Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kearifan Lokal


2.1.1 Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan merupakan perwujudan seperangkat pemahaman dan pengetahuan yang mengalami proses
perkembangan oleh suatu kelompok masyarakat setempat atau komunitas yang terhimpun dari proses dan
pengalaman panjang dalam berinteraksi dalam satu sistem dan dalam satu ikatan hubungan yang saling
menguntungkan (Purba, 2002 dalam Muh Aris Marfai, 2012:33).
Menurut Sartini (2009:11), kearifan lokal disimpulkan sebagai kepribadian, identitas kultural
masyarakat yang berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, dan aturan khusus yang diterima
oleh masyarakatnya dan teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara terus menerus.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam kehidupan
masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk menghayati,
mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi, kondisi, kemampuan, dan tata nilai
yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan
kehidupannya, bahkan dapat berkembang secara berkelanjutan (sustainable development) (Cecep Eka
Permana, 2010:3).

Menurut Ife Jim (Cecep Eka Pemana, 2010:4), kearifan lokal memiliki enam dimensi, yaitu:
a. Dimensi pengetahuan lokal. Setiap masyarakat dimana mereka berada selalu memiliki pengetahuan
lokal yang terkait dengan lingkunganhidupnya
b. Dimensi nilai lokal. Untuk mengatur kehidupan antara warga masyarakat, maka setiap masyarakat
memiliki aturan atau nilai-nilai lokal yang ditaati dan disepakati bersama oleh seluruhanggotanya.
c. Dimensi keterampilan lokal. Keterampilan lokal bagi setiap masyarakat dipergunakan sebagai
kemampuan bertahan hidup (survival). Keterampilan lokal biasanya hanya cukup dan mampu
memenuhi kebutuhan keluarganya masing- masing atau disebut dengan ekonomisubsistensi
d. Dimensi sumberdaya lokal. Sumberdaya lokal pada umumnya adalah sumberdaya alam. Masyarakat
akan menggunakan sumberdaya lokal sesuai dengan kebutuhannya dan tidak akan mengeksploitasi
secara besar- besaran atau dikomersialkan. Sumberdaya lokal ini sudah dibagi peruntukannya, seperti
hutan, kebun, sumber air, lahan pertanian, dan permukiman. Kepemilikan sumberdaya lokal ini
biasanya bersifat kolektif.
e. Dimensi mekanisme pengambilan keputusan lokal. Setiap masyarakat pada dasarnya memiliki
pemerintahan lokal sendiriataudisebutpemerintahankesukuan.Sukumerupakan kesatuan hukum yang
memerintah warganya untuk bertindak sebagai warga masyarakat. Masing-masing masyarakat
mempunyai mekanisme pengambilan keputusan yang berbeda-beda.
f. Dimensi solidaritas kelompok lokal. Suatu masayrakat umumnya dipersatukan oleh ikatan komunal
yang dipersatukan oleh ikatan komunikasi untuk membentuk solidaritas lokal. Setiap masyarakat
mempunyai media- media untuk mengikat warganya yang dapat dilakukan melalui ritual keagamaan
atau acara dan upacara adat lainnya. Masing-masing anggota masyarakat saling member dan
menerima sesuai dengan bidang fungsinya masing- masing, seperti dalam solidaritas mengolah
tanaman padi, dan kerja bakti gotong royong.

Sebagai bagian dari kebudayaan tradisional, kearifan lokal merupakan satu asset warisan budaya.
Kearifan lokal hidup dalam domain kognitif, afektif, dan motorik, serta tumbuh menjadi aspirasi dan
apresiasi publik. Dalam konteks sekarang, karena desakan modernism dan globalisasi.
Menurut Geriya (Cecep Eka Permana, 2010: 6), kearifan lokal berorientasi pada(1) keseimbangan
dan harmoni manusia, alam, dan budaya; (2) kelestarian dan keragaman alam dan kultur; (3) konservasi
sumberdaya alam dan warisan budaya; (4) pengematan sumberdaya yang bernilai ekonomi; (5) moralitas
dan spiritualitas.

2.1.2 Pendekatan-Pendekatan yang Dilakukan dalam Belajar Kearifan Lokal


 Politik ekologi (PoliticalEcology)
Politik ekologi sebagai suatu pendekatan, yaitu upaya untuk mengkaji sebab akibat perubahan
lingkungan yang lebih kompleks daripada sekedar sistem biofisik yakni menyangkut distribusi
kekuasaan dalam satu masyarakat.
Melalui pendekatan politik ekologi dapat untuk melihat isu-isu pengelolaan lingkungan khususnya
menyangkut isu “right to environment dan environment justice” dimana right merujuk pada kebutuhan
minimal/standarindividu terhadap obyek- obyek right seperti hak untuk hidup, hak untuk bersuara, hak
untuk lingkungan dan lain-lain. Adapun justice menekankan alokasi pemilikan dan penguasaan atas
obyek-obyek right yaitu merujuk pada persoalan-persoalan relasional antar individu dan antar kelompok
(Bakti Setiawan, 2006:5).
 Human WelfareEcology
Pendekatan Human Welfare Ecology menurut Eckersley (Bakti Setiawan, 2006:8) menekankan
bahwa kelestarian lingkungan tidak akan terwujud apabila tidak terjamin keadilan lingkungan,
khususnya terjaminnya kesejahteraan masyarakatnya. Maka dari itu perlu strategi untuk dapat
menerapkannya antara lain:
1) Strategi pertama, melakukan perubahan struktural kerangka perundangan dan praktek politik
pengelolaan sumberdaya alam, khususnya yang lebih memberikan peluang dan kontrol bagi
daerah, masyarakat lokal dan petani untuk mengakses sumberdaya alam (pertanahan, kehutanan,
pertambangan, kelautan). Dalam hal ini lebih memihak pada masyarakat lokal dan petani dan
membatasi kewenangan negara yang terlalu berlebihan (hubungan negara – capital –
masyarakatsipil)
2) Strategi kedua, menyangkut penguatan institusi masyarakat lokal danpetani.
 Perspektif Antropologi
Dalam upaya untuk menemukan model penjelas terhadap ekologi manusia dengan perspektif
antropologi memerlukan asumsi-asumsi. Tasrifin Tahara (Andi M Akhmar dan Syarifuddin 2007:38)
selanjutnya menjelaskan bahwa secara historis, perspektif dimaksudkan mulai dari determinisme alam
(geographical determinism), yang mengasumsikan faktor-faktor geografi dan lingkungan fisik alam
sebagai penentu mutlak tipe-tipe kebudayaan masyarakat, metode ekologi budaya (method of cultural
ecology) yang menjadikan variabel-variabel lingkungan alam dalam menjelaskan aspek-aspek tertentu
dari kebudayaan manusia. Neo-fungsionalisme dengan asumsi keseimbangan (equilibria) dari
ekosistem-ekosistem tertutup yang dapat mengatur dirinya sendiri (self-regulating system), mate-
rialisme budaya (cultural materialism) dengan keseimbangan cost-benefit terlembagakan, hingga
ekologi Darwinisme dengan optimal fitness dalam respon atau adaptasi untuk “survival”
 Perspektif EkologiManusia
Menurut Munsi Lampe (Andi M Akhmar dan Syarifuddin 2007:2) terdapat tiga perspektif ekologi
manusia yang dinilai relefan untuk aspek kearifan lokal, yaitu :
1) Pendekatan ekologi politik memusatkan studi pada aspek pengelolaan sumberdaya milik
masyarakat atau tidak termiliki sama sekali, dan pada masyarakat- masyarakat asli skala kecil yang
terperangkap di tengah- tengah prosesmodernisasi.
2) Pendekatan ekosistemik melihat komponen-komponen manusia dan lingkungan sebagai satu
kesatuan ekosistem yang seimbang
3) Paradigma komunalisme dan paternalisme dari perspektif konstruksiona-lisme. Dalam hal ini kedua
komponen manusia dan lingkungan sumberdaya alam dilihat sebagai subjek-subjek yang
berinteraksi dan bernegosiasi untuk saling memanfaatkan secara menguntungkan melalui sarana
yang ariflingkungan.
 Pendekatan Aksi dan Konsekuensi (Model penjelasan KonstekstualProgressif)
Model ini lebih aplikatif untuk menjelaskan dan memahami fenomena-fenomena yang menjadi
pokok masalahnya. Kelebihan dari pendekatan ini adalah mempunyai asumsi dan model penjelasan
yang empirik, menyediakan tempat-tempat dan peluang bagi adopsi asumsi-asumsi dan konsep-konsep
tertentu yang sesuai. Selanjutnya Vayda dalam Su Ritohardoyo (2006:25) menjelaskan bahwa
pendekatan kontekstual progressif lebih menekankan pada obyek-obyek kajian tentang: (1) aktivitas
manusia dalam hubungan dengan lingkungan; (2) penyebab terjadinya aktivitas dan (3) akibat-akibat
aktivitas baik terhadap lingkungan maupun terhadap manusia sebagai pelaku aktivitas.

2.1.3 Praktek-Praktek Kearifan Lokal


Dalam menjaga keseimbangan dengan lingkungannya masyarakat melakukan norma norma, nilai-
nilai atau aturan-aturan yang telah berlaku turun temurun yang merupakan kearifan lokal setempat.
Beberapa contoh kearifan lokal adalah sebagai berikut :
 Di Jawa
1) Pranoto Mongso
Pranoto mongso atau aturan waktu musim digunakan oleh para tani pedesaan yang
didasarkan pada naluri dari leluhur dan dipakai sebagai patokan untuk mengolah pertanian.
Berkaitan dengan kearifan tradisional maka pranoto mongso ini memberikan arahan kepada petani
untuk bercocok tanam mengikuti tanda-tanda alam dalam mongso yang bersangkutan, tidak
memanfaatkan lahan seenaknya sendiri meskipun sarana prasarana mendukung seperti misalnya
air dan saluran irigasinya. Melalui perhitungan pranoto mongso maka alam dapat menjaga
keseimbangannya.
2) NyabukGunung.
Nyabuk gunung merupakan cara bercocok tanam dengan membuat teras sawah yang dibentuk
menurut garis kontur. Cara ini banyak dilakukan di lereng bukit Sumbing dan Sindoro. Cara ini
merupakan suatu bentuk konservasi lahan dalam bercocok tanamkarena menurut garis kontur. Hal
ini berbeda dengan yang banyak dilakukan di Dieng yang bercocok tanam dengan membuat teras
yang memotong kontur sehingga mempermudah terjadinya longsor.
3) Menganggap suatu tempat keramat khususnya pada pohon besar (Beringin).
Menganggap suatu tempat keramat berarti akan membuat orang tidak merusak tempat
tersebut, tetapi memeliharanya dan tidak berbuat sembarangan di tempat tersebut, karena merasa
takut kalau akan berbuat sesuatu nanti akan menerima akibatnya. Misal untuk pohon beringin besar,
hal ini sebenarnya merupakan bentuk konservasi juga karena dengan memelihara pohon tersebut
berarti menjaga sumber air, dimana beringin akarnya sangat banyak dan biasanya didekat pohon
tersebut ada sumber air.
 DiSulawesi
Komunitas adat Karampuang dalam mengelola hutan mempunyai cara tersendiri dan menjadi
bagian dari sistem budaya mereka. Hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan alam
dirinya sehingga untuk menjaga keseimbangan ekosistem di dalamnya terdapat aturan-aturan atau
norma-norma tersendiri yang harus dipatuhi oleh semua warga masyarakat. Komunitas Karampuang
masih sangat terikat dan patuh terhadap aturan-aturan adatnya, yang penuh dengankepercayaan,
pengetahuan dan pandangan kosmologi, berkaitan dengan pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan.
Agar tetap terjaga. Dewan Adat karampuang sebagai symbol penguasa tradisional, sepakat untuk
mengelola hutan adat yang ada dengan menggunakan pengetahuan yang bersumber dari kearifan lokal
yang mereka miliki. Sebagaimana diketahui bahwa masyarakat adat ini masih menyimpan mitos dan
pesan leluhur yang berisi larangan, ajakan, sanksi dalam mengelola hutan mereka. (Andi M Akhmar
dan Syarifuddin,2007:3).
Pesan-pesan tersebut biasanya dibacakan oleh seorang galla (pelaksana harian pemeritahan adat
tradisional) sebagai suatu bentuk fatwa adat pada saat puncak acara adat paska turun sawah
(mabbissa lompu), di hadapan dewan adat dan warga, sebagai sutu bentuk ketetapan bersama dan
semua warga komunitas adat karampuang harusmematuhinya.
Contoh kearifan tradisional dalam bentuk larangan adalah: Aja’ muwababa huna nareko depa
na’oto adake, aja’ to muwababa huna nareko matarata’ni manuke artinya “jangan memukul tandang
buah enau pada saat dewan adat belum bangun, jangan pula memukul tandang buah enau pada saat
ayam sudah masuk kandangnya” = “jangan menyadap enau di pagi hari dan jangan pula menyadap
enau di petang hari”. Hal tersebut merupakan himbauan untuk menjaga keseimbanganekosistem,
khususnya hewan dan burung, karena menyadap pohon enau pada pagi hari dikhawatirkan akan
mengganggu ketentraman beberapa jenis satwa yang bersarang di pohon enau tersebut, demikian pula
pada sore hari akan menggangu satwa yang akan kembali ke sarangnya.
Contoh Kearifan Tradisional dalam Bentuk Sanksi: Narekko engka pugauki ripasalai artinya Jika
ada yang melakukannya akan dikutuk = jika melanggar akan dikenakan sanksi adat. Maksud dari
ungkapan tersebut adalah jika ada warga komunitas adat Karampuang yang melakukan pelanggaran
atau tidak mengindahkan pranata-pranata adat atau tidak mengindahkan ajakan dan larangan yang
difatwakan oleh dewan adat, maka ia akan diberi sanksi. Adapun besar kecilnya sanksi tergantung dari
pelanggarannya. (Suhartini, 2009: 7)
 Di Serawai,Bengkulu
Pada masyarakat Serawai, Bengkulu terdapat Keyakinan celako kumali yaitu tata nilai tabu dalam
berladang dan tradisi tanam tanjak. Konsep ini akan dapat memberikan nilai tambah bagi terwujudnya
kelestarian lingkungan.
 Masyarakat Undau Mau, KalimantanBarat
Masyarakat ini mengembangkan kearifan lingkungan dalam pola ruang permukiman, dengan
mengklasifikasi hutan dan pemanfaatan-nya.
Perladangan dilakukan dengan rotasi dengan menerapkan masa bera dan mereka mengenal tabu,
sehingga penggunaan teknologi dibatasi pada teknologi pertanian sederhana dan ramah lingkungan.
(Sartini, 2009:13-14)
 Di BaduyDalam
Menurut Gunggung Senoaji (Suhartini, 2009:7) Masyarakat Baduy percaya bahwa mereka adalah
orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala
gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada buyut yang telah ditentukan dalam bentuk
pikukuh karuhun. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan
kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun temurun. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat
Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy. Ketentuan-ketentuan itu diantaranya
adalah :
1) Dilarang masuk hutan larangan (leuweung kolot) untuk menebang pohon, membuka ladang atau
mengambil hasil hutan lainnya
2) Dilarang menebang sembarangan jenis tanaman, misalnya pohon buah-buahan, dan jenis-
jenistertentu
3) Dilarang menggunakan teknologi kimia, misalnya menggunakan pupuk, dan obat pemberantas hama
penyakit dan menuba atau meracuniikan
4) Berladang harus sesuai dengan ketentuan adat,dll

Buyut dan pikukuh karuhun dilafalkan dangan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang akan
disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anak-
anaknya.Ujaran- ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy.Orang Baduy juga
berpegang teguh kepada pedoman hidupnya yang dikenal dengan dasa sila, yaitu:
1) Moal megatkeun nyawa nu lian (tidak membunuh oranglain)
2) Moal mibanda pangaboga nu lian (tidak mengambil barang oranglain)
3) Moal linyok moal bohong (tidak ingkar dan tidak berbohong)
4) Moal mirucaan kana inuman nu matak mabok (tidak melibatkan diri pada minuman
yangmemabukkan
5) Moal midua ati ka nu sejen (tidak menduakan hati pada yanglain/poligami)
6) Moal barang dahar dina waktu nu ka kungkung ku peting (tidak makan pada tengahmalam)
7) Moal make kekembangan jeung seuseungitan (tidak memakai bunga-bungaan danwangiwangian)
8) Moal ngageunah-geunah geusan sare (tidak melelapkan diri dalamtidur)
9) Moal nyukakeun atu ku igel, gamelan, kawih, atawa tembang (tidak menyenangkan hati dengan
tarian, musik ataunyanyian)
10) Moal made emas atawa salaka (tidak memakai emas ataupermata)

Dasar inilah yang melekat pada diri orang Baduy, menyatu dalam jiwa dan menjelma dalam
perbuatan, tidak pernah tergoyah dengan kemajuan zaman. Jika dilihat kehidupan masyarakat Baduy,
sulit untuk dipertemukan dengan keadaan zaman sekarang.
2.2 Bencana
Dalam keseharian, terdapat berbagai pandangan dan pendapat tentang bencana yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat. Pandangan dan pendapat tersebut sesuai dengan tingkat pendidikan dan
pemahaman personal atau kelompok tentang bencana. Beberapa pandangan dan pendapat masyarakat
tentang bencana adalah:
1) Fatalisme, yakni pandangan yang menganggap bahwa bencana merupakan kutukan atau murka Tuhan
akibat ulah manusia yang tidak sesuai dengan kehendak-Nya. Dengan demikian kejadian bencana tidak
dapat ditanggulangi tau dilawan karena smua adalah suratan takdir.
2) Anthroposentrisme, adalah pandangan yang beranggapan bahwa bencana merupakan fenomena alam
yang disebabkan oleh ulah manusia yang mengesploitasi alam sedemikian rupa sehingga
menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan unsur semesta, yang pada akhirnya menimbulkan
bencana.
3) Kosmosentrisme, suatu pandangan yang beranggapan bahwa bencana merupakan fenomena alam
yang terjadi secara alamiah, sesuatu yang wajar terjadi. Jika memang telah tiba saatnya, alam berobah
menyesuaikan komposisi alamiahnya. Dalam hal ini campur tangan manusia untuk mengesploitasi alam
tidak terlalu signifikan mempengaruhi terjadinya bencana.
4) Inklusivisme, yakni pandangan yang beranggapan bahwa bencana merupakan fenomena alam yang
terjadi karena keterkaitan antara unsur alam dan manusia yang tidak terpisahkan satu sama lain.
(S.Arie Priambodo, 2009:21)

Menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007, Bencana dapat didefinisikan sebagai peristiwa atau
rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.

2.3 Kearifan Lokal dalam Penanggulangan Bencana


2.3.1 Kearifan Lokal Dalam Penangelolaan Bencana
Nababan (1995:6) mengemukakan prinsip-prinsip konservasi dalam pengelolaan sumber daya alam secara
tradisional sebagai berikut :
1) Rasa hormat yang mendorong keselarasan (harmoni) hubungan manusia dengan alam sekitarnya.
Dalam hal ini masyarakat tradisional lebih condong memandang dirinya sebagai bagian dari alam
itusendiri
2) Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam tertentu
sebagai hak kepemilikan bersama (communal property resource). Rasa memiliki ini mengikat semua
warga untuk menjaga dan mengamankan sumberdaya bersama ini dari pihak luar.
3) Sistem pengetahuan masyarakat setempat (lokal knowledge system) yang memberikan kemampuan
kepada masyarakat untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi dalam memanfaatkan
sumberdaya alam yangterbatas.
4) Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi sederhana yang tepat guna dan hemat (input) energi
sesuai dengan kondisi alamsetempat
5) Sistem alokasi dan penegakan aturan-aturan adat yang bisa mengamankan sumberdaya milik bersama
dari penggunaan berlebihan, baik oleh masyarakat sendiri maupun oleh masyarakat luar (pendatang).
Dalam hal ini masyarakat tradisional sudah memiliki pranata dan hukum adat yang mengatur semua
aspek kehidupan bermasya- rakat dalam satu kesatuan sosialtertentu.
6) Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil panen atau sumber daya milik bersama yang dapat mencegah
munculnya kesenjangan berlebihan di dalam masyarakat tradisional. Tidak adanya kecemburuan atau
kemarahan sosial akan mencegah pencurian atau penggunaan sumberdaya di luar aturan adat
yangberlaku.
2.3.2 Kearifan Lokal dalam Pengurangan ResikoBencana
Masyarakat tradisional pada umumnya telah lama hidup berdampingan dengan alam secara
harmonis, sehingga mengenal berbagai cara memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Dalam kearifan lingkungan juga terwujud konservasi yang dilakukan oleh masyarakat. Nababan (1995,
dalam Muh Aris Marfai, 2012:47-48) mengemukakan prinsip- prinsip konservasi dalam pengelolaan
sumberdaya alam secara tradisioal seperti berikut. (Tabel1).
Komunitas lokal seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli kawasan terkait, dimana
masyarakat lokal mempunyai daya interaksi dan pemahaman yang tinggi terhadap lingkungan. Dengan
demikian, masyarakat lokal pun memiliki kearifan yang diyakini dan diikuti oleh mereka, termasuk dalam
kaitannya dengan pengurangan resiko terhadap bencana.
Tabel 1. Contoh Prinsip konservasi melalui Kearifan Lokal

No Nilai-nilai Kearifan Lokal Peran terhadap Konservasi


Rasa hormat yang mendorong keselarasan Dalam hal ini masyarakat tradisional
(harmoni) dalam hubungan manusia dengan alam merupakan bagian yang tidak terpisahkan
sekitarnya dari alam, condong memandang dirinya
1.
sebagai bagian dari alam itu sendiri yang
memberikan penghormatan terhadap alam
dan menjagakeberlangsungan lingkungan
Rasa memiliki yang eksklusif bagi komunitas atas Hal ini membawa implikasi positif pada hak
suatu kawasan atau jenis sumberdaya alam dan kewajiban komunal dalam
2.
tertentu sebagai hak kepemilikan bersama pengelolaan pemeliharaan sumberdaya
(communal prosperityresources) secara bersama
Sistem pengetahuan masyarakat setempat Pembatasan pemanfaatan sumber-daya
(local knowledge system) yang memberikan alam
kemampuan kepada masyarakat untuk
3.
memecahkan masalah- masalah yang mereka
hadapi dalam memanfaatkan sumberdaya alam
yang terbatas
Daya adaptasi dalam penggunaan teknologi Konservasi terhadap energi
sederhana yang secara tepat
4.
guna dan hemat energi sesuai dengan kondisi
alam setempat
Mekanisme pemerataan (distribusi) hasil Pemerataan dan distribusi
panen atau sumberdaya milik bersama yang
5. dapat mencegah munculnya kesenjangan
berlebihan di dalam masyarakat
tradisional

2.3.3 Kearifan lokal dalam Penanggulangan Bencana


Komunitas lokal seringkali menganggap diri mereka sebagai penghuni asli kawasan terkait,
dimana masyarakat lokal mempunyai daya interaksi dan pemahaman yang tinggi terhadap
lingkungan. Dengan demikian, masyarakat lokal pun memiliki kearifan yang diyakini dan diikuti
oleh mereka, termasuk dalam kaitannya dengan penanggulangan bencana.
Kearifan lokal yang diwujudkan dalam bentuk perilaku adaptif terhadap lingkungan
mempunyai peranan penting dalam penanggulangan bencana. Kearifan lokal yang berlaku di
suatu masyarakat memberikan dampak positif bagi masyarakat dalam menghadapi dan mensikapi
bencana yang datang. Kearifan lokal merupakan ekstraksi dari berbagai pengalaman yang bersifat
turun temurun dari nenek moyang atau orang- orang terdahulu yang telah mengalami kejadian
bencana. (Muh Aris Marfai,2012:50).
Menurut Marfai dan Khasanah (2008) dalam Muh Aris Marfai (2012:52), adaptasi yang
dilakukan manusia terhadap lingkungannya termasuk di dalamnya lingkungan fisik dan proses
alam seperti terjadinya bencana menunjukkan adanya interelasi antara manusia dan lingkungan.
Dalam hubungan yang saling terkait ini perobahan pada suatu komponen akan menyebabkan
perobahan lain dan sebaliknya. Dalam konteks ini pendekatan human ecology menekankan atau
menunjukkan adanya hubungan saling terkait (interplay) antara lingkungan dan proses- proses
fisik yang berlangsung di dalamnya dan sistem-sistemn sosial/budaya. Dalam proses interaksinya
dengan lingkungan sekitar kemudian tercipta budaya dan kearifan lokal.
Kemampuan adaptasi dapat diilustrasikan dalam bentuk setting budaya yang tidak mudah
mengalami perobahan dan pergeseran tanpa adanya transisi kultural yang dalam hal ini
memerlukan waktu yang lama. Selain dipengaruhi oleh karakteristik masyarakat, kemampuan
adaptasi juga dipengaruhi oleh keberadaan dan ancaman bencana dan ketersediaan sumber daya
lokal. Kemampuan masyarakat dalam melakukanmitigasi bencana tidak terlepas dari kajian-kajian
terhadap budaya dan kearifan lokal serta kemampuan adaptasi masyarakat. Adaptasi adalah
suatu strategi penyesuaian diri yang digunakan manusia selama hidupnya untuk merespon
terhadap perobahan lingkungan dan sosial. (Muh Aris Marfai, 2012:53).

2.3.3.1 Prinsip-Prinsip Penanggulangan Bencana Alam


Penanggulangan bencana alam bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bencana alam
dan dampak yang ditimbulkannya. Karena itu, dalam penanggulangannya harus memperhatikan
prinsip- prinsip penanggulangan bencana alam. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, disebutkan sejumlah prinsip penanggulangan yaitu :

1) Cepat dan tepat


Yang dimaksud dengan “prinsip cepat dan tepat” adalah bahwa dalam penanggulangan bencana
harus dilaksanakan secara cepat dan tepat sesuai dengan tuntutan keadaan. Keterlambatan
dalam penanggulangan akan berdampak pada tingginya kerugian material maupun korban jiwa.
2) Prioritas
Yang dimaksud dengan “prinsip prioritas” adalah bahwa apabila terjadi bencana, kegiatan
penanggulangan harus mendapat prioritas dan diutamakan pada kegiatan penyelamatan jiwa
manusia.
3) Koordinasi dan keterpaduan
Yang dimaksud dengan “prinsip koordinasi” adalah bahwa penanggulangan bencana didasarkan
pada koordinasi yang baik dan saling mendukung. Yang dimaksud dengan “prinsip keterpaduan”
adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan oleh berbagai sektor secara terpadu yang
didasarkan pada kerja sama yang baik dan saling mendukung.
4) Berdaya guna dan berhasil guna
Yang dimaksud dengan “prinsip berdaya guna” adalah bahwa dalam mengatasi kesulitan
masyarakat dilakukan dengan tidak membuang waktu, tenaga, dan biaya yang berlebihan. Yang
dimaksud dengan “prinsip berhasil guna” adalah bahwa kegiatan penanggulangan bencana harus
berhasil guna, khususnya dalam mengatasi kesulitan masyarakat dengan tidak membuang
waktu, tenaga , dan biaya yang berlebihan.
5) Transparansi dan akuntabilitas
Yang dimaksud dengan “prinsip transparansi” adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan
secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Yang dimaksud dengan “prinsip akuntabilitas”
adalah bahwa penanggulangan bencana dilakukan secara terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan secara etik dan hukum.
6) Kemitraan
Penanggulangan bencana tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Kemitraan dalam
penanggulangan bencana dilakukan antara pemerintah dengan masyarakat secara luas,
termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun dengan organisasi- organisasi
kemasyarakatan lainnya. Bahkan, kemitraan juga dilakukan dengan organisasi atau lembaga di
luar negeri termasuk dengan pemerintahnya.
7) Pemberdayaan
Pemberdayaan berarti upaya meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengetahui,
memahami dan melakukan langkah- langkah antisipasi, penyelamatan dan pemulihan bencana.
Negara memiliki kewajiban untuk memberdayakan masyarakat agar dapat mengurangi dampak
dari bencana.
8) Nondiskriminatif
Yang dimaksud dengan “prinsip nondiskriminasi” adalah bahwa negara dalam penanggulangan
bencana tidak memberikan perlakuan yang berbeda terhadap jenis kelamin, suku, agama, ras,
dan aliran politik apa pun.
9) Nonproletisi
Yang dimaksud dengan ”nonproletisi” adalah bahwa dilarang menyebarkan agama atau
keyakinan pada saat keadaan darurat bencana, terutama melalui pemberian bantuan dan
pelayanan darurat bencana.
2.3.3.2 Cara Penanggulangan Bencana

1. Mengelola SDA secara Bijaksana

Manusia memanfaatkan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, artinya manusia
boleh bertindak sewenang – wenang terhadap alam atau lingkungannya. Tetapi jika sumber
daya alam tidak di manfaatkan dengan sebaik – baiknya akan mengakibatkan kerusakan
alam. Maka dari itu SDA harus dikelola dan dimanfaatkan dengan baik , cara memanfaatkan
dan mengelola SDA tersebut diantaranya :

a. Tidak membuang sampah sembarangan

Sampah yang menumpuk dapat menyebabkan aliran air tersumbat. Akibatnya saat musim
hujan dapat mengakibatkan terjadinya banjir

b. Tidak melakukan penebangan pohon secara liar

Penebangan liar akan membuat hutan gundul sehingga dapat menyebabkan banjir dan tanah
longsor

c. Lakukan reboisasi atau penghijauan agar hutan berfungsi dengan baik

Dengan melakukan reboisasi akan mencegah terjadi tanah longsor dan banjir di kawasan
hutan.

d. Tidak melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar hutan/ membersihkan lahan
dengan cara membakarnya. Saat musim kemarau akan menyebabkan hutan mudah terbakar
secara cepat

e. Berhati – hati dan tidak ceroboh saat melakukan aktivitas di dalam hutan

Tindakan kecerobohan seperti membuang putung rokok sembarangan atau mematikan api di
dalam hutan dapat menyebabkan kebakaran hutan

f. Penanaman hutan bakau di sepanjang pesisir pantai


Selain untuk mencegah abrasi pantai, hutan bakau berfungsi pula untuk sebagai beteng untuk
mengurangi hantaman gelombang tsunami ke daratan.

2. Membuat Sistem Peringatan dini

Bencana alam bisa datang tanpa diduga – duga sebelumnya. Untuk mencegah dampak buruk /
kerugian yang lebih besar, manusia perlu mengetahui secara dini tanda – tanda/ gejala
terjadinya bencana alam.Untuk itulah dilakukan usaha – usaha untuk membuat peringatan
dini umtuk menghadapi bensana yang datang sewaktu – waktu. Misalnya membuat:

a. Sistem peringatan dini tsunami, yaitu membuat sistem yang dirancang untuk membuat
tsunami, memberi peringatan kepada masyarakat untuk mencegah jatuhnya korban. Sistem
ini terdiri atas 2 bagian :

 Peralatan sensor yang dipasang dipantai untuk mendeteksi adanya tsunami


 Jaringan komunikasi untuk memberikan peringatan dini adanya bahaya tsunami
kepada masyarakat diwilayah yang terancam bahaya. Semakin cepat informasi yang
diterima, maka semakin cepat pula proses evakuasi di lakukan.

b. Sistem peringatan dini gunung merapi

Gunung yang masih aktif selalu dipantau aktivitasnya oleh [os pengamatan gunung berapi
yang terletak beberapa kilometer dari gunung tersebut. Pos pengamaytan tersebut memiliki
peralatan khususyang dapat memberika informasimengenai aktifitas gunung api. Petugas
yang bertugas di pos pengamatan akan memberikan laporan ke daerah – daerah yang
terancam bahaya mengenai status gunung api tersebut serta tindakan – tindakan yang harus
dilakukan untuk mengantisipasinya. Status gunung api dan tindakan yang dilakukan adalah
sebagai berikut :

Status Makna Tindakan


Awas Gunung api akan segera atau sedang Wilayah yang terancam
meletus, atau dalam keadaan kritis yang behaya dikosongkan ,
dapat menimbulkan bencana koordinasi dan piket penuh
Siaga Gunung api sedang bergerak ke arah Penyuluhan di wilayah
letusan atau menimbulkan bencana bahaya, penyiapan sarana
darurat, koordinasi harian,
dan piket penuh
Waspada Ada aktivitas apapun bentuknya dan Penyuluhan kepada
terdapat kenaikan aktivitas di atas tingkat masyarakat , penilaian
normal bahaya, pengecekan sarana,
pelaksanaan piket terbatas
Normal Tidak ada gejala aktivitas tekanan magma Pengamatan rutin

c. BMG ( Badan Meteorologi dan Geofisika )

Badan Meteorologi dan Geofisika atau BMG adalah salah satu Lembaga Pemerintah Non-
Departemen yang berfungsi untuk melaksanakan tugas – tugas pemerintah di bidang
meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika. Salah satu tugasnya adalah
melakukan pengamatan cuaca di wilayah Indonesia. BMG dapat membuat prakiraan cuaca
pada suatu hari berdasar data – data yang diperoleh dari satelit. Perkiraan cuaca dapat
dijadikan acuan bagi lembaga atau masyarakat yang membutuhkan informasi. Lalu
masyarakat atau lembaga tersebut dapat mengantisipasi agar terhindar dari bahaya atau
bencana alam akibat cuaca yabf buruk.

d. Penyuluhan dan penyebarluasan Informasi

Masyarakat Indonesia harisnya mengetahui bahwa negara kita terletak di daerah yang rawan
bencana. Informasi dan pengetahuan yang benar mengenai bencana alam dan langkah –
langkah penyelamatannya sangat diperlukan masyarakat. Hal ini berfungsi untuk
menyelamatkan diri dan mengurangi kerugian yang ada akibat bencana alam. Misalnya
informasi tentang surutnya air laut secara tiba – tiba sebagai tanda awal tsunami . Penyuluhan
dan penyebarluasan informasi dapat juga melalui desa, kelurahanatau melalui media cetak
maupun media elektronik,

3. Pembangunan fisik yang direncanakan dengan baik

a. Pembangunan berwawasan lingkungan, artinya pembangunan dilakukan dan direncanakan


secara baik dengan memperhatikan kondisi lingkungan alam serta dampak yang ditimbulkan
dari pembangunan itu. Usaha yang dapat dilakukan antara lain penataan bengunan perumahan
di daerah pegunungan, sehingga tidak menimbulkan longsor

b. Pendirian Bangunan tahan gempa

Di daerah yang rawan gempa , pembangunan rumah dan bangunan lainnya dibuat dengan
konstruksi khusus tahan gempa. Di jepang, kebanyakan rumahnya di buat tahan gempa. Hal
ini disebabkan karena di sana Jepang merupakan negara yang rawan akan gempa bumi,
sehingga diperlukan bangunan yang tahan gempa dan selalu mengembangkan teknologinya
untuk membuat bangunan yang tahan gempa.

2.3.3.3 Tahapan Penanggulangan Bencana Alam


Penanggulangan bencana adalah segala upaya kegiatan yang dilakukan meliputikegiatan
pencegahan, penjinakan (mitigasi), penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi, baik
sebelum, pada saat maupun setelah bencana dan menghindarkan dari bencana yang terjadi.
Berdasarkan pengertian tersebut, penangggulangan bencana tidak hanya pada saat dan setelah
terjadinya bencana tetapi upaya pencegahan juga termasuk ke dalam kegiatan penanggulangan
bencana. Karena itu, penanggulangan bencana dilakukan melalui beberapa tahapan.
1) Tahap pencegahan
Pada tahap ini berbagai upaya dilakukan untuk meminimalkan dampak buruk dari bencana alam.
Contoh-contoh kegiatan pada tahap ini adalah :
a. Pembuatan waduk untuk mencegah terjadinya banjir dan kekeringan.
b. Penanaman pohon bakau/mangrove di sepanjang pantai untuk menghambat gelombang
tsunami.
c. Pembuatan tanggul untuk menghindari banjir.
d. Pembuatan tanggul untuk menahan lahar agar tidak masuk ke wilayah permukiman.
e. Reboisasi untuk mencegah terjadinya kekeringan dan banjir, dan sebagainya.
2) Tahap tanggap darurat
Pada tahap tanggap darurat, hal paling pokok yang sebaiknya dilakukan adalah
penyelamatan korban bencana. Inilah sasaran utama dari tahapan tanggap darurat. Selain itu,
tahap tanggap darurat bertujuan membantu masyarakat yang terkena bencana langsung untuk
segera dipenuhi kebutuhan dasarnya yang paling minimal.
Para korban juga perlu dibawa ke tempat sementara yang dianggap aman dan ditampung
di tempat penampungan sementara yang layak. Pada tahap ini dilakukan pula pengaturan dan
pembagian logistik atau bahan makanan yang cepat dan tepat sasaran kepada seluruh korban
bencana. Secara operasional, pada tahap tanggap darurat ini diarahkan pada kegiatan:
a. Penanganan korban bencana termasuk mengubur korban meninggal dan menangani
korban yang luka-luka.
b. Penanganan pengungsi
c. Pemberian bantuan darurat
d. Pelayanan kesehatan, sanitasi dan air bersih
e. Penyiapan penampungan sementara
f. Pembangunan fasilitas sosial dan fasilitas umum sementara serta memperbaiki sarana dan
prasarana dasar agar mampu memberikan pelayanan yang memadai untuk para korban;
3) Tahap Rehabilitasi
Dalam tahap rehabilitasi, upaya yang dilakukan adalah perbaikan fisik dan non fisik serta
pemberdayaan dan pengembalian harkat korban. Tahap ini bertujuan mengembalikan dan
memulihkan fungsi bangunan dan infrastruktur yang mendesak dilakukan untuk menindaklanjuti
tahap tanggap darurat, seperti rehabilitasi bangunan ibadah, bangunan sekolah, infrastruktur
sosial dasar, serta prasarana dan sarana perekonomian yang sangat diperlukan.
Sasaran utama dari tahap rehabilitasi adalah untuk memperbaiki pelayanan masyarakat
atau publik sampai pada tingkat yang memadai. Dalam tahap rehabilitasi ini juga diupayakan
penyelesaian berbagai permasalahan yang terkait dengan aspek kejiwaan/psikologis melalui
penanganan trauma korban bencana.
4) Tahap Rekonstruksi
Upaya yang dilakukan pada tahap rekonstruksi adalah pembangunan kembali sarana,
prasarana serta fasilitas umum yang rusak dengan tujuan agar kehidupan masyarakat kembali
berjalan normal. Biasanya melibatkan semua masyarakat, perwakilan lembaga swadaya
masyarakat, dan dunia usaha. Sasaran utama dari tahap ini adalah terbangunnya kembali
masyarakat dan kawasan. Pendekatan pada tahap ini sedapat mungkin juga melibatkan
masyarakat dalam setiap proses.
3 Penanggulangan Beberapa Bencana Alam
Secara umum tahapan penanggulangan bencana relatif sama, namun perbedaan biasanya
terletak pada cara pencegahan bencana. Karena itu, pembahasan cara penanggulangan akan
dilakukan untuk masing-masing bencana alam.

1) Penanggulangan bencana banjir


Bencana banjir terjadi karena berbagai faktor penyebab. Faktor penyebab yang paling
utama adalah alih fungsi hutan untuk kegiatan pertanian maupun permukiman. Padahal, hutan
berfungsi dalam meningkatkan air yang meresap ke dalam tanah, sehingga mengurangi aliran
air permukaan yang menjadi penyebab banjir.Selain itu, banjir juga terjadi karena kebiasaan
buruk sebagian masyarakat dalam membuang sampah, yaitu membuang sampah ke sungai.
Akibatnya aliran sungai terhambat oleh sampah dan mengakibatkan alirannya meluap ke luar
tubuh sungai.
Banjir juga terjadi karena karakteristik fisik wilayah yang secara alamiah memicu
terjadinya banjir. Lahan yang datar, tanah yang kedap air memungkinkan terjadinya genangan
air pada saat hujan. Banyak daerah di Indonesia, tanahnya mempunyai daya serapan air yang
buruk. Jika keadaan tersebut terjadi, maka ketika hujan turun dalam waktu singkat kadang terjadi
banjir secara tiba-tiba yang disebut banjir bandang. Untuk menanngulangi bencana banjir
banyak hal yang harus dilakukan, di antaranya sebagai berikut:
a. Sebelum kejadian banjir
- Membersihkan saluran air dari sampah yang dapat menyumbat aliran air, sehingga
menyebabkan terjadinya banjir.
- Mengeruk sungai untuk menambah daya tampung air.
- Membangun rute-rute drainase alternatif (kanal-kanal sungai baru, sistem-sistem pipa),
sehingga dapat mencegah beban yang berlebihan terhadap sungai.
- Tidak mendirikan bangunan pada wilayah (area) yang menjadi daerah lokasi
penyerapan air atau daerah tangkapan hujan, terutama di daerah hulu sungai.
- Tidak menebangi pohon-pohon di hutan, karena hutan yang gundul akan sulit
menyerap air, sehingga jika terjadi hujan lebat secara terus menerus air tidak dapat
diserap secara langsung oleh tanah bahkan akan menggerus tanah. Hal ini juga dapat
menyebabkan tanah longsor.
- Membuat tembok-tembok penahan dan tanggul-tanggul di sepanjang sungai, tembok-
tembok laut di sepanjang pantai-pantai dapat menjaga tingkat ketinggian air agar tidak
masuk ke dalam daratan.
b. Pada saat kejadian banjir
- Mengerahkan tim penyelamat beserta bahan dan peralatan pendukung, seperti perahu
karet, tambang, pelampung, dan obat- obatan.
- Membawa korban ke tempat yang aman atau penampungan sementara.
- Memantau perkembangan keadaan banjir dan menyebarluaskan informasinya kepada
masyarakat.
c. Pasca kejadian banjir
- Memberikan pertolongan medis bagi yang memerlukan
- Memberikan bantuan obat-obatan dan makanan serta bantuan lainnya.
- Memperbaiki sarana dan prasarana yang rusak karena banjir.
- Membersihkan sarana dan prasarana yang kotor karena banjir.
2) Penanggulangan bencana kekeringan
Bencana kekeringan terjadi ketika adanya kesenjangan antara air yang tersedia dengan
air yang diperlukan. Di Indonesia, bencana ini terkait dengan musim kemarau yang terjadi
selama beberapa bulan dalam setahun. Selama musim kemarau jumlah curah hujan sangat
sedikit, sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk manusia dan makhluk hidup
lainnya.
Selain terjadi karena faktor alam, bencana kekeringan diperparah oleh ulah manusia yang
merusak lingkungan, khususnya hutan. Hutan berfungsi menyimpan air yang berlebih selama
musim hujan. Sebagian air hujan akan tersimpan di bawah permukaan tanah di hutan, sebagian
lagi dialirkan menjadi air limpasan yang kemudian mengisi sungai- sungai. Jika hutan ditebang,
maka kemampuan tanah untuk menyerap air hujan dan menyimpannya diantara pori-pori tanah
menjadi berkurang. Sebagian besar air hujan akan mengalir menuju sungai yang berakibat
banjir. Sementara itu, pada musim kemarau hanya sedikit cadangan air yang bisa dialirkan
menuju sungai, sehingga menimbulkan bencana kekeringan.
Sebenarnya dalam penanggulangan kekeringan tidak jauh berbeda dengan banjir. Kedua
jenis bencana tersebut memiliki keterkaitan yang erat. Beberapa cara atau metode untuk
penanggulangan kekeringan, di antaranya adalah sebagai berikut :
 Membuat waduk (dam) yang berfungsi sebagai persediaan air di musim kemarau. Selain itu
waduk dapat mencegah terjadinya banjir pada musim hujan.
 Membuat hujan buatan untuk daerah-daerah yang sangat kering.
 Reboisasi atau penghijauan kembali daerah-daerah yang sudah gundul agar tanah lebih
mudah menyerap air pada musim penghujan dan sebagai penyimpanan cadangan air pada
musim kemarau.
 Melakukan diversifikasi dalam bercocok tanam bagi para petani, misalnya mengganti
tanaman padi dengan tanaman palawija pada saat musim kemarau tiba karena palawija
dapat cepat dipanen serta tidak membutuhkan banyak air untuk pertumbuhannya.
 Penentuan teknologi pencegahan kekeringan (pembuatan embung, penyesuaian pola
tanam dan teknologi budidaya tanaman dll) dan sistem pengaliran air irigasi yang
disesuaikan dengan hasil prakiraan iklim.
 Pengembangan sistem penghargaan (reward) bagi masyarakat yang melakukan upaya
konservasi dan rehabilitasi sumberdaya air dan lahan serta memberikan hukuman
(punishment) bagi yang merusak hutan.
3) Penanggulangan Bencana Longsor
Bencana longsor biasanya dipicu oleh aktivitas gempa. Goncangan membuat tanah
menjadi labil dan menimbulkan longsor. Longsor juga terjadi ketika tanah yang berada pada
bidang gelincir (lapisan kedap air) mendapat guyuran hujan setelah sekian lama mengalami
kekeringan. Tanah yang kering dan kemudian terisi oleh air hujan dapat meningkatkan berat dan
akhirnya terjadi longsor. Karena itulah pada awal musim hujan, pemerintah berupaya
memberikan peringatan akan bahaya longsor di beberapa titik atau lokasi. Bencana longsor juga
bisa dipicu oleh letusan gunung api. Letusan membuat tanah menjadi labil seketika dan terjadi
longsor.
Bencana longsor yang menimpa permukiman dapat menimbulkan korban jiwa walaupun
biasanya tidak sebesar tsunami dan gempa bumi. Bencana ini biasanya terjadi pada area yang
tidak terlalu luas dan terjadi dalam waktu yang singkat. Korban biasanya terkubur oleh tanah
karena tidak sempat menyelamatkan diri. Seringkali peristiwanya terjadi pada malam hari ketika
warga sedang terlelap tidur. Rumah dan jalan juga mengalami kehancuran. Penanggulangannya
dilakukan dengan cara:
a. Pencegahan
Bencana longsor dapat dicegah melalui cara berikut:
 Melarang pembangunan rumah pada lokasi yang rawan longsor, terutama pada
lereng dan kaki bukit.
 Memperkuat kestabilan tanah dengan pohon-pohon yang akarnya dapat mengikat
tanah secara kuat.
 Pembangunan tembok-tembok penahan untuk memperkuat lereng pada lokasi
rawan longsor.
 Memberikan penyuluhan pada masyarakat yang tinggal di wilayah longsor tentang
cara menghindari bencana longsor.
b. Pasca bencana longsor
 Mengerahkan tim dan masyarakat untuk bersama-sama memberikan pertolongan
jikalau ada yang warga yang masih bisa diselamatkan.
 Mengumpulkan informasi dari warga tentang lokasi rumah yang terkena longsor,
jumlah rumahnya dan jumlah anggota keluarganya.
 Mengumpulkan informasi tentang jumlah warga yang terkena longsor.
 Melakukan pencarian dan penggalian terhadap warga dan rumah yang terkena
timbunan longsor.
 Memberikan pertolongan medis bagi warga yang masih hidup dan terkena longsor.
 Melakukan perbaikan infrastruktur
 Membangun kembali rumah warga yang terkena longsor Merelokasi warga pada
lokasi baru yang lebih aman dari longsor jika masih ada kemungkinan longsor pada
masa yang akan datang.
4) Penanggulangan Bencana Tsunami
Tsunami adalah ombak besar yang terjadi setelah peristiwa gempa bumi, gempa laut,
gunung berapi meletus, atau hantaman meteor di laut. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh
berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat
dimonitor melalui satelit. Dengan diterapkannya sistem peringatan dini (early warning system),
diharapkan masyarakat dapat melakukan evakuasi dengan cepat bila terjadi bencana tsunami.
a. Sebelum terjadi tsunami
 Memasang peralatan sistem peringatan dini di wilayah-wilayah laut yang berpotensi
mengalami tsunami.
 Melakukan pemetaan tingkat kerawanan bencana tsunami dan mensosialisasikannya
kepada masyarakat.
 Sosialisasi peristiwa bencana tsunami kepada masyarakat yang tinggal di wilayah-
wilayah rawan bencana tsunami.
 Menentukan jalur-jalur dan tempat evakuasi bagi penduduk yang tinggal di wilayah-
wilayah rawan tsunami.
 Menanam dan memelihara hutan, khususnya hutan mangrove di sepanjang pantai
untuk menahan laju ombak.
b. Pada saat terjadinya tsunami
 Memberikan tanda peringatan dan informasi untuk memandu penduduk mencapai
tempat yang aman.
 Mengerahkan tim penyelamat beserta peralatan pendukung untuk membantu
penduduk mencapai tempat evakuasi.
 Memantau perkembangan keadaan untuk menentukan langkah- langkah berikutnya.
c. Setelah terjadinya tsunami
 Mencari korban untuk dievakuasi ke tempat yang aman. Memberikan pertolongan
bagi para korban bencana.
 Menyiapkan tend-tenda darurat untuk menampung para korban bencana.
 Memberikan bantuan makanan dan obat-obatan. Mengidentifikasi kerusakan yang
terjadi
 Memperbaiki sarana dan prasarana yang mengalami kerusakan.
d. Penanggulangan bencana letusan gunungapi
Indonesia merupakan negara yang jumlah gunungapinya sangat banyak. Tidak
kurang dari 130 gunungapi aktif atau 13-17 % dari jumlah seluruh gunungapi yang
ada di dunia, terdapat di Indonesia.
Karena banyaknya gunungapi, maka Indonesia rawan dari bencana letusan
gunungapi. Sejak tahun 1.000 telah tercatat lebih dari 1.000 letusan dan memakan
korban manusia tidak kurang dari 175.000 jiwa. Letusan gunung Tambora pada tahun
1815 dan gunung Krakatau pada tahun 1883 merupakan dua diantara letusan yang
paling hebat yang telah memakan banyak korban. Sekiranya kepadatan penduduk
seperti sekarang, tentulah letusan itu akan membawa bencana yang lebih besar.
Selain membawa bencana, gunungapi merupakan sumber pembawa kemakmuran.
Tanah yang subur selalu menutupi tubuhnya. Karena itu, penduduk selalu tertarik
untuk menetap dan mendekati gunungapi, walaupun tempat tersebut diketahuinya
berbahaya. Di sinilah terletak permasalahan gunungapi di Indonesia, disatu pihak
merupakan sumber bencana, tapi di lain pihak merupakan sumber kesejahteraan.
Karena kondisi tersebut, maka penanggulangan bencana gunungapi tidak
hanya terpusat pada gunungapi, tetapi masyarakat sekitar gunungapi yang kadang
tidak mudah untuk dievakuasi. Alasannya, selain karena keterikatan dengan rumah
dan lahan pertanian, juga karena adanya kepercayaan tertentu terhadap gunungapi.
Jadi penanggulangannya juga mencakup aspek sosial budaya.
Setiap tipe gunungapi memiliki karakateristik letusannya masing- masing
yang berbeda antara satu dengan lainnya. Gunungapi juga memiliki ciri atau perilaku
yang berbeda antara satu jenis gunungapi dengan gunungapi alinnya. Karena itu,
penangannya juga bervariasi tergantung pada karakteristik gunungapi itu sendiri.
Penanggulangan bencana letusan gunungapi dibagi menjadi tiga bagian,
yaitu persiapan sebelum terjadi letusan, saat terjadi letusan dan sesudah terjadi
letusan.
a. Sebelum terjadi letusan dilakukan
 Pemantaun dan pengamatan kegiatan pada semua gunungapi aktif.
 Pembuatan dan penyediaan Peta Kawasan Rawan Bencana dan Peta Zona Resiko
Bahaya Gunungapi yang didukung dengan Peta Geologi Gunungapi.
 Melaksanakan prosedur tetap penanggulangan bencana letusan gunungapi.
 Melakukan pembimbingan dan pemberian informasi gunungapi.
 Melakukan penyelidikan dan penelitian geologi, geofisika dan geokimia di gunungapi.
 Melakukan peningkatan sumberdaya manusia dan pendukungnya seperti peningkatan
sarana dan prasarananya.
b. Saat terjadi krisis/ letusan gunungapi Membentuk tim gerak cepat
 Meningkatkan pemantauan dan pengamatan dengan didukungoleh penambahan
peralatan yang lebih memadai.
 Meningkatkan pelaporan tingkat kegiatan menurut alur dan frekwensi pelaporan
sesuai dengan kebutuhan.
 Memberikan rekomendasi kepada pemerintah setempat sesuai prosedur.
c. Setelah terjadi letusan
 Menginventarisir data, mencakup sebaran dan volume hasil letusan.
 Mengidentifikasi daerah yang terancam bahaya. Memberikan saran penanggulangan
bahaya.
 Memberikan penataan kawasan jangka pendek dan jangka panjang.
 Memperbaiki fasilitas pemantauan yang rusak.
 Menurunkan status kegiatan, bila keadaan sudah menurun.
 Melanjutkan memantauan rutin.

5) Penanggulangan bencana gempa bumi


Gempa bumi adalah gejala pelepasan energi berupa gelombang yang menjalar ke
permukaan bumi akibat adanya gangguan di kerak bumi (patah, runtuh, atau hancur). Sampai
sekarang manusia belum dapat meramalkan kapan suatu gempa akan terjadi. Besar kecilnya
malapetaka yang terjadi sangat tergantung pada kekuatan (magnitudo) gempa itu sendiri serta
kondisi daerah yang terkena gempa itu. Alat pengukur gempa bumi disebut seismograf, yang
dinyatakan dalam skala Richter.
Gempa bumi merupakan bencana alam yang sering melanda wilayah Indonesia, kira-
kira 400 kali dalam setahun. Hal ini terjadi karena Indonesia dilalui oleh dua lempeng (sabuk)
gempa bumi, yaitu lempeng Mediterania (Alpen-Himalaya) dan lempeng Pasifik.
Antisipasi yang harus dilakukan bagi masyarakat luas adalah apa dan bagaimana
cara menghadapi gempa, pada saat dan sesudah gempa terjadi. Dalam menghadapi bencana
gempa bumi misalnya masyarakat Jepang telah tahu bagaimana bereaksi ketika gempa bumi
berguncang. Mereka segera mematikan kompor atau api yang menyala, menyambar tas yang
telah disiapkan (yang berisi sebotol air mineral, makanan ringan tahan lama, lampu senter,
peluit, obat-obatan, radio transistor, dan lain-lain), lalu segera bersembunyi di bawah meja,
dan tetap menunggu hingga guncangan reda.
Tindakan lari keluar rumah, menurut mereka, malah lebih berbahaya karena ketika
gempa besar berguncang, akan terjadi runtuhan bangunan, tiang listrik, dan lain-lain. Dalam
pengetahuan itu pula selalu disebutkan untuk segera menghindari pantai (antisipasi tsunami)
dan menjauhi tebing (antisipasi longsor).
Penanggulangan bencana gempa bumi dapat dilakukan dengan cara berikut.
a. Sebelum terjadi gempa
 Sosialisasi potensi gempa di wilayah yang rawan gempa.
 Mengembangkan bangunan yang relatif tahan gempa, dengan memperkuat atau
memperdalam fondasi bangunan, penggunaan material yang ringan supaya
bangunan dapat mengikuri getaran gempa.
 Penguatan jalan, di Jepang jalan dibangun dengan desain seperti gelombang air
ketika terjadi gempa.
 Pendidikan pada masyarakat tentang cara menyelamatkan diri dari gempa dari
mulai anak-anak sampai orang dewasa.
 Monitoring, dengan mengukur gerakan tanah menggunakan skala richter.
 Persiapan menghadapi gempa di rumah dengan menyiapkan air, makanan, lampu
senter, selimut dan pertolongan pertama.
b. Pada saat gempa dan setelah gempa
 Memberikan peringatan terjadinya gempa kepada masyarakat.
 Memantau perkembangan gempa dan menyebarluaskannya kepada masyarakat.
 Memberikan informasi jika keadaan telah dianggap aman.
 Mengerahkan regu atau tim tanggap darurat ke lapangan untukmemberikan
pertolongan.
 Memperbaiki berbagai fasilitas yang rusak terutama jalan agar bantuan tidak
terhambat datang ke lokasi dan masyarakat dapat melakukan mobilitas.
 Melakukan berbagai upaya rekonstruksi.

Anda mungkin juga menyukai