Teori Kontarak Dan Tindakakan Kolektif
Teori Kontarak Dan Tindakakan Kolektif
PENDAHULUAN
Mereka yang bekerja di bidang ini, Ronald Coase, Armen Alchian, Harold Demsetz
dan Oliver Williamson, menyebut pandangan ini sebagai “New Institutionalis” atau New
Institutional Economics (NIE)” untuk membedakannya dengan American Institutionalist
school sebagaimana dijelaskan di atas. NIE berkembang pesat dan mulai diperhitungkan
sebagai teori ekonomi alternatif setelah Ronald Coase menemukan konsep biaya transaksi
(transaction cost). Setelah itu muncul teori kontrak dan tindakan kolektif.
Tentu saja kegiatan ekonomi semacam itu bukan merupakan aktivitas yang ideal
karena terdapat salah satu/beberapa pihak yang menjadi korban. Oleh karena itu, harus dicari
mekanisme dan desain aturan main (kelembagaan) yang bertujuan membangun kesetaraan
antar pelaku ekonomi, baik dari sisi daya tawar maupun kelengkapan informasi. Pada titik
inilah keberadaan teori kontrak (termasuk information asymmetric) dan tindakan kolektif
(collective action) sangat besar peranannya untuk membantu mendesain aturan main tersebut.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas tentang teori kontrak tersebut sehingga
diperoleh pemahaman yang mendalam sebagai dasar formulasi regulasi/kebijakan.
1
1.2 Rumusan Masalah
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dalam kenyataannya, kontrak selaku tidak lengkap karena dua alasan (Klein,
1980:356-358). Pertama, adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya
peluang yang cukup besar bagi munculnya biaya untuk mengetahui dan mengidentifikasi
dalam rangka merespons seluruh kemungkinan ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja
kontrak khusus (particular contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi
yang dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex task), mungkin
membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan pengukuran. Oleh karena itu, adanya
pelanggaran kontrak seringkali menyulitkan pihak ketiga (pengadilan) untuk memberikan
bukti sebagai dasar keputusan. Hampir seluruh kesepakatan kontrak yang aktual berisi
kombinasi eksplisit dan implisit dari mekanisme penegakan. Beberapa elemen dari kinerja
dispesifikasi dan dipaksakan oleh pihak ketiga. Sebagai tambahan, biaya kontrak, yang
mengandaikan adanya ketidaklengkapan dari kontrak yang eksplisit, membutuhkan kehadiran
‘biaya sewa semu’ (quasi rent) yang bisa digunakan bagi perusahaan/korporasi untuk
melakukan investasi.
George A. Akerlof’s, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat
karya menumentalnya, yakni The Market of “Lemons”: Quality Uncertainty and the Market
Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku
transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market
institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting institution).
Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan yang dimaksud adalah jaminan/garansi
(guarantee) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu untuk memperoleh
informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuan yang dimiliki oelh penjual. Diluar
garansi, instrumen kelembagaan lain adalah merek (brand-names), kongsi (chains), dan
waralaba (franchise) sebagai mekanisme jaminan bagi pembeli, setidaknya menyangkut
kualitas produk (Auronen, 2003:9). Instrumen-instrumen tersebut secara lebih lanjut harus
dimasukkan dalam kontrak sehingga memiliki kapastian, khususnya dari aspek legal.
Kasus informasi asimetris lain yang bisa diajukan adalah praktik dipasar kerja yang
diformulasikan oleh Michael Spence lewat risalahnya yang berjudul “job marketing
signaling” (1973). Menurutnya, keputusan majikan untuk mempekerjakan seseorang
merupakan keputusan investasi di bawah kondisi ketidakpastian. Pemilik perusahaan/manajer
(employer) tentu tidak yakin sepenuhnya tentang kemampuan produktif seseorang (employee)
sebelum dia menggajinya. Bahkan, kemampuan produktif itu juga tidak serta merta dapat
diketahui apabila pekerja tersebut telah dilatih. Spence berargumentasi karena individu butuh
waktu untuk mempelajari sesuatu yang baru, maka menggaji seseorang merupakan sebuah
keputusan investasi, dan karena kapabilitasnya tidak diketahui secara pasti, maka keputusan
investasi tersebut berada dibawah ketidakpastian. Menurutnya kasus seperti itu analog dengan
keputusan investasi dalam permainan undian (lottery). Kemungkinan keberhasilan dalam
mengambil keputusan ditentukan oleh pengalaman terdahulu dalam pasar kerja, tanda/sinyal
yang diberikan oleh pelamar kerja tentang kemampuannya, dan karakter yang melekat dari
seseorang. Jika ciri individu yang melekat tidak mungkin ditutupi, seperti ras dan jenis
kelamin, maka sinyal merupakan karakteristik individu yang dapat dimanipulasi. Contoh dari
sinyal tersebut misalnya adalah pendidikan. Disinilah perlunya melakukan optimasi biaya
penandaan, khususnya untuk kepentingan penentuan upah. Biaya penandaan merupakan total
biaya dari perubahan sinyal, termasuk ongkos uang, waktu dan fisik. Bagi Spence, seharusnya
5
biaya penandaan tersebut berkorelasi negatif dengan kapabilitas produktif seseorang
(Auronen, 2003:11).
Kembali kepada soal kontrak, dalam kegiatan ekonomi moderen tipe kontrak
setidaknya bipilah dalam tiga jenis, yakni teori kontrak agen, teori kesepakatan otomatis, dan
teori kontrak relasional. [Furubotn dan Richter, 2000:147]. Pertama, dalam teori agency
diandaikan setidaknya terdapat dua pelaku yang berhubungan, yakni prinsipal dan agen.
Prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan
yang diinginkan oleh prinsipal. Di luar itu, prinsipal juga memfasilitasi bagi keberhasilan
sebuah aktivitas yang telah didelegasikan kepada pihak agen, misalnya otoritas untuk
mengambil keputusan. Dalam posisi ini, informasi (setelah kontrak dilakukan) diandaikan
asimetris karena: (i) tindakan agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; (ii)
pihak agen membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal (dalam kasus
share cropping, misalnya, agen tahu persis berapa output yang dihasilkan, tetapi prinsipal
tidak mengetahuinya). Pada kasus ini sangat mahal bagi prinsipal untuk mengawasi tindakan
agen secara langsung atau mendapatkan pengetahuan lengkap dari informasi yang diperoleh
agen. Menurut Arrow (1985), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi
dan pada kasus kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi.
Kedua, jika dalam teori kontrak agensi diasumsikakn kesepakatan bisa ditegakkan
secara hukum, maka dalm teori kesepakatan otomatis diandaikan tidak seluruh hubungan atau
pertukaran bisa ditegakkan secara hukum (Furubotn dan Ritcher, 2000:156-157). Disini
dinyatakan bahwa sistem hukum sangat mungkin tidak sempurna atau informasi yang relevan
tidak bisa diverifikasi oleh pengadilan. Oleh karena itu, salah satu kemungkinan bagi relasi
bisnis dalam jangka panjang adalah membuat atau menemukan sebuah kontrak yang berisi
kesepakatan yang dapat ditegakkan secara otomatis. Kontrak semacam ini didesain untuk
memastikan bahwa keuntungan dari berbuat curang selalu lebih rendah dari laba yang
didapatkan dengan mematuhi kontrak yang telah disepakati. Jadi, disini tidak ada pihak ketiga
yang melakukan intervensi. Model seperti ini juga disinonimkan dengan istilah kontrak
implisit , meskipun yang terakhir ini sebetulnya didesain untuk membedakan dengan istilah
‘teori kontrak formal’. Kontrak implisit lebih banyak mencakup norma-norma perilaku
ketimbang pembagian resiko.
Ketiga, kontrak relasional dapat dipahami sebagai kontrak yang tidak bisa
menghitung seluruh ketidakpastian di masa depan, tetapi hanya berdasarkan kesepakatan
6
dimasa silam, saat ini, dan ekspektasi terhadap hubungan dimasa depan di antara pelaku-
peelaku yang telibat dalam kontrak (Macneil, 1974; dalam Furubotn dan Ritcher, 2000:158).
Oleh karena itu, kontrak dalam pengertian ini mengacu pada derajat yang bersifat implisit,
informal dan tanpa ikatan. Disini, penegakan otomatis memegang peranan yang sangat
penting. Secara aktual sebetulnya sebagian besar transaksi yang menggunakan kontrak
relasional ini kurang melekat dalam sebuah struktur hubungan transaksi yang sangat longgar.
Transaksi sendiri secara umum merupakan bagian dari asosiasi usaha yang sedang berjalan
dan dalam jangka panjang. Model semacam ini memainkan peran yang penting dalam
kehidupan ekonomi modern. Jika terjadi persoalan dalam hubungan kontrak tersebut,
biasanya tidak diselesaikan lewat pengadilan tetapi dicapai melalui keseimbangan kerjasama
dan pemaksaan (coercion), serta komunikasi dan strategi. Jadi, kontrak relasional biasa
diaplikasikan dalam situasi dimana terdapat ketergantungan dua pihak (bilateral dependence)
pelaku transaksi karena eksistensi dari transaksi investasi yang spesifik (transaction-specific
investmenst).
Dari review terhadap beragam studi tentang kontrak yang telah dilakukan, terdapat
empat aspek yang bisa disimpulkan menjadi faktor perbedaan jenis kontrak (Menard,
7
2000:236). Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak. Hampir semua studi empiris yang
dilakukan menunjukkan bahwa jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan atribut dari
transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu sekaligus juga menggambarkan komitmen (signal
commitment) dari para mitra. Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang
mencangkup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan (delay), dan penalty.
Beberapa studi menunjukkan bahwa derajat kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan
spesifikasi asset dan menurun bersamaan dengan ketidakpastiaan. Ketiga,kontrak biasanya
bersinggungan dengan insentif. Di sini hanya terdapat sedikit jenis mekanisme insentif.
Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang tetap (piece-rate systems), upah
berdasarkan jam kerja, distribusi bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan
kepada pemilik, dan sewa yang dibagi antara mitra yang bergabung dalam proyek. Keempat,
prosedur penegakan (enforcement procedures) yang berlaku. Kontrak berhubungan dengan
mitra untuk tujuan yang saling menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang
bersamaan kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage) melalui sikap oportunis
(opportunism); entah disebabkan oleh kontrak yang tidak lengkap maupun kondisi
pelaksanaan yang berbeda dengan situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya.
8
penyitaan (threaten confiscation), dan kekerasan bertujuan untuk memperkuat pertukaran
kontrak itu sendiri.
Poin terpenting dari tipologi pembagian dengan pelaku lainnya adalah bermufakat
dalam persoalan penegakan (dealing with the problem of enforcement). Kontrak
menghubungkan antara satu pelaku dengan mitra lainnya karena adanya asas saling
menguntungkan, tetapi pada saat yang sama kontrak juga beresiko melalui praktik
oportunisme. Hasilnya, terdapat godaan bagi satu atau lebih pelaku untuk bersikap
menyimpang (Crawford et. al., 1978). Hal ini membuat tugas untuk mengatur hak-hak
menjadi isu utama, dengan prosedur penegakan menjadi kunci untuk menentukan berhasil
atau tidaknya sebuah kesepakatan (seperti dikutip oleh Menard, 2000:240). Isu yang utama
adalah mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak didesain sebegitu rupa sehingga
pelaku (agents) memilki insentif yang memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah
dimufakati. Kontrak semacam ini semestiinya harus dapat memaksakan sendiri (self-
enforcing), dalam arti implementasinya tergantung kepada mekanisme otomatis (built-in
mechanism). Dalam model ini, kelembagaan tidaklah menjadi masalah. Pada kondisi ini,
9
tanda-tanda kegagalan kontrak bisa dari kebutuhannya untuk menggunakan kekuatan
eksternal, dengan kata lain kontrak telah didesain dengan buruk (Menard, 2000:238).
Seperti yang telah Menard (2000:248) kemukakan, hal itu membawa kepada
pengertian batas ‘penataan publik’ (public ordering). Penataan publik bisa didefinisikan
melampaui aturan main untuk wilayah penataan privat. Penataan publik juga
mengimplementasikan seperangkat mekanisme yang secara eksplisit didesain untuk
menegakkan kontrak dan menopang transaksi. Sebagai hasilnya, diharapkan penataan publik
tersebut bertemu dengan penataan sektor swasta (privat). Topik utama yang dapat
diagendakan untuk penelitian adalah melakukan analisa dan pemahaman atas perubahan
keseimbangan antara prosedur privat dan publik. Pengendalian (court) dan kelembagaan yang
terkait (administrasi kehakiman, polisi, dan penjara) merupakan mekanisme yang melekat
dalam penataan privat menuju kepada penegakan public. Peran dari pengadilan dalam
penegakan publik atas kontrak adalah berhubungan dengan isu hak-hak kepemilikan, tepatnya
sejak kesepakatan kontrak dimasukkan ke dalam pemindahan hak-hak pemanfaatan. Tetapi,
menurut North (1990a:59), penegakan di negara dunia ketiga sering kali tidak pasti yang
disebabkan bukan hanya karena ambiguitas doktrin legal (pengukuran biaya), namun juga
ketidakpuasan dalam menghargai perilaku agen/pelaku.
Dalam realitasnya, tentu mekanisme penegakan tersebut tidak selalu mudah dilakukan,
bahkan kerap kali sangat rumit. Lebih-lebih, dalam kasus di mana rasionalitas terikat/terbatas
(bounded rationality) eksis sehingga ketidaklengkapan kelembagaan terjadi, maka
problemnya bukan sekedar mendesain sebuah aturan-aturan perilaku kelembagaan
(institution’s behavioral rules) tetapi juga bagaimana aturan-aturan itu ditegakkan.
Masalahnya, dalam kasus aturan main yang tidak komplet, suatu penegakan legal sangat
terbatas penggunaannya. Dalam kasus semacam ini dibutuhkan suatu instrument tambahan
semacam jaminan ekstralegal (extralegal guarantee), seperti penyanderaan (hostages),
agunan (collateral), strategi balas dendam (tit-for-tat-strategies), reputasi (reputation), dan
lain sebagainya. Dengan kata lain, beberapa jaminan “privat” untuk menghadapi perilaku
penyimpangan diperlukan untuk membangun suatu hubungan yang taat asas. Oleh karena itu,
setiap desainer kelembagaan harus memperhatikan situasi aturan main yang tidak lengkap
tersebut agar perilaku-perilaku menyimpang bisa dicegah (Furuboth dan Ricther, 2000:19).
Secara umum, desainer kelembagaan yang rasional akan merencanakan suatu strategi
atau perilaku “non-kerjasama” (noncooperative) sebagai bagian dari partisipan pada saat
proses tawar-menawar (bargaining process). Singkatnya, desainer harus menyusun
10
kesepakatan jaminan sebelum kontrak dilakukan (ex-ante guarantee) untuk menghadapi
perilaku oportunistik setelah kontrak disepakati (noncooperative behavior). Tentu saja dalam
kasus semacam ini akan muncul biaya transaksi yang mungkin cukup besar. Dengan begitu,
biaya transaksi yang muncul tersebut berperan besar dalam konteks seperti ini (Furuboth dan
Richter, 2000;20). Kejadian semacam ini sebetulnya merupakan problem ekonomi yang biasa
saja, khususnya dalam suatu lingkungan di mana otoritas hukum formal tidak bekerja dengan
baik. Kegiatan-kegiatan ekonomi/bisnis sehari-hari selalu diselimuti dengan berbagai
peristiwa seperti itu sehingga keperluan melakukan antisipasi terhadap persoalan ini menjadi
keniscayaan. Secara kategoris, upaya semacam ini bisa disebut sebagai “kontrak dalam
kontrak”, di mana kontrak yang pertama ditujukan untuk menyepakati kegiatan ekonomi yang
ingin dilakukan dan kontrak yang kedua dimaksud untuk mengatasi problem penegakan
akibat ketidaklengkapan informasi/kontrak.
Setidaknya terdapat dua pendekatan dalam teori pilihan rasional, yakni pendekatan
kuat (strong approach) dan pendekatan lemah (weak approach) [Miller, 1992:24; dalam
Yustika, 2008:120]. Pendekatan kuat melihat rintangan sosial dan kelembagaan sebagai
produk dari tindakan rasional dan tindakan rasional itu sendiri menjadi sebab munculnya
analisis pilihan rasional. Sedangkan pendekatan lemah menempatkan halangan sosial dan
kelembagaan sebagai suatu kerangka yang pasti ada (given framework) karena aktor-aktor
rasional berupaya memaksimalisasikan keuntungan atau meminimalisasikan biaya. Dengan
mencermati deskripsi tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan bahwa rintangan sosial, dan
kelembagaan sama-sama eksis dalam pendekatan kuat maupun lemah. Namun, dalam
pendekatan kuat diandaikan hambatan sosial dan kelembagaan sebagai pemicu munculnya
tindakan rasional. Sebaliknya, dalam pendekatan lemah hambatan sosial dan kelembagaan
lahir akibat pertarungan rasional antara individu yang berupaya memaksimalisasikan laba dan
meminimalisasikan ongkos. Tentunya, jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan tindakan
kolektif dari dua versi teori pilihan rasional tersebut berbeda, tergantung pendekatan mana
yang eksis.
Apabila pendekatan kuat yang disepakati sebagai sebab munculnya tindakan rasional,
maka sekurangnya terdapat tiga solusi internal yang bisa direkomendasikan (Miller, 1992:25).
Pertama, perlunya solusi internal yang kuat (dengan asumsi tidak ada perubahan dalam
keyakinan dan preferensi) terhadap problem penunggang bebas. DeNardo (1985 dalam
Yustika, 2008:120) mengidentifikasi dua kemungkinan: (i) individu terlalu percaya
11
(overestimate) terhadap pentingnya partisipasi mereka dalam tindakan kolektif, seperti
ekspektasi bahwa tindakan mereka pasti akan berdampak positif (keuntungan); dan (ii)
sensitivitas kepuasan dan kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang membuat kegunaan
partisipasi berdampak positif terhadap pencapaian tindakan (outcome of the action).
12
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
George A. Akerlof's, yang dianggap sebagai pioner teori informasi asimetris, lewat karya
monumentalnya, yakni The Market of "Lemons": Quality Uncertainty and the Market
Mechanism (1970), berpendapat bahwa informasi asimetris yang terjadi di antara pelaku
transaksi dapat direduksi melalui kelembagaan pasar perantara (intermediary market
institutions), yang sering disebut dengan kelembagaan penghalang (counteracting
institutions). Contoh yang bagus untuk menunjukkan kelembagaan dimaksud adalah
jaminan/garansi (guarantees) atas barang. Garansi memberikan pembeli kecukupan waktu
untuk memeroleh informasi yang sama tentang barang sebaik pengetahuann yang dimiliki
oleh penjual.
13
3.2 Saran
Demikianlah makalah yang kami buat semoga bermanfaat bagi orang yang
membacanya dan menambah wawasan bagi orang yang membaca makalah ini. Dan penulis
mohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas,
mengerti, dan lugas mohon jangan dimasukan ke dalam hati.
Dan kami juga sangat mengharapkan yang membaca makalah ini akan bertambah
motivasinya dan mengapai cita-cita yang di inginkan, karena saya membuat makalah ini
mempunyai arti penting yang sangat mendalam.
Sekian penutup dari kami semoga berkenan di hati dan kami ucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya.
14
DAFTAR PUSTAKA
Yustika, Ahmad Erani. 2008. Ekonomi Kelembagaan; Definisi, Teori dan Strategi.
Malang: Bayumedia.
North, D. C. 1990. Institutions, Institutional Change and Economics Performance.
Cambridge University Press
Simarmata, DJ. A. 1994. Ekonomi Publik dan Eksternal: Ekonomi tanpa Pasar.
Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
15