Anda di halaman 1dari 27

Gejala Anemia

Gejala anemia dapat dibagi menjadi 3 golongan besar :

1. Gejala Umum anemia atau sindrom anemia

a. Sistem kardiovaskuler

Lesu, cepat lelah, palpitasi, takikardi, sesak waktu kerja, angina pectoris, dan gagal jantung

b. Sistem saraf

Sakit kepala, pusing, telinga mendenging, mata berkunang-kunang, kelemahan otot, iritabel, lesu,
perasaan dingin pada ekstremitas

c. Sistem urogenital

Gangguan haid dan libido menurun

d. Epitel

Warna pucat pada kulit dan mukosa, elastisitas kulit menurun, rambut tupis dan halus

2. Gejala khas masing-masing anemia

3. Gejala penyakit dasar yang menyebabkan anemia

Diagnostik

Pendekatan diagnostic untuk penderita anemia yaitu berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

1. Anamnesis

Pada anamnesis ditanya mengenai riwayat penyakit sekarang dan riwayat penyakit dahulu, riwayat
gizi, anamnesis mengenai lingkungan fisik sekitar, apakah ada paparan terhadap bahan kilia atau fisik
serta riwayat pemakaian obat. Riwayat penyakit keluarga juaga ditanya untuk mengetahui apakah
ada faktor keturunan.

2. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan dilakukan secara sistematik dan menyeluruh

Perhatian khusus diberikan pada

a. Warna kulit : pucat, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti jerami

b. Kuku : koilonychias (kuku sendok)

c. Mata : ikterus, konjugtiva pucat, perubahan pada fundus

d. Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, atrofi papil lidah


e. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali

3. Pemeriksaan laboratorium hematologi

a. Tes penyaring

1. Kadar hemoglobin

2. Indeks eritrosit (MCV,MCH, dan MCHC)

3. Hapusan darah tepi

b. Pemeriksaan rutin

1. Laju endap darah

2. Hitung deferensial

3. Hitung retikulosit

c. Pemeriksaan sumsum tulang

d. Pemeriksaan atas indikasi khusus

1. Anemia defesiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi transferin

2. Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12

3. Anemia hemolitik : tes Coomb, elektroforesis Hb

4. Leukemia akut : pemeriksaan sitokimia

5. Diatesa hemoragik : tes faal hemostasis

4. Pemeriksaan laboratorium non hematologi

Pemeriksaan faal ginjal, hati, endokrin, asam urat, kultur bakteri

5. Pemeriksaan penunjang lainnya

a. Biopsy kelenjar à PA

b. Radiologi : Foto Thoraks, bone survey, USG, CT-Scan

Penatalaksanaan

Pada prinsipnya terapi anemia terdiri dari :

1. Terapi untuk mengatasi keadaan gawat darurat

a. Anemia dengan payah jantung

b. Sebaiknya diambil dulu specimen untuk pemeriksaan sebelum terapi atau transfuse diberikan
2. Terapi suportif : memperkuat daya tahun tubuh

3. Terapi khas untuk masing-masing anemia, misalnya besi untuk anemia defesiensi besi

4. Terapi untuk mengobati penyakit dasar

5. Terapi ex juvantivus : terapi yang terpaksa diberikan sebelum diagnosis dapat dipastikan, jika
terapi ini berhasil berarti diagnosis dapat dikuatkan. Terapi hanya dilakukan jika tidak tersedia
fasilitas diagnosis yang mencukupi dan harus diawasi dengan ketat.

Sumber :

1. Bakta,I Made,2000,Catatan Kuliah Hematologi Klinik (lecture Notes on Clinical


Hematology),FK Unud.RS Sanglah: Denpasar

2. Conrad,E Marcel, Anemia, available at:http://www.emedicine.com/med/topic132.htm last


update : January 19,2007 accessed : December 19,2007

https://fkusu.wordpress.com/2010/04/23/his-anemia-2/
Leukemia
BY ADMIN · SEPTEMBER 25, 2012

Leukemia (Kanker Darah) merupakan penyakit keganasan sel


darah yang berasal dari sumsum tulang. Biasanya ditandai oleh proliferasi sel-sel
darah putih dengan manifestasi adanya sel-sel abnormal dalam darah tepi (sel
blast) secara berlebihan dan menyebabkan terdesaknya sel darah yang normal yang
mengakibatkan fungsinya terganggu.

Leukemia dibagi atas 2 jenis :


Leukemia akut : Leukemia Limfoblastik Akut (LLA), Leukemia Non Limfoblastik Akut (LNLA) atau
Leukemia Myeloblastik Akut (LMA)

Leukemia Kronis : Leukemia Mielositik Kronis (LMK).

Gejala / Tanda-tanda :

Pucat, lemah, anak rewel, nafsu makan menurun,

Demam tanpa sebab yang jelas,

Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening,

Kejang sampai penurunan kesadaran,

Perdarahan kulit (petekie, hematom) dan atau perdarahan spontan (epistaksis, perdarahan gusi),

Nyeri tulang pada anak. Sering kali ditandai pada anak yang sudah dapat berdiri dan berjalan tiba-
tiba tidak mau melakukannya lagi, anak lebih nyaman untuk digendong.

Pembesaran testis dengan konsistensi keras.

Diagnosis
Proses Diagnosis Leukemia dilaksanakan berdasarkan : Anamnesis, Pemeriksaan Fisik dan
Pemeriksaan Penunjang.

Anamnesis :

Pucat,
Demam tanpa sebab yang jelas,

Perdarahan kulit,

Nyeri tulang,

Lesu,

Berat Badan turun.

Pemeriksaan Fisik :

Pucat,

Epistaksis / Petekie / Ekimosis,

Pembesaran kelenjar getah bening,

Hepatomegali,

Splenomegali.

Pemeriksaan Penunjang :

Di Puskesmas : Darah rutin dan hitung jenis (perhatikan kadar Hemoglobin dan trombosit yang
rendah, kadar leukosit yang rendah atau meningkat > 100.000/µl, ada tidaknya sel blast, dan hitung
jenis limfositer)  2 dari 3 sel darah tepi.

Di RS Tipe C dan B: Darah rutin dan hitung jenis, Foto thoraks AP dan Lateral, Aspirasi sumsum
tulang, Punksi Lumbal, Sitokimia sumsum tulang.

Di RS Tipe A : Darah rutin dan Hitung jenis, Foto thoraks AP dan Lateral, Aspirasi sumsum tulang,
Punksi Lumbal, Sitokimia sumsum tulang, Imunofenotiping, Sitogenetik.

http://www.primaquality.com/2012/09/25/leukemia/
Riwayat Alamiah Penyakit Leukemia

Leukimia merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan proliferasi dini yang berlebihan dari sel darah putih.
Atau dapat didefinisikan sebagai keganasan hematologis akibat proses neoplastik yang disertai gangguan
diferensiasi pada berbagai tingkatan sel induk hematopoietik (Daniel, 2000).

1. Tahap peka

Meliputi orang-orang yang sehat tetapi mempunyai faktor risiko atau predisposisi untuk terkena penyakit.
Faktor resiko dari penyakit leukimia antara lain

1) Genetik, insidensi leukimia akut pada penderita sindrome down adalah 20 kali lebih banyak daripada
normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leikemia akut. Insidensi leukimia akut juga
meningkat pada penderita kelainan konginental dengan aneuloidi, misalnya agranulositosis konginental,
sindrom Ellis van Greveld, penyakit seliak, sindrom Bloom, anemia fancomi, sindrom klinefelter dan sindrom
trisomi D.

2) Jenis kelamin, juga mempengaruhi yakni pria memiliki risiko lebih besar dari pada wanita 2 : 1. Insidensi
penyakit ini adalah 1,5 per 100.000 penduduk per tahun di dunia dengan perbandingan pria danwanita (2 : 1)
(Franky, 2008).

Anak Perempuan dengan Leukemia

3) Usia, insiden leukimia menurut usia didapatkan data sebagai berikut.

– Leukemia Limfoblastik Kronik (LLK) terbanyak terjadi pada anak-anak dan dewasa

– Leukemia Mieloblastik Akut (AML) pada semua usia, lebih sering pada usia dewasa

– Leukemia Mielogenus Kronik (CML) pada semua usia, lebih sering pada usia 40-60 tahun

– Leukemia Limfositik Kronik (CLL) terbanyak pada orang tua diatas usia 50 tahun (Daniel, 2000).

4) Sinar Radioaktif, merupakan faktor eksternal yang paling jelas dapat menyebabkan leukimia pada
binatang maupun pada menusia. Angka kejadian Leukimia Mieloblastik Akut (AML) dan Leukimia Granulositik
Kronik (LGK) jelas sekali meningkat sesudah sinar radioaktif. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa penderita yang
diobati dengan sinar radioaktif akan menderita leukemia pada 6 % klien dan baru terjadi sesudah 5 tahun.
Sinar Radio Aktif

5) Ras mungkin juga merupakan satu faktor risiko. Di Amerika Serikat orang kaukasia cenderung lebih sering
mengalami leukemia limfoblastik akut (ALL) daripada orang-orang Amerika keturunan Afrika (Daniel, 2000).

6) Virus, virus ini pertama kali ditemukan oleh Takatsuki dan kawan-kawan pada tahun 1977 di Jepang.
Setelah itu dapat ditemukan di berbagai tempat didunia lainnya, antara lain Asia terutama Jepang, Teluk
Karibia, Amerika Utara, Amerika Selatan dan Afrika Tengah pada prevalensi tinggi. Kini retrovirus penyebab
“Adult T-cell Leukemia” dikenal sebagai “Human T-cell Leukemia Virus tipe I” (HTLV-I) (Kumala, 1999).

Adapun beberapa faktor risiko yang terbukti dapat menyebabkan leukemia, yaitu faktor genetik, sinar
radioaktif dan virus.

2. Tahap sub klinis/pra gejala

Pada tahap ini telah terjadi paparan tapi belum menunjukkan gejala & belum terjadi gangguan fungsi organ.
Tahap subklinis pada leukimia berupa pemaparan dari obat sitotoksik, radiasi, dan beberapa zat kimia seperti
benzena meningkatkan kemungkinan terjadinya leukimia akut karena paparan benzena dengan kadar tinggi
dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukimia. Di jepang leukimia kronis
kejadiannya meningkat setelah peristiwa bom atom di Nagasaki dan Hiroshima demikian juga dirusia setelah
reaktor atom chernobil meledak karena dampak radiasi ionik yang ditimbulkan dari bom tersebut (Heri, 2009).
Selain itu, faktor lain yang dapat memicu terjadinya leukimia akut adalah pengobatan dengan kemoterapi
sitotoksik pada pasien tumor padat yang paling memicu timbulanya leukima akut adalah golongan alkylating
agent dan topoisomerase II inhibitor(Johan, 2009).

3. Tahap Klinis

Pada tahap ini penyakit sudah menunjukan adanya perubahan baik anatomi dan fungsional. Adapun tahapan
klinis sesuai jenis leukemia terbagi atas gejala leukemia akut dan leukemia kronis.

Gejala leukimia akut biasanya terjadi setelah beberapa minggu dan dapat dibedakan menjadi tiga tipe:

Gejala kegagalan sumsum tulang merupakan manisfestasi keluhan yang paling umum. Leukemia menekan
fungsi sumsum tulang, menyebabkan kombinasi dari anemia, leukopenia (jumlah sel darah putih rendah), dan
trombositopenia (jumlah trombosit rendah). Gejala yang tipikal adalah lelah dan sesak napas (akibat anemia),
infeksi bakteri (akibat leukopenia), dan perdarahan (akibat trombositopenia dan terkadang akibat koagulasi
intravaskular diseminata [DIC]). Pada pemeriksaan fisis ditemukan kulit yang pucat, beberapa memar dan
perdarahan. Demam menunjukan adanya infeksi, walaupun pada beberapa kasus, demam dapat disebabkan
oleh leukemia itu sendiri. Namun, cukup berbahaya apabila kita menganggap bahwa demam yang terjadi
merupakan akibat leukemia itu sendiri.

Gejala sistemik berupa malaise, penurunan berat badan, berkeringat dan anoreksia cukup sering terjadi.

Gejala lokal: terkadang pasien datang dengan gejala atau tanda infiltrasi leukemia di kulit, gusi atau sistem
saraf pusat (Patrick, 2003).

Adapun pendapat lain mengungkapkan bahwa gejala klinisnya adalah nyeri tulang dan sendi (karena infiltrasi
sumsum tulang oleh sel-sel leukemia); demam, banyak keringat (gejala hipermetabolisme); infeksi mulut,
saluran napas atas dan bawah, selullitis, atau sepsis; pendarahan kulit (petechiae, atraumatic, ecchymosis),
pendarahan gusi, hematuria, pendarahan saluran cerna dan otak; hepatomegaly; spenomegali, limfadenopat
(Panji, 2009).
Leukemia Kronik

Gejala yang ditimbulkan oleh leukemia kronis:

Gejala (1) ringan, kelemahan saja; (2) moderat; penurunan berat badan, demam, keringat malam, dan gejala
tekanan dari node yang besar, limpa, atau hati; (3) berat, sesak napas, mudah memar, infeksi berulang dan
pendarahan. Kelenjar getah bening, limpa dan hati dinggap membesar jika teraba pada pemeriksaan fisik (Rai
at al, 1979). Limpa membesar ditemukan pada 90% kasus yang ditemukan mengakibatkan perasaan penuh
pada abdomen dan mudah merasa kenyang (Franky, 2008).

4. Tahap Penyakit Lanjut

Leukemia tahap lanjut ditandai dengan gejala leukemia yang bertambah parah. Leukemia ditetapkan dengan
beberapa derajat yang disebut dengan stadium. Hal ini memudahkan untuk menentukan strategi penanganan
dan prognosis. Salah satu derajat penyakit leukemia tahap lanjut yang dipakai adalah menggunakan klasifikasi
menurut Rai at al, (Rai at al, 1979) adalah sebagai berikut:

Stadium 0: limfositosis saja, dalam darah tepi serta sumsum tulang

Stadium 1: limfositosis dengan perbesaran kelenjar getah bening/limfadenopati.

Stadium 2: limfositosis dengan pembesaran limpa atau hati atau keduanya (splenomegali dan/ hepatomegali)

Stadium 3: limfositosis dengan anemia (Hb < II g/100 ml)

Stadium 4: limfositosis dengan trombositopenia <100.000/mm 3 (Rai at al, 1979).

5. Tahap terminal/akhir

Tahap akhir dari Leukemia, antara lain:

– Penyakit Kronik, dimana penderita masih dapat mempertahankan hidupnya hanya saja dapat sewaktu-
waktu gejalanya muncul saat imunitas pasien menurun.

– Meninggal.

Lima Level Pencegahan Penyakit Leukemia

1. Pencegahan primer

Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan
sebelum hal itu terjadi.

a) Pengendalian Terhadap Pemaparan Sinar Radioaktif


Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang penatalaksanaan medisnya menggunakan
radiasi. Untuk petugas radiologi dapat dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi
paparan terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan dengan memberikan
pelayanan diagnostik radiologi serendah mungkin sesuai kebutuhan klinis.

b) Pengendalian Terhadap Pemaparan Lingkungan Kimia

Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan Benzene dan zat aditif serta senyawa
lainnya. Dapat dilakukan dengan memberikan pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan karsinogen
agar pekerja dapat bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan langsung terhadap zat-zat kimia tersebut.

c) Mengurangi frekuensi merokok

Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar dapat berhenti atau mengurangi merokok.
Satu dari empat kasus LMA disebabkan oleh merokok. Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan
tentang bahaya merokok yang bisa menyebabkan kanker termasuk leukemia (LMA).

d) Pemeriksaan Kesehatan Pranikah

Pencegahan ini lebih ditujukan pada pasangan yang akan menikah. Pemeriksaan ini memastikan status
kesehatan masing-masing calon mempelai. Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari pasangan
tersebut mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom Down atau kelainan gen lainnya, dianjurkan
untuk konsultasi dengan ahli hematologi. Jadi pasangan tersebut dapat memutuskan untuk tetap menikah
atau tidak (Gul Ilhan dkk, 2006).

2. Pencegahan Sekunder

Diagnosis Dini

Anamnesis pada diagnosis Leukemia Limfloblastik Akut (LLA) dewasa

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%), hepatomegali, limfadenopati, nyeri
tekan tulang dada, ekimosis, dan perdarahan retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang
mudah berdarah. Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang disebabkan adanya perdarahan fundus oculi.
Pada penderita leukemia jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali dan limfadenopati. Anemia, gejala-gejala
hipermetabolisme (penurunan berat badan, berkeringat) menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada
LGK/LMK hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga didapatkan nyeri tekan
pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran
kelenjar getah bening dan kadang-kadang priapismus.

Pemeriksaan Laboratorium pada LLA

Hitung darah lengkap, apus darah tepi, pemeriksaan koagulasi, kadar fibrinogen, kimia darah, golongan darah
ABO dan Rh, penentuan HLA.

Foto toraks atau computed tomography pada LLA

Pungsi Lumbal pada LLA

Aspirasi dan biopsi sumsum tulang

Pewarnaan sitokimia, analisis sitogenik, analisis imunofenotip, analisis molekular BCR-ABL


Pemeriksaan gambaran darah tepi pada Leukemia Limfositik Kronik (LLK) secara hati-hati dan cermat.
Gambaran darah tepi tampak limfositosis dengan gambaran limfosit kecil matur dansmudge cell yang
dominan; imunofenotif khas limfosit dan infiltrasi limfosit ke sumsum tulang.

Pemeriksaan Penunjang

1) Leukemia Akut

Hitung darah lengkap, pemeriksaan biokimia, profil koagulasi, kultur darah, golongan darah

2) Leukemia Kronis

Kadar hemoglobin dan jumlah eritrosit meningkat. Jumlah leukosit dan trombosit sering meningkat pula.
Pengukuran isotopik menunjukkan peningkatan massa sel darah merah (patrick, 2005).

b. Penatalaksanaan Medis

1) Kemoterapi pada LLK

a) Kemoterapi Tunggal

Pemberian obat seperti klorambusil dan siklofosfamid secara per oral.

b) Kemoterapi Kombinasi

Kemoterapi yang diberikan adalah kemoterapi yang biasanya diberikan pada pasien limfoma non Hodgkin
atau mieloma multipel. Diindikasikan pada pasien LLK yang gagal terhadap terapi tunggal klorambusil atau
siklofosfamid dengan atau tanpa prednison. Kemoterapi yang direkomendasikan adalah:

siklofosfamid, vinkristin dan prednison (COP)

Dosis:

– siklofosfamid 300 mg/m2 peroral hari 1-5 atau 750 mg/m2 IV hari I

– Vinkristin 2 mg IV hari I

– Prednison 40 mg/m2 peroral hari 1-5

COP dan doksorubisin

Dosis :

Doksorubisin 25-50 mg/m2 IV hari I (Heri dkk, 2009).

c) LMK dengan Pansitopenia

Pengobatan yang diberikan adalah infus NaCl 0,9 % 20 tetes/menit, Cefotaxim 1 gr tiga kali sehari IV, ranitidin
1 ampul 2 kali sehari dan parasetamol 500 mg tiga kali sehari bila panas. Pada pasien ini diintruksikan untuk
diberikan transfusi whole blood satu kantung per hari sama dengan 10 gr % dan selama perawatan pasien
hanya ditransfusi sebanyak dua kali (Tumiwa, dkk, 2008).

2) Radioterapi

Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar berenergi tinggi ini
ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya sel leukemia. Energi ini bisa
menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini
dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.

3) Tranplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak dengan sumsum tulang
yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis tinggi kemoterapi atau terapi radiasi.
Transplantasi dapat bersifat autolog, yaitu sel sumsum tulang diambil sebelum pasien menerima terapi dosis
tinggi, disimpan, dan kemudian diinfusikan kembali. Selain itu, dapat juga bersifat alogenik, yaitu sumsum
tulang berasal dari donor yang cocok HLA-nya ( Patrick, 2005).

4) Terapi Suportif

Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yang ditimbulkan penyakit leukemia dan mengatasi
efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia dengan keluhan anemia, transfusi
trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk mengatasi infeksi.

3. Pencegahan Tersier

Pencegahan tertier ditujukan untuk membatasi atau menghalangi perkembangan kemampuan, kondisi, atau
gangguan sehingga tidak berkembang ke tahap lanjut yang membutuhkan perawatan intensif. Untuk penderita
leukemia dilakukan perawatan atau penanganan oleh tenaga medis yang ahli di rumah sakit. Salah satu
perawatan yang diberikan yaitu perawatan paliatif dengan tujuan mempertahankan kualitas hidup penderita
dan memperlambat progresifitas penyakit. Selain itu perbaikan di bidang psikologi, sosial dan spiritual.
Dukungan moral dari orang-orang terdekat juga diperlukan

Daftar Pustaka

Davey, Patrick. At a Glance Medicine. 2003. Erlangga: Jakarta.

Gale, Danielle and Jane Charette. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan ONKOLOGI. Penerbit Buku Kedokteran
EGC: Jakarta.

Heri dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi Kelima Jilid II. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam:
Jakarta.

Ilhan, Gul, dkk. 2006. Risk Factors and Primary Prevention of Acute
Leukemiahttp://apocp.org/cancer_download/Volume7…/Ilhan%20515-517.pdf diakses tanggal 22 November
2012.

Kumala, Widyasari. Epidemiologi dan Penanganan Infeksi “Human T-cell Leukemia” Kedokteran Trisakti 1999,
Mei-Juni Vol. 18, No. 2. Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti: Jakarta.
Rai KR et al. Clinical Staging of Chronic Lymphocytic Leukemia. Blood journal Vol. 46, No. 2 August 1975.
Publish 2011 The American Society of Hematology. Washington DC.

Tumiwa, Franky dan Kaparang, Mc Adeodata. 2008. Leukemia Mielositik Kronik Dengan
Pansitopenia.http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/4308124134.pdf diakses tanggal 22 November 2012.

https://bfabriani.wordpress.com/2012/11/29/natural-history-of-diseasea-leukemia-and-preventions/
Selasa, 30 Oktober 2012

LIMFOMA HODGKIN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT

1. Definisi Pengertian

 Limfoma Hodgkin adalah kanker jaringan limfoid, biasanya kelenjar limfe dan limfa. Penyakit ini adalah
salah satu kanker yang tersering dijumpai pada orang dewasa muda, terutama pria muda. Terdapat empat
klasifikasi penyakit Hodgkin, berdasarkan sel yang terlibat dan apakah bentuk neoplasmanya nodular atau
tidak. Dari penentuan stadium penyakit Hodgkin sangat perlu dilakukan, karena dapat memberi petunjuk
mengenai pengobatan dan sangat mempengaruhi hasil akhir. Stadium-stadium awal penyakit Hodgkin,
stadium I dan II, biasanya dapat disembuhkan. Angka kesembuhan untuk stadium III dan IV cenderung masing-
masing adalah 75% dan 60%.

Penyakit Hodgkin adalah suatu penyakit klonal, yang berasal dari suatu sel yang abnormal. Populasi sel
abnormal tidak diketahui tetapi tampaknya berasal dari sel B atau T, atau suatu monosit. Sel-sel neoplastik
pada penyakit Hodgkin disebut sel Reed-Steinberg. Sel-sel ini terselip diantara jaringan limfoid normal yang
terdapat di organ-organ limfoid. (Elizabeth j. Corwin:135)

 Penyakit Hodgkin (Limfoma Hodgkin) adalah suatu jenis limfoma yang dibedakan berdasarkan jenis sel
kanker tertentu yang disebut sel Reed-Steinberg, yang memiliki tampilan yang khas dibawah mikroskop. Sel
Reed-Steinberg memiliki limfositosis besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel. Sel-sel tersebut dapat
dilihat pada biopsi yang diambil dari jaringan kelenjar getah bening, yang kemudian diperiksa dibawah
mikroskop. (Medicastore, 2009)

 Penyakit Hodgkin (Hodgkin Disease) atau Limfoma Hodgkin ialah limfoma maligna yang khas ditandai oleh
adanya sel Reed Steinberg dengan latar belakang sel radang pleomorf (limfosit, eosinofil, sel plasma dan
histiosit). (Hematologi Klinik Ringkas, 2007)

 Penyakit Hodgkin adalah penyakit keganasan tanpa diketahui penyebabnya yang berasal dari sistem
limfatika dan terutama melibatkan sistem limfe. (Keperawatan Medikal Bedah 2, 2002 : hlm.957)

2. Epidemiologi/insiden kasus

Insiden limfoma mengalami peningkatan tiap tahunnya. Sekitar 53% dari keganasan darah yang terjadi tiap
tahun adalah limfoma. Di Amerika Serikat angka kejadian limfoma sebanyak 71.380 orang pada tahun 2007
dan merupakan keganasan kelima terbanyak pada pria maupun wanita. Sekitar 12% dari seluruh limfoma
adalah jenis limfoma Hodgkin, dan sisanya (sebagian besar) adalah limfoma non-Hodgkin (Detak.com).

Di Amerika, 6000-7000 kasus baru dari penyakit Hodgkin terjadi setiap tahunnya.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada pria. Penyakit Hodgkin bisa muncul pada berbagai usia, tetapi jarang
terjadi sebelum usia 10 tahun. Paling sering ditemukan pada usia diantara 15-40 tahun dan diatas 55 tahun
(medicastore).
3. Penyebab/faktor predisposisi

Penyebab pasti limfoma Hodgkin masih belum diketahui. Namun, orang yang mengidap penyakit ini atau yang
sudah mengalami remisi memperlihatkan mengalami penurunan imunitas yang diperantarai oleh sel T. selain
itu kelompok – kelompok kasus sporadic mengisyaratkan bahwa suatu virus, mungkin dari kelompok herpes,
ikut berperan. Mungkin terdapat kecenderungan genetic untuk mengidap penyakit ini. Diperkirakan aktivasi
gen abnormal tertentu mempunyai peran dalam timbulnya semua jenis kanker, termasuk limfoma.
Penyebabnya tidak diketahui, walaupun beberapa ahli menduga bahwa penyebabnya adalah virus, seperti
virus Epstein Barr dan penyakit ini tampaknya tidak menular.

Faktor Risiko dan Pencegahan

Penyebab limfoma tidak diketahui, namun terdapat beberapa faktor risiko terkait timbulnya penyakit limfoma,
yaitu :

 Orang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau yang mendapat terapi imunosupresan
memiliki risiko tinggi untuk timbulnya limfoma.

 Orang yang sering kontak dengan herbisida atau pestisida, misalnya petani.

 Infeksi virus Epstein-Barr atau human T-cell lymphocytotropic virus (HTLV). HTLV menyebabkan limfoma
sel T (T-cell lymphoma).

 Ada keluarga yang menderita penyakit ini

 Jenis kelamin laki-laki.

4. Patologi/patofisiologi terjadinya penyakit

Sistem limfatik membawa tipe khusus dari sel darah putih (limfosit) melalui pembuluh getah bening ke seluruh
jaringan tubuh, termasuk sumsum tulang. Tersebarnya jaringan ini merupakan suatu kumpulan limfosit dalam
nodus limfatikus yang disebut kelenjar getah bening. Limfosit yang ganas (sel limfoma) dapat bersatu menjadi
kelenjar getah bening tunggal/dapat menyebar di seluruh tubuh, bahkan hampir di semua organ. Hal ini dapat
kita sebut sebagai keganasan dari sistem limfotik atauLimfoma. Limfoma dibedakan berdasar jenis sel kanker
tertentu, yaitu limfoma hodgkin dan limfoma non hodgkin. Penyebab terjadinya limfoma hodgkin tidak
diketahui secara pasti, tapi terdapat beberapa faktor risiko terjadinya penyakit ini, antara lain: orang yang
terinfeksi HIV AIDS, orang yang terinfeksi virus epstein-barr(HTLV), usia 15-40 th, >55 th, jenis kelamin laki-laki.
Penyakit ini ditandai dengan adanya sel reed-steinberg yang dikelilingi oleh sel radang pleomorf. Sel reed-
steinberg ini memiliki limfosit besar yang ganas yang lebih besar dari satu inti sel, yang bersifat patologis. Hal
inilah yang menjadi penanda utama limfoma hodgkin.

5. Klasifikasi Limfoma Hodgkin

Menurut Rye, penyakit Hodgkin diklasifikasikan ke dalam empat kelompok berdasarkan karakteristik dasar
jaringan yang terlihat di bawah mikroskop.
1) Tipe Limfosit Predominan (Lymphocyte Predominance)

Tipe ini merupakan 3% - 5% dari kasus penyakit Limfoma Hodgkin. Gambaran mikroskopik dari tipe ini yaitu
terdapat limfosit kecil yang banyak dan hanya sedikit sel Reed-Steinberg yang dijumpai. Dapat bersifat nodular
atau difus. Perjalanan penyakit ini tergolong lambat.

2) Tipe Sklerosis Noduler (Nodular Sclerosis)

Tipe ini merupakan tipe yang paling sering dijumpai, sekitar 40% - 69% dari seluruh penyakit Hodgkin, dimana
gambaran mikroskopisnya ditandai oleh fibrosis dan sklerosis yang luas, dimana suatu jaringan ikat mulai dari
kapsul kelenjar kemudian masuk ke dalam, mengelilingi kapsul abnormal. Dijumpai sel lakuna dan sejumlah
kecil sel Reed-Steinberg. Perjalanan penyakit ini tergolong sedang.

3) Tipe Selularitas Campuran (Mixed Cellularity)

Tipe ini merupakan 25%-30% dari penyakit Hodgkin. Pada gambaran mikroskopik terdapat sel Reed-Steinberg
dalam jumlah yang sedang dan seimbang dengan jumlah limfosit

4) Tipe Deplesi Limfosit (Lymphocyte Depleted)

Tipe satu ini merupakan penyakit yang jarang ditemui yaitu sekitar kurang dari 5% kasus dari Limfoma
Hodgkin, namun tipe ini termasuk tipe yang cepat dan agresif. Pada gambaran mikroskopik ditemukan banyak
sel Reed-Steinberg sedangkan sedikit sel limfosit.

Tipe ini dibagi menjadi dua yaitu subtipe retikuler (sel Reed-Steinberg dominan dan sedikit limfosit) dan
subtipe fibrosis difus (kelenjar getah bening diganti oleh jaringan ikat yang tidak teratur, dijumpai sedikit
limfosit, dan sel Reed-Steinberg juga terkadang dalam jumlah yang sedikit.

Menurut Cotswolds (1990) yang merupakan modifikasi dan klasifikasi Ann Arbor (1971), Limfoma Hodgkin
diklasifikaskan menjadi 4 stadium menurut tingkat keparahannya :

 Stadium I : Kanker hanya terbatas pada satu daerah kelenjar getah bening saja atau pada satu organ

 Stadium II : Pada stadium ini, sudah melibatkan dua kelenjar getah bening yang berbeda, namun masih
terbatas dalam satu wilayah atas atau bawah diafragma tubuh

 Stadium III : Jika kanker telah bergerak ke kelenjar getah bening atas dan juga bawah diafragma, namun
belum menyebar dari kelenjar getah bening ke organ lainnya.

 Stadium IV : Merupakan stadium yang paling lanjut. Pada stadium iniyang terkena bukan hanya kelenjar
getah bening, tapi juga bagian tubuh lainnya, seperti sumsum tulang atau hati.

Menurut klasifikasi Ann Arbor, penentuan stadium didasarkan jenis patologi dan tingkat
keterlibatan. Jenis patologi (tingkat rendah, sedang, atau tinggi) didasarkan pada formulasi
kerja yang baru.

 Formulasi kerja yang baru

- Tingkat rendah: Tipe yang baik

1. Limfositik kecil
2. Sel folikulas, kecil berbelah

3. Sel folikulas dan campuran sel besar dan kecil berbelah

- Tingkat sedang: Tipe yang tidak baik

1. Sel folikulis, besar

2. Sel kecil berbelah, difus

3. Sel campuran besar dan kecil, difus

4. Sel besar, difus

- Tingkat tinggi: Tipe yang tidak menguntungkan

1. Sel besar imunoblastik

2. Limfoblastik

3. Sel kecil tak berbelah

Klasifikasi menurut WHO :

 Nodular lymphocyte predominance Hodgkin lymphoma (nodular LPHL) : tipe ini mempunyai sel limfosit
dan histiocyte, CD-20 positif tetapi tidak memberikan gambaran RS-cell

 Classic Hodgkin Lymphoma : Lymphocyte rich, nodular sclerosis, mixed cellularity, lymphocyte depleted.

6. Gejala klinis

Penyakit Hodgkin biasanya berawal sebagai pembesaran nodus limfe tanpa nyeri, pada salah satu sisi leher,
yang menjadi sangat besar. Setiap nodus teraba kenyal dan tidak nyeri. Selanjutnya nodus limfe di daerah lain,
biasanya di sisi leher sebelahnya, juga membesar dengan proses yang sama. Nodus limfe mediastinal dan
retroperitoneal kadang-kadang membesar, menyebabkan gejala penekanan memberat : tekanan terhadap
trakea menyebabkan sulit bernapas ; penekanan terhadap esofagus menyebabkan sulit menelan; penekanan
pada saraf menyebabkan paralisis faringeal dan neuralgia brakial, lumbal, atau sakral ; penekanan pada vena
dapat mengakibatkan edema pada salah satu atau kedua ekstremitas dan efusi ke pleura atau peritonium ; dan
penekanan pada kandung empedu menyebabkan ikterik obstruktif. Akhirnya limpa menjadi teraba, dan hati
menjadi membesar. Pada beberapa pasien nodus pertama yang membesar adalah yang berada di ketiak atau
selangkangan. Terkadang, penyakit bermula di nodus mediastinum atau peritoneal dan tetap terbatas di sana.
Pada pasien lain, pembesaran limpa satu-satunya lesi.

Kemudian terjadi anemia progresif. Jumlah leukosit biasanya tinggi, dengan jumlah polimorfonuklear (PMN)
yang meningkat secara abnormal dan peningkatan jumlah eosinofil. Sekitar separuh pasien mengalami demam
ringan, dengan suhu yang jarang melebihi 38,3 oC. Namun pasien yang mengalami keterlibatan mediastinal dan
abdominal dapat mengalami demam tinggi intermiten. Suhunya dapat naik 40,0 0C selama periode waktu 3-14
hari, kemudian kembali normal dalam beberapa minggu.
Apabila penyakit tidak ditangani, perjalanannya akan berlanjut : pasien akan kehilangan berat badan dan
menjadi kakeksia (kelemahan secara fisik), terjadi infeksi, anemia, timbul edema anasarka (edema umum yang
berat), tekanan darah turun, dan kematian pasti terjadi dalam 1-3 tahun tanpa penanganan.

7. Pemeriksaan fisik

 Inspeksi :

- Terdapat pembengkakan kelenjar di leher, ketiak, atau pangkal paha

- Terlihat bahu merosot

- Terdapat sianosis

- Wajah tampak pucat

- Klien tampak lemah

- Terdapat pembengkakan atau cekungan yang spesifik di bagian ulu hati (splenomegali)

 Palpasi :

- Edema teraba kenyal seperti karet

- Kekuatan otot menurun

- Badan teraba hangat

- CRT > 3 detik

8. Pemeriksaan diagnostik

Beberapa prosedur digunakan untuk menentukan stadium dan menilai penyakit Hodgkin:

1. Pemeriksaan rontgen dada membantu menemukan adanya pembesaran kelenjar di dekat jantung.

2. Limfangiogram bisa menggambarkan kelenjar getah bening yang jauh di dalam perut dan panggul.

3. CT scan lebih akurat dalam menemukan pembesaran kelenjar getah bening atau penyebaran limfoma ke
hati dan organ lainnya.

4. Skening gallium bisa digunakan untuk menentukan stadium dan menilai efek dari pengobatan.

5. Laparatomi (pembedahan untuk memeriksa perut) kadang diperlukan untuk melihat penyebaran limfoma
ke perut.

Pemeriksaan darah dapat bervariasi dari secara lengkap normal sampai abnormal. Pada tahap I sedikit klien
mengalami abnormalitas hasil pemeriksaan darah.

 SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.


 Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap
(gejala lanjut).

 SDM dan Hb/Ht : menurun.

 Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik
(hiperplenisme).

 LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau penyakit malignansi. Berguna untuk
mengawasi klien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.

 Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat

 Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan oleh limfoma dan oleh
hipersplenisme)

 Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil negatif biasanya terjadi pada
penyakit lanjut.

 Besi serum dan TIBC : menurun.

 Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.

 Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.

 Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein dan keterlibatan hati dan
ginjal.

 BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan
sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ.

 Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.

 Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural

 Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan
area yang terkena dan membantu dalam pentahapan.

 Tomografi paru secara keseluruhan atau scan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi.
Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum.

 CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan
pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik.

 Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.

 Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.

 Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya
diatas diagfragma.

 Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada
tahap luas.

 Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Steinberg.
 Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.

 Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua
lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan
resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami manifestasi klinis penyakit
tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.

9. Therapy/tindakan penanganan

Tujuan terapi adalah menghancurkan sel kanker sebanyak mungkin dan mencapai remisi. Dengan penanganan
yang optimal, sekitar 95% klien limfoma Hodgkin stadium I atau II dapat bertahan hidup hingga 5 tahun atau
lebih. Jika penyakit ini sudah meluas, maka angka ketahanan hidup 5 tahun sebesar 60-70%. Pilihan terapinya
adalah :

 Radiasi. Terapi radiasi diberikan jika penyakit ini hanya melibatkan area tubuh tertentu saja. Terapi radiasi
dapat diberikan sebagai terapi tunggal, namun umumnya diberikan bersamaan dengan kemoterapi. Jika
setelah radiasi penyakit kembali kambuh, maka diperlukan kemoterapi. Beberapa jenis terapi radiasi dapat
meningkatkan risiko terjadinya kanker yang lain, seperti kanker payudara atau kanker paru, terutama jika klien
berusia < 30 tahun. Umumnya klien anak diterpai dengan kemoterapi kombinasi, tapi mungkin juga diperlukan
terapi radiasi dosis rendah.

 Kemoterapi. Jika penyakit ini sudah meluas dan sudah melibatkan kelenjar getah bening yang lebih
banyak atau organ lainnya, maka kemoterapi menjadi pilihan utama. Regimen kemoterapi yang umum
diberikan adalah ABVD, BEACOPP, COPP, Stanford V, dan MOPP. Regimen MOPP (terdiri dari
mechlorethamine, Oncovin, procarazine, dan prednisone) merupakan regimen standar, namun bersifat sangat
toksik, sedangkan regimen ABVD (terdiri dari doxorubicin/Adriamycin, bleomycin, vinblastine, dan
dacarbazine) merupakan regimen yang lebih baru dengan efek samping yang lebih sedikit dan merupakan
regimen pilihan saat ini. Kemoterapi diberikan dalam beberapa siklus, umumnya sela beberapa minggu.
Lamanya kemoterapi diberikan sekitar 6-10 bulan.

 Transplantasi sumsum tulang. Jika penyakit kembali kambuh setelah remisi dicapai dengan kemoterapi
inisial, maka kemoterapi dosis tinggi dan transplantasi sumsum tulang atau sel induk perifer autologus (dari
diri sendiri) dapat membantu memperpanjang masa remisi penyakit. Karena kemoterapi dosis tinggi akan
merusak sumsum tulang, maka sebelumnya dikumpulkan dulu sel induk darah perifer atau sumsum tulang.

Kombinasi sediaan kemoterapi untuk Penyakit Hodgkin

1. MOPP (Mekloretamin (nitrogen mustard), Vinkristin (onkovin), Prokarbazin, Prednison)

Merupakan sediaan pertama, ditemukan pada tahun 1969, namun obat ini terkadang masih digunakan.

2. ABVD (Doksorubisin (adriamisin), Bleomisin, Vinblastin, Dakarbazin)

Obat ini dikembangkan untuk mengurangi efek samping dari MOPP (misalnya kemandulan menetap &
leukemia), namun obat ini menyebabkan efek samping berupa keracunan jantung & paru-paru. Angka
kesembuhannya menyerupai MOPP. ABVD lebih sering digunakan dibandingkan MOPP.

3. ChiVPP (Klorambusil, Vinblastin, Prokarbazin, Prednison)


Pemakaian obat ini menyebabkan kerontokan rambut yg terjadi lebih sedikit dibandingkan pada pemakaian
MOPP & ABVD

4. MOPP/ABVD

Kedua obat ini digunakan secara bergantian dan dikembangkan untuk memperbaiki angka kesembuhan
menyeluruh, tetapi hal tersebut belum terbukti. Angka harapan hidup bebas kekambuhan lebih baik
dibandingkan sediaan obat lainnya.

5. MOPP/ABVhibrid (MOPP bergantian dengan Doksorubisin (adriamisin), Bleomisin, Vinblastin)

10. Komplikasi

Kemungkinan komplikasi yang terjadi adalah :

• Ketidakmampuan untuk memiliki keturunan (infertilitas)

• Gagal fungsi hati

• Gangguan pada paru-paru

• Penyakit-penyakit kanker

• Efek samping dari radiasi (seperti nausea, disfagia, esofagitis, dan hipotiroid) dan kemoterapi (seperti
penurunan jumlah sel darah, dapat menyebabkan meningkatnya risiko pendarahan, infeksi, dan anemia).

11. Prognosis

Dengan penanganan yang optimal, sekitar 95% klien limfoma Hodgkin stadium I atau II
dapat bertahan hidup hingga 5 tahun atau lebih. Jika penyakit ini sudah meluas, maka angka
ketahanan hidup 5 tahun sebesar 60-70%.

Penderita yang tidak menunjukkan perbaikan setelah terapi penyinaran atau kemoterapi atau yang membaik
tapi kemudian kambuh kembali dalam 6-9 bulan, memiliki harapan hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan
penderita yang mengalami kekambuhan dalam 1 tahun atau lebih setelah terapi awal. Kemoterapi lebih lanjut
yang dikombinasikan dengan terapi penyinaran dosis tinggi dan pencangkokan sumsum tulang atau sel stem
darah, bisa menolong penderita tersebut.
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN

a) Anamnesa :

Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan laboratorium untuk memperoleh


informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat rencana
asuhan keperawatan klien.

Dari wawancara akan diperoleh informasi tentang biodata, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat kesehatan/penyakit masa lalu, riwayat kesehatan keluarga, pola aktifitas
sehari-hari, dan riwayat psikososial.

Kebutuhan Dasar

1. Aktivitas/istirahat.

Gejala :

• Kelelahan, kelemahan atau malaise umum

• Kehilangan produktifitas dan penurunan toleransi latihan

• Kebutuhan tidur dan istirahat lebih banyak

Tanda :

• Penurunan kekuatan

• Bahu merosot

• Jalan lamban dan tanda lain yang menunjukkan kelelahan

2. Sirkulasi

Gejala :

• Palpitasi

• Angina/nyeri dada
Tanda :

• Takikardia, disritmia.

• Sianosis wajah dan leher (obstruksi drainase vena karena pembesaran nodus limfa adalah kejadian yang
jarang)

• Ikterus sklera dan ikterik umum sehubungan dengan kerusakan hati dan obtruksi duktus empedu dan
pembesaran nodus limfa (mungkin tanda lanjut)

• Pucat (anemia), diaforesis, keringat malam.

3. Integritas Ego

Gejala :

• Faktor stress, misalnya sekolah, pekerjaan, keluarga

• Takut/ansietas sehubungan dengan diagnosis dan kemungkinan takut mati

• Takut sehubungan dengan tes diagnostik dan modalitas pengobatan (kemoterapi dan terapi radiasi)

• Masalah finansial : biaya rumah sakit, pengobatan mahal, takut kehilangan pekerjaan sehubungan dengan
kehilangan waktu kerja.

• Status hubungan : takut dan ansietas sehubungan menjadi orang yang tergantung pada keluarga.

Tanda :

• Berbagai perilaku, misalnya marah, menarik diri, pasif

4. Eliminasi

Gejala :

• Perubahan karakteristik urine dan atau feses.

• Riwayat Obstruksi usus, contoh intususepsi, atau sindrom malabsorbsi (infiltrasi dari nodus limfa
retroperitoneal)

Tanda :

• Nyeri tekan pada kuadran kanan atas dan pembesaran pada palpasi (hepatomegali)

• Nyeri tekan pada kudran kiri atas dan pembesaran pada palpasi (splenomegali)

• Penurunan haluaran urine gelap/pekat, anuria (obstruksi uretal/ gagal ginjal).

• Disfungsi usus dan kandung kemih (kompresi batang spinal terjadi lebih lanjut)

5. Makanan/Cairan

Gejala :

• Anoreksia/kehilangan nafsu makan

• Disfagia (tekanan pada esofagus)


• Adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari berat badan
dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.

Tanda :

• Pembengkakan pada wajah, leher, rahang atau tangan kanan (sekunder terhadap kompresi vena kava
superior oleh pembesaran nodus limfa)

• Asites (obstruksi vena kava inferior sehubungan dengan pembesaran nodus limfa intraabdominal)

6. Neurosensori

Gejala :

• Nyeri saraf (neuralgia) menunjukkan kompresi akar saraf oleh pembesaran nodus limfa pada brakial,
lumbar, dan pada pleksus sakral

• Kelemahan otot, parestesia.

Tanda :

• Status mental : letargi, menarik diri, kurang minat umum terhadap sekitar.

• Paraplegia (kompresi batang spinal dari tubuh vetrebal, keterlibatan diskus pada kompresiegenerasi, atau
kompresi suplai darah terhadap batang spinal)

7. Nyeri/Kenyamanan

Gejala

• Nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar mediastinum, nyeri dada, nyeri
punggung (kompresi vertebral), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang limfomatus).

• Nyeri segera pada area yang terkena setelah minum alkohol.

Tanda

• Fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.

8. Pernapasan

Gejala

• Dispnea pada kerja atau istirahat

Tanda

• Dispnea, takikardia

• Batuk kering non-produktif

• Tanda distres pernapasan, contoh peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman penggunaan otot
bantu, stridor, sianosis.

• Parau/paralisis laringeal (tekanan dari pembesaran nodus pada saraf laringeal).

9. Keamanan
Gejala :

• Riwayat sering/adanya infeksi (abnormalitas imunitas seluler pencetus untuk infeksi virus herpes sistemik,
TB, toksoplasmosis atau infeksi bakterial)

• Riwayat monokleus (risiko tinggi penyakit Hodgkin pada klien yang titer tinggi virus Epstein-Barr).

• Riwayat ulkus/perforasi perdarahan gaster.

• Pola sabit adalah peningkatan suhu malam hari terakhir sampai beberapa minggu (demam pel Ebstein)
diikuti oleh periode demam, keringat malam tanpa menggigil.

• Kemerahan/pruritus umum

Tanda :

• Demam menetap tak dapat dijelaskan dan lebih tinggi dari 380C tanpa gejala infeksi.

• Nodus limfe simetris, tak nyeri, membengkak/membesar (nodus servikal paling umum terkena, lebih pada
sisi kiri daripada kanan, kemudian nodus aksila dan mediastinal)

• Nodus dapat terasa kenyal dan keras, diskret dan dapat digerakkan.

• Pembesaran tosil

• Pruritus umum.

• Sebagian area kehilangan pigmentasi melanin (vitiligo)

10. Seksualitas

Gejala

• Masalah tentang fertilitas / kehamilan (sementara penyakit tidak mempengaruhi, tetapi pengobatan
mempengaruhi)

• Penurunan libido.

b) TTV :

- Tekanan darah meningkat

- Respiratory rate meningkat

- Nadi meningkat

- Suhu meningkat > 38,50C

c) Pemeriksaan fisik :

 Inspeksi :

- Terdapat pembengkakan kelenjar di leher, ketiak, atau pangkal paha


- Terlihat bahu merosot

- Terdapat sianosis

- Wajah tampak pucat

- Klien tampak lemah

- Terdapat pembengkakan atau cekungan yang spesifik di bagian ulu hati (splenomegali)

 Palpasi :

- Edema teraba kenyal seperti karet

- Kekuatan otot menurun

- Badan teraba hangat

- CRT > 3 detik

d) Pemeriksaan diagnostik :

Pemeriksaan darah dapat bervariasi dari secara lengkap normal sampai abnormal. Pada tahap I sedikit klien
mengalami abnormalitas hasil pemeriksaan darah.

 SDP : bervariasi, dapat normal, menurun atau meningkat secara nyata.

 Deferensial SDP : Neutrofilia, monosit, basofilia, dan eosinofilia mungkin ditemukan. Limfopenia lengkap
(gejala lanjut).

 SDM dan Hb/Ht : menurun.

 Pemeriksaan SDM : dapat menunjukkan normositik ringan sampai sedang, anemia normokromik
(hiperplenisme).

 LED : meningkat selama tahap aktif dan menunjukkan inflamasi atau penyakit malignansi. Berguna untuk
mengawasi klien pada perbaikan dan untuk mendeteksi bukti dini pada berulangnya penyakit.

 Kerapuhan eritrosit osmotik : meningkat

 Trombosit : menurun (mungkin menurun berat, sumsum tulang digantikan oleh limfoma dan oleh
hipersplenisme)

 Test Coomb : reaksi positif (anemia hemolitik) dapat terjadi namun, hasil negatif biasanya terjadi pada
penyakit lanjut.

 Besi serum dan TIBC : menurun.

 Alkalin fosfatase serum : meningkat terlihat pasda eksaserbasi.

 Kalsium serum : mungkin menigkat bila tulang terkena.

 Asam urat serum : meningkat sehubungan dengan destruksi nukleoprotein dan keterlibatan hati dan
ginjal.
 BUN : mungkin meningkat bila ginjal terlibat. Kreatinin serum, bilirubin, ASL (SGOT), klirens kreatinin dan
sebagainya mungkin dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan organ.

 Hipergamaglobulinemia umum : hipogama globulinemia dapat terjadi pada penyakit lanjut.

 Foto dada : dapat menunjukkan adenopati mediastinal atau hilus, infiltrat, nodulus atau efusi pleural

 Foto torak, vertebra lumbar, ekstremitas proksimal, pelvis, atau area tulang nyeri tekan : menentukan
area yang terkena dan membantu dalam pentahapan.

 Tomografi paru secara keseluruhan atau skan CT dada : dilakukan bila adenopati hilus terjadi.
Menyatakan kemungkinan keterlibatan nodus limfa mediatinum.

 CT scan abdominal : mungkin dilakukan untuk mengesampingkan penyakit nodus pada abdomen dan
pelvis dan pada organ yang tak terlihat pada pemeriksaan fisik.

 Ultrasound abdominal : mengevaluasi luasnya keterlibatan nodus limfa retroperitoneal.

 Scan tulang : dilakukan untuk mendeteksi keterlibatan tulang.

 Skintigrafi Galliium-67 : berguna untuk membuktikan deteksi berulangnya penyakit nodul, khususnya
diatas diagfragma.

 Biopsi sumsum tulang : menentukan keterlibatan sumsum tulang. Invasi sumsum tulang terlihat pada
tahap luas.

 Biopsi nodus limfa : membuat diagnosa penyakit Hodgkin berdasarkan pada adanya sel Reed-Sternberg.

 Mediastinoskopi : mungkin dilakukan untuk membuktikan keterlibatan nodus mediastinal.

 Laparatomi pentahapan : mungkin dilakukan untuk mengambil spesimen nodus retroperitoneal, kedua
lobus hati dan atau pengangkatan limfa (Splenektomi adalah kontroversial karena ini dapat meningkatkan
resiko infeksi dan kadang-kadang tidak biasa dilakukan kecuali klien mengalami manifestasi klinis penyakit
tahap IV. Laporoskopi kadang-kadang dilakukan sebagai pendekatan pilihan untuk mengambil spesimen.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNGKIN MUNCUL

1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan oksigen dalam udara inspirasi sekunder
terhadap obstruksi jalan nafas ditandai dengan batuk kering non-produktif, tanda distres pernapasan,
peningkatan frekuensi pernapasan dan kedalaman, dispnea.

2. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen/nutrient ke sel ditandai dengan adanya sianosis, klien tampak pucat, klien tampak lemah,
CRT > dari 3 detik.

3. Hipertermi berhubungan dengan peradangan ( inflamasi ) sistemik sekunder terhadap penurunan sistem
kekebalan tubuh (sistem imun) ditandai dengan takikardi, kulit teraba hangat, suhu tubuh lebih dari 38,5 0C ,
anoreksia / kehilangan nafsu makan, peningkatan frekuensi pernapasan.

4. Nyeri akut berhubungan dengan efek penekanan saraf nyeri terhadap kanker getah bening (limfoma
Hodgkin) ditandai dengan terkadang wajah tampak menahan nyeri, diaphoresis, peningkatan frekuensi nafas,
perilaku distraksi (merintih), nyeri tekan/nyeri pada nodus limfa yang terkena misalnya, pada sekitar
mediastinum, nyeri dada, nyeri punggung (kompresi vertebral), nyeri tulang umum (keterlibatan tulang
limfomatus), fokus pada diri sendiri, perilaku berhati-hati.

5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan pembengkakan pada
wajah, leher, rahang atau tangan kanan ditandai dengan anoreksia/kehilangan nafsu makan, disfagia (tekanan
pada esofagus), adanya penurunan berat badan yang tak dapat dijelaskan sama dengan 10% atau lebih dari
berat badan dalam 6 bulan sebelumnya dengan tanpa upaya diet.

6. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan sekunder terhadap keringat malam dan
peningkatan suhu tubuh ditandai dengan kelelahan, kelemahan atau malaise umum, kehilangan produktifitas
dan penurunan toleransi latihan, penurunan kekuatan, bahu merosot, jalan lamban dan tanda lain yang
menunjukkan kelelahan.

7. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan ketidakseimbangan neuromuskular ditandai dengan


keterbatasan kekmampuan melakukan keterampilan motorik kasar dan motorik halus, keterbatasan ROM.

8. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan suplai oksigen ke jaringan ditandai dengan
peningkatan frekuensi nafas, disritmia, kelemahan, kelelahan, pucat (sianosis).

9. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan paralisis pita suara sekunder terhadap tekanan dari
pembesaran nodus pada saraf laringeal ditandai dengan suara serak (parau).

Diposkan oleh Adi Rantawan di 03.27

http://rantawanadi.blogspot.com/2012/10/limfoma-hodgkin_3681.html

Anda mungkin juga menyukai