Anda di halaman 1dari 24

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian

Penyakit arteri koroner atau Coronary Artery Disease (CAD) adalah penyempitan atau

penyumbatan arteri koroner, arteri yang menyalurkan darah ke otot jantung. Bila aliran darah

melambat, jantung tak mendapat cukup oksigen dan zat nutrisi. Hal ini biasanya

mengakibatkan nyeri dada yang disebut angina. Bila satu atau lebih dari arteri koroner

tersumbat sama sekali, akibatnya adalah serangan jantung dan kerusakan pada otot jantung

(Glassman & Shapiro, 2014).

CAD juga merupakan kondisi patologis arteri koroner yang ditandai dengan

penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa di dinding pembuluh darah

yang mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri dan penurunan aliran darah ke

jantung (Glassman & Shapiro, 2014 ).

Kecemasan menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) V

adalah suatu perasaan takut (fear) dan rasa khawatir, dimana rasa takut merupakan suatu

respons emosi normal terhadap ancaman yang nyata sedangkan rasa khawatir adalah antisipasi

terhadap ancaman yang akan datang yang tidak jelas. Rasa takut dikaitkan dengan keterjagaan

otonom yaitu penting untuk fight/flight, pikiran tentang bahaya yang mengancam dan perilaku

melarikan diri (menyelamatkan diri), sedangkan rasa khawatir dikaitkan dengan ketegangan

otot, kewaspadaan terhadap bahaya yang akan datang dan perilaku menghindar (Kaplan dkk,

2010; Gorman & Sloan, 2014).

Kriteria diagnostik gangguan depresi mayor menurut DSM V adalah terdapat 5 (atau

lebih) gejala dalam waktu 2 minggu di antaranya mood depresi, menurunnya minat atau rasa

7
senang terhadap semua hal, berat badan meningkat atau menurun, insomnia atau hipersomnia,
agitasi atau retardasi psikomotor, letih atau tidak ada tenaga, perasaan tidak berharga,

menurunnya kemampuan berpikir dan kosentrasi, dan berulangnya pikiran tentang kematian

(Carney dkk, 2015; Heather dkk, 2015; Sadock dkk 2015).

2.2 Etiologi

Penyebab utama dari CAD adalah terjadinya aterosklerosis. Aterosklerosis adalah

pengerasan pada dinding arteri. Aterosklerosis ditandai dengan adanya penimbunan lemak,

kolesterol, di lapisan intima arteri. Timbunan ini dinamakan ateroma atau plak. Walaupun

pengetahuan tentang kejadian etiologi tidak lengkap, namun jelas bahwa tidak ada faktor

tunggal yang bertanggung jawab untuk perkembangan aterosklerosis. Ada beberapa faktor

resiko yang mengakibatkan terjadinya CAD (Hemingway & Marmot, 2015) yaitu:

A. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi

Yaitu faktor risiko biologis yang tidak dapat diubah, yang meliputi:

1. Usia

Kerentanan terhadap aterosklerosis meningkat dengan bertambahnya usia. Pada laki-

laki biasanya risiko meningkat setelah umur 45 tahun sedangkan pada wanita umur 55

tahun.

2. Jenis Kelamin

Aterosklerosis 3 kali lebih sering terjadi pada pria dibanding wanita. Wanita agaknya

relatif lebih kebal terhadap penyakit ini karena dilindungi oleh hormon estrogen, namun

setelah menopause sama rentannya dengan pria.

3. Ras

Orang Amerika-Afrika lebih rentan terhadap aterosklerosis dibanding orang kulit putih.

4. Riwayat Keluarga CAD


Riwayat keluarga yang ada menderita CAD, meningkatkan kemungkinan timbulnya

aterosklerosis prematur.

B. Faktor yang dapat dimodifikasi

Yaitu faktor risiko yang dapat dikontrol dengan mengubah gaya hidup atau kebiasaan

pribadi, yang meliputi:

1. Hiperlipidemia

Adalah peningkatan lipid serum, yang meliputi: Kolesterol > 200 mg/dl, Trigliserida >

200 mg/dl, LDL > 160 mg/dl, HDL < 35 mg/dl.

2. Hipertensi

Adalah peningkatan tekanan darah sistolik dan atau diastolik. Hipertensi terjadi jika

tekanan darah melebihi 140/90 mmHg. Peningkatan tekanan darah mengakibatkan

bertambahnya beban kerja jantung. Akibatnya timbul hipertrofi ventrikel sebagai

kompensasi untuk meningkatkan kontraksi. Ventrikel semakin lama tidak mampu lagi

mengkompensasi tekanan darah yang terlalu tinggi hingga akhirnya terjadi dilatasi dan

payah jantung. Dan jantung semakin terancam oleh aterosklerosis koroner.

3. Merokok.

Merokok akan melepaskan nikotin dan karbonmonoksida ke dalam darah.

Karbonmonoksida lebih besar daya ikatnya dengan hemoglobin daripada dengan

oksigen. Akibatnya suplai darah untuk jantung berkurang karena telah didominasi oleh

karbondioksida. Sedangkan nikotin yang ada dalam darah akan merangsang pelepasan

katekolamin. Katekolamin ini menyebabkan konstriksi pembuluh darah sehingga suplai

darah ke jantung berkurang. Merokok juga dapat meningkatkan adhesi trombosit yang

mengakibatkan terbentuknya thrombus.

4. Diabetes Mellitus
Hiperglikemi menyebabkan peningkatan agregasi trombosit. Hal ini akan memicu

terbentuknya trombus. Pasien Diabetes Mellitus juga berarti mengalami kelainan dalam

metabolisme termasuk lemak karena terjadinya toleransi terhadap glukosa.

5. Obesitas

Obesitas adalah jika berat badan lebih dari 30% berat badan standar. Obesitas akan

meningkatkan kerja jantung dan kebutuhan oksigen.

6. Inaktifitas Fisik

Inaktifitas fisik akan meningkatkan risiko aterosklerosis. Dengan latihan fisik akan

meningkatkan HDL dan aktivitas fibrinolisis.

7. Stres dan Pola Tingkah Laku

Stres akan merangsang Hiperaktivitas HPA yang dapat mempercepat terjadinya CAD.

Peningkatan kadar kortisol menyebabkan ateroklerosis, hipertensi, dan kerusakan sel

endotel pembuluh darah dan merangsang kemotaksis (Januzzi dkk, 2014).

2.3. Epidemiologi

Di Amerika Serikat, depresi mengenai hampir tujuh belas juta penduduk tiap tahun.

Biaya pengobatan depresi baik langsung maupun tidak langsung, yaitu sekitar 43 milyar dolar

per tahun. Biaya tersebut bertambah besar, karena depresi sering berkomorbiditas dengan

penyakit fisik lain, salah satunya adalah CAD. Sekitar 20-45% penderita CAD menderita

cemas dan depresi (Kubzansky dkk, 2013).

Di Indonesia tahun 2013, prevalensi CAD 20,9%, dikatakan laki-laki lebih tinggi dari

pada perempuan (Riskesdas, 2013). Di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, penelitian

menunjukkan bahwa sekitar 57,4% penderita pasca-infark miokard akut (IMA) dengan

kepribadian tipe A menderita depresi. Proporsi gangguan depresi tertinggi ditemukan pada
kasus IMA derajat berat dan sangat berat. Selain itu, juga terdapat hubungan positif antara

derajat keparahan IMA dengan derajat berat depresi (Mertha, 2010)

Sekitar 15-27% pasien dengan penyakit jantung (termasuk di dalamnya pasien dengan

CAD) menderita sindrom depresi mayor. Jumlah tersebut lebih tinggi bila dibandingkan

dengan populasi umum yang hanya sekitar 4%-5%. Sebagian besar pasien mengalami gejala

subsindromal, sehingga sering tidak dikenali oleh petugas kesehatan dan tidak mendapatkan

penanganan yang baik. Depresi dapat timbul sebagai reaksi sementara terhadap adanya

penyakit jantung, namun tidak jarang juga bersifat kronis dan rekuren. Suatu studi menemukan

bahwa diantara pasien yang menderita sindrom arteri koroner akut yang datang ke rumah sakit

dengan gejala depresi mayor, 94% telah mengalami depresi lebih dari satu bulan, 61% telah

mengalami depresi lebih dari enam bulan dan lebih dari separuh pernah mengalami episode

depresi mayor sebelumnya. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa depresi merupakan salah

satu faktor risiko independen untuk berkembangnya suatu CAD (Linden dkk, 2013;

Musselman dkk, 2015).

Pasien dengan sindrom depresi mayor memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

mengalami serangan infark miokard baik yang bersifat fatal maupun tidak fatal, serta

mengalami kematian mendadak dibandingkan dengan pasien yang tidak menderita depresi.

Sebuah studi meta-analisis terhadap 28 studi longitudinal yang melibatkan hampir 80.000

pasien menyimpulkan bahwa mood depresi secara signifikan meningkatkan risiko timbulnya

beragam penyakit kardiovaskuler, dan pasien yang secara klinis telah terdiagnosis menderita

gangguan depresi mayor memiliki risiko yang paling besar untuk mengalami penyakit

kardiovaskuler (Linden dkk, 2013; Musselman dkk, 2015).

Pada pasien dengan riwayat penyakit jantung, depresi juga merupakan salah satu faktor

risiko independen selain merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan Diabetes Mellitus. Depresi
meningkatkan risiko terjadinya CAD yang fatal sebanyak 4 kali lipat, pasca terjadinya suatu

episode angina tak stabil (Roest dkk, 2014; Roland dkk, 2012; Strike & Steptoe, 2014).

Sebuah studi meta-analisis dilakukan terhadap 20 studi prospektif yang melibatkan

pasien dengan riwayat infark miokard, pasien setelah operasi Coronary Artery Bypass Graft

(CABG), pasca prosedur Percutaneous Transluminal Coronary Angioplasty, maupun pasien

dengan CAD yang stabil (Kidd dkk, 2016; Pignay dkk, 2014). Studi ini menyimpulkan bahwa

pasien yang menunjukkan gejala depresi dua kali lebih rentan untuk mengalami kematian

dalam 2 tahun masa follow-up. Bahkan pada pasien yang telah menjalani operasi CABG,

adanya gejala depresi dihubungkan dengan peningkatan risiko terjadinya graft atherosclerosis

dan berkurangnya diameter minimum lumen saphenous vein graft dalam 4-5 tahun masa

follow-up (Kidd dkk., 2016; Pignay dkk., 2014).

Prevalensi gangguan cemas pada populasi dengan penyakit jantung cukup tinggi, yakni

antara 28% sampai 44% pada kelompok usia yang lebih muda. Pada kelompok usia yang lebih

tua, prevalensi gangguan cemas diperkirakan antara 14% sampai 24%. Pasien dengan CAD

yang stabil memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan populasi

umum, dengan prevalensi antara 16% sampai 42%. Baik depresi maupun gangguan cemas yang

terjadi pasca sindrom arteri koroner akut sering tidak disadari dan tidak mendapatkan

penanganan dari petugas kesehatan di lini pertama unit pelayanan jantung. Hal ini dapat

menurunkan kualitas hidup penderita, mengingat buruknya dampak kedua kondisi tersebut

terhadap luaran kardiovaskuler penderita (Strike & Steptoe, 2014).

2.4. Patofisiologi

Hubungan antara stres, kecemasan, dan depresi pada penyakit arteri koroner dapat

dijelaskan melalui beberapa mekanisme patofisiologi, di antaranya adalah :

2.4.1. Stres merangsang kemotaksis lewat perubahan dalam fungsi endotel


Stres psikologi mengaktivasi sistem saraf simpatis yang mengatur denyut jantung dan

pelepasan katekolamin dan HPA aksis yang mengatur pelepasan kortikosteroid dari kelenjar

adrenal. Pada stres psikologi akut, katekolamin secara dominan mempengaruhi sirkulasi sel

NK. Hubungan antara stres akut, SNS dan leukosit (Gambar 2.1). Pada stres kronik, aktivitas

HPA aksis mungkin berkurang, merangsang lelah dan peningkatan aktivasi inflamasi yang

dimediasi oleh imun (Sargawo, 2011; Glassman & Shapiro, 2014).

Acute Stress

Activation of adrenoceptor Activation of B2


Adrenoceptor
Lungs and marginal pool
Spleen and marginal pool

Release of Granulocytes
(neutrophils, eosinophils, Increase and monocyte
basophils) circulation (T&B
lymphocytes)

Gambar 2.1 Hubungan antara stres akut, sistem saraf simpatis


dan sel darah putih ( Sargawo, 2011)

Lebih jauh, stimulasi reseptor Beta adrenergik merangsang perubahan ekspresi molekul

sel adhesi (Gambar.2.2). Di bawah stres psikologi rendah, CD62L sel NK dengan L-selectin

(CD62 ligand) menempel lemah ke sel endotel yang mengekspresikan reseptor molekul adhesi.

Di bawah stres psikologi tinggi, L-selectin dari sel NK tidak berperan menggerakkan dan CD62

sel NK akan ditahan di dalam tepi genangan pembuluh darah atau jaringan di luar pembuluh

darah. Malahan, CD62 sel NK tanpa L-selectin akan dimobilisasi. Konsentrasi dari molekul

adhesi seperti ICAM 1 dan CD11a akan meningkat jika stres psikologi tinggi. Peningkatan

konsentrasi molekul adhesi menyebabkan CD62 sel NK menghentikan gulungan dan


menempel sehingga meningkatkan molekul adhesi. Disfungsi endotel juga menyebabkan

penempelan limfosit T dan platelet. Aktivasi sel T pada gilirannya menghasilkan sitokin

proinflamasi, seperti Tumor Necrosis Factor alfa (TNF alfa), Interleukin (IL)-1 dan IL-6 yang

menstimulasi makrofag dan sel endotel pembuluh darah dan memperkuat terjadinya proses

inflamasi. Pada akhirnya ini akan merangsang kondisi dini aterosklerosis dimana makrofag dan

sel imunokompeten lainnya menyebabkan inflamasi lokal dan pembentukan plak.

Pembentukan thrombus lokal membangkitkan serotonin, tromboxan A2, dan thrombin, yang

menyebabkan vasokonstriksi dan kemudian merangsang Acute Coronary Syndrome (ACS)

dengan ruptur dari plak. Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP) merangsang otot

polos dan sel endothelial mengelilingi plak arteri koroner, menghasilkan lebih banyak sitokin

proinflamasi dan lebih memicu ekspresi molekul adhesi. CRP diprediksi menyebabkan

gangguan ACS, tidak hanya tergantung beratnya aterosklerosis, dan dihubungkan secara

signifikan dengan gagal jantung kongesti (CHF) (Glassman & Shapiro, 2014; Sargawo, 2011).

Stress loneliness

hange
Symphatetic Heart rate, bloodpressure,
Cortisol
nervous system plasma catecholamine

B Adrenoceptors

CD62L+NK cells TNF-


with L selection Changes in cell adhesion molecules ALFA
adhesion molecules IL-1
IL-6
T-lymphocyte

Endothelial cells Increase concentration of adhesion molecules ICAM-1, CD 11a

Low psychological stress levels High psychological stress levels loneliness


Chemotaxis

Acut coronary syndrome

Myocardial infarction

Gambar 2.2 Hubungan stres dengan peningkatan adhesi


sel molekular ke sel endothel (Sargawo, 2011)

2.4.2. Stres merangsang CAD melalui perubahan pada monosit dan sitokin

(Gambar 2.3) Peran limfosit dan sitokin dalam perkembangan CAD di bawah stres akut.

Status sosioekonomi rendah mungkin meningkatkan risiko CAD melalui inflamasi sedang dan

aktivasi imun. Status sosioekonomi rendah dihubungkan dengan jumlah total sel Natural Killer

(NK) dan limfosit T dan B lebih tinggi di dalam sirkulasi. Selama stres psikologi akut,

persentase sirkulasi sel NK dan sel T sitotoksik CD8 meningkat, sedangkan sel NK dan sel T

CD4 sirkulasi yang mengekspresikan L-selectin berkurang. Stres psikologi akut mengurangi

respon proliferasi mitogen, utamanya fitohemaglutinin (Sargawo, 2011; Heather dkk, 2015).

Owen dan Steptoe mempelajari hubungan antara sel NK, dengan kepekaan stres sitokin

proinflamasi, dan denyut jantung manusia. Peningkatan jumlah sel NK mengikuti stres

dihubungkan secara positif dengan respon denyut jantung dan perbedaan individu dalam respon

stres jantung pengendali simpatis dihubungkan dengan NK dan respon sitokin proinflamasi ke

stres psikologi. Dibawah ini dijelaskan dengan gambar tentang hubungan antara sel NK,

dengan kepekaan stres sitokin proinflamasi, dan denyut jantung manusia.


Gambar 2.3. Monosit, sitokin, dan CAD (Sargawo, 2011)

Sebuah stressor psikologi akut meningkatkan sitokin proinflamasi termasuk sel

mononuclear ekspresi gen IL-1B dan plasma interleukin 6 (IL-6). Peningkatan ekspresi gen

IL-1B dihubungkan secara positif dengan denyut jantung dan kepekaan tekanan darah sistol.

Sitokin juga mempengaruhi otak dan menimbulkan perasaan malas, sakit dan lemah. Sitokin
ini dapat merangsang proliferasi dan perpindahan sel otot polos melalui rangsangan faktor

pertumbuhan lainnya yang memicu lesi koroner. Ekspresi jangka pendek dari stres

mengaktivasi sitokin pada jantung mungkin menjadi sebuah respon adaptif terhadap stres,

sebaliknya ekspresi jangka pendek dari molekul ini mungkin sesungguhnya maladaptif dengan

menghasilkan dekompensasi jantung. Studi lain menemukan bahwa sitokin proinflamasi

menyebabkan kelainan kardiovaskuler pada orang tua. Sebagai contoh, IL-6 dihubungkan

secara signifikan dengan CAD, stroke dan gagal jantung kongesti Congestive Heart Failure

(CHF) adalah sebuah penyebab kuat yang independen meningkatkan kematian pada CAD yang

tidak stabil. Selain itu TNF alfa juga menunjukkan sebuah hubungan signifikan dengan CAD.

Sitokin seperti IL-6 dan TNF alfa mungkin menjadi predictor yang kuat untuk terjadinya

insiden kardiovaskuler daripada protein fase akut seperti CRP ( Sargawo, 2011; Sullivan

dkk,2013 ).

2.4.3. Akibat stres pada pembekuan dan aterosklerosis

(Gambar 2.4) Stres psikologi akut meningkatkan faktor hemostasis seperti faktor Von

Willebrand. Keadaan sosial buruk dan faktor psikososial, akan meningkatkan konsentrasi

protein fase akut seperti plasma fibrinogen dan ini meningkatkan risiko CAD. Orang yang

menyendiri dan tidak punya keluarga menunjukkan terjadinya respon fibrinogen yang

meningkat karena stres. Stresor psikososial kronik meningkatkan faktor hemostatik keduanya

(faktor VII) dan protein fase akut (fibrinogen). Fibrinogen meningkatkan aterosklerosis dengan

peningkatan agregasi platelet, peningkatan pelepasan endotel-turunan dari faktor pertumbuhan

(Endothelial-derived growth factor), merangsang proliferasi sel otot polos, peningkatan plasma

dan viskositas darah. Stres akut dan kronis mungkin mengaktivasi kaskade koagulasi dan

merangsang pembentukan thrombus dan Miocard Infark (MI). Ada bukti kuat dari studi

epidemiologi dan meta-analisis yang tingkatannya lebih tinggi dari protein fase akut seperti

CRP dan fibrinogen kemungkinan sebagai penyebab kematian pada penyakit kardiovaskuler,
selain itu juga dihubungkan dengan status sosioekonomi rendah. Stres psikologi dihubungkan

dengan meningkatnya aktivasi platelet dan meningkatnya risiko penyakit kardiovaskuler (

Sargawo, 2011; Sullivan dkk,2013 )

Prothrombin

Acute stress
willebrand factor

Acute Thrombin
stress
Chronic
Fibrinogen
stress
Job strain
low

fibrin

Clot bound thrombin

Atherosclerosis

Gambar 2.4. Hubungan antara stres akut dengan koagulasi (Sargawo, 2011)

2.4.4 Pengaruh Fisiologik Depresi Terhadap CAD

a. Hypothalamic-Pituitary-Adrenocortical Axis (HPA) dan Simpatoadrenal (SA)

Hiperaktivitas HPA dapat mempercepat terjadinya CAD. Peningkatan kadar kortisol

menyebabkan arterosklerosis, hipertensi, dan kerusakan sel endotel pembuluh darah.

Hiperaktivitas HPA juga menyebabkan terjadinya hiperaktivitas SA melalui jaras sentral.

Akibatnya, terjadi peningkatan plasma katekolamin yang akhirnya menimbulkan

vasokonstriksi, peningkatan denyut jantung dan aktivitas platelet yang dapat merusak sistem

kardiovaskuler. Pada pasien depresi terjadi peningkatan HPA yang ditandai dengan tingginya

kadar corticotropin-releasing factor (CRF) dalam cairan cerebrospinal. Selain itu, respons
adrenocorticotropin hormone (ACTH) terhadap CRF berkurang. Terdapat pula

hiperkortisolemia, pelebaran kelenjar adrenal, dan hipofisis. Hal ini juga bisa terjadi pada

pasien CAD yang mengalami depresi sehingga memperburuk prognosis CAD (Heather dkk,

2015; Sullivan dkk, 2013; Shively dkk, 2012).

b. Gangguan Irama Jantung

Gangguan irama jantung dikaitkan dengan buruknya prognosis CAD. Sebagian besar

kematian mendadak pada pasien CAD disebabkan aritmia ventrikel. Pasien CAD dengan

depresi lebih sering memperlihatkan episode takikardi ventrikel dibandingkan dengan mereka

yang tidak depresi. Sekitar 30% penderita depresi dikaitkan dengan penurunan sensitivitas

barorefleks. Pasien depresi mayor mengalami peningkatan aktivitas sistem SA dan disregulasi

aksis HPA, kombinasi kedua hal ini dapat meningkatkan aktivitas simpatis dan menurunkan

aktivitas parasimpatis. Kedua keadaan ini dapat pula meningkatkan risiko terjadinya aritmia

fatal pada pasien depresi pasca-infark jantung. Berdasarkan data ini disimpulkan bahwa depresi

memberikan dampak buruk terhadap prognosis CAD dengan mempengaruhi irama jantung

(Heather dkk, 2015; Sullivan dkk, 2013; Shively dkk, 2012).

c. Inflamasi

Sitokin proinflamatori berperan dalam patogenesis aterosklerosis dan terjadinya CAD.

Kerusakan dinding arteri koronaria menyebabkan pelepasan sitokin proinflamatori, seperti

Interleukin (IL)-1, IL-2, dan Tumor Necrosis Factor(TNF)-α. Kemudian makrofag dan sel T

menginvasi pembuluh darah dan makin mengaktivasi sitokin. Selain itu, terjadi pula

peningkatan pelepasan growth factor, akibatnya sel otot polos intima berproliferasi dan

terbentuk plak aterosklerosis. Degradasi matriks plak menyebabkan terjadinya trombus yang

dapat menyumbat pembuluh darah. Pasien depresi yang berkomorbiditas dengan CAD maupun

yang tidak, memperlihatkan peningkatan kadar plasma marker inflamatori. Depresi dikaitkan

dengan peningkatan IL-1. Stresor juga meningkatkan sekresi IL-6 melalui mekanisme HPA
aksis dan reseptor β-adrenergik. Sebaliknya, inflamasi dapat pula menyebabkan depresi. Ada

kemungkinan IL-1 dan sitokin lain dapat mempengaruhi onset dan progresivitas depresi, yaitu

melalui efek sistemik bukan melalui kerusakan endotel lokal. Pasien yang diobati dengan IL-1

cenderung mengalami depresi, seperti anoreksia dan menarik diri secara sosial, tetapi data yang

mendukung pendapat ini sangat sedikit. Tidak bisa ditentukan apakah inflamasi terjadi akibat

depresi atau berkontribusi dalam patogenesis depresi (Heather dkk, 2015; Sullivan dkk, 2013;

Shively dkk, 2012).

d. Hiperkoagulabilitas

Ada empat komponen hemostasis, yaitu koagulasi darah, antikoagulasi, aktivitas

platelet dan fibrinolisis yang berperan dalam patogenesis dan prognosis CAD. Apabila

komponen ini mengalami disregulasi, dapat terjadi hiperkoagulasi. Penumpukan fibrin di

dinding pembuluh darah menambah progresifnya CAD. Begitu pula, peningkatan faktor

koagulasi lain seperti faktor VII, VIII, dan fibrinogen menyebabkan sindrom koronaria, seperti

angina tak stabil, infark miokard, dan kematian jantung mendadak. Antikoagulansia dan

fibrinolitik berperan dalam pengobatan sindrom koroner akut atau kronik. Kadar fibrinogen

dikaitkan dengan depresi. Individu depresi memperlihatkan peningkatan fibrinogen dan faktor

VIIc. Hubungan antara faktor koagulansia dengan depresi dimediasi oleh aksis HPA dan

hiperaktivitas SA. Kedua faktor ini merangsang koagulasi darah. Hiperkortisol menyebabkan

peningkatan faktor VIII dan faktor Von Willebrand, serta penurunan aktivitas fibrinolitik.

Pasien depresi yang tidak mendapat pengobatan menunjukkan peningkatan aktivitas platelet

lebih tinggi 40% bila dibandingkan kontrol normal; derajat aktivitasnya sama dengan pasien

aterosklerosis pembuluh darah besar. Beberapa penelitian melaporkan pasien depresi

memperlihatkan penurunan agregasi platelet ketika berespon dengan serotonin. Oleh karena

itu, serotonin berperan pada aktivitas platelet pada pasien depresi. Sertraline dan metabolitnya

menghambat aktivitas platelet. Pasien CAD dengan depresi yang menggunakan sertraline
mendapat perbaikan berupa revaskularisasi. Aktivitas platelet lebih rendah pada pasien

pengguna sertraline. Paroxetine pada pasien depresi dengan CAD juga bermanfaat menurunkan

aktivitas platelet yang signifikan setelah enam minggu. Sebaliknya, dengan nortriptilin tidak

memberikan efek serupa (Heather dkk, 2015; Sullivan dkk, 2013; Shively dkk, 2012).

e. Efek perilaku

Selain efek fisiologis, depresi terkait dengan pencegahan sekunder yang buruk di antara

pasien iskemia akut. Pasien pasca-infark miokard yang depresi, dibandingkan dengan pasien

infark miokard yang tidak depresi, lebih sulit dikontrol diet rendah lemak, pengurangan

kolesterol, berolahraga, berhenti merokok, atau mengurangi stres kehidupan, sehingga hal

tersebut meningkatkan risiko kematian pada pasien jantung (Suls dkk, 2015)

2.4.5. Depresi, Infeksi dan CAD

Gejala depresi seperti lelah dan mudah perasa adalah penyebab rekuren CAD. Pasien

CAD yang depresi seperti malas adalah secara sederhana dihubungkan dengan penyemprotan

fraksi ventrikel kiri lebih rendah sehingga memperburuk prognosis CAD. Penelitian

sebelumnya mengindikasikan bahwa Chlamydia pneumonia memainkan peran dalam

aterosklerosis dan dihubungkan dengan risiko memperburuk kondisi CAD. Pada sebuah studi,

gejala depresi dikaitkan dengan pengaktifan kembali virus laten dan inflamasi pembuluh darah

koroner. Perbedaan antara grup tekanan dan grup kontrol dengan memperhatikan level serum

IgG Anti Chlamydia pneumonia secara dekat mencapai signifikan. Perlu studi lebih jauh untuk

menjelajah efek stres, kecemasan dan depresi yang lama menghasilkan aktivasi Chlamydia

pneumonia, yang mungkin memperburuk kondisi CAD (Frasure & Lesperance, 2014; Carney

dkk, 2015).

2.4.6. Psikoneuroimunologi dan CAD

Psikoneuroimunologi memfasilitasi penilaian dan pemahaman respon stres. Penelitian

memperagakan bahwa stres psikologi akut merangsang leukositosis, meningkatkan rasio


CD8/CD4, meningkatkan sitotoksisitas sel NK dan mengurangi respons proliferasi mitogen.

Perubahan imunologi ini akan memperburuk kondisi CAD dengan meningkatnya ekspresi

molekul adhesi sel endotel dan level serum dari protein fase akut dan faktor hemostasis. Hal

itu dinilai bahwa inflamasi pembuluh darah adalah pusat aterosklerosis dan bahwa limfosit T,

monosit dan sitokin inflamasi semuanya dilibatkan. Stres psikologi kronik mungkin juga

merangsang perilaku yang dapat memperburuk kesehatan seperti merokok, penyalahgunaan

alkohol, memakan makanan tidak sehat dan kurangnya aktivitas fisik, sehingga hal ini bisa

memperburuk kondisi CAD (Frasure & Lesperance, 2014; Carney dkk, 2015).

Penemuan di atas menimbulkan rasa ingin tahu apakah mungkin meningkatkan

kekebalan melalui penanggulangan stres dan mengurangi risiko stres psikososial pada pasien

CAD. Kesehatan psikologi dapat membantu mengenali hubungan ini, karena sangat penting

untuk peningkatan kesehatan melalui intervensi psikologi. Kesehatan psikologi dapat

membantu orang mengatasi stres melalui intervensi seperti terapi kognitif, latihan relaksasi dan

modifikasi tingkah laku. Penelitian pada stres dan penanggulangannya mengindikasikan ada

bermacam-macam strategi penanggulangan (termasuk relaksasi, olahraga, meditasi dan

dukungan sosial) yang berguna dalam respon untuk meningkatkan fungsi psikososial,

kesehatan fisik dan kualitas hidup (Frasure & Lesperance, 2014; Carney dkk, 2015).

Garis dasar pada level CRP memperkirakan insiden terjadinya kardiovaskuler. Tes CRP

mungkin memegang peran utama dalam penilaian global risiko kardiovaskuler. Monitoring

CRP yang tinggi mungkin juga dapat dipakai sebagai metode baru untuk mengukur respon

terapi antidepresan. Pengukuran level serum IL-1 dan IL-6 mungkin bisa dipakai untuk

mengenali pasien stres atau cemas dimana hal ini dapat dipakai sebagai strategi untuk

mencegah tambah buruknya kondisi CAD (Gorman & Sloan, 2014)

Studi pada dekade sebelumnya bertujuan menghubungkan stres psikologi dengan

fungsi imun dan CAD. Beberapa pertanyaan sisa tidak terjawab: (i) seluas apakah stressor akut
berakibat mendirikan simulasi laboratorium peristiwa stres kehidupan nyata yang lebih kronis

dan apakah reaktivitas kekebalan laboratorium adalah sebuah penanda penting untuk penyakit

yang didatangkan stres? (ii) Kelelahan yang terjadi sebelum peristiwa koroner akut mungkin

merupakan bentuk lain dari reaksi inflamasi (Glassman & Shapiro, 2014)

Penelitian lebih jauh diperlukan untuk menemukan apakah inflamasi menyebabkan

perasaan kelelahan atau jika ada perasaan kelelahan akan memperkuat terjadinya inflamasi.

(iii) studi prospektif dari pasien stres diperlukan untuk mengukur luas kesatuan penanda

inflamasi karena hal ini penting untuk memperkirakan prognosis CAD. Efek peningkatan terapi

anti depresan menunjukkan faktor resiko kardiovaskuler konvensional pada biomarker

inflamasi ini, seharusnya dievaluasi lebih jauh pada hasil percobaan. Sehingga dapat

dikembangkan jika menurunnya marker inflamasi ini akan memperburuk kondisi CAD

(Hemingway & Marmot, 2015).

2.4.7. Onset Diagnosis CAD, Stres, Kecemasan, Depresi

Onset Diagnosis suatu penyakit akan mempengaruhi pasien secara psikologis. Hal ini

juga terjadi pada pasien yang telah didiagnosis secara pasti menderita CAD. Pasien

membutuhkan adaptasi dalam kesiapan menerima penyakit CAD yang diderita (Tami dkk,

2012). Kesiapan pasien berkaitan erat dengan terjadinya gangguan stres, kecemasan dan

depresi. Beratnya stresor ditentukan oleh banyak faktor: lamanya stresor, derajat stresor,

banyaknya stresor, lingkungan, stresor bisa reversibel serta kepribadian seseorang (Kandou,

2010). Salah satu yang mempengaruhi beratnya stresor adalah lama stresor yang berkaitan

dengan saat pertama kali ditegakkan diagnosis pasien. Najaf dkk, dalam penelitiannya

menemukan onset diagnosis CAD akan mempengaruhi stres, kecemasan dan depresi pada

pasien. Onset diagnosis CAD lebih dari 6 bulan ditemukan lebih banyak mengalami kecemasan

dan depresi (Najaf dkk, 2016).


Menurut DSM V dikatakan batasan waktu yang dipakai untuk menegakkan gangguan

penyesuaian tidak melebihi 6 bulan. Jika gejala ganguan psikologis pada seseorang yang

mengalami stressor masih berlanjut melebihi waktu 6 bulan bisa ditegakkan diagnosis

penyakitnya sesuai dengan gejalanya yang masih muncul. Jika gejala cemas yang masih ada

bisa ditegakkan diagnosis gangguan cemas, jika gejala depresi yang masih ada bisa ditegakkan

diagnosis depresi.

2.5. Penatalaksanaan

Kecemasan, stres dan depresi berdampak buruk terhadap CAD. Mortalitas meningkat

pada pasien cemas dan depresi yang mengalami CAD. Oleh karena itu, kecemasan dan depresi

pada CAD harus segera dikenali dan diobati. Obat antidepresan selective serotonin reuptake

inhibitor (SSRI) efektif mengobati cemas dan depresi pada CAD, tapi antidepresan trisiklik

(TCA) tidak dianjurkan. Selain itu, psikoterapi sangat diperlukan untuk memberikan

pengobatan holistik supaya penyembuhan lebih cepat (Musselman dkk, 2015).

2.5.1. Pengaruh TCA terhadap kecemasan dan depresi pada CAD

Obat TCA meningkatkan denyut jantung sekitar 11%, menginduksi hipotensi ortostatik

(sehingga pasien bisa jatuh dan patah tulang), dan memperlambat hantaran jantung.

Pemanjangan interval QT, PR, dan QRS yang berpotensi memblok jantung baik primer,

sekunder, maupun tersier dapat terjadi. Peningkatan denyut jantung dan pemanjangan QT

meningkatkan risiko kematian mendadak pada pasien depresi dengan atau tanpa CAD karena

fibrilasi ventrikel. Ambang fibrilasi ventrikel turun dengan peningkatan input simpatis dan

meningkat bila tonus parasimpatis ditingkatkan, sehingga menurunkan risiko fibrilasi

ventrikel. Obat TCA mempunyai efek antiaritmia yang signifikan karena profil

elektrofisiologiknya sama dengan komponen antiaritmia tipe A (quinidine dan moricizine).

Mortalitas akibat overdosis TCA dikaitkan dengan efek antiaritmia. Penggunaan TCA bersama
diuretik, vasodilator, dan benzodiazepine dapat sangat berlebihan menurunkan tekanan darah.

TCA dapat meningkatkan denyut jantung, menginduksi hipotensi ortostatik, dan

memperlambat hantaran jantung. Karenanya, penggunaan TCA untuk pengobatan cemas dan

depresi pada CAD tidak dianjurkan (Musselman dkk, 2015).

2.5.2. Pengaruh SSRI terhadap kecemasan dan depresi pada CAD

Obat golongan SSRI efektif mengobati kecemasan dan depresi yang berkomorbiditas

dengan CAD, karena obat ini jarang sekali menyebabkan efek samping kardiovaskuler. Karena

SSRI juga merupakan antiplatelet yang signifikan, mortalitas dapat berkurang. Pasien depresi

mengalami disregulasi sistem SA dilihat dengan tingginya kadar plasma epinefrin. Peningkatan

aktivitas katekolamin meningkatkan aktivasi dan agregasi platelet, sehingga pembentukan

trombus juga meningkat. Pasien cemas dan depresi pada CAD menunjukkan peningkatan

agregasi platelet dibandingkan kontrol tidak mengalami cemas dan depresi. Obat SSRI

mempengaruhi akumulasi serotonin di platelet, mampu menormalisasi aktivitas dan agregasi

platelet pada pasien cemas dan depresi dengan CAD. Efek antiplatelet dapat mengurangi risiko

iskemia. Obat SSRI tidak memperlambat hantaran jantung dan tidak menyebabkan hipotensi

ortostatik. Denyut jantung mungkin sedikit turun (1-3 kali per menit), tetapi klinis tidak

bermakna. Kematian akibat TCA sering terjadi, sedangkan akibat SSRI sangat jarang atau

hampir tidak ada. Beberapa penelitian secara konsisten melaporkan TCA menurunkan denyut

jantung dan meningkatkan interval QT, sebaliknya SSRI tidak. Karena efektivitasnya yang

tinggi dan efek sampingnya yang ringan serta efek terhadap jantung relatif ringan, penelitian

SSRI untuk pasien cemas dan depresi dengan penyakit jantung cukup banyak dilakukan.

Sertraline dan citalopram merupakan terapi antidepresan lini pertama untuk pasien cemas dan

depresi dengan CAD. Pasien cemas dan depresi rekuren yang sebelumnya memiliki respons

dengan antidepresan lain dapat melanjutkan konsumsi obat tersebut, kecuali jika kini

dikontraindikasikan. Sebagai contoh, TCA dan monoamine oxidase inhibitor (MAO-I)


dikontraindikasikan pada pasien penyakit jantung karena efek kardiotoksiknya. Jika

farmakoterapi hendak dimulai, pasien perlu diobservasi selama dua bulan pertama dan

dilakukan monitor risiko bunuh dirinya secara teratur, memastikan kepatuhan pengobatan, dan

mendeteksi efek samping (Musselman dkk, 2015).

2.5.3. Efek Psikiatri dari Obat Jantung Lainnya

Obat jantung dapat menimbulkan depresi atau efek psikiatrik lain. Penggunaan obat di

bawah ini berpotensi menimbulkan efek psikiatrik, antara lain (Musselman dkk, 2015):

1. Antiaritmia (prokainamid, flecainide disopyramide mexiletine), obat-obat ini dapat

menimbulkan depresi dan kebingungan

2. Beta bloker, efek yang sering yaitu depresi. Mimpi menakutkan atau manifestasi

psikotik merupakan efek samping yang jarang. Obat beta bloker terbaru seperti atenolol

dan metoprolol lebih kardioselektif, efek psikiatriknya sangat sedikit.

3. Reserpin jarang digunakan, dapat menimbulkan depresi.

4. Metildopa, penggunaan jangka lama kadang dapat menyebabkan depresi, halusinasi,

paranoid, dan penurunan konsentrasi.

5. Klonidin, efek samping obat ini sama dengan obat di atas tetapi lebih ringan.

6. Calcium channel blockers dapat menyebabkan depresi dan bingung.

7. Prazosin dapat mengakibatkan ansietas dan depresi.

8. ACE inhibitor mempunyai efek ketegangan, depresi, dan penurunan libido

9. Preparat digitalis dapat menimbulkan depresi, halusinasi, dan delirium.

10. Statin dulu diduga menyebabkan kecemasan, depresi atau bahkan bunuh diri. Akan

tetapi, penggunaan jangka panjang statin justru menunjukkan psikologi yang sehat,

walaupun mungkin disebabkan perubahan gaya hidup atau efek dari rendahnya

kolesterol.

2.5.4. Psikoterapi
Untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi angka kekambuhan, psikoterapi

sangat berperan. Salah satu psikoterapi adalah Cognitive Behavioral Therapy (CBT). Terapi

ini jangka pendek, terstruktur, biasanya berorientasi terhadap problem saat ini dan bersifat

individu. Kerjasama antara pasien dan terapis sangat diperlukan. Tujuan CBT adalah untuk

mengubah cara berpikir, menghilangkan sindrom kecemasan dan depresi, dan mencegah

kekambuhan. Hal ini dapat dicapai dengan cara membantu pasien mengidentifikasi kondisi

negatif, mencarikan alternatif, membuat skema menjadi lebih fleksibel, mencari perilaku baru

yang lebih adaptif. Kognisi negatif dapat meliputi ide yang salah tentang diri sendiri, dunia,

dan masa depan. Terapis harus dapat membawa pasien kepada fase penerimaan. Persepsi diri

sebagai orang yang mempunyai defek, tidak adekuat, dan tidak berharga harus dihilangkan.

Sikapnya yang melihat dunia sebagai tempat yang tidak lagi menyenangkan, hukuman, dan

kegagalan masa depan harus diubah. Dalam suatu penelitian, setidaknya diperlukan 12 dari 16

sesi CBT selama 12 minggu untuk mencapai remisi pada kecemasan dan depresi (Musselman

dkk, 2015).

2.5.5. Pemilihan Farmakoterapi dan Psikoterapi

CBT lebih diutamakan jika terdapat kondisi berikut: 1) kecemasan; 2) depresi ; 3) tidak

ditemukan ciri psikotik; 4) terdapat respons positif terhadap CBT pada terapi episode depresi

sebelumnya; 5) pelayanan CBT tersedia; 6) terdapat kontraindikasi terhadap obat; 7) terapi

obat saja tidak efektif; 8) terdapat faktor psikososial yang rumit. Sebaliknya, terapi

antidepresan perlu dipertimbangkan pada kondisi berikut: 1) kecemasan berat; 2) depresi

kronik atau berulang; 3) terdapat ciri psikotik; 4) terdapat respons positif terhadap terapi

sebelumnya; 5) terdapat riwayat depresi herediter; 6) pasien tidak dapat mengikuti psikoterapi

(Musselman dkk, 2015).

2.5.6. Kombinasi Farmakoterapi dengan Psikoterapi


Antidepresan dapat memperbaiki mood, fungsi vegetatif seperti nafsu makan, tidur, dan

gairah seksual, anhedonia serta sindrom kecemasan. Psikoterapi mampu memperbaiki

hubungan keluarga dan perkawinan, fungsi sosial, dan pekerjaan. Selain itu, psikoterapi dapat

mengubah skema negatif pasien serta mampu memperbaiki gaya hidup. Melalui psikoterapi

suportif, motivasi untuk rehabilitasi dapat ditingkatkan. Oleh karena itu, penatalaksanaan

kecemasan dan depresi yang berkomorbiditas dengan CAD hendaklah menggabungkan

psikoterapi dan farmakoterapi (Musselman dkk, 2015).

2.5.7. Latihan dan Rehabilitasi Jantung

Latihan aerobik dan rehabilitasi jantung dapat mengurangi gejala kecemasan, depresi

dan memperbaiki fungsi kardiovaskuler. Kecemasan dan depresi dapat menghalangi partisipasi

dalam rehabilitasi jantung dan program latihan, pasien cemas dan depresi dibantu mengatasi

rintangan ini dengan menawarkan dorongan dan kontak berkelanjutan. Bantuan pasangan atau

anggota keluarga dan teman diperlukan untuk memicu kepatuhan. Pemberian latihan harus

didasarkan pada status jantung dan toleransi latihan setiap individu. Uji latihan (30 menit terus

menerus berjalan/jogging untuk mencapai target denyut jantung, 3 kali per minggu selama 16

minggu) pada pasien cemas dan depresi menemukan bahwa latihan reguler sama efektifnya

seperti sertralin. Pada pemantauan enam bulan setelah akhir penelitian, ditemukan perbaikan

kecemasan dan depresi pasien di kelompok latihan yang bertahan lebih panjang daripada yang

menerima antidepresan. Selain itu, program rehabilitasi jantung dapat memberikan dukungan

sosial yang dapat sangat membantu pasien dengan stres psikologis (Musselman dkk, 2015).

2.5.8. Consultation Liaison Psychiatry (CLP)

Consultation Liaison Psychiatry (CLP) merupakan sub divisi dari psikiatri yang

berperan sebagai penghubung yang memungkinkan kerja sama antara psikiater dengan
spesialis medis lain. Dalam CLP seorang psikiater berperan sebagai penyalur keahlian psikiatri

dengan disiplin ilmu lainnya yaitu: Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah untuk

membantu penanganan komorbiditas psikologik, psikiatrik, dan psikofisiologik pada pasien

yang mengalami keluhan CAD. Jadi CLP meliputi pelajaran, pelatihan, pengajaran

komorbiditas medik (Aksis III) dan Psikiatrik (Aksis I dan II). Seorang psikiater Consultation

Liaison harus mempunyai tehnik komunikasi yang baik, ilmu pengetahuan yang luas dalam hal

interaksi antara obat psikotropik dan medis lainnya (Musselman dkk, 2015).

2.5.9 Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42)

Depression Anxiety Stres Scale 42 (DASS 42) adalah alat untuk mengukur stres,

kecemasan dan depresi yang dikeluarkan oleh Psychology Foundation Australia. Kuesioner

yang digunakan adalah DASS 42 versi translasi ke bahasa Indonesia oleh Damanik E.

Instrumen ini terdiri dari 42 item pertanyaan yang terdiri dari 3 subvariabel yaitu fisik,

psikologi dan perilaku. Pada kuesioner ini terdapat masing-masing 14 pertanyaan untuk

menilai adanya stres, kecemasan dan depresi. Nilai stres, kecemasan, dan depresi ditentukan

oleh nilai dari komponen DASS yang relevan untuk masing-masing kriteria. Komponen DASS

untuk stres ditunjukkan oleh komponen 1, 6, 8, 11, 12, 14, 18, 22, 27, 29, 32, 33, 35, 39.

Kecemasan diukur oleh komponen nomor 2, 4, 7, 9, 15, 19, 20, 23, 25, 28, 30, 36, 40, 41.

Sedangkan depresi diukur oleh komponen 3, 5, 10, 13, 16, 17, 21, 24, 26, 31, 34, 37, 38, 42

(Lovibond & Lovibond, 1995; Crawford & Henry, 2003; Masdar dkk, 2016).

Masing-masing pertanyaan memiliki skor 0-3. Total skor ≤14, ≤7, dan ≤9 secara

berturut untuk masing-masing kategori stres, kecemasan maupun depresi dinyatakan sebagai

adanya stres, kecemasan dan depresi sebaliknya jika skor >9, >7, dan >14 dinyatakan

mengalami stres, kecemasan atau depresi tanpa membedakan derajatnya untuk mempercepat

analisis data (Grantika, 2015; Wangsa, 2015; Masdar dkk, 2016).


Alat ukur DASS 42 memiliki kelebihan karena kuisioner ini mengukur tiga variabel

sekaligus yaitu mengukur stres, kecemasan dan depresi. Instrumen ini telah melalui uji

reliabilitas dan validitas berdasarkan penilaian Cronbach’s alpha sebesar 0,91. (Lovibond &

Lovibond, 1995; Kholifah, 2013; Masdar dkk 2016).

Anda mungkin juga menyukai