Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH FARMASI

EPILEPSI

Oleh :
Akmalia Fatimah
G99172029

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan.


Epilepsi sudah dikenal sekitar 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang
pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa
epilepsi merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak dan
merupakan kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.
Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi tertua, ditemukan pada
semua umur dan dapat menyebabkan hendaya serta mortalitas. Diduga terdapat
sekitar 50 juta orang dengan epilepsi di dunia (WHO, 2012). Populasi epilepsi aktif
(penderita dengan bangkitan tidak terkontrol atau yang memerlukan pengobatan)
diperkirakan antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk per tahun, di negara
berkembang diperkirakan 6 hingga 10 per 1000 penduduk (PERDOSSI, 2014).
Epilepsi merupakan salah satu masalah kesehatan yang menonjol di masyarakat,
karena permasalahan tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi
yang menimpa penderita mau pun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari,
epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat (Budiarto, 2007).
Prevalensi epilepsi di negara berkembang ditemukan lebih tinggi dari pada
negara maju. Data terbaru menunjukkan bahwa negara yang memiliki sumber daya
yang rendah terutama di daerah pedesaan menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi
(Bell et al., 2014). Prevalensi epilepsi berkisar 0,5 – 4%, sehingga pada jumlah
penduduk Indonesia ± 240 juta, diperkirakan jumlah penyandang epilepsi 1,1 – 1,8
juta (Subandi dan Danuaji, 2014). Prevalensi epilepsi pada usia lanjut (> 65 tahun)
di negara maju diperkirakan sekitar > 0,9%, pada usia > 75 tahun prevalensi
meningkat 1,5%. Sebaliknya prevalensi epilepsi di negara berkembang lebih tinggi
pada usia dekade 1-2 dibandingkan pada usia lanjut (PERDOSSI, 2014). Dalam
kebanyakan studi di negara-negara berkembang, prevalensi epilepsi tetap stabil
dalam dekade 3 – 4 dan biasanya menurun setelah dekade ke-5 kehidupan. Dalam
beberapa penelitian, prevalensi meningkat lagi setelah usia 60 tahun. Prevalensi
epilepsi berdasarkan jenis kelamin, dilaporkan laki-laki sedikit lebih tinggi daripada
wanita (Benarjee et al., 2009).
Penanggulangan penyakit epilepsi belum merupakan prioritas dalam Sistem
Kesehatan Nasional. Karena cukup banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek
medik dan psikososial, maka epilepsi tetap merupakan masalah kesehatan
masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis lainnya dalam
penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan
dengan pasti diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis
epilepsi harus ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat
dipisahkan sebab pengobatan yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan
diagnosis epilepsi yang tepat pula. Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan
tanda klinis yang karakteristik. Dalam membuat diagnosis epilepsi tidak hanya
berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik, justru
informasi yang diperoleh melalui wawancara yang lengkap dengan pasien mau pun
saksi mata (keluarga) yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi, kemudian
pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat, dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan
penyebabnya, lesi otak yang mendasari, jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Epilepsi merupakan cetusan muatan neuron Sistem Saraf Pusat
abnormal, berlebihan, sinkron, intermiten, paroksismal, unprovoked (Harsono,
2001). Sedangkan menurut International League Against Epilepsy (ILAE)
(2014), epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai dengan
beberapa kondisi, yaitu sedikitnya 2 kejang tanpa provokasi atau kejang reflek,
di mana di antara kedua kejang berselang lebih dari 24 jam atau satu kali kejang
tanpa provokasi atau kejang reflek dengan kemungkinan terjadinya kejang
berikutnya setelah mengalami 2 kali kejang tanpa provokasi, atau terdiagnosis
sindroma epilepsi. Epilepsi adalah bangkitan yang berlangsung singkat, kurang
dari 5 menit dan berhenti spontan, namun bangkitan epilepsi adalah suatu tanda
dan atau gejala yang terjadi sementara akibat aktivitas neuronal di otak yang
abnormal dan berlebihan (ILAE, 2005).
B. Etiologi
Etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu: (Subandi dan
Danuaji, 2014; PERDOSSI, 2014)
1. Epilepsi primer atau idiopatik, yang hingga kini tidak ditemukan
penyebab, tidak terdapat lesi structural di otak atau tidak ada defisit
neurologik. Diperkirakan mempunyai predisposisi genetik (enduring
predisposition) dan pada umumnya berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik, dianggap simptomatik, dicurigai ada lesi di otak, tetapi
belum diketahui penyebab pasti. Termasuk kategori ini ialah sindrom
West, sindrom Lennox Gestaut, dan epilepsi mioklonik.
3. Simptomatik, atau epilepsi sekunder, bangkitan yang timbul adalah
akibat lesi struktural otak, misalnya cedera kepala, infeksi susunan saraf
pusat, kelainan bawaan, lesi desak ruang, stroke, intoksikasi, gangguan
metabolik dan kelainan neurodegeneratif.
C. Gejala klinis
Kejang parsial simplek dimulai dengan muatan listrik di bagian otak
tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut. Penderita mengalami
sensasi, gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung kepada daerah
otak yang terkena. Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot
lengan kanan, maka lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan;
jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan
mencium bau yang sangat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan.
Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami déjà vu
(merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).
Kejang Jacksonian gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu
(misalnya tangan atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan
dengan penyebaran aktivitas listrik di otak.
Kejang parsial (psikomotor) kompleks dimulai dengan hilangnya
kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1-2 menit. Penderita
menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh
dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara-suara yang tak berarti, tidak mampu
memahami apa yang orang lain katakan dan menolak bantuan. Kebingungan
berlangsung selama beberapa menit, dan diikuti dengan penyembuhan total.
Kejang konvulsif (kejang tonik-klonik, grand mal) biasanya dimulai
dengan kelainan muatan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik
ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah
mengalami kelainan fungsi.
Epilepsi primer generalisata ditandai dengan muatan listrik abnormal
di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan
fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh
terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan
kesadaran sementara, kejang otot yang hebat dan sentakan-sentakan di seluruh
tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat-kuat dan hilangnya
pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit
kepala, linglung sementara dan merasa sangat lelah. Biasanya penderita tidak
dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.
Kejang petit mal dimulai pada masa kanak-kanak, biasanya sebelum
usia 5 tahun. Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal.
Penderita hanya menatap, kelopak matanya bergetar atau otot wajahnya
berkedut-kedut selama 10-30 detik. Penderita tidak memberikan respon
terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak-nyentak.
Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius, dimana kejang
terjadi terus menerus, tidak berhenti. Kontraksi otot sangat kuat, tidak mampu
bernafas sebagaimana mestinya dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar
luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang
menetap dan penderita bisa meninggal.(Mardjono, 2003)

D. Patofisiologi
Dalam keadaan normal, terdapat keseimbangan antara eksitasi dan inhibisi
aktivitas listrik. Suatu epilepsi terjadi bila terlalu banyak neuron otak meletup
bersamaan (sinkron) begitu cepat, menyebabkan badai listrik akibat imbalans
antara eksitasi dan inhibisi (eksitasi > inhibisi). Jadi otak adalah sumber
epilepsi (Subandi dan Danuaji, 2014).
Ada dua teori yang menjelaskan terjadinya bangkitan epilepsi, yaitu:
1. Teori kanal ion: yang berperan adalah kanal ion natrium, ion kalsium, dan
ion klorida. Na+ influk dan Ca++ influk berperan dalam proses eksitasi,
sedang Cl- influk berperan dalam proses inhibisi.
2. Teori neurotransmiter: dilihat dari aspek neuro kimia, epilepsi dapat terjadi
akibat perubahan GABA, glutamate, katekolamin, opioid, dan peptid.
Glutamat berperan sebagai neurotransmiter eksitasi yang mengakibatkan
influk Ca++ ke dalam sel post synaptic, sehingga terjadi proses depolarisasi
yang menyebabkan bangkitan epilepsi. Neurotransmiter GABA (gamma
amino butyric acid) berperan sebagai inhibisi, mengakibatkan influk Cl-
padan membran sel post synaptic, sehingga terjadi proses hiperpolarisasi
yang menyebabkan hambatan rangsang (inhibisi), mencegah bangkitan
epilepsi (Subandi dan Danuaji, 2014).
E. Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis, yang didukung
dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Ada tiga langkah
dalammenegakkan diagnosis epilepsi, yaitu sebagai berikut:1
1. Langkah pertama: pastikan adanya bangkitan epileptic
2. Langkah kedua: tentukan tipe bangkitan
3. Langkah ketiga: tentukan sindroma epilepsi
Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis
adalah sebagai berikut:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari orang tua atau saksi mata mengenai
hal-hal terkait dibawah ini:2
a. Gejala dan tanda sebelum, salam, dan pascabangkitan:
a. 1 Sebelum bangkitan/ gajala prodomal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya
bangkitan, misalnya perubahan prilaku, perasaan lapar,
berkeringat, hipotermi, mengantuk, menjadi sensitive, dan lain-
lain.
a. 2 Selama bangkitan/ iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal
bangkitan?
 Bagaimana pola/ bentuk bangkitan, mulai dari deviasi mata,
gerakan kepala, gerakan tubuh , vokalisasi, aumatisasi,
gerakan pada salah satu atau kedua lengan dan tungkai,
bangkitan tonik/klonik, inkontinensia, lidah tergigit, pucat,
berkeringat, dan lain-lain
 Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan?
 Apakah terdapat perubahan pola dari bangkitan sebelumnya
 Aktivitas penyandang saat terjadi bangkitan, misalnya saat
tidur, saat terjaga, bermain video game, berkemih, dan lain-
lain.
a.3 Pasca bangkitan/ post- iktal:
 Bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah,
Todd’s paresis.
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis,
alkohol.
c. Usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval
terpanjang antara bangkitan, kesadaran antara bangkitan.
d. Penyakit yang diderita sekarang, riwayat penyakit neurologis
psikiatrik maupun sistemik yang mungkin menjadi penyebab
maupun komorbiditas.
e. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga
f. Riwayat saat berada dalam kandungan, kelahiran, dan tumbuh
kembang
j. Riwayat bangkitan neonatal/ kejang demam
h. Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi susunan saraf pusat (SSP),
dll.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


3. Pemeriksaan penunjang
 MRI scan. Jenis pemeriksaan yang dilakukan dengan bantuan
gelombang radio dan medan magnet guna menghasilkan gambar organ
dalam tubuh secara terperinci ini bertujuan mengetahui adanya tumor
otak atau kecacatan pada struktur otak sebagai penyebab epilepsi.
 Electroencephalogram atau EEG. Pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui adanya gangguan pada impuls atau aktivitas elektrik di
dalam otak yang mungkin menjadi penyebab terjadinya kejang.
 Pemeriksaan laboratorium
 Pemeriksaan lainnya.

F. Penatalaksanaan Epilepsi
a. Non Farmakologi
1. Menghindari faktor pemicu seperti stres, kelelahan, terlambat makan
dan lain-lain.
2. Edukasi pasien dan keluarga untuk rutin minum obat epilepsi
3. Menghindari menyetir mobil sendiri atau bekerja di ketinggian

b. Farmakologi
Target terapi : Bebas bangkitan tanpa/minimal efek samping obat.
Prinsip terapi :
 OAE diberikan bila: diagnosis epilepsi sudah pasti atau terdapat
minimum 2 bangkitan dalam setahun
 Monoterapi sesuai bentuk bangkitan, start low go slow
 Bila dengan penggunaan dosis maksimum OAE tidak dapat
mengontrol bangkitan, diganti OAE kedua.
Jenis OAE:
 Golongan lama : Phenitoin, Carbamazepin, Phenobarbital, Asam
Valproat
 Golongan Baru : Gabapentin, topiramat, lamotrigini,
levetiracetam, zonisamide, oxcarbazepin.
Mekanisme Kerja OAE
 Memblok kanal Na++ sehingga tidak aktif : carbamazepin,
lamotrigin, okskarbazepin, phenobarbital
 Memblok kanal Ca++, etoksuksimid, gabapentin dan pregabalin
 Meningkatkan GABA : gabapentin, klobazam, klonazepam
 Multipleks : gabapentin, topiramat, dan zonizamid
Tabel 1. Pemilihan OAE sesuai jenis bangkitan

Keterangan:
M = Monoterapi
A = Adjuvant terapi
Tabel 2. Dosis jenis OAE
G. Prognosis
• 70% terkontrol dengan OAE tunggal
• < 50% sewaktu waktu dapat berhenti OAE
• Bangkitan lena, tonik klonik primer prognosis baik
• Onset > 30 tahun dengan defisit neurologik fokalrelatif jelek
BAB III
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. A
Usia : 24 tahun
Alamat : Sukoharjo, Jawa Tengah
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Pegawai swasta
No. RM : 03488xxx

B. ANAMNESIS
Keluhan Utama: Kejang
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang bersama ibunya dengan keluhan terjadi perilaku ganjil pada
pasien 1 minggu yang lalu. Ibunya, yang menyaksikan kejadian tersebut
mengatakan bahwa pasien tiba-tiba menghentakkan tangan kanannya tanpa
sadar sekitar 2 menit. Ketika hal tersebut terjadi, pasien tidak dapat diajak
bicara dan terlihat bengong. Satu menit kemudian pasien baru sadar dan merasa
bingung. Pasien tidak ingat apa yang terjadi pada dirinya. Sebelum tidak sadar,
pasien merasa penglihatannya kabur.

Dia pernah mengalami hal yang sama 6 bulan yang lalu di kantor. Teman
kantornya mengatakan pasien bersikap aneh, membuat suara “mm, mm, mm”
kemudian menghentak-hentakkan tangan kanannya tanpa sadar. Saat itu
pasien tidak mempedulikan keluhan tersebut dan berpikir bahwa dirinya hanya
sedang stres.

Tidak ada keluarga pasien yang mempunyai keluhan serupa. Pasien juga
biasa mengendarai kendaraan sendiri.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:
Riwayat serupa : pasien punya riwayat yang mirip 6 bulan yang lalu
Riwayat trauma : disangkal
Riwayat DM : disangkal
Riwayat hipertensi : disangkal

RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA


Riwayat serupa : tidak ada yang mengalami keluhan serupa

RIWAYAT PSIKOSOSIAL
Merokok (-), minum alkohol (-), obat-obatan terlarang (-), pasien masih bekerja
sebagai pegawai swasta, mengendarai motor sendiri ke kantor.

C. ANAMNESIS SISTEM
a. Sistem saraf pusat : nyeri kepala (-), kejang (+)
b. Sistem Indera
- Mata : berkunang - kunang (-), pandangan dobel (-),
penglihatan kabur (+), pandangan berputar (-)
- Hidung : mimisan (-), pilek (-)
- Telinga : pendengaran berkurang (-), telinga berdenging (-
), keluar cairan (-), darah (-), nyeri (-)
c. Mulut : sariawan (-), gusi berdarah (-), mulut kering (-),
gigi tanggal (-), gigi goyang (-), bicara pelo (-)
d. Tenggorokan : sakit menelan (-), suara serak (-), gatal (-)
e. Sistem respirasi : sesak nafas (-), batuk (-), batuk darah (-), mengi
(-) tidur mendengkur (-)
f. Sistem kardiovaskuler : sesak nafas saat beraktivitas (-), nyeri dada (-),
berdebar-debar (-)
g. Sistem gastrointestinal : mual (-), muntah (-), nyeri ulu hati (-), susah
BAB (-), perut sebah (-), mbeseseg (-), kembung
(-), nafsu makan berkurang (-), ampek (-), tinja
lunak, warna kuning.
h. Sistem muskuloskeletal : nyeri (-), nyeri sendi (-), kaku (-)
i. Sistem genitourinaria : mengompol (-), sulit mengontrol kencing (-),
j. Ekstremitas atas : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (-/-), bengkak (-), kelemahan (-/-),
sakit sendi (-), panas (-) berkeringat (-)
k. Ekstremitas bawah : luka (-), tremor (-), ujung jari terasa dingin (-),
kesemutan (-/-), sakit sendi lutut kiri (-),
kelemahan (-/-)
l. Sistem neuropsikiatri : kejang (-), gelisah (-), mengigau (-), emosi tidak
stabil (-)
m. Sistem Integumentum : kulit sawo matang, pucat (-), kering (-).

D. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : baik, gizi kesan cukup
Vital sign
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 90x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,7º C
VAS : 0
Status Neurologis
a. Kesadaran : composmentis, GCS E4V5M6
b. Fungsi luhur : dbn
c. Fungsi vegetatif : dbn
d. Fungsi sensorik : dbn
e. Fungsi motorik dan reflek :
Kekuatan Tonus R.fisiologis R.patologis
sde sde N N +2 +2 - -

sde sde N N +2 +2 - -
f. Nervus Cranialis
1. N. I : dalam batas normal
2. N. II : dalam batas normal
3. N. III, IV, VI : refleks cahaya (+/+), pupil isokor (3mm/3mm),
4. N. V : refleks kornea (+/+)
5. N.VII : dalam batas normal
6. N. VIII : dalam batas normal
7. N. IX : dalam batas normal
8. N. X : dalam batas normal
9. N.XI : dalam batas normal
10. N. XII : dalam batas normal

i. Meningeal Sign
- Kaku kuduk : (-)
- Tanda Brudzinski I : (-)
- Tanda Brudzinski II : (-)
- Tanda Brudzinski III : (-)
- Tanda Brudzinski IV : (-)
- Tanda Kernig : (-/-)

j. Provokasi test
- Laseque : (-/-)
- Patrick : (-/-)
- Contra Patrick : (-/-)

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Laboratorium Darah
Pemeriksaan Satuan Nilai normal
Hematologi Rutin
Hb 13.0 g/dl 12.0 – 15.6
Hct 40  33 – 45
AL 9.9 103/l 4.5 - 11.0
AT 305 103/l 150 - 450
AE 4.98 106/l 4.10 – 5.10
Hemostatis
PT 12 detik 10-15
APTT 30.7 detik 20-40
Kimia Klinik
GD2PP 139 Mg/dl 80-140
GDP 100 mg/dl 70-110
SGOT 18 u/l 0-35
SGPT 13 u/l 0-45
Kreatinin 0.6 mg/dl 0.6 -1.1
Ureum 23 mg/dl < 50
Asam urat 2.6 mg/dl 2.4-6.1
Protein total 7.1 mg/dl 6.2-8.1
Albumin 4.1 mg/dl 1.2-4.6
Globulin 3.5 g/dl 3.2-3.9
Kolesterol total 176 mg/dl 50-200
Serologi Hepatitis
Non
HbsAg non reaktif
reaktif

2. Pemeriksaan EEG
Gelombang abnormal pada lobus frontalis sinistra

F. RESUME

Pasien wanita, berusia 24 tahun datang bersama ibunya dengan keluhan


pergerakan tangan kanan yang menghentak-hentak minggu lalu yang terjadi
kurang lebih 2 menit disertai kehilangan kesadaran tentang lingkungan sekitar.
Sebelumnya 6 bulan lalu pasien mengalami hal yang sama didahului muncul
suara “um, um,um”. Pasien tidak sadar dan tidak ingat apa yang terjadi padanya
ketika hal tersebut terjadi. Pemeriksaan fisik dan neurologis dalam batas normal.
Pasien saat ini masih terus bekerja dan tetap mengenderai kendaraan sendiri.

G. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG


MRI

H. DIAGNOSIS
K : Epilepsi fokal/parsial kompleks
T : hemisfer cerebri sinistra
E : idiopatik

I. TATALAKSANA
1. Prinsip tatalaksana
a. Mencegah kejang berulang
b. Tidak ada/ minimal efek samping dari obat epilepsi
c. Menghindari faktor pencetus
2. Terapi
a. Non medikamentosa
1. Edukasi untuk menghindari pencetus
2. Edukasi untuk meminum obat secara teratur dan tidak boleh
memberhentikannya jika belum ada instruksi dari dokter.
3. Tidak boleh berkendara sendiri karena dapat terjadi kejang tiba-tiba
4. Dukungan keluarga dan teman
b. Medikamentosa
Lamotrigin 25 mg 1 x 1 tablet per hari

J. RESEP
R/ Lamotrigin tab mg 25 No. XIV
∫ 1 dd tab I

Pro : Nn. A (24 th)


BAB IV
PEMBAHASAN OBAT

Mekanisme Kerja Obat

Lamotrigin
1. Bentuk sediaan obat : ampul
2. Nama merek : Lamictal
3. Sediaan : Tablet, Tablet Disperse, Tablet Retard
4. Dosis tersedia : 25 mg, 50 mg, 100 mg, 200 mg
5. Farmakokinetik:
Absorption: Lamotrigine diabsorbsi dengan cepat dan lengkap di lambung
dengan metabolisme lintas pertama yang tidak signifikan. Konsentrasi
puncak pada plasma terjadi kira-kira 2,5 jam setelah obat masuk secara
oral. Waktu untuk mencapai konsentrasi maksimum agak sedikit
melambat jika dikonsumsi setelah makan tapi jumlah yang diabsorbsi
tidak terpengaruh.
Distribution: Berikatan dengan protein plasma sebesar 55%. Pelepasan
ikatan dari protein plasma tidak menyebabkan toksisitas.
Metabolism: Lamotrigin di metabolisme oleh enzim Uridine diphosphate
(UDP) glucuronyl transferase. Lamotrigin tidak mempengaruhi
farmakokinetik obat antiepilepsi lainnya dan tidak terjadi interaksi antara
lamotrigin dengan obat-obat yang menginduksi sitokrom P450.
Elimination: Lamotrigin di eliminasi melalui urin dengan bentuk yang
sudah termetabolisme. Kurang dari 10% dikeluarkan melalui urin tanpa
termetabolisme. Hanya sekitar 2% yang dikeluarkan melalui feses.
Klirens dan waktu paruhnya tergantung pada dosis obat. Rata-rata waktu
paruh eliminasinya pada orang dewasa normal adalah 24-35 jam.

Waktu paruh lamotrigin sangat dipengaruhi oleh obat-obatan lain


dikonsumsi bersamaan. Waktu paruh rata-rata berkurang kira-kira 14 jam
ketika diberikan bersama obat-obat uang menginduksi glukoronidasi
seperti carbamazepin dan fenitoin dan waktu paruh akan meningkat
hingga kurang lebih 70 jam jika diberi bersama dengan asam valproat.
6. Farmakodinamik:
Mekanisme aksi: Lamotrigin adalah obat yang memblok/menginaktivasi
kanal Na sehingga menghambat kemampuan syaraf untuk menghantarkan
muatan impuls dan juga menghambat pelepasan glutamat (asam amino
yang berperan dalam memicu bangkitan epilepsi.
Pharmacodynamic Effects: pada percobaan yang mengevaluasi efek obat
pada sistem saraf pusat, dosis lamotrigin 240 mg pada orang sehat tidak
ada perbedaan dengan placebo. Sedangkan fenitoin 100 mg dan diazepam
10 mg masing-masing secara signifikan mempengaruhi koordinasi
motorik visual dan pergerakan mata, meningkatkan kegoyahan tubuh dan
berefek sedatif.
Pada penelitian lain dosis oral tunggal 600 mg carbamazepin secara
signifikan mempengaruhi koordinasi motorik mata dan pergerakan mata,
meningkatakan kegoyahan tubuh dan detak jantung, sedangkan
lamotrigin dosis 150 mg dan 300 tidak berefek pada hal-hal tersebut sama
seperti placebo.
7. Dosis/ Cara penggunaan :
Epilepsi Dws >12 thn : Monoterapi 25 mg 1 x/hr selama 2 minggu, lalu
50 mg 1 x/hr selama 2 minggu; dosis rumat: 100-200 mg (1 x/hr atau 2
dosis terbagi).
Terapi add-on dg Na valproat 12.5 mg (atau 25 mg 2 hr 1x) selama 2
minggu, lalu 25 mg 1 x/hr selama 2 minggu; dosis rumat: 100-200 mg 1
x/hr atau dlm 2 dosis terbagi. Terapi add-on dg fenitoin, karbamazepin,
primidon, & fenobarbital 50 mg 1 x/hr selama 2 minggu, lalu 100 mg/hr
dlm 2 dosis terbagi selama 2 minggu; dosis rumat: 200-400 mg/hr dlm 2
dosis terbagi. Terapi add-on dg obat-obat yg tdk secara bermakna
menghambat atau menginduksi glukuronidase lamotrigin 25 mg 1 x/hr
selama 2 minggu, lalu 50 mg 1 x/hr selama 2 minggu; dosis rumat: 100-
200 mg 1 x/hr atau dlm 2 dosis terbagi. Anak 2-12 thn Terapi add-on
dg Na valproat 0.15 mg/kg BB/hr 1 x/hr selama 2 minggu, lalu 0.3 mg/kg
BB/hr 1 x/hr selama 2 minggu. Dpt ditingkatkan sebesar 0.3 mg/kg BB
tiap 1-2 minggu hingga mencapai dosis rumat 1-5 mg/kg BB (1 x/hr atau
dlm 2 dosis terbagi) hingga maks 200 mg/hr. Terapi add-on dg fenitoin,
karbamazepin, primidon, & fenobarbital 0.6 mg/kg BB., lalu 1.2 mg/kg
BB. Diberikan dlm 2 dosis terbagi selama 2 minggu. Dpt ditingkatkan
sebesar 1.2 mg/kg BB tiap 1-2 minggu hingga mencapai dosis rumat 5-15
mg/kg BB (1 x/hr atau dlm 2 dosis terbagi) hingga maks 400 mg/hr.
Terapi add-on dg obat-obat yg secara tdk bermakna menghambat atau
menginduksi glukuronidasi lamotrigin 0.3 mg/kg BB, lalu 0.6 mg/kg BB.
Diberikan dlm 1 atau 2 dosis terbagi selama 2 minggu. Dpt ditingkatkan
sebesar 0.6 mg/kg BB tiap 1-2 minggu hingga mencapai dosis rumat 1-10
mg/kg BB (1 x/hr atau dlm 2 dosis terbagi selama 2 minggu) hingga maks
200 mg/hr.
8. Indikasi :
terapi tambahan atau monoterapi pada epilepsi parsial dan epilepsi total,
termasuk serangan tonik-klonik dan serangan terkait sindroma Lennox-
Gastaut, epilepsi pada anak (2-12 tahun) hanya untuk terapi tambahan,
tidak direkomendasikan monoterapi, pencegahan episode mood pada
pasien dengan gangguan bipolar, utamanya untuk mencegah gejala
depresi.
9. Kontraindikasi :
hipersensitif.
10. Efek Samping :
sangat umum: ruam, sakit kepala, somnolens, ataksia, pusing, mual,
muntah, diplopia, penglihatan kabur; umum: nyeri, nyeri punggung,
artralgia, rasa letih, diare, nistagmus, tremor, insomnia, somnolence,
pusing, agresif, iritabilitas; tidak umum: ataksia, diplopia, penglihatan
kabur; jarang: sindrom Steven’s Johnson, nistagmus,
konjungtivitis; sangat jarang: nekrolisis epidermal toksik, abnormalitas
hematologik (neutropenia, leukopenia, anemia, trombositopenia,
pansitopenia, anemia aplastik, agranulositosis), limpadenopati, reaksi
hipersensitivitas (termasuk ruam kulit, demama, limpadenopati, udem
wajah, abnormalitas hati, abnormalitas darah, disseminated intravascular
coagulation (DIC), gagal multi organ), tics, halusinasi, rasa bingung,
meningitis aseptik, agitasi, gangguan gerakan, unsteadiness, perburukan
penyakit Parkinson, efek ekstrapiramidal, koreoatetosis, peningkatan
frekuensi kejang, reaksi seperti lupus.
BAB V
PENUTUP

A. SIMPULAN
1. Epilepsi merupakan suatu manifestasi klinis akibat lepasnya muatan
listrik abnormal, berlebihan, dan sinkron dari SSP, terutama korteks
serebri, yang berupa serangan paroksismal berulang dan timbul dengan
atau tanpa provokasi.
2. Pengobatan epilepsi hanya diberikan jika diagnosis epilepsi telah tegak.
Target terapi epilepsi adalah mencegah timbulnya bangkitan serta
meminimalkan efek samping obat. Prinsip terapi epilepsi adalah
monoterapi, dimulai dari dosis kecil dan ditingkatkan perlahan
3. Pengobatan epilepsi didasarkan pada jenis bangkitan epilepsi dengan
mempertimbangkan usia, jenis kelamin, kondisi pasien.

B. SARAN
1. Edukasi bahwa pengobatan epilepsi sangat perlu untuk mencegah
terjadinya bangkitan dan bahwa pengobatan epilepsi membutuhkan
waktu pengobatanyang panjang.
2. Edukasi untuk rutin kontrol dan minum obat secara teratur
DAFTAR PUSTAKA

Baker GA, Brooks J, Buck D, Jacoby A. The Stigma of Epilepsy a European


Perspective. Epilepsia 1999; 41(1): 98-104.

Banerjee PN, Filipi D, dan Hauser WA (2009). The descriptive epidemiogy of


epilepsi- a review. Epilepsi Res, 85(1): 31-45.

Bell Gail, Neligan Aidan, dan Sander Josemir (2014). An unknown quantity – The
worldwide prevalence of epilepsy. Epilepsia, 55 (7), 958-965.

Harsono. Epilepsi. Edisi pertama. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 2001

Kustiowati E, Hartono B, Bintoro A, Agoes A (editors) (2003) : Pedoman


Tatalaksana Epilepsi, Kelompok Studi Epilepsi Perdossi.

Mardjono M (2003): Pandangan Umum Tentang Epilepsi dan Penatalaksanaannya


dalam Dasar-Dasar Pelayangan Epilepsi & Neurologi, Agoes A (editor); 129-
148.

Subandi dan Danuadji Rivan (2014). Neurologi untuk dokter umum. Surakarta:
Sebelas Maret University Press.

Utama H. dan Gan V. 2007. Antiepilepsi dan Antikonvulsi. Dalam Farmakologi


dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI.

Anda mungkin juga menyukai