Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semenjak berakhirnya perang dingin, ditandai runtuhnya salah satu Negara adikuasa yaitu

Uni Soviet, maka isu global beralih dari komunisme dan pertentangan antara blok barat dan blok

timur, ke masalah baru yaitu masalah Hak Asasi Manusia, masalah lingkungan, dan masalah

liberalism perdagangan. Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bagian dari masyarakat

internasional, tidak terlepas dari gelombang isu Hak Asasi Manusia yang melanda hamper semua

Negara di dunia ini.

Sebenarnya masalah Hak Asasi Manusia bukanlah masalah baru bagi masyarakat dunia,

karena isu Hak Asasi Manusia sudah mulai dilontarkan semenjak lahirnya Magna Charta di

Inggris pada tahun 1215, sampai lahirnya piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi

Manusia, yaitu “Universal Declaration Of Human Right” pada tanggal 10 Desember 1948.

Patut pula dikemukakan disini bahwa jauh sebelum lahir Magna Charta di Inggris tahun

1215, sebenarnya di dunia Islam telah terlebih dahulu ada suatu piagam tentang Hak Asasi

Manusia yang dikenal dengan “Piagam Madinnah” pada tahun 622, yang memberikan jaminan

perlindungan Hak Asasi Manusia bagi penduduk Madinnah yang terdiri atas berbagai suku dan

agama.

Berhubung Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak dasar yang dibawa manusia semenjak

lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu dipahami bahwa Hak Asasi Manusia

tersebut tidaklah bersumber dari Negara dan hukum, tetapi semata-mata bersumber dari Tuhan

sebagai pencipta alam semesta beserta isinya, sehingga Hak Asasi Manusia itu tidak bias
dikurangi (non derogable right). Oleh karena itu, yang diperlukan dari Negara dan hukum adalah

suatu pengakuan dan jaminan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia tersebut.

Kita tentunya masih ingat dengan peristiwa kerusuhan atau pembantaian di provinsi Timor-

Timur pada tahun 1999. Dimana pada waktu itu banyak korban berjatuhan karena rakyat Timor-

Timur memilih untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Eurico Barros Gomes Guterres, itulah nama lengkapnya. Pria kelahiran Uatulari, Timor

Timur, 17 Juli 1971 ini lebih dikenal dengan nama beken Eurico Guterres. Ia seorang milisi pro-

Indonesia atau anti-kemerdekaan Timor Timur. Namun, ia dituduh terlibat dalam sejumlah

pembantaian di Timor Timur. Selain itu, Guterres merupakan pemimpin milisi utama pada

pembantaian pasca referendum tahun 1999 dan penghancuran ibu kota Dili.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis akan memberikan beberapa permasalahan

dalam pembahasan makalah ini, yaitu :

1. Bagaimanakah kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur?

2. Bagaimana penerapan hukumnya?

3. Apakah alasan penangkapan terhadap tersangka Eurico Gutteres?


BAB II

PEMBAHASAN

A. Kronologis pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor-Timur

Peristiwa-peristiwa sekitar integrasi Timor Timur dengan Indonesia pada tahun 1976 juga

ikut memegang peranan dalam hubungan Australia-Indonesia. Sesudah Portugis meninggalkan

bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, Angkatan bersenjata Indonesia memasuki Timor

Timur pada bulan Desember 1975 dan kawasan ini menjadi satu dengan Republik Indonesia di

tahun 1976. Hal ini menyebabkan perdebatan di Australia. Di samping itu, kematian lima

wartawan Australia di Timor Timur di tahun 1975 telah menjadi perhatian masyarakat Australia
dan media. Namun pada akhirnya Australia mengakui kedaulatan Indonesia atas Timor Timur

secara de jure tahun 1979.

Namun dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan

jatuhnya Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Pada tanggal 30 Agustus 1999, melalui jajak

pendapat, rakyat Timor Timur memilih merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum

tersebut diikuti dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi. Australia

kemudian diminta oleh PBB untuk memimpin kekuatan internasional di Timor Timur atau

International Force in East Timor (disingkat INTERFET) dalam menjalankan tugasnya untuk

mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan tersebut. Pada tanggal 20 Oktober,

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan penyatuan Timor Timur dengan

Indonesia.

Integrasi Timor Timur 1976

Pada tahun 1975, ketika terjadi Revolusi Bunga di Portugal dan Gubernur terakhir

Portugal di Timor Leste, Lemos Pires, tidak mendapatkan jawaban dari Pemerintah Pusat di

Portugal untuk mengirimkan bala bantuan ke Timor Leste yang sedang terjadi perang saudara,

maka Lemos Pires memerintahkan untuk menarik tentara Portugis yang sedang bertahan di

Timor Leste untuk mengevakuasi ke Pulau Kambing atau dikenal dengan Pulau Atauro. Setelah

itu FRETILIN menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Timor Leste sebagai

Republik Demokratik Timor Leste pada tanggal 28 November 1975.

Menurut suatu laporan resmi dari PBB, selama berkuasa selama 3 bulan ketika terjadi

kevakuman pemerintahan di Timor Leste antara bulan September, Oktober dan November,
Fretilin melakukan pembantaian terhadap sekitar 60.000 penduduk sipil (sebagian besarnya

wanita dan anak2 karena para suami mereka adalah pendukung faksi integrasi dengan

Indonesia). Berdasarkan itulah, kelompok pro-integrasi kemudian mendeklarasikan integrasi

dengan Indonesia pada 30 November 1975 dan kemudian meminta dukungan Indonesia untuk

mengambil alih Timor Leste dari kekuasaan FRETILIN yang berhaluan Komunis.

Tiga Kuburan Masal sebagai bukti pembantaian FRETILIN terhadap pendukung integrasi

terdapat di Kabupaten Aileu (bagian tengah Timor Leste), masing-masing terletak di daerah

Saboria, Manutane dan Aisirimoun. Ketika pasukan Indonesia mendarat di Timor Leste pada

tanggal 7 Desember 1975, FRETILIN memaksa ribuan rakyat untuk mengungsi ke daerah

pegunungan untuk dijadikan tameng hidup atau perisai hidup (human shields) untuk melawan

tentara Indonesia. Lebih dari 200.000 orang dari penduduk ini kemudian mati di hutan karena

penyakit dan kelaparan. Selain terjadinya korban penduduk sipil di hutan, terjadi juga

pembantaian oleh kelompok radikal FRETILIN di hutan terhadap kelompok yang lebih moderat.

Sehingga banyak juga tokoh-tokoh FRETILIN yang dibunuh oleh sesama FRETILIN selama di

Hutan. Semua cerita ini dikisahkan kembali oleh orang-orang seperti Francisco Xavier do

Amaral, Presiden Pertama Timor Leste yang mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste pada

tahun 1975. Seandainya Jenderal Wiranto (pada waktu itu Letnan) tidak menyelamatkan Xavier

di lubang tempat dia dipenjarakan oleh FRETILIN di hutan, maka mungkin Xavier tidak bisa

lagi jadi Ketua Partai ASDT di Timor Leste sekarang.

Selain Xavier, ada juga komandan sektor FRETILIN bernama Aquiles yang dinyatakan

hilang di hutan (kemungkinan besar dibunuh oleh kelompok radikal FRETILIN). Istri komandan

Aquilis sekarang ada di Baucau dan masih terus menanyakan kepada para komandan FRETILIN

lain yang memegang kendali di sektor Timur pada waktu itu tentang keberakaan suaminya. Hal
yang sama juga dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan terhadap tentara Indonesia tentang

keberadaan komandan Konis Santana dan Mauhudu yang dinyatakan hilang di tangan tentara

Indonesia. Selama perang saudara di Timor Leste dalam kurun waktu 3 bulan (September-

November 1975) dan selama pendudukan Indonesia selama 24 tahun (1975-1999), lebih dari

200.000 orang dinyatakan meninggal (60.000 orang secara resmi mati di tangan FRETILN

menurut laporan resmi PBB).

Selebihnya tidak diketahui apakah semuanya mati kelaparan atau mati di tangan tentara

Indonesia. Hasil CAVR menyatakan 183.000 mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan

bahan kimia (tidak dirinci bagaimana caranya), namun sejarah akan menentukan kebenaran ini,

karena keluarga yang sanak saudaranya meninggal di hutan tidak bisa tinggal diam dan

kebenaran akan terungkap apakah benar tentara Indonesia yang membunuh sejumlah jiwa ini

ataukah sebaliknya. Situasi aktual di Timor Leste akhir-akhir ini adalah cerminan ketidak puasan

rakyat bahwa rakyat tidak bisa hidup hanya dari propaganda tapi dari roti dan air. Rakyat tidak

bisa hidup dari “makan batu” sebagaimana dipropagandakan FRETILIN selama kampanye Jajak

Pendapat tahun 1999 “Lebih baik makan batu tapi merdeka, dari pada makan nasi tapi dengan

todongan senjata”. Kenyataan membuktikan bahwa “batu tidak bisa dimakan”, dan rakyat perlu

makanan yang layak dimakan manusia.

Insiden Santa Cruz 1992

Benedict Anderson dalam Nasionalisme, Asia Tenggara, dan Dunia (2002) mengatakan,

lubang hitam dalam sejarah Indonesia di pulau kecil sebelah utara lepas pantai Australia itu

cenderung ditutup-tutupi, termasuk jumlah penduduk Timor Timur yang tewas akibat kelaparan,

wabah, dan pertempuran 1977-1979. Padahal, menurut Peter Carey (1995), jumlahnya melebihi

angka kematian penduduk Kamboja di bawah Pol Pot.Fakta sejarah ini amat jarang diberitakan
media Indonesia. Kalaupun ada, media yang memberitakan niscaya akan menemui ajal. Majalah

Jakarta-Jakarta, sebagai salah satu media populer, misalnya, menjadi korban pemberitaan tentang

Timor Timur tahun 1992.

Namun, meski media dimatikan, cerita yang berkisah tentang Insiden Dili, 12 November

1991, masih terbaca sebagai cerpen. Pelajaran Sejarah (Seno Gumira Ajidarma, Saksi Mata,

Penerbit Bentang, 1994) yang menjadi fiksi dari peristiwa Santa Cruz itu ditulis oleh wartawan

dari media yang terkena “pembredelan” pemerintah saat itu. Bagi sang wartawan, cerpen atau

fiksi merupakan cara lain untuk menyajikan berita atau fakta sejarah yang sengaja

disembunyikan, bahkan dihilangkan. Maka, sejarah bukan sekadar catatan penyebab kejadian

pada masa lalu, tetapi juga demi menyiapkan akibat selanjutnya pada masa kini.

Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan

pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991. Para

pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan

Indonesia pada penguburan rekan mereka, Sebastião Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan

Indonesia sebulan sebelumnya. Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi

parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi

Timor Timur. Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe

sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang

mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.

Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib

sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada

saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak. Dari orang-orang

yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang
meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik

dan aktivis HAM berbasis di Australia.

Pembantaian ini disaksikan oleh dua jurnalis Amerika Serikat; Amy Goodman dan Allan

Nairn; dan terekam dalam pita video oleh Max Stahl, yang diam-diam membuat rekaman untuk

Yorkshire Television di Britania Raya. Para juru kamera berhasil menyelundupkan pita video

tersebut ke Australia. Mereka memberikannya kepada seorang wanita Belanda untuk

menghindari penangkapan dan penyitaan oleh pihak berwenang Australia, yang telah

diinformasikan oleh pihak Indonesia dan melakukan penggeledahan bugil terhadap para juru

kamera itu ketika mereka tiba di Darwin. Video tersebut digunakan dalam dokumenter First

Tuesday berjudul In Cold Blood: The Massacre of East Timor, ditayangkan di ITV di Britania

pada Januari 1992.

Tayangan tersebut kemudian disiarkan ke seluruh dunia, hingga sangat mempermalukan

permerintahan Indonesia. Di Portugal dan Australia, yang keduanya memiliki komunitas Timor

Timur yang cukup besar, terjadi protes keras. Banyak rakyat Portugal yang menyesali keputusan

pemerintah mereka yang praktis telah meninggalkan bekas koloni mereka pada 1975. Mereka

terharu oleh siaran yang melukiskan orang-orang yang berseru-seru dan berdoa dalam bahasa

Portugis. Demikian pula, banyak orang Australia yang merasa malu karena dukungan pemerintah

mereka terhadap rezim Soeharto yang menindas di Indonesia, dan apa yang mereka lihat sebagai

pengkhianatan bagi bangsa Timor Timur yang pernah berjuang bersama pasukan Australia

melawan Jepang pada Perang Dunia II.

Meskipun hal ini menyebabkan pemerintah Portugal meningkatkan kampanye diplomatik

mereka, bagi pemerintah Australia, pembunuhan ini, dalam kata-kata menteri luar negeri Gareth

Evans, merupakan ‘suatu penyimpangan’. Pembantaian ini (yang secara halus disebut Insiden
Dili oleh pemerintah Indonesia) disamakan dengan Pembantaian Sharpeville di Afrika Selatan

pada 1960, yang menyebabkan penembakan mati sejumlah demonstran yang tidak bersenjata,

dan yang menyebabkan rezim apartheid mendapatkan kutukan internasional.

Jajak Pendapat 1999

Munculnya tekanan-tekanan dari masyarakat internasional menanggapi kasus-kasus yang

terjadi di timor timur itu memaksa Indonesia untuk mengeluarkan kebijakan guna

mengakomodasi aspirasi masyarakat Timor Timur. Tekanan ini juga mendorong Pemerintah

Indonesia untuk membahas masalah ini ke tingkat internasional. Akhirnya, pada Juni 1998,

Pemerintah Indonesia memutuskan untuk memberikan status khusus berupa otonomi luas kepada

Timor Timur. Usulan Indonesia itu disampaikan kepada Sekjen PBB. Sebagai tindak lanjutnya,

PBB pun mengadakan pembicaraan segitiga antara Indonesia, Portugal, dan PBB. Selama

pembicaraan ini, masih terjadi kerusuhan antara pihak pro kemerdekaan dan pro integrasi di

Timor Timur. Kerusuhan ini semakin manambah kecaman dari dari masyarakat internasional,

khusunya dari negara-negara Barat, yang merupakan sasaran utama speech act dalam usaha

sekuritisasi kasus Timor Timur.

Berangkat dari pembicaraan tiga pihak serta kecaman yang semakin keras dari dunia

internasional, Indonesia memutuskan untuk melaksanakan jajak pendapat rakyat Timor Timur

dilakukan secara langsung. Menanggapi keputusan Indonesia tersebut, pihak-pihak yang berada

dalam pembicaraan segitiga di atas menyepakati Persetujuan New York yang mencakup masalah

teknis dan substansi jajak pendapat. Jajak pendapat pun berakhir dengan kemenangan di pihak

pro kemerdekaan Timor Timur. Dengan kemenangannya ini, Timor Timur meraih kedaulatan

sebagai sebuah negara.Kedaulatan negara merupakan satu hal yang selama ini dikejar oleh pihak
Timor Timur. berbagai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia, yang dibuktikan oleh

Peristiwa Santa Cruz menjadi batu loncatan bagi usaha sekuritisasi perjuangan meraih kembali

kedaulatan Timor Timur.

Kunci dari berhasilnya perjuangan meraih kemerdekaan Timor Timur adalah dukungan

internasional. Oleh karena itu sekuritisasi menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan oleh

Timor Timur. Berbagaispeech act telah dilakukan oleh securitizing actor untuk meraih dukungan

internasional. Usaha sekuritisasi ini mencapai keberhasilannya tidak hanya saat Timor Timur

merdeka dari Indonesia, namun juga saat sejumlah negara mulai mendukung perjuangan

kemerdekaan Timor Timur.

Pada HUT ke-10 The Habibie Center, mantan Presiden BJ Habibie menyatakan Timor

Leste tidak pernah masuk Proklamasi RI. Alasannya, karena yang diproklamasikan adalah

Hindia Belanda (Kompas, 9/11/2009). Pernyataan ini patut pula kita salami karena terkait masa

lalu Indonesia yang secara historis banyak menyimpan anakronisme yang menyamarkan

beragam fakta. Timor Leste adalah contoh. Semula negeri itu dianggap berintegrasi ke NKRI

sebagai Timor Timur. Ternyata bekas koloni Portugis itu dianeksasi melalui semacam invasi

militer tahun 1975.

Dinamika politik dalam negeri Indonesia telah berubah secara dramatis dengan jatuhnya

Pemerintahan mantan Presiden Soeharto. Di bulan Januari 1999, diumumkan bahwa Indonesia

akan menawarkan otonomi kepada Timor Timur. Jika rakyat Timor Timur menolak tawaran ini,

maka Indonesia akan menerima pemisahan diri Timor Timur dari Republik Indonesia. Pada

tanggal 5 Mei 1999, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Indonesia dan Portugis menandatangani

Perjanjian Tripartit yang menyatakan bahwa PBB akan menyelenggarakan jajak pendapat di

Timor-Timur. Rakyat diminta memilih apakah Timor Timur tetap menjadi bagian dari Indonesia
ataukah Timor Timur menjadi negara merdeka. Habibie mengeluarkan pernyataan pertama

mengenai isu Timor Timur pada bulan Juni 1998 dimana ia mengajukan tawaran untuk

pemberlakuan otonomi seluas-luasnya untuk provinsi Timor Timur. Proposal ini, oleh

masyarakat internasional, dilihat sebagai pendekatan baru.

Di akhir 1998, Habibie mengeluarkan kebijakan yang jauh lebih radikal dengan

menyatakan bahwa Indonesia akan memberi opsi referendum untuk mencapai solusi final atas

masalah Timor Timur.Beberapa pihak meyakini bahwa keputusan radikal itu merupakan akibat

dari surat yang dikirim Perdana Menteri Australia John Howard pada bulan Desember 1998

kepada Habibie yang menyebabkan Habibie meninggalkan opsi otonomi luas dan memberi jalan

bagi referendum. Akan tetapi, pihak Australia menegaskan bahwa surat tersebut hanya berisi

dorongan agar Indonesia mengakui hak menentukan nasib sendiri (right of self-determination)

bagi masyarakat Timor Timur. Namun, Australia menyarankan bahwa hal tersebut dijalankan

sebagaimana yang dilakukan di Kaledonia Baru dimana referendum baru dijalankan setelah

dilaksanakannya otonomi luas selama beberapa tahun lamanya. Karena itu, keputusan berpindah

dari opsi otonomi luas ke referendum merupakan keputusan pemerintahan Habibie sendiri.

Aksi kekerasan yang terjadi sebelum dan setelah referendum kemudian memojokkan

pemerintahan Habibie. Legitimasi domestiknya semakin tergerus karena beberapa hal. Pertama,

Habibie dianggap tidak mempunyai hak konstitusional untuk memberi opsi referendum di Timor

Timur karena ia dianggap sebagai presiden transisional. Kedua, kebijakan Habibie dalam isu

Timor Timur merusakan hubungan saling ketergantungan antara dirinya dan Jenderal Wiranto,

panglima TNI pada masa itu. Di hari-hari jatuhnya Suharto dari kursi kepresidenannya, Jenderal

Wiranto dilaporkan bersedia mendukung Habibie dengan syarat Habibie mengamankan

posisinya sebagai Panglima TNI. Sementara itu, Habibie meminta Wiranto mendukung
pencalonan Akbar Tanjung sebagai Ketua Golkar pada bulan Juli 1998. Hal ini cukup sulit bagi

Wiranto karena calon lain dalam Kongres Partai Golkar adalah Edi Sudrajat yang didukung oleh

Try Sutrisno, kesemuanya adalah mantan senior Jenderal Wiranto. Namun Wiranto tidak

memiliki pilihan lain dan menginstruksikan semua pimpinan TNI di daerah untuk mendorong

semua ketua Golkar di daerah untuk memilih Akbar Tanjung.

Habibie kehilangan legitimasi baik dimata masyarakat internasional maupun domestik.

Di mata internasional, ia dinilai gagal mengontrol TNI, yang dalam pernyataan-pernyataannya

mendukung langkah presiden Habibie menawarkan refendum, namun di lapangan mendukung

milisi pro integrasi yang berujung pada tindakan kekerasan di Timor Timur setelah referendum.

Di mata publik domestik, Habibie juga harus menghadapi menguatnya sentimen

nasionalis, terutama ketika akhirnya pasukan penjaga perdamaian yang dipimpin Australia

masuk ke Timor Timur. Sebagai akibatnya, peluang Habibie untuk memenangi pemilihan

presiden pada bulan September 1999 hilang. Sebaliknya, citra TNI sebagai penjaga kedaulatan

territorial kembali menguat. Padahal sebelumnya peran politik TNI menjadi sasaran kritik

kekuatan pro demokrasi segera setelah jatuhnya Suharto pada bulan Mei 1998.

Tanggal 30 Agustus merupakan tanggal yang sangat sakral dalam dinamika perpolitikan

Negara yang seumur jagung ini. Pada hari itu diadakan jajak pendapat di Timor Leste (pada saat

itu masih bernama Timor Timur). Jajak pendapat inilah yang nantinya berujung pada

kemerdekaan (bekas) provinsiTimor Timur ini. Pada akhirnya, hasil jajak pendapat tersebutlah

yang dapat menjawab nasib rakyat Timor Leste selanjutnya. Sebagian besar rakyat Timor Timur

lebih memilih untuk merdeka (78.5%). Pengumuman hasil pemilihan umum tersebut diikuti

dengan kekerasan yang meluas oleh unsur-unsur pro-integrasi.


Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa pada akhirnya, pasukan Australia lah

yang menjadi pahlawan dalam kasus ini. Australia telah memperhitungkan semua ini secara

cermat dan tepat. Australia memainkan peranan pokok dalam memobilisasi tanggapan

internasional terhadap krisis kemanusiaan yang membayang nyata. Pasukan penjaga perdamaian

yang dipimpin Australia masuk ke Timor Timur. Jakarta menyetujui keterlibatan angkatan

internasional pemilihara keamanan di kawasan ini. Australia diminta oleh PBB untuk memimpin

angkatan tersebut, dan menerima tugas ini. Kekuatan internasional di Timor Timur atau

International Force in East Timor (disingkat INTERFET) telah berhasil dikirim ke Timor Timur

dan menjalankan tugasnya untuk mengembalikan perdamaian dan keamanan di kawasan

tersebut. Pada tanggal 20 Oktober, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mencabut keputusan

penyatuan Timor Timur dengan Indonesia.

Sejak awal 2000, kedua pemerintahan pemerintahan mencari pemecahan masa lalu, yang

terjadi menjelang, selama, dan segera setelah jajak pendapat. Pertama melalui pendekatan hukum

dan cara kedua melalui pendekatan kebenaran dan persahabatan yang tidak berujung pada

peradilan. Kedua pemerintahan sepakat untuk menempuh yang kedua melalui Komisi Kebenaran

dan Persahabatan. Juga harus diketahui, adalah presiden, waktu itu Menteri Luar Negeri Horta

dan Xanana, yang menganjurkan kepada pemerintah Indonesia memilih kata persahabatan

karena rekonsiliasi sesungguhnya telah terjadi.

B. Penerapan Hukum

Dalam kasus pembantaian yang terjadi di kota Dili,melibatkan 3 kelompok yang pro

integrasi. Kelompok-kelompok tersebut antara lain, kelompok Aitarak, Pasukan Pejuang

Integrasi, dan Pasukan TNI. Latar belakang dari pembantaian tersebut, adalah kerena ketidak
setujuan terhadap kelompok yang pro atau yang menginginkan Timor-Timur lepas dari negara

Indonesia, sehingga menjadi negara yang merdeka.

Eurico Guterres dalam kedudukannya selaku atasan atau wakil panglima kelompok

Pasukan Pejuang Integrasi dan atau atasan/komandan dari kelompok Aitarak dimana Terdakwa

sebagai atasan bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran Hak Azasi Manusia yang

berat yang dilakukan oleh bawahannya yang berada di bawah kekuasaannya dan

pengendaliannya yang efektif.

Spesifikasi dari kesalahan Eurico adalah bahwa ia tidak melakukan pencegahan ketika

salah seorang anggota kelompok itu berpidato dalam sebuah apel akbar peresmian PAM

swakarsa, yang isinya:

- Semua Pimpinan CNRT harus dihabiskan ;

- Bunuh para Pemimpin CNRT ;

- Orang-orang Pro Kemerdekaan harus dibunuh ;

- Bunuh Manuel Viegas Carrascalao ;

- Keluarga Carrascalao harus dibunuh ;

- Bunuh Leandro Isaac, David Dias Ximenes, Manuel Ciegas Carrascalao ;

- Bunuh keluarga Manuel Viegas Carrascalao ;

Sehingga akibat tidak adanya pencegahan dari Eurico sebagai atasannya. Apa yang

mereka katakan dengan segera mereka lakukan, sehingga setelah apel mereka mendatangi dan

menyerang rumah Manuel Viegas Carrascalao yang saat itu sedang dihuni oleh 136 (seratus tiga

puluh enam) orang pengungsi dan rumah saksi Leandro Issac. Selanjutnya massa tersebut

melakukan penyerangan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang berada di rumah Manuel
Viegas Carrascalao dengan menggunakan beberapa jenis senjata yang telah merka bawa. Akibat

serangan tersebut beberapa warga yang ada di rumah Manuel Viegas Carrascalao, yaitu :

1. Raul Dos Santos Cancela ;

2. Alfonso Ribeiro ;

3. Mario Manuel Carrascalao (Minelito) ;

4. Rafael da Silva ;

5. Alberto Dos Santos ;

6. Joao Dos Santos ;

7. Antonio Do Soares ;

8. Crisanto Dos Santos ;

9. Cesar Dos Santos ;

10. Agustino B.X. Lay ;

11. Eduardo De Jesus ;

12. Januario Pereira ;

Semuanya meninggal dunia. Sehingga dalam hal ini Eurico diancam pidana berdasarkan

Pasal 7 huruf b jis Pasal 9 huruf a, Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan Pasal 37 Undang-Undang

No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

C. Alasan penangkapan tersangka Eurico Gutteres

Ingat milisi Timor Timur, ingat Eurico Guterres. Jabatannya waktu itu, Wakil Panglima

Pasukan Pejuang Integrasi (PPI), telah membuat namanya melambung. Ia dielu-elukan sebagai

pahlawan. Itu dulu. Kini, ia menjadi tahanan Mabes Polri, karena dituduh melanggar pasal 160

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP): menghasut orang lain untuk melawan petugas.

Eurico ditangkap Rabu (4/10) di kamar 515 Hotel Ibis, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Penangkapan Guterres, menurut polisi, dilakukan berdasarkan laporan polisi yang dibuat

Polres Atambua, Nusa Tenggara Timur. "Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang

bersangkutan pada saat di Atambua. Ia menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik

kembali senjata yang sudah dalam penguasaan kepolisian. Ini yang menjadi dasar pemeriksaan

dan penahanan Guterres," kata Kadispen Mabes Polri, Brigjen Pol. Saleh Saaf seperti

dikutip Kompas.

Sebenarnya, Presiden Abdurrahman Wahid sendiri, dalam perjalanan lawatannya ke

sejumlah negara, pernah mengeluarkan pernyataan bahwa jika melanggar undang-undang,

Guterres harus ditangkap. "Jika diperlukan, orang seperti Eurico Guterres, kalau memang dia

diketahui melanggar undang-undang harus ditangkap," kata Presiden seperti dikutip koran di

atas. Sebelumnya, Kepala Pemerintahan Transisi PBB di Timor Timur (Untaet), Sergio Vieira de

Mello, juga pernah meminta agar Pemerintah Indonesia segera menangkap Guterres dan

komandan milisi pro-integrasi lainnya. Alasannya, Eurico dan kawan-kawan merupakan salah

satu kendala penyelesaian masalah pengungsi Timor Timur di Atambua.

Alasan penangkapan karena adanya bukti permulaan yang cukup, menyusul diterimanya

laporan polisi LP.603/IX/2000/Res Belu, 25 September 2000 serta SPDP dari Kapolres Belu

kepada Kejari Atambua 29 September 2000. Selain itu adanya keterangan saksi yang

menerangkan keterlibatan pemohon dalam peristiwa perampasan senjata api di Mapolres Belu.

Sementera itu alasan penahanan terhadap tersangka/ pemohon dilakukan berdasarkan adanya

kekhawatiran pemohon atau tersangka melarikan diri , merusak atau menghilangkan barang bukti

atau mengulangi tindak pidana.


Penangkapan terhadap pemohon, kata Suyitno, dilakukan berdasarkan surat perintah

penangkapan nomor Pol SPP/88/X/2000/Korserse, 4 Oktober 2000 yang terlebih dahulu telah

diperlihatkan dan ditunjukkan kepada pemohon saat penangkapan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1) Pelanggaran Ham berat yang dilakukan oleh kelompok Aitarak dan kelompok Pasukan Pejuang

Integrasi terjadi pada tanggal 17 April 1999 di rumah Viegas Carascalao di Kota Dili. Dalam

kasus ini, menimbulkan korban jiwa sebanyak 12 (dua belas) orang dan rumah Viegas

Carascalao mengalami kerusakan .

2) Eurico Gutteres didakwa dengan diancam pidana berdasarkan Pasal 7 huruf b jis pasal 9 huruf a

pasal 42 ayat (2) huruf a dan b dan pasal 37 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000.

3) Penangkapannya berkaitan dengan pernyataan yang bersangkutan pada saat di Atambua. Ia

menghasut warga pengungsi Tim-Tim untuk menarik kembali senjata yang sudah dalam

penguasaan kepolisian.

B. Saran
1) Bahwa keinginan untuk membebaskan diri menjadi Negara yang merdeka merupakan suatu hak

apabila sudah diadakan suatu referendum sehingga pembantaian tersebut seharusnya tidak boleh

terjadi karena apabila tidak setuju harus diselesaikan secara musyawarah.

2) Setuju bahwa penerapan hukum yang didakwakan kepada Euric Gutteres sudah tepat karena dia

sebagai Wakil Panglima dari kedua kelompok tersebut yang harus bertanggung jawab atas apa

yang dilakukan oleh bawahannya.

3) Bahwa penarikan senjata tersebut seharusnya tidak boleh dilakukan karena merupakan tindak

pidana baru.
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak asasi Manusia

Abdullah, Rozali HM. Perkembangan HAM dan Keberadaan HAM di Indonesia. 2004. Bogor :

PT. Ghalia Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai