Anda di halaman 1dari 16

Ferdinand de Saussure

1.1 Biografi Ferdinand de Saussure

Ferdinand de Saussure (lahir di Jenewa, 26 November 1857 – dari keluarga


Protestan Perancis (Huguenot) yang ber-emigrasi dari daerah Lorraine ketika
perang agama pada akhir abad ke-16, meninggal di Vufflens-le-Château, 22
Februari 1913 pada umur 55 tahun) adalah linguis Swedia yang dipandang
sebagai salah satu Bapak Linguistik Modern dan semiotika. Karya utamanya,
Cours de linguistique générale diterbitkan pada tahun 1916, tiga tahun
setelah kematiannya, oleh dua orang mantan muridnya, Charles Bally and
Albert Sechehaye, berdasarkan catatan-catatan dari kuliah Saussure di Paris.
Konsepnya yang paling terkenal adalah pembedaan tanda bahasa menjadi
dua aspek, yaitu signifiant (yang memaknai) dan signifie (yang dimaknai).
Dalam semiologi, Saussure berpendapat bahwa bahasa sebagai “suatu
sistem tanda yang mewujudkan ide” dapat dibagi menjadi dua unsur: langue
(bahasa), sistem abstrak yang dimiliki bersama oleh suatu masyarakat yang
digunakan sebagai alat komunikasi, dan parole (ujaran), realisasi individual
atas sistem bahasa.
Sejak kecil, Saussure memang sudah tertarik dalam bidang bahasa. Pada
tahun 1870, ia masuk Institut Martine, di Paris. Dua tahun kemudian (1872), ia
menulis “Essai sur les langues” yang ia persembahkan untuk ahli linguistik
pujaan hatinya (yang menolong dia untuk masuk ke Institut Martine, Paris),
yakni Pictet. Pada tahun 1874 ia belajar fisika dan kimia di universitas
Genewa (sesuai tradisi keluarganya), namun 18 bulan kemudian, ia mulai
belajar bahasa sansekerta di Berlin. Rupanya, Saussure semakin tertarik
pada studi bahasa, maka pada 1876-1878 ia belajar bahasa di Leipzig; dan
pada tahun 1878-1879 di Berlin. Di perguruan tinggi ini, ia belajar dari tokoh
besar linguistik, yakni Brugmann dan Hübschmann.
Ketika masih mahasiswa, ia telah membaca karya ahli linguistik Amerika,
William Dwight Whitney yang membahas tentang The Life and Growth of
Language: and outline of Linguistic Science (1875); buku ini sangat
mempengaruhi teori linguistiknya di kemudian hari. Pada tahun 1878,
Saussure menulis buku tentang Mémoire sur le systéme primitif des voyelles
dans les langues indo-européennes (Catatan Tentang Sistem Vokal Purba
Dalam Bahasa-bahasa Indo-Eropa). Pada tahun 1880 ia mendapat gelar
doktor (dengan prestasi gemilang: summa cum laude) dari universitas Leipzig
dengan disertasi: De l’emploi du génetif absolu en sanscrit (Kasus Genetivus
Dalam Bahasa Sansekerta) dan pada tahun yang sama, ia berangkat ke
Paris.
Tahun 1881 menjadi dosen di salah satu universitas di Paris. Setelah lebih
dari sepuluh tahun mengajar di Paris, ia dianugrahkan gelar profesor dalam
bidang bahasa Sansekerta dan Indo-Eropa dari Universitas Genewa. Berkat
ketekunanya mendalami struktur dan filsafat bahasa, Saussure C. Menurut
beliau, prinsip dasar strukturalisme adalah bahwa alam semesta terjadi dari
relasi (forma) dan bukan benda (substansial)
1.2 PANDANGAN SAUSSURE YANG MEMPENGARUHI LEVIS-
STRAUSS
Ferdinand de Saussure (1857-1913) merupakan penemu linguistik modern
(Modern Linguistics). Gagasan terbesar de Saussure adalah pada teori umum
sistem tanda (general theory of sign system) yang disebutnya dengan ilmu
Semiologi (Semiology) (Winfried Noth, 1995; 56). Sebagai penemu konsep
linguistik modern, wajar jika de Saussure dianggap sebagai orang yang paling
berpengaruh terhadap teori Strukturalisme.
Terobosan pemikiran de Saussure dimulai pada pemikirannya mengenai
hakekat gejala bahasa. Pemikiran ini kemudian melahirkan konsep struktural
dalam bahasa dan juga semiologi atau yang sekarang disebut dengan
semiotik (Ahimsa, 2006). Ada lima pandangan de Saussure yang
mempengaruhi Levi-Strauss dalam memandang bahasa. Yaitu:
1. Signified (tinanda) dan signifier (penanda)
Bahasa adalah suatu sistem tanda (sign). De Saussure berpendapat bahwa
elemen dasar bahasa adalah tanda-tanda linguistik atau tanda kebahasaan
(linguistic sign), yang wujudnya tidak lain adalah kata-kata.
Tanda adalah juga kesatuan dari suatu bentuk penanda yang disebut
signifier, dengan sebuah ide atau tinanda yang disebut signified, walaupun
penanda dan tinanda tampak sebagai entitas yang terpisah-pisah namun
keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang
merupakan fakta dasar dari bahasa (Culler; 1976, 19 via Ahimsya, 2006 h.
35).
2 Form (wadah) dan content (isi)
Wadah atau form adalah sesuatu yang tidak berubah. Dalam konsep ini, isi
boleh saja berganti tetapi makna dari wadah masih tetap berfungsi. Untuk
menjelaskan konsep ini memang agak sulit. Kiasan yang sering digunakan
untuk menggambarkan kedudukan wadah (form) dan isi adalah pergantian
salah satu fungsi dari komponen permainan catur.
3 Bahasa (Langue) dan Tuturan (Parole)
Konsep langue merupakan aspek yang memungkinan manusia
berkomunikasi dengan sesama. Inilah kenapa langue membicarakan juga
aspek sosial dalam linguistik. Dalam langue terdapat norma-norma, aturan-
aturan antarperson yang tidak disadari tetapi ada pada setiap pemakai
bahasa. Disisi lain parole merupakan tuturan yang bersifat individu, ia bisa
mencerminkan kebebasan pribadi seseorang.
4 Sinkronis (Synchronic) dan Diakronis (Diachronic)
De Saussure meyakini akan adanya proses perubahan bahasa. Oleh karena
itu keadaan ini menuntut adanya perbedaan yang jelas antara fakta-fakta
kebahasasan sebagai sebuah sistem, dan fakta-fakta kebahsaan yang
mengalami evolosi (Culler, 1976, via Ahimsa, 2006; 46). Karena sifatnya yang
evolutif maka tanda kebahasaan sepenuhnya tunduk pada proses sejarah.
5 Sintagmatik dan Paradigmatik
Dalam kontek ini de Saussure menyatakan bahwa manusia menggunakan
kata-kata dalam komunikasi bukan begitu saja terjadi. Tetapi menggunakan
pertimbangan-pertimbangan akan kata yang akan digunakan. Kita memiliki
kata yang mau kita gunakan sebagaimana penguasaan bahasa yang kita
miliki. Disinilah hubungan sintagmatik dan paradigmatik itu berperan.
Hubungan sintagmatik dan paradigmatik terdapat dalam kata-kata sebagai
rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep (Ahimsa, 2006; 47).
2.1 TINJAUAN TEORITIK tentang SEMIOTIK
2.1.1 Tokoh Semiotik
Kalau kita telusuri dalam buku-buku semiotik yang ada,hampir sebagian
besar menyebutkan bahwa ilmu semiotik bermula dari ilmu linguistik dengan
tokohnya Ferdinand de de Saussure (1857 – 1913). de Saussure tidak hanya
dikenal sebagai Bapak Linguistik tetapi juga banyak dirujuk sebagai tokoh
semiotik dalam bukunya Course in General Linguistics (1916).
Selain itu ada tokoh yang penting dalam semiotik adalah Charles Sanders
Peirce (1839 – 1914) seorang filsuf Amerika, Charles Williams Morris (1901 –
1979) yang mengembangkan behaviourist semiotics. Kemudian yang
mengembang-kan teori-teori semiotik modern adalah Roland Barthes (1915 –
1980), Algirdas Greimas (1917 – 1992), Yuri Lotman (1922 – 1993), Christian
Metz (193 – 1993), Umberco Eco (1932),dan Julia Kristeva (1941). Linguis
selain de Saussure yang bekerja dengan semiotics framework adalah Louis
Hjlemslev (1899 – 1966) dan Roman Jakobson (1896 – 1982). Dalam ilmu
antropologi ada Claude Levi Strauss (1980) dan Jacues Lacan (1901 – 1981)
dalam psikoanalisis.
Strukturalisme adalah sebuah metode yang telah diacu oleh banyak ahli
semiotik, hal itu didasarkan pada model linguistik struktural de Saussure.
Strukturalis mencoba mendeskripsikan sistem tanda sebagai bahasa-bahasa,
Strauss dengan mith, kinship dan totemisme, Lacan dengan unconcious,
Barthes dan Greimas dengan grammar of narrative. Mereka bekerja mencari
struktur dalam (deep structure) dari bentuk struktur luar (surface structure)
sebuah fenomena. Semiotik sosial kontemporer telah bergerak di luar
perhatian struktural yaitu menganalisis hubungan – hubungan internal bagian-
bagian dengan a self contained system, dan mencoba mengembangkan
penggunaan tanda dalam situasi sosial yang spesifik.
Melihat kenyataan di atas dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang
strukturalisme dalam konteks perkem-bangan kajian budaya harus dilakukan
dalam konteks perkembangannya ke semiotik yang seolah-olah lahir
sesudahnya. Sebenarnya bibitnya telah lahir bersama dalam kuliah-kuliah
Ferdinad de Saussure yang sekaligus melahirkan strukturalisme dan semiotik
(oleh de Saussure disebut semiologi yaitu ilmu tentang kehidupan tanda-
tanda dalam masyarakat) (Hoed, 2002:1). Jadi tidak dapat disangkal lagi
bahwa lahirnya semiotik khususnya di Eropa tidak dapat dilepaskan dari
bayangan strukturalisme yang mendahuluinya dalam perkembangan ilmu
pengetahuan budaya. Perkembangan dari strukturalis ke semiotik dapat
dibagi dua yakni yang sifatnya melanjutkan sehingga ciri -ciri
strukturalismenya masih sangat kelihatan (kontinuitas) dan
yang sifatnya mulai meninggalkan sifat strukturalisme untuk lebih
menonjolkan ke -budayaan
sebagai sistem tanda (evolusi).
2.1.2 Makna kata ‘ tanda ‘
Bagi de Saussure, bahasa terdiri atas sejumlah tanda yang terdapat dalam
suatu jaringan sistem dan dapat disusun dalam sejumlah struktur. Setiap
tanda dalam jaringan itu memiliki dua sisi yang tak terpisahkan seperti dua
halaman pada selembar kertas. de Saussure memberikan contoh kata arbor
dalam bahasa Latin yang maknanya ‘pohon’. Kata ini adalah tanda yang
terdiri atas dua segi yakni /arbor/ dan konsep pohon. Signifiant /arbor/
disebutnya sebagai citra akustik yang mempunyai relasi dengan konsep
pohon (bukan pohon tertentu) yakni signifie. Tidak ada hubungan langsung
dan alamiah antara penanda ( signifier) dan petanda (signified). Hubungan ini
disebut hubungan yang arbitrer. Hal yang mengabsahkan hubung -an itu
adalah mufakat (konvensi) …’a body of necessary conventions adopted by
society to enable members of society to use their language faculty (de
Saussure, 1986:10).
Oleh sebab itu bahasa sebagai sebuah sistem dapat dikatakan lahir dari
kemu –fakatan (konvensi) di atas dasar yang tak beralasan ( unreasonable)
atau sewenang-wenang. Sebagai contoh, kata bunga yang keluar dari mulut
seorang penutur bahasa Indonesia berkorespondensi dengan konsep tentang
bunga dalam benak orang tersebut tidak menunjukkan adany a batas-batas
(boundaries) yang jelas atau nyata antara penanda dan petanda, melainkan
secara gambling mendemonstrasikan kesewenang-wenangan itu karena bagi
seorang penutur bahasa Inggris bunyi bunga itu tidak berarti apa-apa.
Petanda selalu akan lepas dar i jang-kauan dan konsekuensinya, makna pun
tidak pernah dapat sepenuhnya ditangkap, karena ia berserakan seperti
jigsaw puzzles disepanjang rantai penanda lain yang pernah hadir
sebelumnya dan akan hadir sesudahnya, baik dalam tataran para –digmatik
maupun sintagmatik. Ini dimung-kinkan karena operasi sebuah sistem bahasa
menurut de Saussure dilandasi oleh prinsip negative difference, yakni bahwa
makna sebuah tanda tidak diperoleh melalui jawaban atas pertanyaan what is
it, melainkan melalui penemuan akan what is not (Budiman, 2002:30). Kucing
adalah kucing karena ia bukan anjing atau bajing.
Dengan demikian ilmu yang mempe -lajari tentang tanda-tanda adalah
semiotik. Semiotics is concerned with everything that can be taken as a sign.
Semiotics adalah studi yang tidak hanya merujuk pada tanda (signs) dalam
percakapan sehari -hari, tetapi juga segala sesuatu yang merujuk pada
bentuk-bentuk lain seperti words, images, sounds, gesture , dan objects.
Sementara de Saussure me-nyebut ilmu ini dengan semiologi yakni sebuah
studi tentang aturan tanda –tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial ( a
science which studies the role of signs as a part of social life). Bagi Peirce
(1931), semiotics was formal doctrine of signs which was closely related to
logic. Tanda menurut Peirce adalah something which stands to somebody for
something in some respect or capacity. Kemudian ia juga mengatakan bahwa
every thought is a sign.
van Zoest (1993) memberikan lima ciri dari tanda. Pertama, tanda harus
dapat diamati agar dapat berfungsi sebagai tanda. Sebagai contoh van Zoest
menggambarkan bahwa di pantai ada orang-orang duduk dalam kubangan
pasir, di sekitar kubangan di buat semacam dinding pengaman (lekuk) dari
pasir dan pada dinding itu diletakkan kerang -kerang yang sedemikian rupa
sehingga membentuk kata ‘Duisburg’ maka kita mengambil kesimpulan
bahwa di sana duduk orang-orang Jerman dari Duisburg. Kita bisa sampai
pada kesimpulan itu, karena kita tahu bahwa kata tersebut menandakan
sebuah kota di Republik Bond. Kita mengangg ap dan
menginterpretasikannya sebagai tanda.
Kedua, tanda harus ‘bisa ditangkap’ merupakan syarat mutlak. Kata Duisburg
dapat ditangkap, tidak penting apakah tanda itu diwujudkan dengan pasir,
kerang atau ditulis di bendera kecil atau kita dengar dari orang lain.
Ketiga, merujuk pada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak hadir. Dalam hal
ini Duisburg merujuk kesatu kota di Jerman. Kata Duisburg merupakan tanda
karena ia ‘merujuk pada’, ‘menggantikan’, ‘mewakili‘ dan ‘menyajikan’.
Keempat, tanda memiliki sifat representatif dan sifat ini mempunyai hubungan
langsung dengan sifat inter-pretatif, karena pada kata Duisburg di kubangan
itu bukannya hanya terlihat adanya pengacauan pada suatu kota di Jerman,
tetapi juga penafsiran ‘di sana duduk -duduk orang Jerman’.
Kelima, sesuatu hanya dapat merupa -kan tanda atas dasar satu dan lain.
Peirce menyebutnya dengan ground (dasar, latar) dari tanda. Kita
menganggap Duisburg sebagai sebuah tanda karena kita dapat membaca
huruf-huruf itu, mengetahui bahwa sebagai suatu kesatuan huruf-huruf itu
membentuk sebuah kata, bahwa kata itu merupakan sebuah nama yakni
sebuah nama kota di Jerman. Dengan perkataan lain, tanda Duisburg
merupakan bagian dari suatu keseluruhan peraturan, perjanjian dan
kebiasaan yang dilembagakan yang disebut kode. Kode yang dimaksud
dalam hal ini adalah kode bahasa. Walaupun demikian ada juga tanda yang
bukan hanya atas dasar kode. Ada tanda jenis lain yang berdasarkan
interpretasi individual dan insidental atau berdasarkan pengalaman pribadi.
2.1.3 Semiotik
Semiotik atau ada yang menyebut dengan semiotika berasal dari kata Yunani
semeion yang berarti “tanda”. Istilah semeion tampaknya diturunkan dari
kedokteran hipokratik atau asklepiadik dengan perhatiannya pada
simtomatologi dan diagnostik inferensial (Sobur, 2004:95).Tanda pada masa
itu masih bermakna sesuatu hal yang menunjuk pada adanya hal lain.Secara
terminologis, semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan dengan
pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda,
seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (van Zoest, 1993:1).
Semiotik merupakan ilmu yang mempelajari sederetan luas obyek – obyek,
peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew
(1984:6) mendefinisikan semiotik adalah tanda sebagai tindak komunikasi
dan kemudian disempurnakannya menjadi model sastra yang
mempertanggungjawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk pemahaman
gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat
mana pun. Semiotik merupakan cabang ilmu yang relatif masih baru.
Penggunaan tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya
dipelajari secara lebih sistematis pada abad kedua puluh.
Para ahli semiotik modern mengatakan bahwa analisis semiotik modern telah
di –warnai dengan dua nama yaitu seorang linguis yang berasal dari Swiss
bernama Ferdinand de Saussure (1857 – 1913) dan seorang filsuf Amerika
yang bernama Charles Sanders Peirce (1839 – 1914). Peirce menyebut
model sistem analisisnya dengan semiotik dan istilah tersebut telah menjadi
istilah yang dominan digunakan untuk ilmu tentang tanda. Semiologi de
Saussure berbeda dengan semiotik Peirce dalam beberapa hal, tetapi
keduanya berfokus pada tanda. Seperti telah disebut-kan di depan bahwa de
Saussure menerbit -kan bukunya yang berjudul A Course in General
Linguistics (1913).
Dalam buku itu de Saussure memba -yangkan suatu ilmu yang mempelajari
tanda -tanda dalam masyarakat. Ia juga menjelas -kan konsep-konsep yang
dikenal dengan dikotomi linguistik. Salah satu dikotomi itu adalah signifier dan
signified (penanda dan petanda). Ia menulis… the linguistics sign unites not a
thing and a name,but a concept and a sound image a sign . Kombinasi antara
konsep dan citra bunyi adalah tanda ( sign). Jadi de Saussure mem-bagi
tanda menjadi dua yaitu komponen, signifier (atau citra bunyi) dan signified
(atau konsep) dan dikatakannya bahwa hubungan antara keduanya adalah
arbitrer.
Semiologi didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah
laku manusia membawa makna atau selama berfung si sebagai tanda, harus
ada di belakang sistem pembedaan dan konvensi yang memungkinkan
makna itu. Di mana ada tanda, di sana ada sistem (de Saussure, 1988:26).
Sekalipun hanyalah merupakan salah satu cabangnya, namun linguistik dapat
berperan sebagai model untuk se-miologi. Penyebabnya terletak pada ciri
arbiter dan konvensional yang dimiliki tanda bahasa. Tanda -tanda bukan
bahasa pun dapat dipandang sebagai fenomena arbiter dan konvensional
seperti mode, upacara, kepercayaan dan lain -lainya.
Dalam perkembangan terakhir kajian mengenai tanda dalam masyarakat
didominasi karya filsuf Amerika. Charles Sanders Peirce (1839 – 1914).
Kajian Peirce jauh lebih terperinci daripada tulisan de Saussure yang lebih
programatis. Oleh karena itu istilah semiotika lebih l azim dalam dunia Anglo-
Sakson, dan istilah semiologi lebih dikenal di Eropa Kontinental.
Siapakah Peirce? Charles Sanders Peirce adalah seorang filsuf Amerika
yang paling orisinal dan multidimensioanl. Bagi teman -teman sejamannya ia
terlalu orisional. Dalam kehidupan bermasyarakat, teman-temannya
membiarkannya dalam kesusahan dan meninggal dalam kemiskin-an
Perhatian untuk karya-karyanya tidak banyak diberikan oleh teman -
temannya. Peirce banyak menulis, tetapi kebanyakan tulisannya bersifat
pendahuluan, sketsa dan sebagian besar tidak diterbitkan sampai ajalnya.
Baru pada tahun 1931 – 1935 Charles Hartshorne dan Paul Weiss
menerbitkan enam jilid pertama karyanya yang berjudul Collected Papers of
Charles Sanders Pierce. Pada tahun 1957, terbit jilid 7 dan 8 yang dikerjakan
oleh Arthur W Burks. Jilid yang terakhir berisi bibliografi tulisan Pierce.
Peirce selain seorang filsuf juga seorang ahli logika dan Peirce memahami
bagaimana manusia itu bernalar. Peirce akhirnya sampai pada keyakinan
bahwa manusia ber pikir dalam tanda. Maka diciptakannyalah ilmu tanda
yang ia sebut semiotik. Semiotika baginya sinonim dengan logika. Secara
harafiah ia mengatakan “Kita hanya berpikir dalam tanda”. Di samping itu ia
juga melihat tanda sebagai unsur dalam komunikasi.
Semakin lama ia semakin yakin bahwa segala sesuatu adalah tanda artinya
setidaknya sesuai cara eksistensi dari apa yang mungkin (van Zoest,
1993:10). Dalam analisis semiotiknya Peirce membagi tanda berdasarkan
sifat ground menjadi tiga kelompok yakni qualisigns, sinsigns dan legisigns.
Qualisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu
sifat. Contoh, sifat merah merupakan qualisgins karena merupakan tanda
pada bidang yang mungkin. Sinsigns adalah tanda yang merupakan tanda
atas dasar tampiln ya dalam kenyataan. Semua pernyataan individual yang
tidak dilembagakan merupakan sinsigns. Sebuah jeritan bisa berarti
kesakitan, keheranan atau kegembiraan. Legisigns adalah tanda-tanda yang
merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah
konvensi, sebuah kode. Tanda lalu lintas adalah sebuah legisigns. Begitu
juga dengan mengangguk, mengerutkan alis, berjabat tangan dan
sebagainya.
Untuk tanda dan denotatumnya Peirce memfokuskan diri pada tiga aspek
tanda yaitu ikonik,indeksikal dan simbol. Ikonik adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang serupa dengan bentuk obyeknya
(terlihat pada gambar atau lukisan). Indeks adalah sesuatu yang
melaksanakan fungsi sebagai penanda yang mengisyaratkan petandanya,
sedangkan symbol adalah penanda yang melaksanakan fungsi sebagai
penanda yang oleh kaidah secara kovensi telah lazim digunakan dalam
masyarakat. Tabel berikut menunjukkan hubungan ketiganya.
Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, d an
tidak memiliki ciriciri struktural sama sekali (Hoed, 2002:21). Prinsip dasarnya
adalah bahwa tanda bersifat reprsentatif yaitu tanda adalah sesuatu yang
mewakili sesuatu yang lain ( something that represent ssomething else).
Proses pemakna-an tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik
yaitu representamen (R) – Object (O) – Interpretant (I). R adalah bagian tanda
yang dapat dipersepsisecara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu
yang diwakili olehnya (O). Ke -mudian Iadalah bagian dari proses yang
menafsirkan hubungan antara R dan O.
Oleh karena itu bagi Pierce, tanda tidak hanya representatif, tetapi juga inter -
pretattif. Teori Peirce tentang tanda mem-perlihatkan pemaknaan tanda
seagai suatu proses kognitif dan bukan sebuah struktur. Proses seperti itu
disebut semiosis. Seperti terlihat pada tabel di atas bahwa Peirce
membedakan tanda menjadi tiga yaitu indeks, ikon dan simbol.
Bagaimanakah hubungan ikon, indeks dan simbol? Seperti yang dicontohkan
Hoed (2002:25), apabila dalam perjalanan pulang dari luar kota seseorang
melihat asap mengepul di kejauhan, maka ia melihat R. Apa yang dilihatnya
itu membuatnya merujuk pada sumber asap itu yaitu cerobong pabrik (O).
Setelah itu ia menafsirkan bahwa ia sudah mendekati sebua h pabrik ban
mobil. Tanda seperti itu disebut indeks, yakni hubungan antara R dan O
bersifat langsung dan terkadang kausal. Dalam pada itu apabila seseorang
melihat potret sebuah mobil, maka ia melihat sebuah R yang membuatnya
merujuk pada suatu O yakni mobil yang bersangkutan. Proses selanjut -nya
adalah menafsirkan, misalnya sebagai mobil sedan berwarna hijau miliknya
(I). Tanda seperti itu disebut ikon yakni hubungan antara R dan O
menunjukkan identitas.
Akhirnya apabila di tepi pantai se -seorang melihat bendera merah (R), maka
dalam kognisinya ia merujuk pada ‘larangan untuk berenang’ (O). Selanjutnya
ia menafsirkan bahwa ‘adalah berbahaya untuk berenang disitu’ (I). Tanda
seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat
konvensional.
Peirce juga mengemukakan bahwa pemaknaan suatu tanda bertahap -tahap.
Ada tahap kepertamaan (firstness) yakni saat tanda dikenali pada tahap awal
secara prinsip saja. Firstness adalah keberadaan seperti apa adanya tanpa
menunjuk ke sesuatu yang lain , keberadaan dari kemungkinan yang
potensial. Kemudian tahap ‘kekeduaan’ ( secondness) saat tanda dimaknai
secara individual, dan kemudian ‘keketigaan’ ( thirdness) saat tanda dimaknai
secara tetap sebagai kovensi. Konsep tiga tahap ini penting untuk memahami
bahwa dalam suatu kebudayaan kadar pemahaman tanda tidak sama pada
semua anggota kebudayaan tersebut. Salah seorang sarjana yang secara
konservatif menjabarkan teori De de Saussure ialah Roland Barthes (1915 –
1980). Ia menerapkan model De de Saussure dalam penelitiannya tentang
karya – karya sastra dan gejala-gejala kebudayaan, seperti mode pakaian.
Bagi Barthes komponen – komponen tanda penanda – petanda terdapat juga
pada tanda -tanda bukan bahasa antara lain terdapat pada bentuk mite yakni
keseluruhan si stem citra dan kepercayaan yang dibentuk masyarakat untuk
memp-ertahankan dan menonjolkan identitasnya (de Saussure,1988).
Selanjutnya Barthes (1957 dalam de Saussure) menggunakan teori signifiant
- signifie yang dikembangkan menjadi teori tentang metabaha sa dan
konotasi. Istilah signifiant menjadi ekspresi (E) dan signifie menjadi isi (C).
Namun Barthes mengatakan bahwa antara E dan C harus ada relasi (R) ter-
tentu, sehingga membentuk tanda ( sign, Sn). Konsep relasi ini membuat teori
tentang tanda lebih mungkin berkembang karena relasi ditetapkan oleh
pemakai tanda. Menurut Barthes, ekspresi dapat berkembang dan
membentuk tanda baru, sehingga ada lebih dari satu dengan isi yang sama.
Pengem-bangan ini disebut sebagai gejala meta -bahasa dan membentuk
apa yang disebut kesinoniman (synonymy).
Setiap tanda selalu memperoleh pe -maknaan awal yang dikenal dengan
dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian
pengembangan -nya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder ke arah
ekspresi dise but metabahasa. Sistem sekunder ke arah isi disebut konotasi
yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi ini tentunya
didasari tidak hanya oleh paham kognisi, melainkan juga oleh paham
pragmatik yakni pemakai tanda dan situasi pemahamannya.
Dalam kaitan dengan pemakai tanda, kita juga dapat memasukkan perasaan
sebagai (aspek emotif) sebagai salah satu faktor yang membentuk konotasi.
Model Barthes demikian juga model De de Saussure tidak hanya diterapkan
pada analisis bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan, tetapi juga
dapat digunakan untuk menganalisis unsur -unsur kebu-dayaan.
Semiotik yang dikembangkan Barthes juga disebut dengan semiotika
konotatif. Terapannya juga pada karya sastra tidak sekadar membatasi diri
pada analisis secara semios is, tetapi juga menerapkan pendekatan konotatif
pada berbagai gejala kemasyarakatan. Di dalam karya sastra ia mencari arti
’kedua’ yang tersembunyi dari gejala struktur tertentu (van Zoest, 1993:4).
Aliran semiotik yang dipelopori oleh Julia Kristeva dise but semiotika
eksplanatif. Ciri aliran ini adalah adanya sasaran akhir untuk mengambil alih
kedudukan filsafat. Karena begitu terarahnya pada sasaran, semiotik ini
terkadang disebut ilmu total baru ( de nieuwe totaalwetwnschap). Dalam
semiotik ini pengertian tanda kehilangan tempat sentralnya. Tempat itu
diduduki oleh pengertian produksi arti.
Penelitian yang menilai tanda terlalu statis, terlalu nonhistoris, dan terlalu
reduksionalis, diganti oleh penelitian yang disebut praktek arti ( betekenis
praktijk). Para ahli semiotika jenis ini tanpa merasa keliru dalam bidang
metodologi, mencampurkan analisis mereka dengan pengertian-pengertian
dari dua aliran hermeutika yang sukses zaman itu, yakni psikoanalisis dan
marxisme (van Zoest, 1993:5).
Tokoh semiotik Rusia J.U.M. Lotman mengungkapkan bahwa … culture is
constructed as ahierarchy of semantic systems (Lotman, 1971:61).
Pernyataan itu tidaklah berlebihan karena hirarki sistem semiotik atau sistem
tanda meliputi unsur (1) sosial budaya, baik dalam konteks sosial maupun
situasional, (2) manusia sebagai subyek yang berkreasi, (3) lambang sebagai
dunia simbolik yang menyertai proses dan mewujudkan kebudayaan, (4)
dunia pragmatik atau pemakaian, (5) wilayah makna. Orientasi kebudayaan
manusia sebagai anggota suatu masyarakat bahasa salah satunya tercermin
dalam sistem kebahasaan maupun sistem kode yang digunakannya.
Adanya kesadaran bersama terhadap sistem kebahasaan, sistem kode dan
pemakaiannya, lebih lanjut juga menjadi dasar dalam komunikasi antar -
anggota masyarakat bahasa itu sendiri. Dalam kegiatan komunikasinya,
misalnya antara penutur dan pendengar, sadar atau tidak, pastilah dilakukan
identifikasi. Identifikasi tersebut dalam hal ini tidak terbatas pada tanda
kebahasaan, tetapi juga terhadap tanda berupa b unyi prosodi, kinesik,
maupun konteks komunikasi itu sendiri. Dengan adanya identifikasi tersebut
komunikasi itu pun menjadi sesuatu yang bermakna baik bagi penutur
maupun bagi penanggapnya.
2.1.4 Macam – macam Semiotik
Sampai saat ini, sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik
yang kita kenal sekarang (Pateda, dalam Sobur, 2004). Jenis -jenis semiotik
ini antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal zoosemiotic, kultural, naratif,
natural, normatif, sosial, struktural.
Semiotik analitik merupakan semiotik yang menganalisis sistem tanda. Peirce
mengatakan bahwa semiotik berobjekkan tanda dan menganalisisnya
menjadi ide, obyek dan makna. Ide dapat dikatakan sebagai lambang,
sedangkan makna adalah beban yang terdapat dalam lambang yang
mengacu pada obyek tertentu.
Semiotik deskriptif adalah semiotik yang memperhatikan sistem tanda yang
dapat kita alami sekarang meskipun ada tanda yang sejak dahulu tetap
seperti yang disaksikan sekarang. Semiotik faunal zoosemiotic merupakan
semiotik yang khusus memper hatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh
hewan. Semiotik kultural merupakan semiotik yang khusus menelaah sistem
tanda yang ada dalam kebudayaan masyarakat. Semiotik naratif adalah
semiotik yang membahas sistem tanda dalam narasi yang berwujud mitos
dan c erita lisan (folklore). Semiotik natural atau semiotik yang khusus
menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh alam. Semiotik normatif
merupakan semiotik yang khusus membahas sistem tanda yang dibuat oleh
manusia yang berwujud norma-norma. Semiotik sosial merupakan semiotik
yang khusus menelaah sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia yang
berwujud lambang, baik lambang kata maupun lambing rangkaian kata
berupa kalimat. Semiotik struktural adalah semiotik yang khusus menelaah
sistem tanda yang dimanifestasikan melalui struktur bahasa.
2.1.5 Bahasa sebagai Sistem Semiotik
Bahasa dalam pemakaiannya bersifat bidimensional. Disebut dengan
demikian, karena keberadaan makna selain ditentu-kan oleh kehadiran dan
hubungan antar -lambang kebahasaan itu sendiri, juga ditentukan oleh
pemeran serta konteks sosial dan situasional yang melatarinya. Dihubungkan
dengan fungsi yang dimiliki, bahasa memiliki fungsi eksternal juga fungsi
internal. Oleh sebab itu selain dapat digunakan untuk menyampaikan
informasi dan menciptakan komunikasi, juga untuk mengolah informasi dan
dialog antar -diri sendiri.
Kajian bahasa sebagai suatu kode dalam pemakaian berfokus pada (1)
karakteristik hubungan antara bentuk, lambang atau kata satu dengan yang
lainnya, (2) hubungan antar –bentuk kebahasaan dengan dunia luar yang di -
acunya, (3) hubungan antara kode dengan pemakainya. Studi tentang sistem
tanda sehubungan dengan ketiga butir tersebut baik berupa tanda
kebahasaan maupun bentuk tanda lain yang digunakan manusia dalam
komunikasi masuk dalam ruang lingkup semiotik (Aminuddin, 1988:37).
Sejalan dengan adanya tiga pusat kajian kebahasaan dalam pemakaian,
maka bahasa dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem.
Tiga komponen tersebut adalah: (1) sintaktik, yakni komponen yang be
rkaitan dengan lambang atau sign serta bentuk hubungan-nya, (2) semantik,
yakni unsur yang ber -kaitan dengan masalah hubungan antara lambang
dengan dunia luar yang diacunya, (3) pragmatik, yakni unsur ataupun bidang
kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang
dalam pemakaian.
Ditinjau dari sudut pemakaian, telah diketahui bahwa alat komunikasi
manusia dapat dibedakan antara media berupa bahasa atau media verbal
dengan media non -bahasa atau nonverbal. Sementara media kebahasaan
itu, ditinjau dari alat pemunculannya atau chanel dibedakan pula antara media
lisan dengan media tulis. Dalam media lisan misalnya, wujud kalimat perintah
dan kalimat tanya dengan mudah dapat dibedakan lewat pemakaian bunyi
suprasegmental atau pemunculan kinesik, yakni gerak bagian tubuh yang
menuansakan makna tertentu. Kaidah penataan kalimat selalu dilatari tendesi
semantis tertentu. Dengan kata lain sistem kaidah penataan lambang secara
gramatis selalu berkaitan dengan dengan strata makna dalam suatu bahasa.
Pada sisi lain makna sebagai label yang mengacu realitas tertentu juga
memiliki sistem hubungannya sendiri (Aminuddin, 1988:38).
Unsur pragmatik yakni hubungan antara tanda dengan pemakai ( user atau
interpreter),
menjadi bagian dari sistem semiotik sehi ngga juga menjadi salah satu
cabang kajiannya karenakeberadaan tanda tidak dapat dilepaskan dari
pemakainya. Bahkan lebih luas lagi keberadaan suatu tanda dapat dipahami
hanya dengan mengembalikan tanda itu ke dalam masyarakat pemakainya,
ke dalam konteks sosial budaya yang dimiliki. Hal itu sesuai dengan
pernyataan bahwa bahasa adalah cermin kepribadian dan budaya bangsa.
Sehubungan dengan itu Abram’s (1981: 171) mengungkapkan bahwa the
focus of semiotic interest is on the underlying system of language, not on the
parole.
3.1 KESIMPULAN
Hari-hari ini bahasa dipandang begitu penting oleh kaum strukturalis dan filsuf
lainnya. Mengapa? Karena bahasa adalah alat aktualisasi dan artikulasi diri.
Kita mampu memaknai pengalaman kita lewat bahasa. Bahasa adalah alat
atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling
berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan
(bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan
kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat
menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat,
dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk
masyarakat.
Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum
dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk
berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi-interaktif
dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk
mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni
(sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Walaupun demikian, kita harus mengakui bahwa ada banyak sisi negative
dari bahasa. Dewasa ini, bahasa bukan hanya difungsikan sebagai media
komunikasi tetapi bahasa juga menjadi medan persembunyian diri. Bahasa
menjadi ranah memperjuangkan ideologi-ideologi tersembunyi yang sering
menindas dan mendatangkan neraka bagi yang lain.
MEMBACA SEMIOTIKA WAKTU
DALAM FILM “AU HASARD
BALTHAZAR”

Film layaknya sebuah dongeng selalu mengenai sebuah cerita, baik fiksi
maupun non fiksi. Dongeng lebih dulu hadir mengawali munculnya film.
Dalam dongeng diceritakan bagaimana seorang bercerita dan berbagi
pengalaman, imajinasi maupun pengetahuan kepada orang lain, baik dalam
jumlah kecil atau banyak. Cerita yang disampaikan berkembang dari waktu ke
waktu melalui berbagai medium. Sebut saja Wayang, Tobradour dan masih
banyak lagi, kemudian yang paling baru adalah film. Cerita yang disampaikan
dalam dongeng pada dasarnya adalah sebuah narasi, baik narasi waktu maupun
narasi peristiwa. Film memiliki karakteristik yang kurang lebih seperti itu,
karena selalu mengandung kedua narasi tersebut. Ungkapan ini memberikan
sebuah ruang interpretasi mengenai tanda-tanda yang muncul dalam kedua
narasi tersebut. Tak ayal, film dipastikan mengandung pertanyaan mengenai
tanda dan makna. Fenomena ini membuat semiotika sebagai sebuah disiplin
ilmu memberikan sebuah penawaran pemaknaan terhadap film.

Sebagai sebuah disiplin ilmu, semiotika banyak dijadikan sebagai sebuah acuan
dalam membaca tanda dalam film. Film “Au Hasard Balthazar” merupakan
sebuah film yang ditulis dan disutradarai oleh Robert Brensson pada
tahun1966. Film ini menceritakan mengenai kisah keledai yang teraniaya
bernama Balthazar. Kisah ini juga merupakan cerminan dari kisah seorang
perempuan bernama Marie yang memberi nama pada keledai itu. Keledai
sebagai stereotype binatang bodoh dan dungu digambarkan memiliki
kemampuan mengingat dan ikatan emosional dengan orang-orang yang peduli
kepadanya. Namun dalam artikel ini tidak membahas keseluruhan dari film
yang dianggap fenomemal pada masanya itu, namun akan mengambil sebagian
kecil sebagai bahan kajian, yaitu mengenai semiotika waktu (semiotic of time)
dalam film tersebut. Melalui sebuah narasi waktu dan peristiwa, film ini
memiliki beberapa penanda yang mengandung makna tertentu. Menurut Marcel
Danesi (2010), narasi adalah teks yang terdiri dari penanda-penanda yang
dicirikan dengan beberapa aspek, yaitu plot, setting dan karakter.

Film ini memiliki beberapa plot, dimana didalamnya mengisahkan apa


sebenarnya yang dikisahkan dalam narasi tersebut. Plot yang menceritakan
kehidupan keledai dari ketika masih kecil hingga dewasa hingga mati
merupakan sebuah durasi. Dalam semiotika waktu durasi adalah gerak maju
yang berkelanjutan dari masa sekarang yang bergerak ke masa depan, ketika
bergerak maju maka ia akan bertambah (Piliang, 2013). Durasi pada dasarnya
tidak dapat dikuantifikasi kecuali dengan waktu. Waktu sendiri pada dasarnya
bersifat metaforik karena berdasar buatan manusia, contohnya tanggal dan jam.
Sementara itu setting yang digunakan dalam film ini merupakan cerita masa
lalu yang terjadi di sebuah daerah pinggiran/ pedesaan di Prancis. Setting juga
bisa dikatakan sebagai setting waktu, artinya waktu terjadi dan peristiwa terjadi
dalam film ini. Waktu ini dipahami sebagai sebuah artikulasi pada teks, dimana
peristiwa itu berlangsung.

Narasi waktu

Cerita ini menyajikan sebuah dongeng panjang yang dipadatkan oleh durasi,
yaitu durasi film selama kurang lebih 01.30 menit. Durasi yang dimampatkan
juga ditunjukkan oleh pergantian waktu yang berselang beberapa menit untuk
menggantikan beberapa tahun yang telah berlalu. Setelah menghabiskan masa
kanak-kanak yang membahagiakan Marie dan Jaques berpisah. Pada time code
ke 00:05:58 Jacques menyampaikan salam perpisahan kepada Marie dan
Balthazar karena keluarganya harus pindah. Sebelum pergi Jacques berkata
“see you next year” kemudian melambaikan tangan kepada mereka. Kemudian
gambar yang muncul adalah dissolve to seorang laki-laki yang mencambuk
Balthazar. Transisi gambar yang digunakan ini menunjukkan sebuah pergantian
waktu. Merujuk pada salam perpisahan, maka kata “bertemu tahun depan”
telah ditemukan pada masa itu, yaitu dimana ketika Balthazar berada di tangan
majikan baru. Artinya tahun depan yang tidak menentu pada pertemuan
kembali hadir disaat Balthazar dipelihara secara kejam oleh majikannya.

Transisi gambar dissolve merupakan sebuah penanda waktu, dengan


pergantian gambar seperti ini memberikan makna cerita selanjutnya. Teknik
ini digunakan untuk memberikan makna pergantian waktu yang panjang.
Durasi terbatas yang dimiliki oleh film, membuatnya harus dipadatkan.
Kepadatan cerita ini diukur dalam durasi, yaitu beberapa tahun digantikan
dengan beberapa menit. Transisi ini sering digunakan untuk menceritakan
sebuah waktu yang berlalu atau bisa juga digunakan untuk menceritakan
kejadian dilain tempat. Dengan begitu rangkaian cerita menjadi lebih pendek
daripada waktu sebenarnya.

Kisah tentang kehidupan yang dialami Balthazar setelah besar digambarkan


kurang lebih dalam beberapa menit diawal. Gambaran ini ditunjukkan melalui
penanda waktu “Years Go By” pada time code ke 00:06:55. Diceritakan bahwa
kehidupan keledai itu mengalami perjalanan kehidupan yang berat, antara lain
harus bekerja keras dan dipaksa oleh majikan. Selain itu Balthazar juga sering
disiksa agar mau melakukan pekerjaannya. Perpindahan gambar dari kaki
Balthazar ke kakinya yang lain saat bekerja menggunakan teknik dissolve
menceritakan rangkaian kehidupannya saat itu. Sebuah narasi waktu yang
dimunculkan dalam scene ini menggambarkan ringkasan kehidupan saat
keledai itu besar, sehingga muncul makna kesedihan. Hal ini berbanding
terbalik saat ia masih kecil dan memiliki teman bermain Jaques dan Marie yang
baik kepadanya.

Derap langkah dipercepat pada time code ke 00:07:45 merupakan sebuah


petanda bahwa Balthazar ingin segera melepaskan diri dari siksaan yang terus
dialami bersama dengan majikannya. Kesedihan yang dirasakan berusaha dia
bandingkan dengan keadaan saat masih kecil dahulu sehingga ia tidak mau lagi
merasakan siksaan itu lagi. Brensson berusaha menggambarkan kesedihan akan
siksaan yang dialami Balthazar dengan diam, namun kemudian pada saatnya
nanti ia akan pergi. Kesedihan dalam jangka waktu tertentu itu merupakan
sebuah kumpulan dari peristiwa-peristiwa yang sudah lama dirasakannya.
Menurut Yasraf A Pilliang durasi narasi adalah hubungan antara durasi dalam
peristiwa dan durasi dalam narasi itu sendiri (2013). Durasi yang dialaminya
memberikan makna sebuah siksaan panjang sehingga ketika Balthazar
melepaskan diri terangkum dalam satu scene. Plot dari kejadian-kejadian
menyiksa dan menyedihkan yang dialaminya adalah sebuah durasi narasi.
Durasi narasi itu terkumpul dalam satu adegan yaitu saat membawa beban
rumput kemudian menjatuhkan majikannya.

Narasi peristiwa

Setelah melepaskan diri dari majikannya, Balthazar teringat akan kejadian


menyenangkan saat masih kecil di suatu tempat sehingga ia berlari menuju
rumah yang membesarkannya di waktu kecil. Peristiwa masa kecil yang
dialaminya merupakan sebuah cerita yang berusaha ditemukan kembali dengan
mencari tempat tersebut, dimana semua kenangan indah dilalui disana. Penanda
ini memberikan makna bahwa peristiwa yang dialami Balthazar selama ini
diluar sana adalah menyedihkan, kembali ke tempat asal merupakan sebuah
keinginan yang lama untuk bisa terwujud. Kemudian saat ia melewaati bangku
dimana Jaques menuliskan janjinya, memberikan makna akhirnya kembali lagi.
Rumah yang memberikan kenangan pada masa kecil hingga kembalinya ke
tempat itu merupakan sebuah peristiwa panjang dalam durasi hidupnya.
Peristiwa yang terjadi dalam durasi masa kecil hingga dewasa dikembalikan
lagi pada saat bertemu dengan Marie. Perubahan sebagai penanda waktu yang
telah lama berganti muncul dalam scene ini, dimana akhirnya Balthazar
kembali bertemu dengan Marie.
Perubahan memberikan penanda waktu. Peritiwa yang terjadi pada masa anak-
anak hingga ke dewasa merupakan titik dimana durasi perubahan terjadi.
Ketika Marie bertemu Balthazar saat sudah besar merupakan tanda dari waktu.
Waktu telah begitu lama berlalu hingga akhirnya berubah, Marie telah dewasa
begitu juga Balthazard. Perubahan yang ditandai dengan perubahan gambar
menunjukkan perubahan waktu (image of time). Perubahan gambar merupakan
sebuah pergerakan waktu, dengan berubahnya Marie dewasa menunjukkan
perubahan. Penanda ini memberikan makna waktu berlalu begitu cepat, hingga
akhirnya sekarang sudah berbeda lagi.

Berbagai peristiwa telah dilalui oleh mereka bersama dengan waktu, tempat
dan cerita masing masing. Begitu juga dengan Jaques yang kembali karena
perjanjiannya dengan Marie yang dituliskan di bangku dekat rumahnya. Jaques
mengajak Marie untuk menikah, namun ditolak karena Marie merasa
perasaanya sudah tidak sama lagi seperti ketika masih kecil. Kehidupan Marie
berbeda dengan yang diharapkan waktu kecil, karena merasa dirinya tidak baik
untuk Jaques. Meskipun Jaques bersikukuh untuk tetap menikahi Marie dengan
kondisinya sekarang ini, namun tetap ditolaknya karena apa yang terjadi dan
janji masa lalu berbeda dengan saat itu. Duduk berdua di bangku yang sama
pada saat kecil dan saat dewasa merupakan sebuah narasi peristiwa yang
panjang. Masa lalu dengan durasi panjangnya memberikan makna perubahan,
selain perubahan fisik perubahan segalanya berdampak juga pada perubahan
perasaan. Perubahan yang terjadi terus menerus tersebut oleh Henri Bergson
disebut sebagai duree (dalam Yasraf A. Pilliang, 2013). Duree adalah
perubahan terus menerus yang heterogen atau becoming. Duree tidak dapat
diubah karena selalu menuju kepada masa depan. Secara terus menerus duree
menciptakan kebaruan dan secara intrinsik sangat sulit untuk diprediksi karena
merupakan sumber yang tidak pernah habis dari kebebasan.

Ketika Jaques mencari Marie di rumahnya, ibunya menjawab “Marie pergi dan
tak akan pernah kembali”. Durasi akan muncul kembali menjadi pemisah,
sehingga akan muncul narasi baru dari durasi baru. Misalkan saja mereka
bertemu kembali , maka akan muncul durasi baru dan narasi baru. Namun
ucapan itu merupakan penanda bahwa narasi telah usai bersamaan dengan
kepergian Marie. Begitu juga dengan yang dialami oleh Balthazar, ia
mengakhiri narasi dari durasi panjang kisah hidupnya. Kisah hidup yang
berdekatan dengan Marie. Peristiwa kematian adalah akhir dari cerita, hal ini
menandakan penanda waktu pada kehidupan Balthazar telah usai, maka ia tidak
akan memiliki narasi peristiwa dan waktu lagi. Balthazar yang mati di sebuah
perbukitan dan dikelilingi domba-domba ingin menggambarkan bahwa dunia
tidak lagi bersamanya, sekumpulan domba telah pergi meninggalkannya
dengan kisah hidupnya.

Anggar Erdhina Adi, Anggota Forum Studi Kebudayaan

Daftar Pustaka

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta;


Jalasutra
Barthes, Roland. 2012. Elemen-elemen Semiologi. Yogyakarta;
Jalasutra
Pilliang, Yasraf A. 2013. Materi Kuliah Semiotika. Bandung;
Magister Desain ITB

Anda mungkin juga menyukai