Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Begitu banyak makhluk hidup yang menggantungkan hidupnya pada air,
mulai dari kebutuhan minum sampai sebagai habitat/tempat hidup. Sebagian
besar makhluk hidup menggunakan air sebagai habitat hidup, baik mikroflora,
makroflora, mikrofauna maupun makrofauna. Menurut Isnansetyo & Kurniastuty
(1995) fitoplankton dapat dikatakan sebagai pembuka kehidupan di planet bumi
ini, karena dengan adanya fitoplankton memungkinkan makhluk hidup yang lebih
tinggi tingkatannya ada di muka bumi. Fitoplankton diketahui hidup di muka bumi
jauh sebelum manusia ada, beberapa ratus juta tahun yang lalu. Dengan sifatnya
yang autotrof mampu merubah hara anorganik menjadi bahan organik dan
penghasil oksigen yang sangat mutlak diperlukan bagi kehidupan makhluk hidup
yang lebih tinggi tingkatannya.
Fitoplankton adalah alga yang berukuran sangat kecil atau biasa disebut alga
mikroskopik, karena hanya bisa terlihat selnya lewat bantuan mikroskop.
Fitoplankton mengandung klorofil sehingga dapat melakukan proses fotosintesis
dan juga memiliki peranan yang sangat penting dalam rantai makanan pada suatu
perairan. Fitoplankton menjadi produsen primer dalam perairan, yang mana
produktivitas primer dalam suatu perairan dapat dilihat dari tingkat kelimpahan
fitoplankton yang berhubungan dengan kelimpahan klorofil pada suau perairan.
Fitoplankton banyak dimanfaatkan secara luas dalam berbagai bidang, seperti
bidang kosmetik, kesehatan, pangan dan budidaya perairan. Salah satu jenis
fitoplankton yang banyak dimanfaatkan dan banyak dibudidayakan adalah
Chlorella sp sebagai pakan alami ikan dan juga pakan zooplankton adalah pada
bidang pembenihan. Dalam kegiatan pembenihan yang diperlukan ialah
keterediaan akan pakan alami secara terus menerus. Semakin banyak kegiatan
pembenihan, semakin banyak pula kebutuhan akan pakan alami. Dengan
demikian perlu adanya upaya untuk meningkatkan kuantitas dan juga kualitas
produksi pakan alami, khususnya Chlorella sp. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan yaitu dengan mengkultur Chlorella sp. dengan perlakuan tertentu.
Pertumbuhan Chlorella sp. dalam media kultur sangat bergantung pada kondisi
lingkungan. Dalam kondisi lingkungan tertentu, baik itu perbedaan suhu, pH
ataupun salinitas, dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kelimpahan Chlorella

1
sp. dalam media kultur. Satu kondisi lingkungan yang memepengaruhi
pertumbuhan Chlorella sp. adalah salinitas. Salinitas dapat bepengaruh terhadap
pertumbuhan Chlorella sp. dikarenakan salinitas mempengaruhi tekanan osmosis
pada dinding sel Chlorella sp. dalam penyerapan nutrisi dalam media kulturnya.
Pemanfaatan Chlorella sp dilakukan menggunakan teknik kultur.
Keberhasilan teknik kultur bergantung pada kesesuaian antara jenis mikroalga
yang dibudidayakan dan dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan, di
antaranya unsur hara dalam media kultur serta kualitas air seperti salinitas, pH,
suhu, intensitas cahaya yang optimum. Chlorella sp. tumbuh pada media yang
mengandung cukup unsur hara, seperti nitrogen, fosfor, dan kalium. Chlorella sp.
akan tumbuh baik pada temperatur optimal 25ºC, tetapi tumbuh lambat pada suhu
32º C. Kisaran suhu untuk partumbuhan Chlorella sp. yaitu pada suhu antara 25-
30º C. (Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995). Sesuai dengan pernyataan tersebut,
suhu kultur skala intermediet ini yaitu 270C, ini termasuk dalam kisaran suhu
optimum. Chlorella sp. tumbuh pada salinitas 25 ppt. Chlorella air laut dapat
mentolerir salinitas antara 33-40 ppt. Chlorella sp. tumbuh lambat pada salinitas
15 ppm, dan hampir tidak tumbuh pada salinitas 0 ppm dan 60 ppm (Isnansetyo
dan Kurniastuty, 1995). Dari pertanyaan ini bila disbandingkan dengan data
pengukuran kualitas air menunjukkan bahwa Chlorella sp. memiliki kemampuan
tahan terhadap rentan salinitas yang tinggi. Chlorella masih bisa hidup pada
salinitas 37 ppt. pH merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi
kehidupan organisme air termasuk Chlorella sp
1.2 Tujuan
 Mengetahui prosedur atau langkah kerja kultur murni Chlorella sp.
 Meningkatkan keterampilan dan kemampuan Taruna/I dalam
melaksanakan kultur murni Chlorella sp.
1.3 Manfaat
 Untuk dapat mengetahui prosedur atau langkah kerja kultur murni Chlorella
sp.
 Untuk dapat meningkatkan keterampilan dan kemampuan Taruna/I dalam
melaksanakan kultur murni Chlorella sp.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Chlorella sp.


2.1.1 Klasifikasi dan Morfologi
Nama Chlorella berasal dari zat bewarna hijau (Chlorophyll) yang juga
berfungsi sebagai katalisator dalam proses fotosintesis (Steenblock 2000). Oleh
Bold dan Wynne (1985) dikategorikan ke dalam kelompok alga hijau yang memiliki
jumlah genera sekitar 450 dan jumlah spesies lebih dari 7500. ) Nama alga hijau
diberikan karena kandungan zat hijau (Chlorophyll) yang dimilikinya sangat tinggi,
bahkan melebihi jumlah yang dimiliki oleh beberapa tumbuhan tingkat tinggi.
Klasifikasi Chlorella sp. menurut Bold dan Wynne (1985) adalah sebagai berikut:
Divisi : Chlorophyta
Kelas : Chlorophyceae
Ordo : Chlorococcales
Famili : Oocystaceae
Genus : Chlorella
Spesies : Chlorella sp.
8 bentuk umum sel-sel Chlorella adalah bulat atau elips (bulat telur), termasuk
fitoplankton bersel tunggal (unicellular) yang soliter, namun juga dapat dijumpai
hidup dalam koloni atau bergerombol. Diamater sel umumnya berkisar antara 2-
12 mikron, warna hijau karena pigmen yang mendominasi adalah klorofil (Bold
1980). Chlorella sp. merupakan organisme eukariotik (memiliki inti sel) dengan
dinding sel yang tersusun dari komponen selulosa dan pektin sedangkan
protoplasmanya berbentuk cawan (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995).
2.1.2 Habitat dan Ekologi
Berdasarkan habitat hidupnya Chlorella dapat dibedakan menjadi Chlorella air
tawar dan Chlorella air laut. Chlorella air tawar dapat hidup dengan kadar salinitas
hingga 5 ppt. Contoh Chlorella yang hidup di air laut adalah Chlorella vulgaris,
Chlorella pyrenoidosa, Chlorella virginica dan lain-lain (Isnansetyo dan Kurniastuty
1995). Umumnya Chlorella bersifat planktonis yang melayang di dalam perairan,
namun beberapa jenis Chlorella juga ditemukan mampu bersimbiosis dengan
hewan lain misalnya Hydra dan beberapa Ciliata air tawar seperti Paramecium
bursaria (Dolan 1992).

3
2.1.3 Reproduksi
Reproduksi Chlorella adalah aseksual dengan pembentukan autospora yang
merupakan bentuk miniatur dari sel induk. Tiap satu sel induk (parrent cell) akan
membelah menjadi 4, 8, atau 16 autospora yang kelak akan menjadi sel-sel anak
(daughter cell) dan melepaskan diri dari induknya (Bold dan Wynne 1985). Proses
reproduksi Chlorella dapat dibagi menjadi 4 tahap (Kumar dan Singh 1979 ) yaitu:
Tahap pertumbuhan, pada tahap ini sel Chlorella tumbuh membesar. Tahap
pemasakan awal saat terjadi peningkatan aktivitas sintesa yang merupakan
persiapan awal pembentukan autospora. Tahap pemasakan akhir, pada tahap ini
autospora terbentuk. Tahap pelepasan autospora, dinding sel induk akan pecah
dan diikuti oleh pelepasan autospora yang akan tumbuh menjadi sel induk muda
2.2 Kultur Chlorella sp.
2.2.1 Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangbiakan Chlorella sp.
Menurut Bold dan Wynne (1985), perkembangbiakan Chlorella sp. dalam
kultur dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: media, nutrien atau unsur hara,
cahaya, suhu, serta salinitas. Media merupakan tempat hidup bagi kultur Chlorella
yang pemilihannya ditentukan pada jenis Chlorella yang akan dibudidayakan.
Bahan dasar untuk preservasi media yang dapat digunakan adalah agar-agar.
Nutrien terdiri atas unsur-unsur hara makro (macronutrients) dan unsur hara mikro
(micronutrients). Contoh unsur hara makro untuk perkembangbiakan Chlorella
adalah senyawa anorganik seperti N, K, Mg, S dan P. Unsur hara mikro adalah
Fe, Cu, Zn, Mn, B, dan Mo (Basmi 1995). Unsur hara tersebut diperoleh dalam
bentuk persenyawaan dengan unsur lain (Bold 1980). Tiap unsur hara memiliki
fungsi-fungsi khusus yang tercermin pada perkembangbiakan dan kepadatan
yang dicapai oleh organisme Chlorella yang dikultur tanpa mengesampingkan
pengaruh dari lingkungan. Kebutuhan nutrien untuk tujuan kultur fitoplankton harus
tetap terpenuhi melalui penambahan media pemupukan guna menunjang
perkembangbiakan fitoplankton. Unsur N, P, dan S penting untuk sintesa protein.
Unsur K berfungsi dalam metabolisme karbohidrat. Unsur Cl dimanfaatkan untuk
aktivitas kloroplas, unsur Fe dan unsur Na berperan dalam pembentukan klorofil
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995; Oh hama dan Miyachi 1988). Beberapa faktor
lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan fitoplankton di kultur terbuka
antara lain: cahaya, suhu, tekanan osmosis, pH air, kandungan O2 dan aerasi
(Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Cahaya merupakan sumber energi untuk
melakukan fotosintesis. Cahaya matahari yang diperlukan oleh fitoplankton dapat

4
digantikan dengan lampu TL atau tungsten. Oh hama dan Miyachi (1988)
menyatakan bahwa intensitas cahaya saturasi untuk Chlorella berada pada
intensitas 4000 lux. Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik intensitas tersebut
dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan dengan peningkatan
porsi intensitas cahaya (Basmi 1995). Hal ini menunjukkan bahwa setelah titik
intensitas tersebut dicapai, maka fotosintesis tidak lagi meningkat sehubungan
dengan peningkatan porsi intensitas cahaya (Basmi 1995).
Stainer et al. (1982) Kisaran suhu optimal bagi perkembangbiakan Chlorella
adalah antara 25-300C (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Menurut Taw (1990)
untuk kultur Chlorella diperlukan suhu antara 25-350C. Penelitian lain
menunjukkan bahwa untuk jenis Chlorella vulgaris dapat beradaptasi pada media
kultur dengan suhu serendah 50C (Maxwell et al. 1994). Suhu mempengaruhi
proses-proses fisika, 11 kimia, biologi yang berlangsung dalam sel fitoplankton.
Peningkatan suhu hingga batas tertentu akan merangsang aktifitas molekul,
meningkatnya laju difusi dan juga laju fotosintesis (Sachlan 1982). Suhu di bawah
160C dapat menyebabkan kecepatan perkembangbiakan Chlorella sp. turun,
sedangkan suhu diatas 360C dapat menyebabkan kematian (Taw 1990). Nilai pH
media kultur merupakan faktor pengontrol yang menentukan kemampuan biologis
fitoplankton dalam memanfaatkan unsur hara. Nilai pH yang terlalu tinggi misalnya,
akan mengurangi aktifitas fotosintesis fitoplankton (De La Noue dan De Pauw
1988). Nielsen (1955) menyatakan bahwa pH yang sesuai untuk
perkembangbiakan Chlorella berkisar antara 4,5-9,3 dan kisaran optimum untuk
Chlorella laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang optimum
untuk kultur Chlorella adalah antara 7-9. Karbondioksida (CO2) diperlukan oleh
fitoplankton untuk membantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-
2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur fitoplankton dengan intensitas
cahaya yang rendah. Kadar CO2 yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang
dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangbiakan
fitoplankton (Taw 1990). Aerasi dalam kultur fitoplankton digunakan dalam proses
pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk
mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga
fitoplankton dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi
suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw 1990).

5
2.2.2 Fase Perkembangbiakan Chlorella sp.
Perkembangbiakan fitoplankton dalam media kultur dapat diamati dengan melihat
pertambahan besar ukuran sel fitoplankton atau dengan mengamati pertambahan
jumlah sel dalam satuan tertentu. Ada dua cara penghitungan kepadatan
fitoplankton yaitu:
Pertama menggunakan sedgwich rafter dan menggunakan haemocytometer.
Penggunaan haemocytometer untuk menghitung kepadatan sel 12 fitoplankton
lebih sering digunakan dibandingkan sedgwich rafter karena faktor
kemudahannya.
Cara kedua lebih sering digunakan untuk mengetahui perkembangbiakan
fitoplankton dalam media kultur, yaitu dengan menghitung kelimpahan atau
kepadatan sel fitoplankton dari waktu ke waktu (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995),
Selama pertumbuhannya fitoplankton dapat mengalami beberapa fase
pertumbuhan.
yaitu :
a. Fase Lag (Fase Istirahat)
Dimulai setelah penambahan inokulum ke dalam media kultur hingga
beberapa saat sesudahnya. Pada fase ini peningkatan paling signifikan terlihat
pada ukuran sel karena secara fisiologis fitoplankton menjadi sangat aktif. Proses
sintesis protein baru juga terjadi dalam fase ini. Metabolisme berjalan tetapi
pembelahan sel belum terjadi sehingga kepadatan sel belum meningkat karena
fitoplankton masih beradaptasi dengan lingkungan barunya.
b. Fase Logaritmik (Fase Eksponensial)
Fase ini dimulai dengan pembelahan sel dengan laju pertumbuhan yang
meningkat secara intensif. Bila kondisi kultur optimum maka laju pertumbuhan
pada fase ini dapat mencapai nilai maksimal dan pola laju pertumbuhan dapat
digambarkan dengan kurva logaritmik. Menurut Isnansetyo dan Kurniastuty
(1995), Chlorella sp. dapat mencapai fase ini dalam waktu 5-7 hari.
c. Fase Penurunan
Laju Pertumbuhan Pembelahan sel tetap terjadi pada fase ini, namun tidak
seintensif fase sebelumnya, sehingga laju pertumbuhan juga mengalami
penurunan dibandingkan fase sebelumnya.

d. Fase Stasioner

6
Pada fase ini laju reproduksi dan laju kematian relatif sama. Penambahan dan
pengurangan jumlah fitoplankton seimbang sehingga kepadatannya relatif tetap
(stasioner).
e. Fase Kematian
Fase ini ditandai dengan laju kematian yang lebih besar daripada laju
reproduksi sehingga jumlah sel mengalami penurunan secara geometrik.
Penurunan kepadatan sel fitoplankton ditandai dengan perubahan kondisi
optimum yang dipengaruhi oleh suhu, cahaya, pH media, ketersediaan hara, dan
beberapa faktor lain yang saling terkait satu sama lain.
2.3 Pupuk
Pemupukan biasanya yang digunakan dalam kultur Chlorella sp. yakni pupuk
urea, pupuk ZA dan pupuk TSP sebagai unsur hara makro dan unsur mikro bagi
perkembangbiakan Chlorella sp. Pengertian pupuk secara umum adalah suatu
bahan yang bersifat organik ataupun anorganik, bila ditambahkan kedalam tanah
atau tanaman, dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Nitrogen merupakan unsur penting bagi
pertumbuhan tanaman terutama pada fase vegetatif. Saat fase ini terjadi tiga
proses penting yaitu pembelahan sel, pemanjangan sel dan tahap diferensiasi sel
(Hladka 1971). Shelf dan Soeder (1980) menyatakan bahwa nitrogen merupakan
bagian penting dari protein, protoplasma, klorofil, dan asam nukleat. Vegetasi
tingkat rendah maupun tinggi menyerap N dalam bentuk amonium (NH4 + ) dan
nitrat (N- ).
Organisme berklorofil yang kekurangan nitrogen akan berubah warna selnya
menjadi kekuningan karena adanya penghambatan síntesis klorofil. Pemupukan
nitrogen yang berlebihan akan mengakibatkan pertumbuhan vegetatif yang
berlebihan. Kekurangan N juga akan membatasi pertumbuhan karena tidak 14 ada
pembentukan protoplasma baru. Salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan N
tanaman (mengatur nisbah C/N) dengan memberikan pupuk N ke tanah. Chlorella
sp. tidak dapat membedakan dan tidak bisa memilih unsur hara yang diserap
berasal dari pupuk organik atau pupuk kimia. Chlorella sp. menyerap unsur hara
(N, P, K, dan sebagainya) melalui mekanisme pertukaran ion, dan dalam bentuk
ion-ion anorganik. Agar dapat diserap oleh Chlorella sp. pupuk organik harus
melalui serangkaian proses perombakan oleh mikroba dalam tanah menjadi ion-
ion anorganik/kimia. Jadi yang diserap Chlorella sp. pada akhirnya tetap saja
berupa ion-ion anorganik / kimia (Hardjowigeno 2007).

7
2.3.1 Pupuk Urea
Pupuk urea yang dikenal dengan nama rumus kimianya NH2CONH2 pertama
kali dibuat secara sintetis oleh Wohler (1928) dengan mereaksikan garam cianat
dengan ammonium hidroksida. Pupuk urea yang dibuat merupakan reaksi antara
karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3). Kedua senyawa ini berasal dari bahan
gas bumi, air dan udara. Ketiga bahan baku tersebut merupakan kekayaan alam
yang terdapat di Sumatera Selatan (Hardjowigeno 2007). Untuk mendapatkan
konsentrasi urea yang lebih tinggi maka dilakukan pemekatan dengan cara:
Penguapan larutan urea di bawah vacuum (ruang hampa udara, tekanan 0,1
atmosfir mutlak), sehingga larutan menjadi jenuh dan mengkristal. Memisahkan
kristal dari cairan induknya dengan centrifuge. Penyaringan kristal dengan udara
panas.
2.3.2 Pupuk ZA (Zwavelzuur Amonia)
Pupuk ZA mendapatkan nama panjangnya, Zwavelzuur Amonia dari bahasa
Belanda. Nama kimia ZA adalah amonium sulfat dengan rumus kimia (NH4)2SO4.
Senyawa garam anorganik ini memiliki memiliki kandungan nitrogen sekitar 20%
dan sulfur sekitar 24% sehingga tujuan produksinya adalah sebagai pupuk
pertanian (George dan Sussot 1971). Bentuk pupuk ZA yang dapat dijumpai di
pasaran adalah seperti bubuk kasar atau bongkahan-bongkahan kecil bewarna
putih seperti gula pasir dan mudah larut dalam air. Penggunaan pupuk ZA dalam
bidang pertanian yang berlebihan dapat menyebabkan turunnya pH tanah.
2.3.3 Pupuk TSP (Triple Super Phospate)
Fosfor (P) merupakan salah satu unsur makro primer yang dibutuhkan oleh
tanaman (Tisdale dan Nelson 1975). Kekurangan unsur P dapat diamati dari
adanya gejala tertundanya pematangan sel. Bold and Wynne (1985) menyatakan
gejala kekurangan P juga biasanya tampak pada fase awal pertumbuhan. Pada
tumbuhan tingkat tinggi, tanaman yang kekurangan P gejalanya dapat terlihat
pada daun tua dimana warna daun menjadi keunguan, perakaran menjadi dangkal
dan sempit penyebarannya, batang menjadi lemah. Menurut Bold dan Wynne
(1985) fosfor merupakan salah satu unsur yang berperan dalam proses
penyusunan karbohidrat dan senyawa kaya nitrogen. Gula terfosforilasi yang kaya
energi muncul dalam proses fotosintesis. Fosforilasi adenosin menghasilkan
adenosine monofosfat, difosfat, trifosfat (AMP, ADP dan 16 ATP) dimana tanaman
menyimpan energinya untuk kelangsungan proses kimia lainnya. Menurut
Buckman dan Brady (1982), fosfor berpengaruh baik pada proses pembelahan sel

8
dan pembentukan lemak pada organism. Bentuk umum yang dapat dijumpai
berupa butiran kecil kasar dengan warna kecoklatan, abu-abu, atau kekuningan
dan bahan penyusunnya seperti tanah yang mengering (Havlin et al. 2005).
2.3.4 Komposisi Pupuk
Untuk Perkembangbiakan Chlorella sp. Adapun pupuk yang digunakan untuk
skala massal berbeda dengan pupuk yang digunakan dalam skala laboratorium.
Hal ini dilakukan dengan pertimbangan faktor ekonomis. Adapun pupuk yang
digunakan dalam skala massal dapat dilihat pada Ta Berbagai Kombinasi Pupuk
Untuk Media Chlorella sp. Pupuk Konsentrasi (mg/l media) A B C Urea 80 40 12-
15 ZA 40 80 - TSP 15 15 - FeCl3 2 1,5 - EDTA 5 1,0 - N:P:K (14:14:14)

9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Metode praktikum
3.1.1 Alat praktikum
Alat-alat yang digunakan meliputi:
 Stoples
 rak kultur
 blower
 selang aerasi
 pipet tetes
 pipet ukur
 jarum suntik
 gelas ukur
 tabung reaksi
 Erlenmeyer
 kompor gas
 panic
 lampu TL 40 watt
 timbangan Ohaus
 hot plate
 batu stirrer
 refraktometer
 mikroskop
 thermometer
 lux meter
 flow meter
 haemocytometer.

10
3.1.2 Bahan Praktikum
Bahan-bahan yang digunakan meliputi:
 Bibit Chlorella sp.
 pupuk Conway
 vitamin B12
 air laut steril
 aquades
 alkohol 70 %
 kaporit dan kapur.
3.1.3 Prosedur Kerja
1. Persiapan Alat Kultur Sterilisasi alat berupa stoples dicuci menggunakan sabun
dan dibilas bersih lalu stoples dikeringkan, setelah kering stoples disemprotkan
dengan alkohol 70 %, dan kemudian dibilas menggunakan aquades. Sterilisasi
selang aerasi dilakukan dengan cara perebusan ± 30 menit. Setelah direbus
selang aerasi dikeringkan, kemudian disemprotkan dengan alkohol 70% dan
dibilas aquades.
2. Persiapan Air Kultur Air yang akan digunakan untuk kultur Chlorella sp.
disanitasi terlebih dahulu dengan cara merebus hingga mendidih. Setelah
mendidih lalu air didinginkan selama 1 hari dan siap untuk digunakan. Air yang
digunakan untuk kultur Chlorella sp. skala laboratorium memiliki salinitas 30 ppt.
3. Pupuk Conway dan Vitamin B12 Pupuk yang digunakan untuk kultur Chlorella
sp. Skala laboratorium yaitu pupuk Conway.
Komposisi Pupuk Conway No Bahan-bahan
Dosis
 FeCl3 : 1,3 gram
 MnCl2 : 0,36 gram
 H2BO3 : 33,6 gram
 EDTA : 45 gram
 NaH2PO4 : 20 gram
 NaNO3 : 100 gram
 Vitamin B12 : 0,01 gram
Bahan dilarutkan satu persatu ke dalam aquades 1000 ml dan vitamin B12
dilarutkan dengan aquades 100 ml menggunakan wadah erlenmeyer, aduk merata

11
menggunakan batu stirer hingga semua bahan terlarut dan dipanaskan di atas hot
plate.
4. Persiapan Sumber Cahaya dan Perlakuan Gelap Terang
Sumber cahaya yang digunakan untuk kultur Chlorella sp. skala laboratorium ini
adalah cahaya dari lampu TL 40 watt, dengan masing-masing stoples menerima
intensitas cahaya dari lampu ke stoples yaitu 2000 lux untuk menghasilkan
intensitas 2000 lux dengan cara mengatur jarak dari lampu ke stoples dan diukur
menggunakan lux meter.
Penelitian ini menggunakan perlakuan gelap terang. Pada perlakuan gelap
menggunakan plastik berwarna hitam ukuran 45 x 25 cm, dengan menggunakan
plastik hitam 3 lapis menghasilkan intensitas cahaya 0 lux. Pada perlakuan terang
intensitas cahaya 2000 lux. Pelaksanaan Penelitian:
-Stoplesdiisi air sebanyak2 liter, kemudian ditambahkan pupuk conway sebanyak
2 ml dan vitamin B12 2 tetes.
-Bibit Chlorella sp. ditebarkan dengan kepadatan 1.300.000 sel/ml.

Untuk menghitung volume bibit digunakan rumus (Mudjiman, 1995).

V1 = N2 X V2
N1

Keterangan :
V1 = volume inokulum yang diperlukan (ml)
V2 = volume media air yang digunakan (ml)
N1 = kepadatan inokulum (sel/ml)
N2 = kepadatan awal yang diinginkan (sel/ml)
3.2 Hasil dan Pembahasan
3.2.1 Kepadatan Sel Chlorella sp.
Hasil analisis keragaman (ANOVA) hasilnya menunjukkan bahwa periodisitas
cahaya dengan perlakuan yang berbeda memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap kepadatan sel Chlorella sp.
Kepadatan awal Chlorella sp. diketahui13 x 105 sel/ml, kemudian Chlorella
sp. dikultur pada media pupuk conway dan vitamin B12 dengan periodisitas
cahaya yang berbeda menghasilkan kepadatan sel Chlorella sp. yang meningkat
setiap harinya

12
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa puncak kepadatan sel Chlorella sp.
tertinggi pada masing-masing perlakuan periodisitas cahaya yang berbeda terjadi
pada hari yang berbeda. Pada gambar 3 menunjukkan kepadatan sel tertinggi
terjadi pada hari ke7 yaitu pada perlakuan 1 dengan periodisitas cahaya 24 jam
terang 0 jam gelap, kemudian diikuti pada perlakuan 2 dan 3 pada hari ke-8
dengan perioditas cahaya 20 jam terang 4 jam gelap untuk perlakuan 2 dan 16
jam terang 8 jamgelap untuk perlakuan 3 dan pada perlakuan 4 dengan perioditas
cahaya 12 jam terang 12 jam gelap terjadi pada hari ke-6.
Perlakuan 1 (24 jam terang 0 jam gelap) memperlihatkan kepadatan sel
Chlorella sp. paling tinggi jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya.
Puncak kepadatan sel Chlorellasp. tertinggi terjadi pada hari ke-7 dengan
kepadatan 134,25 x 105 sel/ml. Tingginya jumlah kepadatan sel yang diperoleh
pada perlakuan 1, diduga karena perlakuan 1 Chlorella sp. terpapar cahaya
selama 24 jam sehingga proses fotosintesis berlangsung setiap saat. Hal ini sesuai
dengan pendapat Lavens dan Sorgeloos 1996, bahwa Chlorella sp. berkembang
normal di bawah pengaruh cahaya yang konstan untuk melakukan proses
fotosintesis secara maksimal.
Perlakuan 2 (20 jam terang dan 4 jam gelap) puncak kepadatan sel Chlorella
sp. tertinggi terjadi pada hari ke-8 dengan kepadatan 107,75 x 105 sel/ml, pada
perlakuan 2 cahaya yang diberikan tidak terus-menerus sehingga kepadatan sel
lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan 1, dimana pada perlakuan 2 waktu
untuk mencapai puncak populasi tertinggi lebih lama dibandingkan dengan
perlakuan 1 dan 4 diduga disebabkan karena periodisitas cahaya yang lebih sedikit
dibandingkan perlakuan 1.
Perlakuan 3 (16 jam terang dan 8 jam gelap) puncak kepadatan sel Chlorella
sp. tertinggi terjadi pada hari ke-8 dengan kepadatan 98,75 x 105 sel/ml, pada
perlakuan 3 cahaya yang diberikan tidak maksimal, pemberian cahaya selama 16
jam terang menyebabkan Chlorella sp. membutuhkan waktu untuk beradaptasi
terhadap cahaya (Lavenz and Sorgeloos 1996). Cahaya yang dibutuhkan untuk
melakukan fotosintesis juga terbatas, sehingga aktivitas untuk pertumbuhan
terhambat. Perlakuan 2 dan perlakuan 3 mengalami puncak populasi pada hari
yang sama yaitu hari ke-8 tetapi dengan tingkat kepadatan sel Chlorella sp. yang
berbeda.
Perlakuan 4 (12 jam terang dan 12 jam gelap) puncak kepadatan sel Chlorella
sp. tertinggi terjadi pada hari ke-6 dengan kepadatan 70,75 x 105 sel/ml. Waktu

13
untuk mencapai puncak kepadatan sel tertinggi terjadi lebih cepat dibandingkan
dengan perlakuan lainnya, tetapi dengan jumlah kepadatan sel yang lebih rendah
dibandingkan dengan perlakuan 1,2 dan 3.
Pada perlakuan 4 cahaya yang diberikan sesuai dengan siklus alam yaitu 12 jam
terang dan 12 jam gelap, hal ini didukung oleh (Raymont 1963 dalam Andriyono
2001) menyatakan bahwa dalam fotosintesis terdapat 2 reaksi yaitu reaksi terang
dan reaksi gelap. Pada keadaan terang, sel akan membelah secara aseksual,
sehingga sel anak lebih kecil ukurannya dibanding induknya. Sedangkan pada
keadaan gelap, terjadi perkembangan sel untuk mencapai ukuran normal.
Hasil analisis Uji BNJ pada awal pengkultran, puncak tertinggi dan akhir
pengkulturan menunjukkan bahwa perlakuan 1 berbeda sangat nyata terhadap
semua perlakuan, perlakuan 2 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan 4 dan
perlakuan 3, perlakuan 3 berbeda sangat nyata terhadap perlakuan 4. Sehingga
dapat disimpulkan semakin lama penyinaran yang diberikan semakin tinggi jumlah
kepadatan sel Chlorella sp. yang dihasilkan.
Perlakuan terbaik untuk menghasilkan kepadatan sel Chlorella sp. tertinggi
yaitu pada perlakuan 1 dengan pemberian cahaya 24 jam terang 0 jam gelap pada
kultur skala laboratorium. Dengan periodisitas cahaya 24 jam terang mampu
menghasilkan kepadatan sel Chlorella sp. yang maksimal sehingga dengan lama
penyinaran 24 jam terang mampu menggantikan cahaya matahari untuk
mempercepat proses fotosintesis dalam pengkulturan Chlorella sp. skala
laboratorium dan dapat memenuhi kebutuhan pakan untuk budidaya ikan, rotifer,
dll.
Untuk memenuhi kebutuhan pakan untuk budidaya rotifer salah satu jenis alga
yang efisen untuk dijadikan pakan alami adalah Chlorella sp. dengan kepadatan
sel Chlorella sp.sebanyak 5.000.000 sel/ml dapat dijadikan pakan untuk budidaya
rotifer dan menghasilkan rotifer sebanyak 500-700 ekor/ml selama 3 minggu
(Rachmasarim 1989). Sehingga pada penelitian iniperlakuan 1 dengan lama
penyinaran 24 jam terang 0 jam gelap mampu menghasilkan kepadatan sel tinggi
dan dapatdilakukan pemanenan Chlorella sp. mulai hari ke-2 sampai dengan
puncak populasi tertinggi.
3.2.2 Kualitas Air
Hasil pengamatan kualitas air (suhu, salinitas, pH, DO dan intensitas cahaya)
selama penelitian menunjukkan bahwa kualitas air media kultur masih berada
dalam kisaran yang sesuai untuk hidup dan tumbuh.

14
Suhu media kultur selama penelitian berkisar 25-270C. kisaran suhu tersebut
sesuai dengan kisaran optimum untuk kultur Chlorella sp. karena pada kisaran
suhu tersebut metabolisme Chlorella sp. dapat berlangsung dengan baik. Suhu
optimal pada kultur Chlorella sp.
berkisar 25-30 0C(Isnansetyo dan Kurniastuty, 1995).
Kisaran salinitas media kultur selama penelitian berkisar 32-33,4 ppt. Kisaran
ini masih dalam kondisi yang optimum untuk pertumbuhan Chlorella sp. salinitas
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan pertumbuhan Chlorella
sp. terhambat. Salinitas yang optimum untuk pertumbuhan phytoplankton berkisar
antara 28-35 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuti, 1995).
Kisaran pH selama penelitan berkisar 7-8,2 dan pH ini masih dalam kisaran
yang baik untuk kultur Chlorella sp. pH pada mediapertumbuhan pakan alami
berkisar antara 6-8,5 (Borowiztka dan Borowiztka, 1988). Dan kisaran DO selama
penelitian adalah berkisar 6-8,1 ppm.
Intensitas cahaya yang digunakan pada penelitian ini terukur 2000 lux dengan
menggunakan lampu TL 40 watt dan diukur menggunakan lux meter. Untuk
menghasilkan intensitas cahaya 2000 lux dilakukan pengaturan jarak lampu ke
stoples. Intensitas yang digunakan pada penelitian ini masih dalam kisaran yang
optimum. Intensitas cahaya diperlukan oleh alga untuk berfotosintesis,
Pertumbuhan phytoplankton sangat tergantung pada intensitas cahaya. Biasanya
dalam ruang kultur intensitas cahaya berkisar antara 500 – 5000 lux (Labina, 1994)

15
BAB IV
KESIMPULAN

1. Periodisitas cahaya yang berbeda memberikan pengaruh yang sangat nyata


terhadap kepadatan sel Chlorella sp. dan perlakuan 1 (24 jam terang 0 jam gelap)
merupakan periodisitas cahaya yang efektif untuk menghasilkan jumlah kepadatan
sel Chlorella sp. yang tinggi.
2. Puncak kepadatan sel tertinggi pada kultur Chlorella sp. dicapai perlakuan 1 (24
jam terang 0 jam gelap) dengan kepadatan 134,25 x 105 sel/ml pada hari ke-7,
perlakuan 2 (20 jam terang 4 jam gelap) yaitu 107,75 x 105 sel/ml pada hari ke-8,
perlakuan 3 (16 jam terang 8 jam gelap) yaitu 98,75 x 105 sel/ml pada hari ke-8
dan perlakuan 4 (12 jam terang 12 jam gelap) yaitu 70,75 x 105 sel/ml pada hari
ke-6.

16
17

Anda mungkin juga menyukai