedu, dan lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan
sinusoid terganggu.
8. PEMERIKSAAN FISIK
Pada umumnya gejala ikterik pada neonatus baru akan terlihat bila kadar
bilirubin sekitar 7 mg/dl. Secara klinis mulai terlihat pada bulan pertama. Warna
kehijauan bila kadar bilirubin tinggi karena oksidasi bilirubin menjadi biliverdin.
Jaringan sklera mengandung banyak elastin yang mempunyai afinitas tinggi
terhadap bilirubin, sehingga pemeriksaan sklera lebih sensitif.
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah
arkus kota pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi
yang tajam dan permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis.
Hati yang teraba pada epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel
(pemanjangan lobus kanan yang normal). Nyeri tekan pada palpasi hati
diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson karena edema. Bila limpa membesar,
satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi portal, penyakit storage, atau
keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa pembesaran organ
lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu fibrosis hepar
kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites menandakan
adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk. Pada
neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain (Arief,
2010).
9. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada bayi dengan kolestasis harus dibedakan antara kolestasis intra- atau
ekstrahepatal dengan tujuan utama memperbaiki atau mengobati keadaan-
keadaan yang memang dapat diperbaiki/diobati.
Sebagai tahap pertama dalam pendekatan diagnosa, harus dibuktikan
apakah ada kelainan hepatobilier atau tidak. Pemeriksaan yang perlu dilakukan
pada tahap ini adalah:
a. Hapusan darah tepi
b. Bilirubin dalam air seni
c. Sterkobilinogen dalam air seni
d. Tes fungsi hepar yang standar: Heymans vd Bergh, SGOT, SGPT, alkali
fosfatase serta serum protein
Bila dari pemeriksaan tersebut masih meragukan, dilakukan pemeriksaan
lanjutan yang lebih sensitif seprti BSP/kadar asam empedu dalam serum. Bila
fasilitas terbatas dapat hanya dengan melihat pemerikasaan bilirubin air seni.
Hasil positf menunjukkan adanya kelainan hepatobilier. Bila ada bukti
keterlibatan hepar maka dilakukan tahap berikutnya untuk membuktikan kelainan
intra/ekstrahepatal, mencari kemungkinan etiologi, dan mengidentifikasi kelainan
yang dapat diperbaiki/diobati. Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Terhadap infeksi/bahan toksik
b. Terhadap kemungkinan kelainan metabolik
c. Mencari data tentang keadaan saluran empedu
Untuk pemeriksaan terhadap infeksi yang penting adalah:
a. Virus:
1) Virus hepatotropik: HAV, HBV, non A non B, virus delta
2) TORCH (Toxoplasma, Rubella, CMV, Herpes)
3) Virus lain: EBV, Coxsackie’s B, varisela-zoster
b. Bakteri: terutama bila klinis mencurigakan infeksi kuman leptospira, abses
piogenik
1) Parasit: toksoplasma, amuba, leismania, penyakit hidatid
2) Bahan toksik, terutama obat/makanan hepatotoksik
c. Pemeriksaan kelainan metabolik yang penting:
1) Galaktosemia, fruktosemia
2) Tirosinosis: asam amino dalam air seni
3) Fibrosis kistik
4) Penyakit Wilson
5) Defisiensi alfa-1 antitripsin
Data tentang saluran empedu diperoleh melalui pemeriksaan Rose Bengal
Excretion (RBE), Hida Scan, USG atau Biopsi hepar. Bila dicurigai ada suatu
kelainan saluran empedu dilakukan pemeriksaan kolangiografi.
3. PERENCANAAN
1. Diare berhubungan dengan kontaminasi ditandai dengan klien
dikeluhkan BAB encer, BAB lebih dari 6-8 kali sehari.
Tujuan:
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ....x 24 jam diharapkan diare
teratasi dengan kriteria hasil :
Bowel Management
Frekuensi BAB normal (1x1/hari)
Melporkan tidak ada diare
HR teraba dan da;am batas normal (100-120x/menit)
Turgor kulit elastis<2 detik
Tidak terjadi confusi
Gastrointestinal Function
Klien dapat mentoleransi makanan dan minuman
Intervensi:
Manajemen Diare
1. Monitor untuk tanda dan gejala diare
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
2. Monitor turgor kulit
Rasional: Turgor kulit yang tidak bagus menandakan terjadi dehidrasi
akibat diare
3. Pantau frekuensi BAB
Rasional: Frekuensi BAB yang berlebihan >3kali menandakan terjadinya
diare
Skin Surveilance
4. Monitor kulit pada bagian peri anal untuk terjadinya kemerahan
Rasional: Kulit yang lembab akibat adanya akumulasi kotoran dapat
mengakibatkan terjadinya kemerahan pada kulit
5. Pertahankan kondisi bagian anogenital tetap kering
Rasional: Keadaan kering mencegah terjadinya kemerahan pada kulit
Elektrolit Management
6. Monitor tanda-tanda ketidakseimbangan elektrolit
Rasional: Untuk mengetahui intervensi yang sesuai
7. Monitoring dan pertahankan keseimbangan intake dan output
Rasional: Agar tidak terjadi kelebihan atau kekurangan cairan dan
elektrolit
8. Kolaborasi pemberian cairan rehidrasi melalui oral, NGT atau intravena
sesuai indikasi
Rasional: Membantu menggantikan jumlah elektrolit yang telah hilang
atau sedang hilang
Management Nutrisi
9. Dorong input nutrisi pada klien sesuai dengan kondisi klien
Rasional: Input nutrisi yang sesuai untuk meningkatkan status nutrisi
klien yang menurun akibat diare dan muntah
10. Dorong peningkatan intake protein yang sesuai
Rasional: Protein berfungsi untuk memperbaiki sel-sel yang rusak dan
meningkatkan sistem imun.
11. Monitoring Berat badan klien
Rasional: Untuk mengetahui status nutrisi klien dan efektifitas terapi
yang diberikan
12. Kolaborasi kepada ahli gizi untuk menetukan jumlah kalori dan tipe
nutrisi yang dibutuhkan terhadap perbaikan nutrisi klien.
Rasional: Kolaborasi dan pemberian nutrisi yang sesuai untuk
memperbaiki status nutrisi akibat muntah dan diare
Intervensi
Skin surveillance
1. Inspeksi kulit klien untuk melihat adanya kemerahan dan lesi.
Rasional : Inspeksi merupakan pengkajian awal mengenai tingkat
kerusakan integritas kulit pada klien.
2. Monitor kulit klien terhadap kekeringan dan kelembaban yang berlebihan.
Rasional : Kekeringan dan kelembaban berlebihan dapat memperberat
gejala pruritus klien.
3. Monitor adanya lesiserosi kulit lebih lanjut.
Rasional : Membantu melihat perkembangan integritas kulit klien, adanya
erosi dan lesi lanjut menunjukkan gejala yang lebih
berat.
Perawatan kulit
1. Hindari penggunaan bed tekstur kasar.
Rasional : Mengurangi terjadinya gesekan yang memperberat pruritus
klien.
2. Anjurkan klien mandi dengan sabun antiseptic, bukan sabun biasa.
Rasional : Sabun biasa mengandung deterjen yang dapat menjadi faktor
pencetus alergi lebih lanjut.
3. Jaga tempat tidur agar tetap bersih, kering, dan bebas lipatan.
Rasional : Mengurangi terjadi gesekan kulit dan bed yang dapat
memperberat rasa gatal.
4. Sarankan pasien menggunakan pakaian yang tidak terlalu ketat dan
menyerap kering.
Rasional : Pakaian ketat dapat menimbulkan gesekan sedangkan pakaian
menyerap keringat dapat menurunkan risiko
meningkatnya kelembaban kulit yang dapat memperberat
pruritus.
5. Kolaborasi : Kortikosteroid topical,antihistamin oral.
Rasional : Membantu menagatasi pruritus klien.
Managemen nutrisi
1. Kaji adanya alergi makanan tertentu pada klien.
Rasional ; Mencegah pemberian nutrisi yang memperberat gejala.
2. Berikan diet makanan sesuai kebutuhan klien; Tinggi Kalori Rendah
Protein
Rasional : Tinggi kalori membantu memenuhi kebutuhan kalori klien
sedangkan rendah protein membantu menurunkan respon
alergi, jika pruritus disebabkan alergi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief, Sjamsul. 2010. Deteksi dini kolestasis neonatal. Divisi Hepatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UNAIR/RSU Dr Soetomo, Surabaya.
Mansjoer A. et al, 2002. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid I, Ed.3. hal 510-512. Jakarta: Media
Aesculapius, FKUI.
Reksoprodjo S. 1995. Ikterus dalam bedah, Dalam Ahmadsyah I, Kumpulan. Kuliah Ilmu
Bedah, hal 71 – 77, Bina Rupa Aksara, Jakarta.
Richard S. Snell. 2002, Anatomi klinik, edisi 3, bag. 1, hal 265 – 266. Jakarta: EGC.
Sherlock. S, Dooley J. 1993. Disease of the Liver and Biliary Sistem 9 th. Ed. Blackwell
Scientific Publication: London.