Anda di halaman 1dari 5

Bad Language

Bad language (bahasa kotor) pada anak-anak digolongkan dalam tiga kategori :
1. Profanity, kata-kata tidak senonoh atau ucapan yang tidak menghormati sesuatu yang
dianggap suci/sakral, misalnya nama tuhan.
2. Cursing, kata-kata makian yang mencerminkan keinginan untuk menyerang seseorang,
misalnya “damn you”
3. Obscenity, kata-kata yang mengacu pada topik seksual atau menyerang seseorang
dengan mengejek atau melalui lelucon tertentu.
Hampir semua anak-anak menggunakan bahasa kotor, cepat atau lambat. Bahasa seperti ini
terus mengalami peningkatan dalam intensitas penggunaannya selama beberapa tahun
terakhir. Hal ini disebabkan karena adanya anggapan kewajaran dan kelonggaran larangan
di masyarakat terhadap itu.

Faktor penyebab
Berikut adalah beberapa faktor penyebab anak menggunakan bahas akotor dalam
kehidupan sehari-hari.
1. Attention. Beberapa anak menggunakan “bahasa kotor” untuk mendapatkan perhatian.
Ini adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa dia mendapatkan perhatian dari
lingkungan sekitarnya.
2. Shock. Bagi beberapa anak, merupakan suatu hal yang menyenangkan ketika mereka
mengejutkan orang lain atau orang yang lebih dewasa dari dia. Ketika anak-anak
mengejutkan seseorang dan mampu membuat mereka tidak nyaman, dia akan
cenderung merasa superior terhadap orang yang berhasil ia kagetkan.
3. Release. Seseorang cenderung menggunakan bahasa kotor dengan cara impulsif ketika
tengah merasa frustrasi atau marah. Itu dilakuan untuk melepaskan ketegangan dalam
diri mereka.
4. Defiance. Bagi beberapa orang, bahasa kotor digunakan untuk merepresentasikan
pembangkangan. Mereka mungkin berasal dari lingkungan rumah dimana umpatan
beanar-benar menjadi hal yang tabu. Jadi mereka melakukan itu untuk mengungkapkan
pembangkangan dan menegaskan kebebasannya dari lingkungan tersebut.
5. Maturity. Sebagian orang lain menggunakan bahasa kotor sebagai simbol dari
kedewasaan. Mereka telah banyak mendengar orang-orang dewasa menggunakan
bahasa ini, jadi mereka melakukannya sebagai bentuk simbol dan pernyataan
kedewasaan mereka.
6. Peer acceptance. Saat bergaul dengan teman sebayanya, sebagian orang menggunakan
bahasa tersebut untuk mendapakan pengakuan dalam kelompoknya. Mereka akan
merasa lebih gaul, macho atau merasa lebih keren saat menggunakan bahasa tersebut.
7. Infantile pleasure. Saat kesadaran seksual muncul dan anak-anak mungkin
membicarakan tentang organ dan tindakan seksual dalam konteks yang negatif. Dengan
membicarakan topik ini, anak-anak seperti memperoleh kenikmatan seksual.
Cara pencegahan
Langkah-langkah yang bisa digunakan dalam mencegah terjadinya perilaku ini
diantaranya :
1. Set the example. Anak-anak banyak belajar termasuk bahasa dengan
memperhatikan orangtuanya. Jika orangtua tidak mampu mengontrol penggunaan
bahasanya di depan anak-anaknya maka mereka akan cenderung melakukan seperti
yang dilakukan orang tua mereka dikemudian hari.
2. Impulse expression. Jika orang tua memberi kebebasan pada anak untuk
mengekspresikan rasa marah dan ketidaksukaan mereka kepada orangtua secara
langsung, kecenderungan anak untuk menggunakan kata-kata seperti cursing ke
orang lain saat mengkomunikasikan perasaan negatif akan berkurang.
3. Discussion. Orang tua dan anak mendiskusikan tentang hal tersebut secara intens.
Orang tua memberitahukan pada anak tentang kata-kata tidak baik yang biasa
digunakan. Kata-kata tersebut ditulis, ditentukan dan kemudian dibahas apakah
layak digunakan atau tidak. Pendekatan ini terbukti efektif dalam mencegah
penggunaan bahasa kotor dalam kehidupan sehari-hari.

Tindakan yang bisa dilakukan orang tua diantaranya :


1. Abaikan. Jika anak-anak menemukan bahasa yang mereka gunakan tidak
mengejutkan anda, mereka mungkin tidak memiliki alasan untuk terus
menggunakan kata-kata tersebut. oleh karena itu, terkadang mengabaikan saja
sudah cukup untuk menghilangkannya. Menurut montagu, cursing yang dilakukan
oleh anak-anak juga berfungsi untuk mengeluarkan perasaan agresif dan
mengembalikan keseimbangan psikofisik individu.
2. “Play dumb”. Daripada tampak terkejut atau terganggu, orang tua dapat
mengambil jalan dengan berpura-pura bodoh terhadap anak. Dreikura menyarankan
agar anda membalas dengan mengatakan “kata apa yang anda gunakan ? saya tidak
mengerti. Apa artinya ?”. si anak akan cenderung meninggalkan hal tersebut karena
menganggap hal tersebut tidak menarik untuk orang tuanya.
3. Berempati. Ketika anak menggunakan bahasa kotor tersebut sebagai respons
terhadap perasaan frustrasi yang mendasarinya, cobalah untuk mengenali kesulitan
dan kebutuhan anak dengan menanggapi secara empatik serta menawarkan
dukungan kepadanya.
4. Mengungkapkan ketidaksetujuan. Orangtua dapat menunjukkan
ketidaksetujuannya terhadap bahasa yang digunakan anak, misalnya dengan
mengatakan “saya dapat memahami bahwa anda marah tetapi saya berharap anda
tidak menggunakan kata-kata tersebut” atau “orang lain mungkin berbicara seperti
itu di rumah mereka, taetapi di rumah ini anda tidak boleh melakukannya, kami
tidak berbicara seperti itu dan anda harus mengikuti”. Ketika tidak setuju, jelaskan
bahwa kata-kata tertentu menunjukkan perilaku buruk, tunjukkan bahwa orang-
orang tidak akan suka jika kata-kata yang tidak baik tersebut digunakan.
5. Menghukum. Jika anak tetap menggunakan bahsa kotor meski orangtua telah
melarangnya, hukuman sepertinya harus diterapkan. Misalnya mengunci anak di
rumah atau melarangnya melakukan hal yang ia sukai. Hal ini bisa mendorong anak
untuk tidak berperilaku seperti sebelumnya di masa yang akan datang.
6. Berikan penghargaan. Catat seberapa sering anak menggunakan bahasa kotor
tersebut di rumah. Kemudian beritahukan pada anak bahwa dia akan mendapat
bintang jika dalam periode beberapa jam ia tidak menggunakan bahasa kotor
tersebut di rumah. Berikan reward setiap ia memperoleh beberapa bintang dan
pastikan untuk memuji anak setiap kali ia memperoleh bintang.
7. Mengajarkan perbedaan. Beritahukan pada anak bahwa terdapat perbedaan jenis-
jenis kata, jelaskan pada anak bahwa kata-kata tertentu tidak boleh digunakan dan
ajarkan juga pada anak cara mengekspresikan kemarahan terhadap orang lain
menggunakan cara yang lebih baik. Anak-anak juga perlu belajar bahwa kata-kata
tertentu mungkin diizinkan digunakan di rumah namun tidak sopan digunakan di
lingkungan masyarakat atau sekolah. Misalnya ketika di sekolah anak lebih baik
berkata “bisakah aku pergi ke kamar kecil” daripada “bisakah aku buang air kecil”.

Contoh kasus :
Seorang ibu menggunakan sikap toleran terhadap kata-kata kotor yang digunakan
putrinya. Ketika putrinya yang berusia 8 tahun kembali ke rumah dari perkemahan
musim panas dengan kosa kata baru yang penuh warna. Ibu itu dengan tenang
mengulangi semua kata kembali dalam sebuah kalimat dan kemudian berkata,
“terdengar seolah-olah anda memiliki minggu yang menyenangkan untuk mempelajari
banyak kata-kata baru”.
Ibu kemudian memberitahu putrinya asal dari sebuah kata berisi empat huruf yang
sangat populer digunakan. Mulanya kata tersebut berasal dari kata bahasa jerman
ficken, yang berarti menanam bibit di tanah. Selang bertahun-tahun kata itu menjadi
slang fuck yang berarti menanam bibit pada manusia. Sang ibu menjelaskan kepada
anaknya bahwa ada waktu dan tempat yang tepat dan tidak tepat untuk menggunakan
kata-kata yang terdiri dari empat huruf tersebut. setelah itu, meski sang anak diberikan
izin untk menggunakannya di rumah, anak itu justru hampir tidak pernah
menggunakannya.

Firesetting
Menyaksikan api, belajar menyalakan api dan memadamkan api merupakan hal
yang dianggap menyenangkan bagi kebanyakan anak-anak. Api juga menarik perhatian
perhatian orang tua, sebagaimana contoh api yang besar akan menarik kerumunan
besar. Ketika seorang anak terlalu banyak ikut dalam kegiatan yang melibatkan api,
tentu hal ini merupakan hal yang harus diwaspadai oleh orang tua. Anak bisa dengan
mudah menyalakan api untuk membakar sesuatu yang bisa berdampak buruk bagi
dirinya dan lingkungan sekitarnya. Untunglah, kebiasaan ini cukup jarang terjadi
diantara anak-anak.
Anak yang sengaja menyalakan api bisa menimbulkan ancaman yang serius
bukan hanya bagi keluarganya, namun juga seluruh masyarakat. Karena dampaknya
yang sangat berbahaya, perilaku anak tersebut harus menjadi perhatian utama keluarga
dan sangat penting bagi orang tua untuk melihat perilaku ini sebagai suatu hal yang
serius, tidak dibiarkan begitu saja dan tidak teralu memberikan kebebasan pada anak.

Faktor Penyebab
Umumnya, sebagian besar firesetters adalah anak laki-laki. Firesetting adalah tindakan
yang kompleks dengan banyak penyebab. Berikut adalah beberapa alasan yang
mungkin mendasari perilaku ini terjadi :
1. Minimnya kontrol impuls. Seorang firesetters biasanya memiliki konrol yang
yang buruk dalam impulsnya, terutama kecenderungan agresifitasnya. Terkadang
dia sering menunjukkan perilaku agresif lainnya, misalnya berkelahi.
2. Kebutuhan yang tidak terpenuhi. Dalam beberapa kasus, firesetting adalah
tindakan seorang anak yang kurang bahagia dan anak-anak yang kebutuhan akan
pengawasan dari orang tuanya -terutama ayahnya- belum terpenuhi.
3. Pelampiasan/balas dendam. Anak-anak yang lebih muda terkadang membakar
sesuatu sebagai tindakan balas dendam atau pelampiasan atas seseorang yang tidak
ia sukai.

Tindakan yang bisa dilakukan :


1. Memberikan pemahaman. Pastikan anak memahami keseriusan dan potensi
bahaya yang daat ditimbulkan dari firesetting. Jelaskan lebih kepada anak tentang
kerusakan dan bahaya pribadi yang dapat ditimbulkan dari perilaku tersebut dan
diskusikan juga tentang legatlitas tindakan tersebut.
2. Membatasi perilaku anak. Orang tua tanpa ragu-ragu harus memberitahu anak
bahwa dia tidak boleh bermain dengan korek api atau api ringan tanpa izin, serta
menjelaskan hukuman apa yang mungkin didapat anak jika melanggar aturan
tersebut. lakukan pengawasan ekstra terhadap anak jika anak mulai berpotensi
melanggar aturan tersebut.
3. Mencari alternatif yang dapat diterima. Misalnya, seorang ibu dari anak berusia
empat tahun yang suka bermain korek api menemukan cara agar dia bisa menjaga
perilaku anaknya dalam kendali tanpa melarang anak tersebut, yaitu dengan cara
menunjuk sang anak sebagai pembuang sampah kertas dalam keluarga. Setiap pagi
tugas anak tersebut mengumpulkan kertas bekas dari keranjang dan kemudian
membakarnya di insinerator. Anak itu setuju untuk tidak membakar hal lain selain
kertas-kertas bekas tersebut.

Contoh kasus :
Kasus ini melibatkan anak laki-laki yang terganggu secara emosional; terapi
ekstensif diperlukan untuk anak laki-laki dan keluarganya tersebut. anak itu berusia
7 tahun dan dia berulang kali menyalakan api sebagai reaksi marah terhadap
pertengkaran orang tuanya. Ayahnya bekerja berjam-jam dan jarang berada di
rumah. Ketika ayahnya berada di rumah, ayahnya mudah marah dan tidak sabar
menghadapi anak tersebut. dia memiliki adik kecil berusia 3 tahun dan kerap
melakukan hal buruk pada adiknya. Dia adalah anak laki-laki yang aneh, ia
melakukan hal yang buruk di sekolah meskipun memiliki kecerdasan yang
memadai. Pada usia 6 tahun, dia mulai menyalakan api kecil di rumahnya meskipun
diberikan hukuman oleh orang tuanya. Ketika firesetingnya meningkat, dia berhenti
menyerang adiknya. Firesetting menjadi pelampiasannya terhadap pertengkaan
orangtuanya dan kehidupan keluarganya yang kurang baik. Firesetting anak itu baru
berhenti setelah keluarga menghabiskan waktu selama dua tahun dalam sesi terpai
mingguan. Sebagian terapi ditujukan untuk membantu orang tua meningkatkan
sikap mereka terhadap anak dan dalam menyelesaikan masalah pernikahan mereka.

Anda mungkin juga menyukai