PENDAHULUAN
Semenjak berakhirnya perang dingin, ditandai runtuhnya salah satu Negara adikuasa yaitu
Uni Soviet, maka isu global beralih dari komunisme dan pertentangan antara blok barat dan blok
timur, ke masalah baru yaitu masalah Hak Asasi Manusia, masalah lingkungan, dan masalah
liberalism perdagangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat
internasional, tidak terlepas dari gelombang isu Hak Asasi Manusia yang melanda hamper semua
Sebenarnya masalah Hak Asasi Manusia bukanlah masalah baru bagi masyarakat dunia,
karena isu Hak Asasi Manusia sudah mulai dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta di
Inggris pada tahun 1215, sampai lahirnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi
Manusia, yaitu “Universal Declaration Of Human Right” pada tanggal 10 Desember 1948.
Patut pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum lahir Magna Charta di Inggris tahun
1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam tentang Hak Asasi
Manusia yang dikenal dengan “Piagam Madinnah” pada tahun 622, yang memberikan jaminan
perlindungan Hak Asasi Manusia bagi penduduk Madinnah yang terdiri atas berbagai suku dan
agama.
Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak
lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia
tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan
sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bias
dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah
suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.
Kita tentunya masih ingat dengan peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi Timor-
Timur pada tahun 1999. Dimana pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena rakyat Timor-
Timur memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran Uatulari, Timor
Timur, 17 Juli 1971 ini lebih dikenal dengan nama beken Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-
Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah
pembantaian di Timor Timur. Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada
pembantaian pasca referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.
B. Identifikasi Masalah
PEMBAHASAN
Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga
bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor
Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di
tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima
wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia
dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur
Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan
jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak
pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum
tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia
kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau
International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan
Indonesia.
Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir
Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di
Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara,
maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di
Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah
itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai
Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi
kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November,
Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya
wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan
dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk
mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.
Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi
terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah
Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada
tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah
pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan
tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena
penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga
pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.
Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di
Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do
Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada
tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier
di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa
Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan
hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan
Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN
lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal
yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang
keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara
Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-
November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari
200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN
Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara
Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan
bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini,
karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan
kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini
ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan
rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak
bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak
Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan
todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu
Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan,
lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu
cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan,
wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi
angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah
Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang
Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November
1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata,
Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan
dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau
fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja
disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian
pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.
Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan
pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para
Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan
parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi
Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe
sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib
sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada
saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang
yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik
Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan
Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk
Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video
menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah
diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru
kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First
Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania
permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor
Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan
pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka
terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa
Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah
mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai
pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia
mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth
Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden
Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan
pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata,
terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna
mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah
Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998,
Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada
Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya,
PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama
pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di
Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional,
khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha
Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia
internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur
dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada
dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah
teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak
pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan
sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh
Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali
Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan
internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh
Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan
internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur
merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan
Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor
Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah
Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait masa
lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan
beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI
sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi
Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya
Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia
akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini,
maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada
tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani
Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di
Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama
mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk
pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh
Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan
menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas
masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat
dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998
kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan
bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi
dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination)
bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan
sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah
dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah
dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.
Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan
pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,
Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor
Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu
Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,
panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal
posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung
pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi
Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh
Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak
memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong
milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.
nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia
masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan
presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan
territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik
kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.
Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan
Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat
itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada
kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah
yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur
lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti
yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara
cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan
internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian
yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan
internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin
angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau
International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur
tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan
Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang
terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum
dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada
peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran
dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta
dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan
B. Penerapan Hukum
Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro
Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak
setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari negara
Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok
Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa
sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang
berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan
Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika
salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM
Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang
mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi dan
menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga
puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut
melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel
Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa. Akibat
serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yaitu :
2. Alfonso Ribeiro ;
4. Rafael da Silva ;
7. Antonio Do Soares ;
Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan
Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang
Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu, Wakil Panglima
Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya melambung. Ia dielu-elukan sebagai
pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan Mabes Polri, karena dituduh melanggar pasal 160
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk melawan petugas.
Eurico ditangkap Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan polisi yang dibuat
Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang
bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik
kembali senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian. Ini yang menjadi dasar pemeriksaan
dan penahanan Guterres," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf seperti
dikutip Kompas.
Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang seperti Eurico Guterres, kalau memang dia
diketahui melanggar undang-undang harus ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di
atas. Sebelumnya, Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira de
Mello, juga pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres dan
komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan merupakan salah
Alasan penangkapan karena adanya bukti permulaan yang cukup, menyusul diterimanya
laporan polisi LP.603/IX/2000/Res Belu, 25 September 2000 serta SPDP dari Kapolres Belu
kepada Kejari Atambua 29 September 2000. Selain itu adanya keterangan saksi yang
menerangkan keterlibatan pemohon dalam peristiwa perampasan senjata api di Mapolres Belu.
Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan berdasarkan adanya
kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau menghilangkan barang bukti
penangkapan nomor Pol SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000 yang terlebih dahulu telah
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Pelanggaran Ham berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok Pasukan Pejuang
Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas Carascalao di Kota Dili. Dalam
kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 (dua belas) orang dan rumah Viegas
2) Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a
pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.
menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam
penguasaan kepolisian.
B. Saran
1) Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan suatu hak
apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh
2) Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat karena dia
sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung jawab atas apa
3) Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak
pidana baru.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rozali HM. Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia. 2004. Bogor :