Anda di halaman 1dari 2

15 Tahun Tsunami Aceh: Merawat Ingatan Smong

Rasanya belum lekang dalam ingatan ketika satu setengah dasawarsa lalu, tepat pada 26 Desember 2004
terjadi gempa pada 3,316°LU, 95,854°BT, dengan kedalaman 30 km di laut barat Sumatera. Gempa
berkekuatan Mw9,3 ini merupakan salah satu gempa kuat yang pernah terjadi, setelah gempa Chili 1960
dengan magnitudo 9,5. Gempa megathrust yang berasosiasi dengan zona subduksi di sebelah barat Sumatra
ini memiliki luasan area pecah sepanjang 1.200 km mengarah ke utara-barat laut hingga ke Laut Andaman.
Menurut Tanioka dkk. (2006), perpindahan yang terjadi akibat gempa ini diperkirakan mencapai 23 m di
batas lempeng di dasar laut sebelah barat di lepas Pantai Aceh, 21 m di batas lempeng di bawah Pulau
Simeulue bagian utara, gelinciran (slip) sebesar 10–15 m terdapat di batas lempeng dekat Little Andaman
and Car Nicobar Islands. Gempa tersebut mengakibatkan gelombang tsunami yang menerjang wilayah
Aceh, Sumatera Utara, dan bahkan tsunami far field di beberapa negara di kawasan Samudera Hindia.
Ratusan ribu jiwa menjadi korban akibat kejadian tersebut.
Waktu Tiba, Ketinggian, dan Inundasi Tsunami
Berdasarkan wawancara terhadap saksi mata tsunami Aceh, waktu tiba tsunami di wilayah Banda Aceh
sekitar 15 hingga 20 menit setelah dirasakan guncangan gempa. Ketinggian tsunami bervariasi di berbagai
wilayah di Aceh. Pantai barat Aceh terukur ketinggian lebih dari 30 m, sedangkan pantai utara lebih rendah
dengan tinggi sekitar 10-12 m. Inundasi atau landaan tsunami dapat dilihat dengan citra satelit
pascakejadian. Bekas genangan tsunami ditandai dengan adanya jejak sampah, sedimen yang diendapkan
oleh gelombang, dan tumbuhan yang mati akibat air asin. Di Banda Aceh, jarak genangan mencapai 6,5 km
dari garis pantai. Kondisi Aceh yang relatif landai dan datar menyebabkan tsunami lebih jauh masuk ke
daratan.
Kerusakan pada Infrastruktur
Gempa dan tsunami mengakibatkan kerusakan infrastruktur dan struktur bangunan. Jalan-jalan
mengelupas, jembatan roboh, pabrik-pabrik hancur, dan jumlah rumah yang hancur lebur hampir tidak
terhitung. Namun, terdapat infrastruktur yang dapat bertahan dari terjangan tsunami seperti beberapa masjid
di Banda Aceh yang selamat dan tetap berdiri. Hal tersebut disebabkan oleh struktur bangunan yang terbuka
di bagian bawah sehingga ramah terhadap gelombang tsunami.
Fakta Tsunami 2004
Dilihat dari jumlah korban tsunami Aceh, ada suatu ‘keajaiban’ di Simeulue, sebuah kabupaten di Aceh
yang berlokasi sangat dekat dengan sumber gempabumi. Dari sekitar 70.000 penduduk Simeulue pada
waktu itu, korban tsunami diketahui kurang dari sepuluh jiwa meskipun waktu tiba gelombang tsunami di
sana kurang dari 15 menit. Tanpa mengecilkan arti nyawa, masyarakat Simeulue ternyata selamat karena
kearifan lokal yang dijaga turun-temurun hingga sekarang, yaitu smong.
Istilah smong mulai dikenal pada peristiwa gempa dan tsunami yang menghantam Simeulue tahun 1907.
Gempa dengan kekuatan M7,6 dan tsunami setinggi lebih dari 10 m di pantai barat dan utara Simeulue
menimbulkan banyak korban jiwa. Bencana besar itu menjadi pelajaran hidup bagi mereka. Cerita tentang
peristiwa tragis itu dijaga turun-temurun sebagai ajaran hidup, adat bertutur, cerita budaya, syair atau lagu.
Penggalan lagu“… Anga linon ne mali, uwek suruik sahuli,Maheya mihawali fano me singa tenggi, Ede
smong kahanne” terekam dalam ingatan masyarakat. Arti lirik tersebut adalah jika gempanya kuat, disusul
air yang surut, segeralah cari tempat kalian yang lebih tinggi.
Peristiwa Tsunami di Sumatera Barat
Peristiwa tsunami seperti di Aceh juga pernah terjadi di Sumatera Barat. Dalam Katalog Tsunami Indonesia
yang disusun oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(BMKG) setidaknya sudah terjadi 5
tsunami besar sejak tahun 1700–2019. Lima tsunami tersebut adalah tsunami 10 Februari 1797 akibat
gempabumi Mw 8,7, tsunami 24 November 1833 akibat gempabumi Mw 8,9, tsunami 16 Februari 1861
akibat gempa dengan kekuatan 8,5, tsunami 12 September 2007 akibat gempabumi Mw 8,5, dan tsunami
25 Oktober 2010 akibat gempabumi Mw 7,8.
Tsunami 1797 menurut catatan Soloview dan Go (1974), merendam Kota Padang dan mengakibatkan 300
orang tewas dan membawa kapal melalui sungai sepanjang 5.5 km ke arah darat. Tsunami 1833, menurut
Latief et al. (2000) mengakibatkan dua kapal layar dan beberapa kapal kecil hanyut ke laut, aliran
gelombang naik menyebabkan kerugian yang berarti Di Padang dan di Pariaman.
Tsunami 1861 mengakibatkan Forth Laundi yang terletak di pantai selatan Pulau Nias, terlanda tsunami
dengan tinggi run-up hingga 7 meter sekitar 4 jam setelah terjadi gempa(Soloviev and Go,1974).
Gelombang datang dari arah tenggara, menyapu sebagian besar bangunan, kapal yang sedang berlabuh
hanyut ke laut, dan sekitar 50 orang tewas.
Tsunami 2007 menerjang Padang dengan ketinggian 2,2 m; Teluk Betung dan Pasar Bantal 2,0 m; Serangai
3,6m; Air Napal 2,9m; Bengkulu 2,7m; dan Muara Maras 3,4m. Gempabumi dan tsunami mengakibatkan
kerusakan aliran listrik sehingga tidak ada penerangan di malam hari. Korban jiwa umumnya diakibatkan
oleh goncangan gempabumi yang meruntuhkan bangunan
Tsunami 2010 memiliki karakteristik yang unik. Tsunami Mentawai dibangkitkan oleh gempabumi yang
diklasifikan sebagai tsunami-earthquake sama dengan gempa Simeulue 1907. Perbedaan tsunami-
earthquake dengan gempa biasa pada kekuatan yang sama akan menghasilkan dislokasi dasar laut yang
lebih besar sehingga tsunaminya lebih besar.
Pelajaran
Peristiwa tsunami Aceh menjadi babak baru dalam peringatan dini tsunami di Indonesia. Dampak dan
kerugian yang cukup besar akibat peristiwa tersebut melahirkan Indonesia Tsunami Early Warning
System(InaTEWS) pada tahun 2008. Kehadiran InaTEWS hingga saat ini, masih memiliki kendala dalam
menghadapi tsunami dengan waktu tiba kurang dari 15 menit. Oleh karena itu, diperlukan sistem
pendukung peringatan dini tsunami yang berbasis kearifan lokal seperti smong untuk peningkatan
efektivitas peringatan dini.
Selain smong di Simeuleu, ada juga kisah masyarakat di desa-desa pantai barat Donggala yang berhasil
menyelamatkan diri dari tsunami Palu 2018. Kala itu, masyarakat berhasil melakukan evakuasi mandiri
sejak gempa pendahulu berkekuatan M6,1. Saat gempa utama dengan kekuatan M7,5 disusul tsunami
terjadi, warga sudah di tempat aman karena merawat ingatan gempa dan tsunami Palu 1968.
Pengetahuan tentang tsunami harus diberikan terus-menerus seperti halnya yang dilakukan masyarakat
Simeuleu dan Donggala menjadi contoh bagi masyarakat Sumatera Barat, terlebih Kepulauan Mentawai
menghadapi ancaman tsunami dengan waktu tiba kurang dari 15 menit. Upaya lain seperti perencanaan
serta penataan ruang atau lahan dapat menjadi upaya mitigasi yang paling efektif untuk memperkecil
dampak yang mungkin dapat ditimbulkan oleh tsunami di masa yang akan datang.

Anda mungkin juga menyukai