Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH VIDEO

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME

Pancasila Kelas C
Disusun Oleh :
5170911131 Fahreza Jubryan

UNIVERSITAS TEKNOLOGI YOGYAKARTA


TAHUN PELAJARAN 2019/2020
Jl. Glagahsari No. 63 Yogyakarta email : fst@uty.ac.id , D.I. Yogyakarta 55164
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
penyertaan-Nyalah makalah dengan judul “KORUPSI, KOLUSI DAN
NEPOTISME” ini dapat diselsaikan.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
UAS pada mata kuliah Pancasila. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME” bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ ii
BAB 1 ....................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ....................................................................................................................... 1
LATAR BELAKANG ................................................................................................................ 1
RUMUSAN MASALAH .......................................................................................................... 1
BAB 2 ....................................................................................................................................... 2
PEMBAHASAN ......................................................................................................................... 2
PENGERTIAN........................................................................................................................ 2
BENTUK – BENTUK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME ..................................................... 3
CONTOH KASUS ................................................................................................................... 8
DAMPAK ............................................................................................................................ 11
KESIMPULAN ......................................................................................................................... 14
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 14

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Salah satu isi yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa
dan pemerintah Indonesia semakin sulit untuk diatasi. Hal ini
disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin
sulit untuk diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi
disemua bidang dan sector pembangunan. Apalagi setelah
ditetapkannya pelaksanaan otonomi daerah, berdasarkan Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004, disinyalir
korupsi terjadi bukan hanya pada tingkat pusat tetapi juga pada tingkat
daerah dan bahkan menembus ketingkat pemerintahan yang paling
kecil di daerah.
Pemerintah Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam
mengatasi praktek-praktek korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan
melalui berbagai kebijakan berupa peraturan perundang-undangan dari
yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sampai dengan
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang
berhubungan langsung dengan pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme?
2. Bentuk-bentuk KKN.
3. Contoh kasus di Indonesia
4. Bagaimana dampak KKN di Indonesia dan kesimpulan.

1
BAB 2

PEMBAHASAN

PENGERTIAN
1. Korupsi
Korupsi adalah perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang,
penerimaan uang sogok dan lain sebagainya untuk memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi, yang mengakibatkan kerugian
keuangan pada negara. Korupsi merupakan suatu tindakan yang sangat
tidak terpuji yang dapat merugikan suatu bangsa dan negara. Korupsi di
Indonesia bukanlah hal yang baru, Indonesia merupakan salah satu
negara dengan jumlah kasus korupsi yang terbilang cukup banyak. Akan
tetapi banyak juga kasus korupsi yang dilakukan oleh para pejabat atau
pemegang kekuasaan yang telah dibungkar oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK).
Beberapa unsur-unsur tindak pidana korupsi antara lain :perbuatan
melawan hukum,penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau
sarana, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Jenis tindak
pidana korupsi di antaranya, adalah memberi atau menerima hadiah atau
janji (penyuapan), penggelapan dalam jabatan, pemerasan dalam
jabatan, ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara), dan menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara
negara).

2. Kolusi.
Kolusi adalah tindakan persekongkolan, persekutuan, atau
permufakatan untuk urusan yang tidak baik. Pengertian ini muncul

2
mengingat kolusi berasal dari bahasa Latin collusio yang artinya
persekongkolan untuk melakukan perbuatan tidak baik. Biasanya
diwarnai dengan korupsi yaitu penyalahgunaan wewenang yang
dimiliki oleh salah satu pihak atau pejabat negara. Kolusi paling sering
terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan
beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan
mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus
dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.

3. Nepotisme
Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab
berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata
ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh,
kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang
saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan
saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-
pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap
nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari
pemilihan saudara.

BENTUK – BENTUK KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME


1. Korupsi
Suap merupakan suatu hadiah, penghargaan, pemberian,
atau keistimewaan yang dijanjikan dengan tujuan merusak
pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seorang yang
dianggap pejabat publik.[1] Pemberian uang pelicin merupakan
salah satu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai suap. Sama
seperti hadiah, uang pelicin ini dapat berbentuk barang, jasa,

3
potongan harga, dan sebagainya. Tindakan suap ini termasuk jenis
tindak pidana korupsi sesuai dengan Pasal 5 ayat (I) huruf a UU
No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.[2]Sebagai
contoh, seseorang yang menjadi pedagang ponsel impor. Ketika
barang dari luar negeri telah dikirim dan sampai ke pelabuhan,
ternyata terdapat beberapa dokumen yang tidak dapat ia lengkapi.
Kemudian, ia menghadap kepada petugas atau pegawai Bea Cukai
yang berwenang dan menawarkan beberapa buah ponsel dengan
balasan dokumen yang belum lengkap dianggap sudah memenuhi
syarat. Pelaku tindakan suap menyuap ini akan diganjar penjara
maksimal 5 (lima) tahun dan atau denda maksimal
Rp250.000.000.

Penggelapan merupakan suatu tindakan tidak jujur dengan


menyembunyikan barang atau harta orang lain oleh satu orang
atau lebih tanpa sepengetahuan pemilik barang dengan tujuan
untuk mengalih-milik, menguasai, atau digunakan untuk tujuan
lain. Penggelapan juga dapat berupa penipuan dalam hal
keuangan. Misalnya, seorang pegawai pemerintah diberikan dana
agar digunakan untuk perawatan mobil dinas sebesar
Rp2.000.000 (dua juta rupiah). Dana tersebut melebihi nilai
kebutuhan perawatan, sehingga terdapat sisa dari dana tersebut.
Sesuai dengan aturan, maka seharusnya dana tersebut
dikembalikan kepada negara melalui kantor pemerintahan.
Namun, jika dana tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi,
makapegawai tersebut sudah melakukan penggelapan dana.
Melihat pasal 8 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun
2001, tindak penggelapan ini dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun
serta pidana denda paling sedikit Rp150.000.000 (seratus lima

4
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000 (tujuh
ratus lima puluh ribu rupiah).
Pemerasan berasal dari kata “chantage” dalam
bahasa Perancis, atau “extortion” dalam bahasa Inggris,
yang berarti pemerasan dengan memfitnah. Pemerasan
dapat dikatakan bentuk korupsi yang paling mendasar,
karena pelaku memiliki kekuasaan dan menggunakannya
untuk memaksa orang lain untuk memberikan atau
melakukan sesuatu yang dapat menguntungkan dirinya.
Contoh yang sering kita temui adalah saat kita ingin
mengurus pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk).
Ketika kita datang menghadap kepada pegawai kelurahan,
seringkali kita jumpai pegawai tersebut meminta sejumlah
uang dengan alasan sebagai uang administrasi pembuatan
KTP. Saat kita tidak memberikan, maka pegawai pun tidak
akan membuatkan KTP tersebut hingga kita memenuhi
permintaannya. Menilik dari kasus pemerasan tersebut,
menurut Pasal 12 huruf e UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20
Tahun 2001, pelaku akan dikenai sanksi pidana paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan
denda paling sedikit Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).
Perbuatan curang merupakan ketidakjujuran dan
ketidakadilan terhadap suatu hal. Dalam konteks bentuk korupsi
ini, perbuatan curang dapat diartikan sebagai tindakan tidak jujur
seseorang terhadap apa yang seharusnya dilakukan. Contohnya,
pada proyek pembangunan gedung perkantoran pemerintahan.
Dalam akta perjanjian, tertulis bahwa gedung tersebut akan
menggunakan pondasi cakar ayam yang paling baik untuk

5
konstruksi gedung 4 lantai. Namun, pada praktiknya justru
menggunakan pondasi yang biasa digunakan untuk gedung 2
lantai. Jika hal ini terjadi, maka kontraktor telah melakukan
perbuatan curang yang akan dikenai sanksi pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dengan
denda paling sedikit Rp100.000.000 (seratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp350.000.000 (tiga ratus lima puluh juta rupiah)
sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun
1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.
Pengadaan merupaka proses, cara, atau tindakan untuk
menyediakan dan mengadakan. Pada konteks ini, pengadaan yang
dimaksud adalah pengadaan barang dan jasa yang dibutuhkan
untuk operasional sebuah instansi. Dan proses pengadaan ini
dapat juga melibatkan pihak ketiga sebagai pemasok, melalui
mekanisme tender. Tender merupakan tawaran untuk
mengjaukan harga, memborong pekerjaan, ataupun menyediakan
barang.[8]Hakikatnya, pada proses tender ini dilakukan seleksi
terhadap vendor, dimana vendor tersebut harus memenuhi
kriteria yang telah ditentukan atau sesuai peraturan yang berlaku.
Sebagai contoh, tender pembuatan kertas suara untuk Pilgub
(Pemilihan Gubernur) oleh KPU Daerah. Ketika proses tender
digelar, secara diam-diam, perusahan percetakan milik salah satu
anggota KPU Daerah mengikuti proses tender. Dan karena
memiliki “orang dalam”, akhirnya pemenang tender pun jatuh ke
tangan anggota KPU Daerah tersebut.Sesuai dengan contoh kasus
di atas, maka anggota KPU Daerah tersebut sudah melakukan
tindak pidana korupsi, yang akan dikenai sanksi pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dengan denda paling seikit Rp200.000.000 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah),

6
sesuai dengan isi pasal 12 huruf i UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU
No. 20 Tahun 2001.
Gratifikasi merupakan sebuah hadiah, imbalan, atau
balasan atas jasa atau manfaat yang diberikan secara sukarela,
tanpa ajakan atau janji. Pada dasarnya, gratifikasi ini tidak
mengandung unsur korupsi, selama tindakan ini tidak
menimbulkan kecurangan. Maka dari itu, gratifikasi, dalam
konteks bentuk korupsi, harus dilihat pada perspektif
kepentingan gratifikasi. Sebagai contoh, pada saat menjelang Hari
Raya Natal, seorang pegawai instansi menerima paket yang
diantarkan langsung ke rumah oleh kurir. Paket tersebut berasal
dari orang atau nasabah yang pernah bekerjasama sebelumnya
sebagai ucapan terimakasih. Pada tahap ini, gratifikasi yang terjadi
akan tergolong gratifikasi yang positif jika pegawai penerima
paket ini melaporkan paket tersebut kepada KPK (Komisi
Pemberantasan Korupsi) paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal gratifikasi diterima. Namun, gratifikasi
tersebut akan tergolong sebagai gratifikasi yang negatif (suap),
jika penerima paket tak kunjung melaporkan paket tersebut
kepada KPK. Setelah ditetapkan bahwa gratifikasi tersebut adalah
gratifikasi negatif, maka penerima gratifikasi tersebut akan
dikenai sanksi pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan denda paling sedikit
Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) sesuai dengan Pasal 12 B UU
No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001.

2. Kolusi

Pemberian uang pelicin dari perusahaan tertentu kepada oknum


pejabat atau pegawai pemerintahan agar perusahaan dapat
memenangkan tender pengadaan barang dan jasa tertentu.

7
Biasanya, imbalannya adalah perusahaan tersebut kembali
ditunjuk untuk proyek berikutnya.

Penggunaan broker (perantara) dalam pengadaan barang dan


jasa tertentu. Padahal, seharusnya dapat dilaksanakan melalui
mekanisme G 2 G (pemerintah ke pemerintah) atau G 2
P (pemerintah ke produsen), atau dengan kata lain secara
langsung. Broker di sini biasanya adalah orang yang memiliki
jabatan atau kerabatnya.

Jadi secara garis besar, Kolusi adalah pemufakatan secara


bersama untuk melawan hukum antar penyelenggara Negara atau
antara penyelenggara dengan pihak lain yang merugikan orang
lain, masyarakat dan Negara.

3. Nepotisme

Pelaksanaan suatu jabatan atau posisi biasanya dilakukan


secara otoriter.

Penempatan atau pemberian posisi tertentu tidak berdasarkan


kemampuan atau keahlian, tetapi karena ada hubungan keluarga
atau kedekatan.

Kurang atau tidak ada kejujuran seseorang dalam menjalankan


amanat yang diberikan kepadanya. Misalnya menutup kesempatan
bagi seseorang yang memiliki hak dan kemampuan.

Adanya kesenjangan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan


pekerjaan maupun pemberian fasilitas. Misalnya, orang-orang
tertentu memiliki gaji lebih tinggi meskipun pekerjaannya lebih
mudah dan sedikit.

CONTOH KASUS
1. Kotawaringin Timur

8
KPK resmi menetapkan Bupati Kotawaringin Timur Supian
Hadi sebagai tersangka atas kasus korupsi penerbitan Izin
Usaha Pertambanga (IUP) di daerah itu. Dalam kasus ini,
negara tercatat mengalami kerugian hingga Rp 5,8 triliun dan
711 ribu dolar AS.
Supian yang juga kader PDIP ini diduga menguntungkan diri
sendiri dan korporasi dalam pemberian IUP kepada tiga
perusahaan yakni PT. Fajar Mentaya Abadi (PT. FMA), PT.
Billy Indonesia (PT. BI) dan PT. Aries Iron Maining (PT. AIM)
pada periode 2010-2015.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho
menyebut kasus korupsi Bupati Kotawaringin Timur menjadi
salah satu kasus orupsi terbesar yang ditangani oleh KPK.
"Jadi ini satu kerugian negara paling besar yang kami tahu
yang ditangani KPK," kata Emerson.

2. Kasus BLBI
Kasus korupsi Bantuan Likuiditas Nak Indonesia (BLBI)
yang telah bergulir sejak lebih dari satu dasawarsa ini juga
menjadi salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah ada
di Tanah Air. Hingga kini, kasus yang membelit sejumlah
petinggi negara dan perusahaan besar ini masih juga belum
menemui titik terang.
BLBI adalah program pinjaman dari Bank Indonesia kepada
sejumlah bank yang mengalami masalah pembayaran
kewajiban saat menghadapi krisis moneter 1998. Bank yang
telah mengembalikan bantuan mendapatkan Surat Keterangan
Lunas (SKL), namun belakangan diketahui SKL itu diberikan
sebelum bank tertentu melunasi bantuan.

Menurut keterangan KPK, kerugian negara akibat kasus


megakorupsi ini mencapai Rp 3,7 triliun. Penyelesaian kasus
besar yang ditargetkan rampung 2018 ini pun kembali molor
hingga 2019.

3. Kasus E-KTP

9
Kasus pengadaan E-KTP menjadi salah satu kasus korupsi
yang paling fenomenal. Kasus yang menyeret Mantan Ketua
Umum Partai Golkar Setya Novanto ini telah bergulir sejak
2011 dengan total kerugian negara mencapai Rp 2,3 triliun.

Setidaknya ada sekitar 280 saksi yang telah diperiksa KPK


atas kasus ini dan hingga kini ada 8 orang yang telah
ditetapkan sebagai tersangka.

Mereka adalah pengusaha Made Oka Masagung, Keponakan


Setya Novanto yakni Irvanto Hendra Pambudi, Mantan Direktur
Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Dirjen
Dukcapil Kemendagri Sugiharto, Mantan Dirjen Kependudukan
dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman, pengusaha Andi
Narogong, Mantan Ketua Umum Golkar Setya Novanto,
Anggota DPR Markus Nari, dan Direktur PT Quadra Solution
Anang Sugiana Sudiharjo.

4. Proyek Hambalang
Kasus proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan
Sarana Olahraga Nasional (P3SON) di Hambalang juga
tercatat menjadi salah satu kasus korupsi besar yang pernah
ada. Nilai kerugiannya mencapai Rp 706 miliar.

Pembangunan proyek Hambalang ini direncanakan dibangun


sejak masa Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Malarangeng
dengan menghabiskan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun. Proyek
yang ditargetkan rampung dalam waktu 3 tahun ini mangkrak
hingga akhirnya aliran dana korupsi terendus KPK.

Aliran dana proyek ini masuk ke kantong beberapa pejabat. Di


antaranya Mantan Menpora Andi Malarangeng, Sekretaris
Kemenpora Wafid Muharram, Ketua Umum Partai Demokrat
Anas Urbaningrum, Direktur Utama PT Dutasari Citra Laras
Mahfud Suroso, Anggota DPR Angelina Sondakh.

5. Soeharto
Mantan Presiden Kedua Soeharto disebut-sebut telah
melakukan tindak pidana korupsi terbesar dalam sejarah

10
dunia. Kekayaan negara yang diduga telah dicuri oleh
Soeharto berkisar antara 15 hingga 35 miliar dolar AS atau
sekitar Rp 490 triliun.

Lembaga internasional yang memerangi korupsi yakni


Transprency International merilis bahwa Soeharto menjadi
salah seorang tokoh paling korup di dunia. Diperkirakan masih
ada banyak sumber pemasukan keluarga Soeharto dari hasil
perusahaan swasta dan kebijakan yang ia buat untuk
memperkaya diri.

Peneliti ICW Emerson Yuntho meminta agar pemerintah dapat


segera mengusut tuntas kasus korupsi terbesar ini. Sebab
penyelesaian kasus ini merupakan mandate reformasi.

"Agenda reformasi sebagaimana yang dimuat dalam TAP MPR


Nomor XI Tahun 1998 yang bicara soal penyelenggaraan
negara bebas korupsi. Nah bagi kami, upaya penuntasan
kasus Soeharto ini salah satu bentuk menjalankan amanat
Reformasi yang belum tuntas," kata Emerson.

DAMPAK
1. Dampak korupsi terhadap ekonomi
Yang paling utama,pembangunan terhadap sektor-sektor publik
menjadi terganggu,dana dari pemerintah yang hampir semua di
gunakan untuk kepentingan rakyat seperti fasilitas umum tidak
semua di gunakan sebagian dana tersebut di gelapkan.
Dari segi investasi,dengan adanya kasus korupsi dalam pemerintah,
para investor tidak akan tertarik untuk berinvestasi di indonesia hal
ini akan menyebabkan tingginya tingkat pengangguran dan
kesejahteraan rendah

11
2. Dampak korupsi terhadap lingkungan
Praktek korupsi menyebabkan sumber daya alam di negeri ini
semakin tidak terkendali,eksploitasi secara besar-besaran tanpa
memperhitungkan daya dukung lingkungan menyebabkan
merosotnya kondisi lingkungan hidup yang sangat parah bahkan di
beberapa tempat sudah melebihi batas sehingga menyebabkan
terjadinya bencana ekologis yang berdampak pada lemahnya
kemampuan warga dalam memenuhi kebutuhan dasar. Eksploitasi
tambang,hutan tanpa prosedur dan proses yang benar banyak di
izinkan tanpa melakukan amdal dan persyaratan lain
sebelumnya,semua ini di mungkinkan karena ada uang sogok dan
suap bagi pemberi izin. Hasilnya juga tidak masuk ke kas negara
karena sudah di gunakan untuk membayar "jatah" oknum-oknum
pejabat.

3. Dampak korupsi terhadap pertahanan dan keamanan


a. Kekerasan di masyarakat semakin kuat
b. Lemahnya garis batas negara
c. Semakin melemahnya alusista dan SDM

4. Dampak korupsi terhadap politik


a. Menguatnya sistem politik yang di kuasai oleh pemilik
modal
b. Biaya politik semakin tinggi
c. Banyak pemimpin yang korup
d. Kepercayaan masyarakat kepada lembaga negara hilang
e. Hilangnya kepercayaan publik pada demokrasi
d. Kedaulatan rakyat hancur
5. Dampak korupsi terhadap hokum
a. Pelemahan terhadap institusi penegak hokum

12
b. Merusak moral penegak hokum
c. Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi
hokum
d. Semakin tersisihnya masyarakat kecil di mata hokum
e. Penegakan hukum tidak merata di masyarakat

13
KESIMPULAN
Sebuah strategi pemberatantasan memerlukan prinsip transparan dan
bebas konflik kepentingan. Transparnsi membuka akses public terhadap
system yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang. Warga
masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari
strategi pemberantasan korupsi. Saat ini optimalisasi penggunaan teknologi
informasi di sektor pemerintah dapat membantu untuk memfasilitasinya.
Strategi pemberantasannya juga harus bebas dari golongan maupun individu,
sehingga pada prosesnya tidak ada keberpihakan yang tidak seimbang.
Sehingga semua berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku dan objektif.

DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu/18581998/Makalah_Korupsi_Kolusi_dan_Nepotisme_
KKN_
https://bocahkampus.com/contoh-kata-pengantar
https://www.kompasiana.com/elleonoraellen/59f3a4e0ed4ed6713a6299c2/kkn-
korupsi-kolusi-nepotisme-merupakan-benalu-sosial
https://alifiarga.wordpress.com/2016/12/25/bentuk-bentuk-korupsi/
https://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi
https://seputarilmu.com/2019/05/nepotisme-adalah.html
https://www.suara.com/news/2019/02/11/163457/5-kasus-korupsi-terbesar-di-
indonesia-dengan-kerugian-negara-fantastis
https://www.kompasiana.com/dwiindahsari/581baf7be8afbd0b684b4b8b/dampa
kdampak-korupsi-di-indonesia?page=all

14

Anda mungkin juga menyukai