Anda di halaman 1dari 2

KALEIDOSKOP GEMPA SUMATERA BARAT 2019:

WASPADA SESAR AKTIF YANG BELUM TERPETAKAN

Sepanjang tahun 2019, Sumatera Barat telah diguncang gempabumi tektonik sebanyak 532 kali dalam
berbagai magnitudo dan kedalaman. Dari jumlah tersebut, jumlah gempa yang dirasakan sebanyak 32
kali dan dua gempa merupakan gempa merusak. Berdasarkan kedalaman, aktivitas gempa di Indonesia
didominasi oleh gempa dangkal(kedalaman kurang dari 60 km) sebanyak 432 kali, gempa
menengah(kedalaman antara 60 - 300 km) sebanyak 90 kali, dan gempa dalam(kedalaman lebih dari
300 km) sebanyak 10 kali. Jika berdasarkan magnitudonya, selama tahun 2019 telah terjadi:
1. Gempa Kecil (magnitudo kurang dari 4,0) sebanyak 405 kali.
2. Gempa Ringan (magnitudo antara 4,0 - 5,0) sebanyak 98 kali.
3. Gempa Menengah (magnitudo antara 5,0 - 6,0) sebanyak 28 kali.
4. Gempa Kuat (magnitudo antara 6,1 - 7,0) sebanyak 1 kali.
Gempa terkuat terjadi pada 3 Juni 2019 pukul 05:57:07 WIB. Episenter gempa berada pada 0.24 LU,
97.46 BT atau 53 km Barat Daya Teluk Dalam, Nias Selatan dengan kedalaman 12 km. Gempa dengan
kekuatan M6,1 tersebut dirasakan di Gunung Sitoli,Teluk Dalam, Padang Sidempuan dengan intesitas
III MMI dan Nias Utara II MMI. Gempa tersebut tidak mengakibatkan kerusakan pada wilayah Gunung
Sitoli, Teluk Dalam, dan Nias Utara.
Peningkatan Tren Gempa di Sumbar dan Indonesia
Dibandingkan aktivitas gempa tahun 2018 yang terjadi gempa sebanyak 420 kali, tahun 2017 terjadi
sebanyak 244 kali, tahun 2016 terjadi sebanyak 176 kali, dan tahun 2015 terjadi sebanyak 206 kali,
maka selama tahun 2019 telah terjadi peningkatan jumlah aktivitas gempa di Sumatera Barat. Tingginya
aktivitas gempa tersebut disebabkan karena adanya gempa Mentawai 2 Februari 2019 yang diikuti oleh
rangkaian gempa susulan yang banyak dan mengakibatkan kerusakan ringan pada beberapa bangunan.
Tren peningkatan gempa di Sumatera Barat, secara umum diikuti peningkatan gempa di Indonesia.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
(BMKG) Daryono mencermati, sejak 2013, aktivitas gempa bumi di Indonesia menunjukkan tren yang
terus meningkat. Pada 2013, setidaknya terjadi 4.234 kali gempa. Jumlah kejadian gempa tersebut terus
naik berturut-turut, yakni 4.434 kali (2014), 5.299 kali (2015), 5.646 kali (2016) dan 7.169 kali (2017).
Peningkatan signifikan terjadi pada 2018 dengan kejadian gempa mencapai 11.920 kali dan pada tahun
2019 telah terjadi gempa sebanyak 11.572 kali.
Tren Gempa Merusak Juga Meningkat
Peningkatan kejadian gempa ini juga diikuti peningkatan gempa merusak. Daryono menyebutkan,
gempa bumi merusak biasa terjadi 8 hingga 10 kali dalam setahun. Pada tahun 2017 gempa merusak
terjadi dengan jumlah sebanyak 19 kali, 2018 terjadi 23 kali, dan 2019 terjadi 17 kali.
Sumatera Barat pun belum pernah absen dalam catatan gempa merusak sejak 2016. Pada 2 Juni 2016,
terjadi gempa dengan kekuatan M6,5 di Pesisir Selatan yang merusak ratusan rumah di Pesisir Selatan,
Mukomuko, Kerinci dan Padang serta mengakibatkan satu orang meninggal. Gempa tersebut dirasakan
dengan intensitas IV-V MMI di Painan, Mukomuko dan Solok.
Setahun berselang, terjadi gempa Mentawai dengan kekuatan M6,2 pada 1 September 2017 yang
dirasakan di Padang, Mentawai, Pariaman, dan Painan dengan intensitas V MMI. Gempa tersebut
merusak rumah-rumah di Kabupaten Agam meliputi Kecamatan Palembayan, Tanjung Mutiara, dan
Malalak. Selanjutnya pada 2018 terjadi dua kali gempa merusak, yaitu gempa Mentawai pada 20 Juli
2018 dengan kekuatan M5,2 yang merusak 12 rumah dan Gempa Padang Panjang pada 21 Juli 2018
dengan kekuatan M5,3 yang merusak beberapa rumah di sekitar Padang Panjang.
Selanjutnya pada Sabtu, 2 Februari 2019, pukul 16.27.34 WIB, terjadi gempa dengan kekuatan M6,0
yang kemudian dimutakhirkan menjadi Mw=6,1 di 105 km arah tenggara Tua Pejat, Kepulauan
Mentawai pada kedalaman 26 km. Guncangan gempabumi ini dilaporkan dirasakan di sebagian wilayah
Sumatera Barat dan intensitas maksimal yang terjadi sebesar IV-V MMI di Pagai Selatan. Gempa
mengakibatkan kerusakan ringan seperti jalanan retak, bangunan Puskesmas rusak ringan, dan
mercusuar tua roboh di Desa Malakopa, Pagai Selatan.
Selanjutnya pada 28 Februari 2019, pukul 06.27.05 WIB terjadi gempa di Solok Selatan dengan
kekuatan M5,6 yang selanjutkan kekuatannya dimutahirkan menjadi Mw5,3. Gempa tersebut dirasakan
dengan intensitas V MMI di Solok Selatan dan merusak lebih dari 343 bangunan rumah di Sangir Balai
Jango, Sangir Batang Hari, Sangir Jujuan, serta longsor di Bukit Gana, Sungai Kunyit. Sedikitnya 48
orang mengalami luka-luka akibat kejadian gempa tersebut
Waspada Sesar Aktif yang Belum Terpetakan
Patut kita cermati, dari data kejadian gempa merusak pada tahun 2017, dari 20 kejadian gempa merusak,
setidaknya 11 gempa dipicu oleh aktivitas sesar aktif. Pada Tahun 2018, dari 23 gempa merusak yang
terjadi, sebanyak 19 gempa dipicu oleh aktivitas sesar aktif dan empat gempa dipicu aktivitas subduksi
lempeng. Selama tahun 2019, dari 17 kejadian gempa merusak, 13 gempa disebabkan oleh sesar aktif,
sedangkan empat lainnya dipicu oleh aktivitas megathrust. Namun, ada hal yang menarik pada tahun
2019, di mana terjadi gempa merusak di wilayah sesar yang belum dipetakan yang salah satunya berada
di Sumatera Barat yaitu sesar penyebab gempa Solok Selatan. Hal ini kedepannya menjadi tantangan
kita bersama.
Gempa Solok Selatan merupakan jenis gempa tektonik kerak dangkal yang dipicu oleh sesar dengan
mekanisme sumber pergerakan mendatar menganan. Pemicu gempa ini diduga berasal dari percabangan
(splay) dari Sesar Besar Sumatra, mengingat lokasi episenter gempa ini terletak sejauh 49 kilometer di
sebelah timur jalur Sesar Besar Sumatera tepatnya Segmen Suliti. Berdasarkan hasil pengamatan
BMKG Padang Panjang dari 28 Februari s.d. 3 Maret 2019 pukul 18.15 WIB, Gempa Solok Selatan
diikuti 51 gempa susulan dengan dengan 12 gempa di ataranya merupakan gempa dirasakan yang
bersifat sangat lokal(hanya dirasakan di sekitar episenter gempa saja).
Pelajaran yang Dapat Dipetik
Pola gempa merusak yang dominan diakibatkan oleh aktivitas sesar, hendaknya membuat masyarakat
tidak fokus dengan bahaya gempa megathrust saja. Gempa akibat sesar aktif juga perlu diwaspadai
terutamadari sesar yang belum terpetakan. Gempa megathrust memang potensi dampaknya besar
dengan potensi magnitudo 9, tapi gempa dari sesar aktif juga sama besarnya karena dekat dengan tempat
tinggal kita. Dampak gempa sesar aktif di Yogyakarta(2007), Pidie Jaya(2016), Lombok(2018),
Palu(2018) dan Ambon(2019) menjadi buktinya bahwa kita semua sepatutnya perlu memiliki sikap
waspada terhadap jalur sesar aktif terutama yang belum terpetakan.
Masyarakat harus supaya menyadari pentingnya membangun bangunan ramah gempabumi. Gempa
tidaklah membunuh tetapi bangunan tembok lemah struktur yang roboh saat terjadi gempa yang
menyebabkan korban luka dan meninggal. Jika belum mampu membangun bangunan yang strukturnya
kuat maka ada alternatif lain dengan membangun bangunan bangunan rumah yang berbahan ringan
seperti kayu dan bambu.

Anda mungkin juga menyukai