Anda di halaman 1dari 10

1.

Hukum Kodrat dan Kebebasan (VS 46-53)

1.1. Pengertian

a. Apa itu hukum kodrat?

Kata hukum (law) yang dipakai di sini bukan berarti nilai-nilai moral yang tertulis
melainkan dorongan atau tindakan yang datang dari kedalaman hati seseorang yang mengalir
dari keberadaannya sebagai manusia dan mengarahkan manusia kepada kesempurnaan
hidupnya. Kata kodrat (nature) ingin menunjukkan kodrat manusia atau bagaimana menjadi
manusia. Keadaan kodrati manusia adalah dengan menjadi manusia itu sendiri.1 Kata kodrat
mengandung makna (1) bukan adikodrati, itu berarti tidak dikomunikasikan secara adikodrati;
(2) bukan positif; itu berarti bukan hasil ketetapan badan pembuat hukum, seperti halnya
hukum-hukum positif manusiawi atau ilahi; (3) terberi dalam kodrat manusia dan berasal dari
kodrat itu.2 Menurut Thomas Aquinas hukum kodrat adalah pertimbangan yang masuk akal
yang diambil seseorang. Kodrat manusia terarah untuk melakukan suatu tindakan tertentu
berdasarkan suatu alasan yang masuk akal.3

Menurut Gereja hukum kodrat adalah hukum yang ditulis oleh Pencipta di dalam hati
manusia (Rom 2:15) dan menjadi kemampuan manusia untuk berkembang sebagai manusia.
Hukum ini mengarahkan manusia untuk berbuat baik. Gereja berkeyakinan bahwa manusia
diciptakan oleh Pencipta dan sekaligus diberi kemampuan untuk berbuat baik atau paling
kurang memiliki kecenderungan untuk berbuat baik karena kodratnya sebagai manusia.4
Kecendrungan untuk berbuat baik ini bukan pertama-tama menyangkut organ fisik biologis
tentang hati dan otak melainkan menyangkut keseluruhan manusia yang selalu mencari apa
yang baik dan meraih kebaikan itu secara penuh.5 Hukum kodrat memiliki beberapa
kecenderungan seperti kecenderungan untuk berbuat baik, kecenderungan untuk melindungi
hidup, kecenderungan untuk menikah dan menurunkan generasi (VS 47), kecenderungan untuk
mencari kebenaran, dan kecenderungan untuk hidup di dalam komunitas.6

1
M. Mali, Iman dalam Tindakan, Kanisius., Yogyakarta 2009, 162.
2
K. H. Peschke, Etika Kristiani I, Ledalero., Maumere 2003, 108.
3
M. Mali, Iman dalam Tindakan, 162.
4
M. Mali, Iman dalam Tindakan, 163.
5
M. Mali, Iman dalam Tindakan, 163.
6
M. Mali, Iman dalam Tindakan, 185.

1
Hukum Kodrat Bersifat Universal dan Tidak Berubah (VS 51-53)

Universal

Hukum kodrat bersifat mewajibkan semua manusia di segala waktu dan tempat, karena
hukum itu berlandas pada kodrat manusia sendiri. Ciri hakikinya adalah umum bagi semua
orang. Semua dipanggil untuk mencapai tujuan akhir yang sama dan memperhatikan tujuan
eksistensial yang sama dengan cara yang pada hakikatnya sama, juga kalaupun cara itu dalam
perwujudan individualnya mengalami pelbagai variasi.7 Sifat universal ini tidak mengingkari
sifat individual dari manusia, juga tidak bertentangan dengan kekhususan yang mutlak dari
tiap-tiap pribadi (VS 51).

Tak seorang pun dibebaskan dari keharusan untuk memenuhi kewajiban ini; tak seorang
pun luput dari norma-norma yang menjadi pedoman dan jalan menuju kewajiban itu.
Kewajiban itu bersifat langsung bagi mereka yang mampu menggunakan akal budi, tidak
langsung bagi mereka yang untuk sementara atau tetap, tidak dapat menggunakan akal budinya,
misalnya orang-orang yang cacat mental. Tentu saja tidak ada hukum yang bersifat mengikat
dalam nurani, jikalau hukum itu tidak dikenal. Namun siapa yang mampu menggunakan
otaknya, tak dapat tidak mengenal hukum kodrat, paling tidak mengenal prinsip-prinsip
dasarnya.8 Prinsip-prinsip hukum kodrat yang paling umum berbunyi: “Kita harus melakukan
apa yang baik dan menghindari yang jahat, terlibat dalam meneruskan dan menjaga kehidupan,
menyempurnakan dan mengembangkan kekayaan dunia material, memupuk kehidupan sosial,
mencari kebenaran, mempraktekkan kebaikan dan merenungkan keindahan.”9

Tidak Berubah

ketakberubahan hukum kodrat berarti bahwa sejak manusia berakal ada, ia sudah
memiliki norma-norma fundamental tertentu tentang baik dan buruk dari kodratnya, dan bahwa
norma-norma itu tinggal tetap selama kodrat manusia ada. Dalam kodrat manusia terdapat
sesuatu yang konstan, yang selalu sama di tengah perubahan historis dan kultural.10

Dalam arti tegas tidak mungkin terdapat dispensasi dari hukum kodrat, paling kurang
tidak dari pihak otoritas manusia. Karena kodrat manusia dan tujuan akhir, yang menjadi titik
tolak kodrat tersebut tidak diciptakan dan ditetapkan manusia, tetapi berasal dari kekuasaan

7
K. H. Peschke, Etika Kristiani I, 118.
8
K. H. Peschke, Etika Kristiani I, 118-119.
9
Bdk. Santo Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I-II, q.94,a.2.
10
K. H. Peschke, Etika Kristiani I, 125.

2
yang lebih tinggi, maka keberadaan hukum kodrat juga tidak tergantung dari penentuan
manusia. Hukum kodrat itu terlepas dari kekuasaan manusia dan ketetapannya. Bagi orang
Kristen, kekuasaan yang telah menciptakan manusia dan hukum struktur eksistensinya adalah
Allah. Hukum kodrat identik dengan kehendak Allah. Sangat jelas bahwa manusia tidak
memiliki otoritas atas hukum model ini.11

“Memang harus diakui bahwa manusia itu selalu berada dalam suatu kebudayaan
tertentu, tetapi juga haruslah diakui bahwa manusia tidak secara menyeluruh ditentukan oleh
kebudayaan yang sama. Tambahan pula kemajuan kebudayaan menunjukkan bahwa dalam diri
manusia ada sesuatu yang melampaui kebudayaan-kebudayaan tadi. “Sesuatu” tadi adalah
kodrat manusia; kodrat itu sendirilah yang merupakan ukuran kebudayaan dan keadaan yang
menjamin bahwa manusia tidak menjadi budak dan terkungkung oleh salah satu
kebudayaannya, tetapi menegaskan martabat pribadinya dengan menghayatinya sesuai dengan
kebenaran yang mendalam dari keberadaannya. “Gereja menegaskan bahwa di balik begitu
banyak perubahan-perubahan ada beberapa hal yang tidak berubah dan yang pada akhirnya
berdasarkan pada Kristus, yang tetap sama, kemarin, sekarang dan selama-lamanya.” (GS 10).
Kristus adalah awalmula, yang telah mengambil kodrat manusia, dan secara defenitif
meneranginya dalam unsur-unsurnya yang konstitutip dan dalam dinamika kasih kepada Allah
dan sesama.” [VS 53]12

b. Apa itu Kebebasan?

Kebebasan dalam pengertiannya yang eksistensial adalah kemampuan manusia untuk


menentukan tindakannya sendiri.13 Tidak setiap kegiatan manusia merupakan tindakan.
Dentuman jantung dan pernapasan bukanlah tindakan karena berjalan tanpa disengaja.
Tindakan adalah kegiatan yang disengaja. Binatang tidak dapat bertindak tetapi selalu didorong
oleh naluri, perangsang, kebiasaan-kebiasaan yang telah berdarah daging padanya.14

Manusia adalah makhluk yang menentukan dirinya sendiri. (VS 47 “…man, as a


rational being, not only can but actually must freely determine the meaning of his behavior.)
Manusia bukan sekedar simpul reaksi-reaksi terhadap macam-macam perangsang, ia tidak
ditentukan oleh segala kecondongan. Berhadapan dengan berbagai kecondongan dan

11
K. H. Peschke, Etika Kristiani I, 126-127.
12
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.
13
F.M. Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius., Yogyakarta 1987, 26.
14
F.M. Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, 23.

3
perangsang itu manusia mengambil sikap dalam tindakan yang bebas. Kebebasan adalah tanda
dan ungkapan martabat manusia yang otonom, yang menentukan diri sendiri, yang dapat
mengambil sikapnya sendiri.15

1.2. Hubungan antara Hukum Kodrat dan Kebebasan (VS 48)

“Suatu kebebasan yang bersifat mutlak pada akhirnya memperlakukan tubuh manusia
sebagai suatu data mentah, yang tidak mempunyai makna apapun, tidak punya nilai moral
sampai kebebasan membentuknya, sesuai dengan rencananya. Itulah sebabnya maka kodrat
manusia dan tubuh kelihatan sebagai asumsi atau pendahuluan, yang secara material penting
bagi kebebasan agar dapat mengadakan pilihan, namun ada di luar pribadi, yang merupakan
subyek dan perbuatan manusiawi. Fungsi mereka tidak dapat dijadikan butir-butir rujukan bagi
keputusan-keputusan moral, karena tujuan dari kecenderungan-kecenderungan itu hanyalah
keutamaan-keutamaan fisik, yang disebut oleh beberapa orang dengan istilah pramoral. Dalam
cara berpikir seperti ini, ketegangan antara kebebasan dan kodrat, yang dipikirkan secara
sempit, dipecahkan dengan suatu pembagian dalam diri manusia sendiri,” [VS 48].16

“Teori moral ini tidak sesuai dengan kebenaran mengenai manusia dan kebebasannya.
Teori ini bertentangan dengan ajaran-ajaran Gereja mengenai kesatuan pribadi manusia, karena
jiwa yang bersifat rasional per se dan secara hakiki merupakan “forma” dari tubuhnya. Jiwa
yang bersifat rohani dan tidak dapat mati merupakan prinsip kesatuan makhluk manusia,
dengan mana ia ada sebagai suatu keseluruhan – corpore et anima unus- sebagai seorang
pribadi. Pribadi, termasuk tubuh, secara utuh dipercayakan pada dirinya sendiri, dan di dalam
kesatuan jiwa dan tubuh inilah maka pribadi merupakan subyek dari perbuatan-perbuatannya
yang bersifat moral. Manusia tidak boleh hanya dipersempit hingga hanya merupakan suatu
kebebasan, yang menentukan diri sendiri, tetapi juga mencakup suatu struktur yang secara
khusus bersifat rohaniah dan jasmaniah, maka tuntutan pertama-tama untuk mengasihi dan
menghormati pribadi sebagai suatu tujuan dan bukan hanya sebagai sarana, juga dari
hakekatnya sendiri, menuntut sikap menghargai keutamaan-keutamaan dasar tertentu, tanpa itu
seseorang akan jatuh dalam sikap relativisme dan sewenang-wenang,” [VS 48].17

15
F.M. Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, 26.
16
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.
17
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.

4
Tubuh dan jiwa tidak dapat dipisahkan; di dalam pribadi, di dalam pelaku yang
mempunyai kehendak dan dalam perbuatan bebas, mereka tegak berdiri atau jatuh bersama-
sama (VS 49). Tidak ada pemisahan antara kebebasan dan kodrat karena keduanya secara
harmonis saling berhubungan, dan masing-masing secara erat terhubung satu dengan yang lain.
(VS 50).

II. Suara Hati (VS 54-64)

2.1. Sanggar Suci Manusia

Hubungan antara kebebasan manusia dengan hukum Allah yang paling mendalam
dihayatinya di dalam “hati” manusia, dalam suara hatinya (VS 54). Seperti yang diamati oleh
Konsili Vatikan II:”Di lubuk hati nuraninya manusia menemukan hukum, yang tidak diterima
dari dirinya sendiri, tetapi harus ditaatinya. Suara hati itu selalu menyeruhkan kepadanya untuk
mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan untuk menghindari apa yang jahat. Bilamana
perlu suara itu menggemakan dalam lubuk hatinya: jalankanlah ini, elakkanlah itu. Sebab
dalam hatinya manusia menemukan hukum yang ditulis oleh Allah. Martabatnya ialah
mematuhi hukum itu dan menurut hukum itu pulalah ia akan diadili (bdk. Rm 2:14-16)”.18

2.2. Kesadaran dan Hati Nurani

Dengan “hati nurani” kita maksudkan penghayatan tentang baik dan buruk
berhubungan dengan tingkah laku konkret kita. Hati nurani ini memerintahkan atau melarang
kita untuk melakukan sesuatu kini dan di sini. Ia tidak berbicara tentang yang umum, melainkan
tentang situasi yang sangat konkret. Tidak mengikuti hati nurani berarti menghancurkan
integritas pribadi dan mengkhianati martabat terdalam kita.19

Hati nurani berkaitan erat dengan kenyataan bahwa manusia mempunyai kesadaran.
Kesadaran adalah kesanggupan manusia untuk mengenal dirinya sendiri dan karena itu
berefleksi tentang dirinya. Hanya manusia mempunyai kesadaran. Dalam diri manusia bisa
berlangsung semacam ‘penggandaan’ artinya dalam proses pengenalan manusia bisa saja
berperan sebagai subyek dan juga sebagai obyek.20

18
Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes, art.
16.
19
K. Bertens, Etika, Gramedia Pustaka Utama., Jakarta 1994, 52.
20
K. Bertens, Etika, 52-53.

5
Untuk menunjukkan kesadaran, dalam bahasa Latin dipakai kata conscientia. Kata itu
berasal dari kata kerja scire (mengetahui) dan awalan con- (bersama dengan, turut). Dengan
demikian conscientia sebenarnya berarti “turut mengetahui” dan mengingatkan kita pada gejala
penggandaan yang disebut tadi. Kalau saya melihat pohon, bukan saja saya melihat pohon itu,
tapi saya juga “turut mengetahui” bahwa sayalah yang melihat pohon itu. Sambil melihat, saya
sadar akan diri saya sendiri sebagai subyek yang melihat. Kata conscientia digunakan juga
untuk menunjukkan hati nurani. Dalam diri kita, seolah-olah ada instansi yang menilai dari segi
moral perbuatan-perbuatan yang kita lakukan. Hati nurani merupakan semacam “saksi” tentang
perbuatan-perbuatan moral kita.21

2.3. Keputusan Suara Hati

“Menurut Santo Paulus, suara hati dalam arti tertentu mengkonfrontasikan manusia
dengan hukum, dan dengan demikian menjadi suatu “kesaksian” bagi manusia; suatu kesaksian
mengenai kesetiaannya atau ketidaksetiaannya sendiri sehubungan dengan hukum, mengenai
kebaikan moralnya yang hakiki atau kejahatannya. Suara hati adalah satu-satunya saksi, karena
apa yang terjadi dalam hati seseorang tersembunyi dari setiap orang luar. Suara hati membuat
kesaksiannya diketahui hanya oleh pribadi orang itu sendiri dan pada gilirannya, hanya orang
itu sendiri yang tahu apa jawabannya sendiri kepada suara hati” [VS 57].22

“Pentingnya dialog batin dari orang dengan dirinya sendiri, yang merupakan dialog
antara manusia dengan Allah, pembuat hukum, gambaran awal dan tujuan akhir dari manusia.
Santo Bonaventura mengajarkan bahwa suara hati itu seperti bentara dan utusan Allah. Dia
tidak memerintahkan apa saja berdasarkan otoritasnya, tetapi memerintahkannya sebagai
sesuatu yang berasal dari otoritas Allah, seperti halnya seorang bentara bila ia mengumumkan
keputusan dari raja. Itulah sebabnya suara hati mempunyai kekuatan yang mengikat. Dengan
demikian dapatlah dikatakan bahwa suara hati memberikan kesaksian mengenai kebaikan
moral atau kejahatan seorang kepada dirinya sendiri, namun bersamaan dengan ini juga dan
malahan sebelumnya, suara hati adalah kesaksian dari Allah sendiri, yang suara dan keputusan-
Nya menembus sampai ke lubuk jiwa manusia, sambil memanggilnya selalu dan setiap saat
untuk taat. Suara hati tidak mengurung manusia dalam kesunyian yang tak teratasi dan tak
tertembuskan, tetapi membuka dia kepada panggilan, kepada suara Allah. Dalam hal ini,

21
K. Bertens, Etika, 53.
22
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.

6
terletaklah misteri dan martabat suara hati nurani, karena merupakan tempat kudus di mana
Allah berbicara kepada manusia” [VS 58].23

Penilaian suara hati adalah suatu penilaian praktis (VS 59). Ada dua jenis penilaian dari
suara hati yakni penilaian yang retrospektif dan prospektif. Hati nurani retrospektif
memberikan penilaian tentang perbuatan-perbuatan yang telah berlangsung di masa lampau.
Hati nurani ini seakan-akan menoleh ke belakang dan menilai perbuatan-perbuatan yang sudah
lewat. Ia menyatakan bahwa perbuatan yang telah dilakukan itu baik atau tidak baik. Hati
nurani menuduh atau mencela bila perbuatannya tidak baik dan sebaliknya memuji bila
perbuatan yang telah dilakukan itu baik. Hati nurani berfungsi seperti sebuah instansi
kehakiman dalam batin kita tentang perbuatan yang telah berlangsung.24

Hati nurani prospektif melihat ke masa depan dan menilai perbuatan-perbuatan kita
yang akan datang. Hati nurani dalam arti ini mengajak kita untuk melakukan sesuatu atau
mengatakan jangan dan melarang untuk melakukan sesuatu. Dalam hati nurani prospektif ini
sebenarnya terkandung semacam ramalan. Ia menyatakan, hati nurani pasti akan menghukum
kita, andaikata kita melakukan perbuatan itu.25

Pembedaan antara hati nurani retrospektif dan hati nurani prospektif ini bisa
menampilkan kesan seolah-olah hati nurani hanya menyangkut masa lampau dan masa depan.
Padahal, hati nurani dalam arti yang sebenarnya justru menyangkut perbuatan yang sedang
dilakukan kini dan di sini. Hati nurani terutama adalah conscience, “turut mengetahui” ketika
perbuatan itu berlangsung. Dalam perbuatan itu sendiri si pelaku telah mengalami, atas dasar
hati nurani, bahwa perbuatan yang dilakukannya itu baik atau buruk. Dapat dikatakan bahwa
hati nurani terutama berbicara dalam perbuatan itu sendiri pada saat dilakukan.26

“Kalau hukum kodrat membuka tuntutan-tuntutan yang obyektif dan universal dari
kebaikan moral, maka suara hati merupakan penerapan dari hukum tadi kepada suatu kasus
khusus. Penerapan hukum tadi menjadi suatu perintah batin bagi individu, suatu ajakan untuk
melakukan apa yang baik dalam situasi khusus itu. Dengan demikian suara hati merumuskan
kewajiban moral dalam terang hukum kodrat; merupakan kewajiban untuk melakukan apa yang
diketahui oleh individu sebagai sesuatu yang baik, dalam situasi khusus ini, berkat karya suara

23
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.
24
K. Bertens, Etika, 54.
25
K. Bertens, Etika, 55.
26
K. Bertens, Etika, 56.

7
hati. Penilaian suara hati menyatakan pada akhirnya apakah suatu macam tingkah laku tertentu
selaras dengan hukum atau tidak; suara hati merupakan norma terakhir moralitas dari suatu
perbuatan bebas, dengan menerapkan hukum yang obyektif pada suatu kasus tertentu” [VS
59].27

2.4. Selalu Mencari Apa yang Benar dan Baik (VS 62-64)

Suara hati, sebagai penilaian dari suatu perbuatan, tidak luput dari kemungkinan untuk
keliru. Seperti yang dikemukakan oleh Konsili, “akan tetapi tidak jarang terjadi bahwa suara
hati tersesat karena ketidaktahuan yang tak teratasi, tanpa kehilangan martabatnya. Tetapi itu
tidak dapat dikatakan tentang orang, yang tidak peduli untuk mencari apa yang benar serta baik,
dan karena kebiasaan berdosa suara hatinya lambat laun hampir menjadi buta.28

“Untuk mempunyai “suara hati yang baik” (1 Tim 1:5), manusia harus mencari
kebenaran dan harus membuat penilaian selaras dengan kebenaran yang sama tadi. Seperti yang
dikatakan Rasul Paulus, suara hati haruslah “diteguhkan oleh Roh Kudus” (bdk. Rom 9:1),
haruslah “jelas” ( 2 Tim 1:3); tidak boleh “berlaku licik dan memalsukan Sabda Allah”, tetapi
“dengan terbuka menyatakan kebenaran” (bdk. 2 Kor 4:2). Di lain pihak Rasul Paulus juga
memperingatkan orang-orang Kristen: “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah
kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Rom 12:2),
[VS 62].29

“Di dalam setiap kejadian, selalu dari kebenaranlah suara hati memperoleh
martabatnya. Jika suara hati tadi benar, maka persoalannya ialah mengenai kebenaran obyektif
yang diterima oleh manusia; sedangkan bila suara hati itu sesat, maka persoalannya ialah
mengenai sesuatu yang keliru, tetapi secara obyektif dianggap oleh manusia sebagai sesuatu
yang benar. Suara hati sebagai penilaian konkret terakhir, mengkompromikan martabatnya bila
suara hati itu sesat secara bersalah, yakni bila manusia tidak peduli untuk mencari apa yang
benar serta baik, dan karena kebiasaan berdosa hati nuraninya lambat laun hampir menjadi
buta. Yesus menyinggung mengenai bahaya bahwa suara hati diperburuk ketika Dia

27
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.
28
Dokumen Konsili Vatikan II, Konstitusi Pastoral tentang Gereja dalam Dunia Modern, Gaudium et Spes, art.
16.
29
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.

8
mengingatkan: “Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika
matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa
gelapnya kegelapan itu” (Mat 6:22-23), [VS 63].30

“Orang-orang Kristen mendapatkan bantuan yang besar bagi pembinaan suara hati
dalam Gereja dan Magisteriumnya. Seperti yang ditegaskan Konsili: ‘Kaum beriman kristiani
dalam membentuk suara hati mereka wajib mengindahkan dengan seksama ajaran Gereja yang
suci dan pasti. Sebab atas kehendak Kristus Gereja Katolik adalah guru kebenaran. Tugasnya
mengungkapkan dan mengajarkan secara otentik kebenaran yakni Kristus, pun juga
menjelaskan dan mengukuhkan dengan kewibawaan azas-azas tata kesusilaan, yang bersumber
pada kodrat manusia sendiri.’31 Magisterium tidak menyampaikan kepada suara hati kristiani
kebenaran-kebenaran yang dari luar suara hati, tetapi menyoroti kebenaran-kebenaran yang
seharusnya sudah dimilikinya, dengan mengembangkannya berpangkal tolak dari perbuatan
iman yang paling dasar. Gereja menempatkan diri selalu dan hanya untuk melayani suara hati,
dengan membantunya agar tidak diombang-ambingkan oleh setiap arus ajaran yang
dikemukakan oleh tipu daya manusiawi (bdk. Ef 4:14). Gereja membantu agar suara hati tidak
menyimpang dari kebenaran mengenai kebaikan manusia, melainkan mencapai kebenaran
dengan kepastian dan berpegang padanya, terutama dalam persoalan-persoalan yang lebih
sulit”, [VS 64].32

30
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.
31
Pernyataan tentang Kebebasan Beragama, Dignitatis Humanae, art. 14.
32
Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-
ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal 20 Maret 1019.

9
Daftar Pustaka

Sumber Buku:

Bertens, K.,

1994 Etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

KWI.,

2008 Dokumen Konsili Vatikan II (terj. R. Hardawiryana), Obor, Jakarta.

Mali, M.,

2009 Iman dalam Tindakan, Kanisius, Yogyakarta.

Peschke, K. H.,

2003 Etika Kristiani I, Ledalero, Maumere.

Suseno, F. M.,

1987 Etika Dasar Masalah-masalah pokok Filsafat Moral, Kanisius, Yogyakarta.

Sumber Internet:

Ionnes Paulus II, “Veritatis Splendor”, dalam http://w2.vatican.va/content/john-paul-


ii/en/encyclicals/documents/hf_jp-ii_enc_06081993_veritatis-splendor.html diunduh tanggal
20 Maret 1019.

10

Anda mungkin juga menyukai