Anda di halaman 1dari 4

Peringatan 15 Tahun Munir, Menguak Dokumeen Fakta yang Hilang

Bak hilang ditelan bumi, sudah 15 tahun lamanya kasus kematian Munir belum juga terungkap.
Kronologi kejadian yang begitu janggal menciptakan polemik besar akan terlibatnya aktor-aktor
elit pemerintahan. Tim Pencari Fakta (TPF) sudah dibentuk, tetapi hasilnya tak pernah
diperlihatkan.
Tepat tanggal 7 September 2004 lalu, menjadi hari di mana seorang aktivis muda Hak Asasi
Manusia (HAM), Munir Said Thalib meninggal dalam perjalanan menuju Belanda untuk
menjalankan studi lanjutannya di Amsterdam. Kematian yang begitu cepat ini terindikasi
disebabkan oleh racun Arsemik yang masuk kedalam tubuhnya.
Dalam memperingati 15 tahun kematian Munir, sebuah kios kecil yang berada dibilangan Lebak
Bulus, Jakarta Selatan yang bernama Kios Ojo Keos menggelar sebuah diskusi khusus bertemakan
“Membongkar Permufakatan Jahat Pembunuhan Berencana Terhadap Munir”. Sesuai dengan tema
yang diangkat, diskusi ini berisi bahasan lebih lanjut mengenai dokumen fakta kematian munir
yang sempat hilang dan lenyap oleh negara.
Diskusi ini turut mengundang Suciwati, istri dari munir. Beberapa organisasi non pemerintah
seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang merupakan para pegiat mutlak HAM
menyelenggarakan diskusi ini secara mendalam.
Ruangan yang terbilang sangat kecil porsinya, berbanding terbalik dengan jumlah pengunjung
yang datang. Beberapa dari mereka rela berdiri berdesakan satu dengan yang lainnya karena tidak
mendapat tempat duduk. Tempat yang begitu terbatas tak memangkas rasa antusias pengunjung
untuk menyaksikan pengungkapan dokumen kebenaran atas kasus kematian Munir. Diskusi yang
dimulai pukul 14.30 WIB dihadiri oleh para mahasiswa, beberapa masyarakat sipil serta rekan
media yang turut meliput keberlangsungan acara.
Munir Said Thalib atau akrab disebut Cak’ Munir, merupakan sosok satu dari seluruh korban
kejahatan kemanusiaan yang belum terungkap. Kematian yang begitu misterius membuat
masyarakat terus mendesak pemerintah untuk segera menuntaskannya. Satu tahun berselang
setelah dibuatnya Tim Pencari Fakta (TPF) oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
presiden seharusnya bertanggung jawab atas hasil temuan TPA dan melakukan langkah-langkah
hukum yang tegas sesuai dengan temuan dan rekomendasi di lapangan. Tetapi yang didapat
dokumen tersebut dianggap hilang, lenyap dan tidak dimiliki oleh negara.
Dalam penyambutan awal diskusi, Suciwati menyampaikan bahwa kasus ini sebenarnya sudah
sangat jelas dan terang benderang tetapi begitu memprihatinkan, pelakunya selalu bebas. “Negara
ini dipermainkan oleh para penjahat kemanusiaan. Mereka merebut ruang-ruang kuasa serta
membangun benteng-benteng imun agar mereka tidak dipenjarakan.” Tuturnya dengan tegas
Awalnya menurut kabar dari media, dokumen tersebut telah diserahkan kepada Presiden. Namun
saat ini dokumen tersebut diakui tidak dikuasai oleh negara, bahkan ditemukan berserakan di
internet. KontraS sebagai lembaga yang dibawahi Munir sebagai pendirinya, terus tanggap akan
permasalahan ini. Dokumen yang tersusun dari 5 bab, masing-masingnya mengungkapkan detail
kejahatan yang dilakukan terhadap Munir secara terorganisir.
Suasana yang begitu hening dan serius menciptakan warna baru akan tuntutan yang belum usai.
Dengan 15 orang perwakilan dari KontraS dan YLBHI, dokumen tersebut dibacakan secara runut.
Fakta-fakta Kematian
Dalam peristiwa terbunuhnya Munir diatas pesawat, TPF berhasil menimbun fakta dengan
keterangan serta dokumen dari berbagai pihak. Terbukti bahwa Munir ditemukan meninggal dalam
penerbangan Garuda GA974 dari Singapura menuju Amsterdam pada tanggal 7 September 2004.
Kematian dilaporkan dua jam setelah pendaratan pada pukul 04.05 waktu setempat, diatas wilayah
Hongaria. Tetapi hingga kini belum diketahui secara pasti.
Tibanya Munir di Amsterdam, pihak otoritas Belanda memutuskan untuk melakukan autopsi
sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan Nasional Belanda yang menentukan bahwa “Setiap
kematian yang tidak wajar di wilayah Belanda akan dilakukan autopsi.”
Berdasarkan hasil pemeriksaan Toxicologi, Patologi dan Analisa DNA oleh Nederlansch Forensic
(NFI) menyimpulkan bahwa kematian Munir disebabkan oleh racun Arsenik akut yang ditemukan
di dalam darah, lambung dan air seni yang sangat tinggi. Menurut ahli forensik Belanda, racun
Arsenik ini dapat dipastikan masuk kedalam tubuh munir saat penerbangan dari Jakarta menuju
Singapura.
Berdasarkan temuan di Garuda PT. Angkasa Pura 2, tersangka dalam kasus Munir adalah
Pollycarpus Budihari Priyanto (PBP) seorang pilot senior maskapai Garuda Indonesia yang juga
merupakan seorang agen BIN. Semua dokumen pemeriksaan dinyatakan sangat relevan. Ia
ditetapkan sebagai tersangka pada Sabtu, 19 Maret 2005 dan divonis hukuman penjara selama 14
tahun oleh majelis hakim.
Tetapi yang terjadi kini, ia mendapat remisi kebebasan dan hanya menjalani 8 tahun dari masa
tahanannya. Hal ini menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat khususnya keluarga Suciwati yang
merupakan seorang dari istri Munir. Menurutnya kasus pembunuhan Munir selalu dipantau dunia
Internasional dan dianggap sebagai parameter penegakan HAM di Indonesia.
TPF juga menemukan fakta yang mengindikasi adanya upaya pihak Garuda untuk menghalangi
kasus kematian Munir. Indikasi ini didapatkan dari keterangan Sabur Taufiq, kapten pilot Garuda
GA974 Jakarta – Singapura menyatakan menerima sebuah teleks dari manajemen Garuda yang
menginstruksi para kru untuk tidak membuka komentar atas kasus kematian Munir. Seolah sudah
direncanakan sebelumnya, sistem CCTV yang berada didalam pesawat tidak berfungsi merekam
kejadian pada saat itu.
Kejanggalan lain juga terjadi pada tim penyelidik polri yang tidak menunjukkan penyelidikan yang
sistematis, efektif dan terencana. Tidak ada kejelasan pembagian tugas antar tim di lapangan,
pemeriksa dan analisis. Tim penyidik pun tidak memiliki independensi yang kuat terhadap proses
penyelidikan. Lemahnya koordinasi Polri terhadap Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan
Menteri Luar Negeri diduga juga diakibatkan karena tim penyidik Polri mendapat teror dan
intimidasi dari pihak tertentu melalui telepon, pesa singkat juga bayangan dari sekelompok orang
yang tidak dikenal.
Dugaan Terhadap BIN
Keseluruhan aktivitas Munir dalam pemajuan demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM) telah
menimbulkan ketidaksenangan dari beberapa kalangan pemerintah, termasuk BIN. Masalah
pertama yang terjadi adalah ketika Munir mengkritik keras usulan kewenangan BIN yang
dirumuskan dalam draf RUU Intelijen. Kritik Munir mencakup BIN agar diberi kewenangan
penangkapan dan penahanan dengan menggunakan senjata serta memperluas struktur BIN ke
daerah. Munir juga menggugat keputusan Presiden Megawati yang kala itu mengangkat A.M.
Hendropriyono sebagai kepala BIN karena terduga kuat terlibat kasus pelanggaran HAM di
Lampung.
Aktivitas Munir dianggap sangat mengganggu kepentingan BIN. Hal ini terlihat jelas dari
pendekatan A.M. Hendropriyono kepada Todung Mulya Lubis untuk meminta melunakkan sikap
Munir terhadap BIN. Keadaan tersebut disadari Munir ketika rekannya yang bekerja sebagai
pengajar di lingkungan BIN memberitahukan bahwa Munir menjadi target operasi sejak tahun
2002.
Badan Intelijen Negara (BIN) tidak pernah konsisten, terlihat dari tidak adanya dokumen yang
dapat diakses dan tidak mempunyai protokol yang bisa dimintai keterangan oleh TPF ditempat
yang telah disepakati bersama . BIN juga terus menyangkal terhadap temuan-temuan TPF di
lingkungannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak bersifat proaktif dalam mengungkap kasus
Munir.
Pengungkapan dan Harapan
TPF menyimpulkan bahwa kematian Munir disebabkan karena pemufakatan jahat yang
melibatkan pihak-pihak tertentu di lingkungan BIN dan Garuda. Aktor-aktor tersebut melibatkan
pihak yang berperan sebagai aktor lapangan, turut serta, perencana dan inisiator sebagai pengambil
keputusan.
Berdasarkan dokumen dan keterangan dari berbagai pihak, ditemukan adanya suatu rencana
pembunuhan. Terlihat dari cara, pemilihan jenis racun, tempat peristiwa, keterlibatan berbagai
aktor yang diduga terlibat aksi-aksi teror yang terjadi sesudah kematian Munir. Di dalam pesawat
pun tidak terdapat fasilitas kesehatan serta obat-obat yang dibutuhkan korban. Dapat dipastikan
juga bahwa pembunuhan Munir bukanlah unsur spontan dan individual, melainkan perbuatan yang
dilakukan secara bersama-sama dengan perencanaan yang begitu matang.
Penderitaan tidak hanya sampai disitu saja, selepas kepergian Munir, keluarganya dirundung oleh
teror yang berupa ancaman surat, telepon serta pengiriman bangkai ayam secara berulang kali.
Surat yang berisikan kata “Selamat atas mateknya Munir, semoga tidak dipukuli oleh arwah
pahlawan bangsa” yang tertanggal pada 9 September 2005 sampai di rumah orang tua Munir di
kawasan kota Malang.
Asfinawati, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) menyampaikan perihal
pemerintah atas pengungkapan kasus Munir yang dianggap tidak serius.
“Keseriusan itu bisa dilihat dari apakah kasusnya berjalan dan apakah ada keinginan pemerintah
untuk membuka hasil dari TPF kepada publik sebagaimana yang menjadi mandat keppres yang
mengatakan akan terbuka dengan publik. Tetapi keduanya tidak dilakukan.” Ujar Asfi saat ditemui
ASPIRASI pada Sabtu (7/9)
Selain itu juga, Kejaksaan Agung yang berjanji ingin melakukan peninjauan kembali akan kasus
ini tetapi tidak juga dilakukan. Permintaan untuk terbukanya dokumen ini terhadap publik tidak
juga dilaksanakan, dikatakan bahwa dokumen tersebut telah hilang. Penyelesaian kasus ini dapat
berjalan apabila pemerintah memiliki keberpihakan dan ingin mengambil langkah tegas.
Koordinator KontraS, Yati Andriyani menyampaikan bahwa “Jika memang presiden masih ragu,
bisa memanggil para mantan anggota TPF yang semuanya merupakan anggota yang kredibel dan
terpercaya. Pencarian fakta dari TPF sangat bisa dipertanggungjawabkan,” kata Yati dalam
wawancara yang dilakukan pada Sabtu (7/9)
Yati juga berpendapat bahwa Presiden perlu melakukan pemanggilan terhadap Kalpori dan Jaksa
Agung, karena dalam ranah hukum dua institusi inilah saling terkait. Pada kasus Muhdi PR yang
menjadi terdakwa kasus pembunuhan Munir, Jaksa Agung bisa dimintai upayanya untuk PK dan
Kapolri harusnya bisa dimintai keterangan mengenai Muchdi yang diduga melakukan komunikasi
41 kali dengan pollycrapus sebagai pelaku atau aktor di lapangan.
Ia juga mengaskan bahwa “Kalo Presiden memanggil mereka dan menginstruksikan secara jelas
apa yang mereka lakukan itu akan sangat membantu dengan cepat pengungkapan kasus ini. Kalau
pun kita memilih langkah hukum itu sudah pasti, tetapi kunci utamanya adalah berada di Presiden
Joko Widodo,” ujar Yati.
Political will dari sejumlah kebijakan yang dilakukan Jokowi dianggap sangat kontradiktif dengan
pengungkapan kasus kematian Munir, sehingga kasus ini mandek dan belum terselesaikan.
Setelah 15 tahun yang penuh perjuangan dan luka yang masih terpendam, Suciwati
mengungkapkan bahwa masih banyak korban lain yang diserang, dihilangkan, dibunuh tanpa
kabar, kriminalisasi, dipenjara tanpa adanya kepastian hukum. Hal tersebut merupakan yang
selama ini diperjuangkan oleh Cak’ Munir.
Menurut Suciwati, ada kejahatan kemanusiaan yang sangat penting untuk dibongkar.
Menghilangkan nyawa orang yang sangat penting dalam membela orang-orang yang tertindas dan
kemudian pembunuhnya bebas. Masyarakat harus bersuara meminta dalang pembunuhnya
bertanggung jawab.
“Keadilan bagi Munir adalah keadilan bagi semua. Karena kalo seorang munir yang sangat
terkenal dan mendapat penghargaan Internasional bisa dibunuh, apalagi rakyat biasa seperti kita.
Jadi nasib kita sebenarnya tergantung dari pengungkapan kasus ini agar tidak ada operasi
pembunuhan lainnya lagi.” Tutup Asfi saat akhir wawancara

Anda mungkin juga menyukai