Anda di halaman 1dari 27

LINGUISTIK UMUM

LINGUISTIK UMUM
Linguistik adalah ilmu bahasa , atau telaah ilmiah mengenai bahasa manusia
Linguistik juga sering disebut lingistik umum (general linguistics) karena linguistik tidak
hanya mengkaji sebuah bahasa saja (seperti bahasa jawa), melainkan mengkaji bahasa pada
umumnya.
Linguistik umum mempelajari : kaidah-kaidah bahasa secara umum, bukan bahasa tertentu.
Kaidah-kaidah khusus / spesifik mempelajari bahasa arab/bahasa sunda. Kajian khusus ini
juga bisa dilakukan terhadap satu rumpun / subrumpun bahasa misal rumpun bahasa
austronesia, atau subrumpun indo-german.
Langage : berarti bahasa secara umum, seperti tampak dalam ungkapan “manusia punya
bahasa sementara hewan tidak”.
Langue : artinya suatu bahasa tertentu, seperti bahasa arab, bahasa inggris, atau bahasa jawa
Parole : adalah bahasa dalam wujudnya yang konkret berupa ujaran.

OBJEK LINGUISTIK: BAHASA


PENGERTIAN BAHASA
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki lebih dari satu makna atau pengertian.
Kata bahasa yang terdapat pada kalimat bisa menunjuk pada beberapa arti atau kategori
lain. Menurut peristilahan de Saussure, bahasa bisa berperan sebagai parole, langue, langage.
Sebagai objek kajian linguistik, karole merupakan objek konkret karena parole itu berwujud
ujaran nyata yang diucapkan oleh para bahasawan dari suatu masyarakat
bahasa. Langue merupakan objek yang abstrak karena langue itu berwujud sistem suatu
bahasa tertentu secara keseluruhan. Langage merupakan objek yang paling abstrak karena dia
berwujud sistem bahasa yang universal.
“ Apakah bahasa itu?” Seperti yang dikemukakan Kridalaksana (1983 dan juga dalam Djoko
Kentjono 1982) “ Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh
para anggota kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri”.
Definisi ini sejalan dengan definisi dari Barber(1964: 21), Wardhaugh(1977:3),
Trager(1949:18), de Saussure(1966:16) dan Bolinger(1975:15).
Masalah yang berkenaan dengan pengertian bahasa adalah bilamana sebuah tuturan disebut
bahasa, yang berbeda dengan bahasa lainnya dan bilamana hanya dianggap sebagai varian
dari suatu bahasa lainnya dan hanya dianggap sebagai varian dari suatu bahasa. Dua buah
tuturan bisa disebut sebagai dua bahasa yang berbeda berdasarkan dua buah patokan,
yaitu patokan linguistis dan patokan politis. Masalah lain adalah arti bahasa dalam pendidikan
formal di sekolah menengah bahwa” bahasa adalah alat komunikasi”. Jawaban ini tidak salah
tetapi juga tidak benar sebab hanya mengatakan” bahasa adalah alat”.
Oleh karena itu, meskipun bahasa itu tidak pernah lepas dari manusia, dalam arti tidak ada
kegiatan manusia yang tidak disertai bahasa, tetapi karena ”rumitnya” menentukan suatu
parole bahasa atau bukan, hanya dialek saja dari bahasa yang lain, maka hingga kini belum
pernah ada angka yang pasti berapa jumlah bahasa yang ada di dunia ini.
HAKIKAT BAHASA
Beberapa ciri atau sifat yang hakiki dari bahasa adalah
Bahasa sebagi Sistem
Kata sistem sudah biasa digunakan dalam kegiatan sehari-hari dengan makna ‘cara’ atau
‘aturan’, tapi dalam kaitan dengan keilmuan, sistem bararti susunan teratur berpola yang
membentuk suatu keseluruhan yang bermakna atau berfungsi. Sebagai sebuah sistem, bahasa
itu sekaligus bersifat sistematis dan sistemis. Dengan sistematis, artinya bahasa itu tersusun
menurut pola, tidak tersusun secara acak, secara sembarangan. Sedangkan sistemis,
artinya bahasa bukan merupakan sistem tunggal, tetapi terdiri juga dari sub- subsistem atau
sistem bawahan.
Bahasa sebagai Lambang
Kata lambang sering dipadankan dengan kata simbol dengan pengertian yang sama. Lambang
dikaji orang dengan kegiatan ilmiah dalam bidang kajian yang disebut ilmu
Semiotika atau Semiologi, yaitu ilmu yang mempelajari tanda-tanda yang ada dalam
kehidupan manusia termasuk bahasa. Dalam semiotika atau semiologi dibedakan adanya
beberapa jenis tanda, yaitu antara lain tanda (sign), lambang (simbol), sinyal (signal), gejala
(symptom), gerak isyarat (gesture), kode, indeks, dan ikon. Dengan
begitu, bahasa adalah suatu sistem lambang dalam wujud bunyi- bahasa, bukan dalam wujud
lain.
Bahasa adalah Bunyi
Sistem bahasa itu bisa berupa lambang yang wujudnya berupa bunyi. Kata bunyi, sering sukar
dibedakan dengan kata suara. Secara teknik, menurut Kridalaksana (1983: 27) bunyi adalah
kesan dari pusat saraf sebagai akibat dari getaran gendang telinga yang bereaksi karena
perubahan- perubahan dalam tekanan udara. Lalu yang dimaksud dengan bunyi pada bahasa
atau yang termasuk lambang bahasa adalah bunyi- bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap
manusia. Jadi, bunyi yang bukan dihasilkan oleh alat ucap manusia tidak termasuk bunyi
bahasa. Tetapi tidak semua bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia termasuk bunyi
bahasa, seperti teriak, bersin, batuk- batuk, dan sebagainya.
Bahasa itu Bermakna
Bahasa itu adalah sistem lambang yang berwujud bunyi, maka tentu ada yang dilambangkan.
Yang dilambangkan itu adalah suatu pengertian, konsep, ide atau pikiran yang ingin
disampaikan dalam wujud bunyi. Oleh karena lambang- lambang itu mengacu pada suatu
konsep, ide atau suatu pikiran, maka dapat dikatakan bahwa bahasa itu mempunyai makna.
Lambang- lambang bunyi bahasa yang bermakna itu di dalam bahasa berupa satuan- satuan
bahasa yang berwujud morfem, kata, frase, klausa, kalimat dan wacana. Karena bahasa itu
bermakna, maka segala ucapan yang tidak mempunyai makna dapat disebut bukan bahasa.
Bahasa itu Arbitrer
Kata arbitrer bisa diartikan “ sewenang- wenang, berubah- ubah, tidak tetap, mana suka”.
Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara
lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud
oleh lambang tersebut.
Bahasa itu Konvensional
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkan bersifat arbitrer, tetapi
penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya,
semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa lambang tertentu itu
digunakan untuk mewakili konsep yang diwakilinya.
Bahasa itu Produktif
Kata produktif adalah bentuk ajektif dari kata benda produksi. Arti produktif adalah “ banyak
hasilnya “ atau lebih tepat “ terus- menerus menghasilkan “. Lalu, kalau bahasa itu dikatakan
produktif, maka maksudnya, meskipun unsur- unsur bahasa itu terbatas, tetapi dengan unsur-
unsur yang jumlahnya terbatas itu dapat dibuat satuan- satuan bahasa yang jumlahnya tidak
terbatas, meski secara relatif, sesuai dengan sistem yamg berlaku dalam bahasa itu.
Bahasa itu Unik
Unik artinya mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh yang lain. Bahasa
dikatakan unik yang artinya setiap bahasa memiliki ciri khas yang tidak dimiliki oleh bahasa
lain. Salah satu keunikan bahasa Indonesia adalah bahwa tekanan kata tidak bersifat
morfemis, melainkan sintaksis, artinya jika kita memberi tekanan pada kata dalam kalimat
maka makna kata itu tetap.
Bahasa itu Universal
Bahasa bersifat universal artinya ada ciri- ciri yang sama yang dimiliki oleh setiap bahasa
yang ada di dunia ini. Ciri- ciri yang universal ini tentunya merupakan unsur bahasa yang
paling umum, yang bisa dikaitkan dengan ciri- ciri atau sifat- sifat bahasa lain.
Bahasa itu Dinamis
Bahasa adalah satu- satunya milik manusia yang tidak pernah lepas dari segala kegiatan dan
gerak manusia sepanjang keberadaan manusia itu sebagai makhluk yang berbudaya dan
bermasyarakat. Karena keterikatan dan keterkaitan bahasa itu dengan manusia, sedangkan
dalam kehidupannya di dalam masyarakat, kegiatan manusia itu tidak tetap dan selalu
berubah, maka bahasa itu juga menjadi ikut berubah, menjadi tidak tetap dan tidak statis.
Karena itulah bahasa itu disebut dinamis.
Bahasa itu Bervariasi
Anggota masyarakat suatu bahasa biasanya terdiri dari berbagai orang dengan berbagai status
sosial dan berbagai latar belakang budaya yang tidak sama. Anggota masyarakat bahasa itu
ada yang berpndidikan baik ada juga yang tidak, ada yang tinggal di kota ada yang tinggal di
desa, ada orang dewasa dan kanak- kanak. Oleh karena latar belakang dan lingkungannya
tidak sama maka bahasa yang mereka gunakan menjadi bervariasi atau beragam.
Bahasa itu Manusiawi
Alat komunikasi manusia yang namanya bahasa adalah bersifat manusiawi, dalam arti hanya
milik manusia dan hanya dapat digunakan oleh manusia. Alat komunikasi binatang bersifat
terbatas. Dalam arti hanya untuk keperluan hidup “ kebinatangannya” itu saja. Kalaupun ada
binatang yang dapat mengerti dan memahami serta melakukan perintah manusia dalam bahasa
manusia adalah berkat latihan yang diberikan kepadanya.

BAHASA DAN FAKTOR LUAR BAHASA


Objek kajian linguistik mikro adalah struktur intern bahasa atau sosok bahasa itu sendiri,
sedangkan kajian linguistik makro adalah bahasa dalam hubungannya dengan faktor- faktor di
luar bahasa yaitu tidak lain daripada segala hal yang berkaitan dengan kegiatan manusia di
dalam masyarakat, sebab tidak ada kegiatan yang tanpa berhubungan dengan bahasa.
Masyarakat Bahasa
Kata masyarakat biasanya diartikan sebagai sekelompok orang (dalam jumlah yang
banyaknya relatif ), yang merasa sebangsa, seketurunan, sewilayah tempat tinggal atau yang
mempunyai kepentingan sosial yang sama. Yang dimaksud dengan masyarakat bahasa adalah
sekelompok orang yang merasa menggunakan bahasa yang sama. Karena titik berat
pengertian masyarakat bahasa pada “ merasa menggunakan bahasa yang sama”, maka konsep
masyarakat bahasa dapat menjadi luas dan dapat menjadi sempit.
Variasi dan Status Sosial Bahasa
Dalam beberapa masyarakat tertentu ada semacam kesepakatan untuk membedakan adanya
dua macam variasi bahasa yang dibedakan berdasarkan status pemakaiannya. Yang pertama
adalah variasi bahasa tinggi ( T ) digunakan dalam situasi- situasi resmi, seperti pidato
kenegaraan, bahasa pengantar dalam pendidikan, khotbah, surat- menyurat resmi dan buku
pelajaran, variasi T ini harus dipelajari melalui pendidikan formal di sekolah- sekolah. Yang
kedua adalah variasi bahasa rendah ( R ) digunakan dalam situasi tidak formal, seperti di
rumah, di warung, di jalan, dalam surat- surat pribadi dan catatan untuk diri sendiri, variasi R
ini dipelajari secara langsung di dalam masyarakat umum dan tidak pernah dalam pendidikan
formal. Adanya pembedaan variasi bahasa T dan bahasa R disebut dengan istilah diglosia (
Ferguson 1964 ). Masyarakat yang mengadakan pembedaan ini disebut masyarakat diglosis.

Penggunaan Bahasa
Adanya berbagai macam dialek dan ragam bahasa menimbulkan masalah, bagaimana kita
harus menggunakan bahasa itu di dalam masyarakat. Hymes (1974) seorang pakar
sosiolinguistik mengatakan, bahwa suatu komunikasi dengan menggunakan bahasa harus
memperhatikan delapan unsur, yang diakronimkan menjadi SPEAKING, yakni :
1. Setting and scene, yaitu unsur yang berkenaan dengan tempat dan waktu terjadinya
percakapan
2. Participants, yaitu orang- orang yang terlibat dalam percakapan
3. Ends, yaitu maksud dan hasil percakapan
4. Act sequences, yaitu hal yang menunjuk pada bentuk dan isi percakapan
5. Key, yaitu yang menunjuk pada cara atau semangat dalam melaksanakan percakapan
6. Instrumentalities, yaitu yang menunjuk pada jalur percakapan apakah secara lisan atau
bukan
7. Norms, yaitu yang menunjuk pada norma perilaku peserta percakapan
8. Genres, yaitu menunjuk pada kategori atau ragam bahasa yang digunakan.
Kedelapan unsur tersebut dalam formulasi lain bisa dikatakan dalam berkomunikasai lewat
bahasa harus diperhatikan faktor- faktor siapa lawan atau mitra bicara kita, tentang apa,
situasinya bagaimana, tujuannya apa, jalurnya apa dan ragam bahasa yang digunakan yang
mana.
Kontak Bahasa
Dalam masyarakat yang terbuka, artinya yang para anggotanya dapat menerima kedatangan
anggota dari masyarakat lain, baik dari satu atau lebih dari satu masyarakat, akan terjadilah
apa yang disebut kontak bahasa. Bahasa dari masyarakat yang menerima kedatangan akan
saling mempengaruhi dengan bahasa dari masyarakat yang datang. Hal yang sangat menonjol
yang bisa terjadi dari adanya kontak bahasa ini adalah terjadinya atau terdapatnya apa yang
disebut bilingualisme dan multilingualisme dengan berbagai macam kasusnya,
sepertu interferensi, integrasi, alihkode, dan campurkode.
Bahasa dan Budaya
Satu lagi yang menjadi objek kajian linguistik makro adalah mengenai hubungan bahasa
dengan budaya atau kebudayaan. Dalam sejarah linguistik ada suatu hipotesisyang sangat
terkenal mengenai hubungan bahasa dengan kebudayaan ini. Hipotesis ini dikeluarkan oleh
dua orang pakar, yaitu Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf ( hipotesis Sapir- Whorf) yang
menyatakan bahwa bahasa mempengaruhi kebudayaan atau bahasa itu mempengaruhi cara
berpikir dan bertindak anggota masyarakat penuturnya. Jadi bahasa itu menguasai cara
berpikir dan bertindak manusia. Apa yang dilakukan manusia selalu dipengaruhi oleh sifat-
sifat bahasanya.

KLASIFIKASI BAHASA
Klasifikasi dilakukan dengan melihat kesamaan ciri yang ada pada setiap bahasa. Bahasa yang
mempunyai kesamaan ciri dimasukkan dalam satu kelompok. Menurut Greenberg (1957: 66)
suatu klasifikasi yang baik harus memenuhi persyaratan nonarbitrer, ekhaustik, dan unik.
Nonarbitrer maksudnya bahwa kriteria klasifikasi hanya harus ada satu kriteria, maka hasilnya
akan ekhaustik. Artinya, setelah klasifikasi dilakukan tidak ada lagi sisanya, semua bahasa
yang ada dapat masuk ke dalam salah satu kelompok. Hasil klasifikasi juga harus bersifat
unik, maksudnya kalau suatu bahasa sudah masuk ke dalam salah satu kelompok, dia tidak
bisa masuk lagi dalam kelompok yang lain, kalau masuk ke dalam dua kelompok atau lebih
berarti hasil klasifikasi itu tidak unik.

Klasifikasi Genetis
Klasifikasi genetis disebut juga klasifikasi geneologis, dilakukan berdasarkan garis keturunan
bahasa- bahasa itu. Artinya, suatu bahasa berasal atau diturunkan dari bahasa yang lebih tua.
Menurut teori klasifikasi genetis ini, suatu bahasa pro ( bahasa tua, bahasa semula) akan
pecah dan menurunkan dua bahasa baru atau lebih. Lalu, bahasa pecahan ini akan
menurunkan pula bahasa- bahasa lain. Kemudian bahasa- bahasa lain itu akan menurunkan
lagi bahasa- bahasa pecahan berikutnya.
Klasifikasi genetis dilakukan berdasarkan kriteria bunyi dan arti yaitu atas kesamaan bentuk
(bunyi) dan makna yang dikandungnya. Bahasa- bahasa yang memiliki sejumlah kesamaan
seperti itu dianggap berasal dari bahasa asal atau bahasa proto yang sama. Apa yang
dilakukan dalam klasifikasi genetis ini sebenarnya sama dengan teknik yang dilakukan dalam
linguistik historis komparatif, yaitu adanya korespondensi bentuk (bunyi) dan makna. Oleh
karena itu, klasifikasi genetis bisa dikatakan merupakan hasil pekerjaan linguistik historis
komparatif. Klasifikasi genetis juga menunjukkan bahwa perkembangan bahasa- bahasa di
dunia ini bersifat divergensif, yakni memecah dan menyebar menjadi banyak, tetapi pada
masa mendatang karena situasi politik dan perkembangan teknologi komunikasi yang
semakin canggih, perkembangan yang konvergensif tampaknya akan lebih mungkin dapat
terjadi.
Klasifikasi Tipologis
Klasifikasi tipologis dilakukan berdasarkan kesamaan tipe atau tipe- tipe yang terdapat pada
sejumlah bahasa. Tipe ini merupakan unsur tertentu yang dapat timbul berulang- ulang dalam
suatu bahasa. Klasifikasi tipologi ini dapat dilakukan pada semua tataran bahasa. Maka hasil
klasifikasinya dapat bermacam- macam, akibatnya menjadi bersifat arbitrer karena tidak
terikat oleh tipe tertentu.
Klasifikasi pada tataran morfologi yang telah dilakukan pada abad XIX secara garis besar
dapat dibagi tiga kelompok, yaitu:
§ Kelompok pertama adalah yang semata- mata menggunakan bentuk bahasa sebagai dasar
klasifikasi. ( klasifikasi morfologi oleh Fredrich Von Schlegel)
§ Kelompok kedua adalah yang menggunakan akar kata sebagai dasar klasifikasi ( oleh Franz
Bopp).
§ Kelompok ketiga adalah yang menggunakan bentuk sintaksis sebagai dasar klasifikasi,
pakarnya antara lain H. Steinthal.
Pada abad XX ada juga pakar klasifikasi morfologi dengan prinsip yang berbeda, misalnya
yang dibuat Sapir (1921) dan J. Greenberg (1954).

Klasifikasi Areal
Klasifikasi areal dilakukan berdasarkan adanya hubungan timbal balik antara bahasa yang
satu dengan bahasa yang lain di dalam suatu areal atau wilayah, tanpa memperhatikan apakah
bahasa itu berkerabat secara genetik atau tidak. Klasifikasi ini bersifat arbitrer karena dalam
kontak sejarah bahasa- bahasa itu memberikan pengaruh timbal balik dalam hal- hal tertentu
yang terbatas. Klasifikasi inipun bersifat non ekhaustik, sebab masih banyak bahasa- bahasa
di dunia ini yang masih bersifat tertutup dalam arti belum menerima unsur- unsur luar. Selain
itu, klasifikasi inipun bersifat non unik, sebab ada kemungkinan sebuah bahasa dapat masuk
dalam kelompok tertentu dan dapat pula masuk ke dalam kelompok lainnya lagi. Usaha
klasifikasi ini pernah dilakukan oleh Wilhelm Schmidt (1868- 1954) dalam bukunya Die
Sprachfamilien und Sprachenkreise der Ende, yang dilampiri dengan peta.

Klasifikasi Sosiolinguistik
Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-
faktor yang berlaku dalam masyarakat, tepatnya berdasarkan status, fungsi, penilaian yang
diberikan masyarakat terhadap bahasa itu. Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan
oleh William A. Stuart tahun 1962 yang dapat kita baca dalam artikelnya “ An Outline of
Linguistic Typology for Describing Multilingualism”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan
empat ciri atau kriteria, yaitu :
1. historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau sejarah pemakaian bahasa
itu,
2. standardisasi berkenaan dengan statusnya sebagai bahasa baku atau tidak baku atau
statusnya dalam pemakaian formal atau tidak formal,
3. vitalitas berkenaan dengan apakah bahasa itu mempunyai penutur yang menggunakannya
dalam kegiatan sehari- hari secara aktif atau tidak,
4. homogenesitas berkenaan dengan apakah leksikon dan tata bahasa dari bahasa itu
diturunkan.

Dengan menggunakan keempat ciri di atas, hasil klasifikasi bisa menjadi ekshaustik sebab
semua bahasa yang ada di dunia dapat dimasukkan ke dalam kelompok- kelompok tertentu.
Tetapi hasil ini tidak unik sebab sebuah bahasa bisa mempunyai status yang berbeda.

BAHASA TULIS DAN SISTEM AKSARA


Dalam bagian yang terdahulu sudah disebutkan bahwa bahasa adalah sebuah sistem bunyi.
Jadi bahasa itu adalah apa yang dilisankan. Juga sudah disebutkan bahwa linguistik melihat
bahasa itu adalah bahasa lisan, bahasa yang diucapkan, bukan yang dituliskan. Namun
linguistik sebenarnya juga tidak menutup diri terhadap bahasa tulis, sebab apapun yang
berkenaan dengan bahasa adalah juga menjadi objek linguistik, padahal bahasa tulis dekat
sekali hubungannya denganm bahasa. Hanya masalahnya, linguistik juga punya prioritas
dalam kajiannya. Begitulah, maka bagi linguistik bahasa lisan adalah primer, sedangkan
bahasa tulis adalah sekunder. Bahasa lisan lebih dahulu daripada bahasa tulis. Malah saat ini
masih banyak bahasa di dunia ini yang belum punya tradisi tulis. Artinya, bahasa itu hanya
digunakan secara lisan, tetapi tidak secara tulisan. Dalam bahasa itu belum dikenal ragam
bahasa tulisan, yang ada hanya ragam bahasa lisan.
Bahasa tulis sebenarnya bisa dianggap sebagai “rekaman” bahasa lisan, sebagai usaha
manusia untuk “menyimpan” bahasanya atau untuk bisa disampaikan kepada orang lain yang
berada dalam ruang dan waktu yang berbeda. Namun, ternyata rekaman bahasa tulis sangat
tidak sempurna. Banyak unsur bahasa lisan, seperti tekanan, intonasi, dan nada yang tidak
dapat direkam secara sempurna dalam bahasa tulis, padahal dalam berbagai bahasa tertentu
tiga unsur itu sangat penting.
Apakah bahasa tulis itu sama dengan bahasa lisan, atau bagaimana? Meskipun dari awal
sudah disebutkan bahwa bahasa tulis sebenarnya tidak lain daripada rekaman bahasa lisan,
tetapi sesungguhnya ada perbedaan besar antara bahasa tulis dengan bahasa lisan. Bahasa tulis
bukanlah bahasa lisan yang dituliskan seperti yang terjadi kalau kita merekam bahasa lisan itu
ke dalam pita rekaman. Bahasa tulis sudah dibuat orang dengan pertimbangan dan pemikiran,
sebab kalau tidak hati- hati, tanpa pertimbangan dan pemikiran, peluang untuk terjadinya
kesalahan dan kesalahpahaman dalam bahasa tulis sangat besar, maka kesalahan itu tidak bisa
secara langsung diperbaiki. Berbeda dengan bahasa lisan. Dalam bahasa lisan setiap kesalahan
bisqa segera diperbaiki, lagipula bahasa lisan sangat dibantu oleh intonasi, tekanan, mimik,
dan gerak- gerik si pembicara.
Berbicara mengenai asal mula tulisan, hingga saat ini belum dapat dipastikan kapan manusia
mulai menggunakan tulisan. Ada cerita yang mengatakan bahwa tulisan itu ditemukan oleh
Cadmus, seorang pangeran dari Phunisia dan lalu membawanya ke Yunani. Dalam fable Cina
dikisahkan bahwa yang menemukan tulisan adalah T’sang Chien Tuhan bermata empat, dan
sebagainya. Para ahli dewasa ini memperkirakan tulisan itu berawal dan tumbuh dari gambar-
gambar yang terdapat dari gua-gua di Altamira di Spanyol Utara, dan di beberapa tempat lain.
Gambar- gambar itu dengan bentuknya yang sederhana secara langsung menyatakan maksud
atau konsep yang ingin disampaikan. Gambar- gambar ini disebut pictogram, dan sebagai
sistem tulisan disebut piktograf.
Beberapa waktu kemudian gambar- gambar piktogram itu benar- benar menjadi sistem tulisan
yang disebut piktograf. Dalam piktograf ini, satu huruf yang berupa satu gambar,
melambangkan satu makna atau satu konsep. Piktograf ini selanjutnya tidak lagi
menggambarkan benda yang dimaksud, tetapi telah digunakan untuk menggambarkan sifat
benda atau konsep yang berhubungan dengan benda itu. Piktograf yang menggambarkan
gagasan, ide, atau konsep ini disebut ideograf. Kemudian ideograf berubah menjadi lebih
sederhana, sehingga tidak tampak lagi hubungan langsung antara gambar dengan hal yang
dimaksud. Sistem demikian, yang menggambarkan suku kata disebut aksara silabis.
Lalu dalam perkembangannya, aksara silabis ini diambil alih oleh orang Yunani yang
kemudian mengembangkan tulisan yang bersifat alfabetis, yaitu dengan menggambarkan
setiap konsonan dan vocal dengan satu huruf. Selanjutnya, aksara Yunani ini diambil alih pula
oleh orang Romawi. Pada abad-abad pertama Masehi aksara Romawi ini (yang lazim disebut
aksara Latin) menyebar ke seluruh dunia. Tiba di Indonesia sekitar abad XVI bersamaan
dengan penyebaran agama Kristen oleh orang Eropa.
Jadi, sudah dikemukakan di atas adanya beberapa jenis aksara, yaitu aksara piktografis, aksara
ideografis, aksara silabis, dan aksara fonemis. Semua jenis aksara itu tidak ada yang bisa
“merekam” bahasa lisan secara sempurna. Banyak unsur bahasa lisan yang tidak dapat
digambarkan oleh aksara itu dengan tepat dan akurat. Alat pelengkap aksara yang ada untuk
menggambarkan unsur- unsur bahasa lisan hanyalah huruf besar untuk memulai kalimat,
koma untuk menandai jeda, titik untuk menandai akhir kalimat, tanda tanya untuk
menyatakan interogasi, tanda seru untuk menyatakan interjeksi, dan tanda hubung untuk
menyatakan penggabungan. Bahasa- bahasa di dunia ini dewasa ini lebih umum
menggunakan aksara Latin daripada aksara lain. Aksara Latin adalah aksara yang tidak
bersifat silabis. Jadi, setiap silabel akan dinyatakan dengan huruf vokal dan huruf konsonan.
Huruf vokal untuk melambangkan fonem vokal dan huruf konsonan untuk melambangkan
fonem konsonan dari bahasa yang bersangkutan. Hubungan antara fonem (yaitu satuan bunyi
terkecil yang dapat membedakan makna dalam suatu bahasa) dengan huruf atau grafem (yaitu
satuan unsur terkecil dalam aksara) ternyata juga bermacam- macam. Tidak sama antara
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, karena jumlah fonem yang ada dalam setiap
bahasa tidak sama dengan jumlah huruf yang tersedia dalam alphabet Latin itu.
Ada pendapat umum yang mengatakan bahwa ejaan yang ideal adalah ejaan yang
melambangkan tiap fonem hanya dengan satu huruf atau sebaliknya setiap huruf hanya
dipakai untuk melambangkan satu fonem. Jika demikian, ternyata ejaan bahasa Indonesia
belum seratus persen ideal, sebab masih ada digunakan gabungan huruf untuk melambangkan
sebuah fonem. Namun, tampaknya ejaan bahasa Indonesia masih jauh lebih baik daripada
ejaan bahasa Inggris.

TATARAN LINGUISTIK : FONOLOGI


Fonologi ialah bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari tata bunyi/kaidah bunyi dan cara
menghasilkannya. Mengapa bunyi dipelajari? Karena wujud bahasa yang paling primer
adalah bunyi. Bunyi adalah Getaran udara yang masuk ke telinga sehingga menimbulkan
suara.
Bunyi bahasa adalah bunyi yang dibentuk oleh tiga faktor, yaitu pernafasan (sebagai sumber
tenaga), alat ucap (yang menimbulkan getaran), dan rongga pengubah getaran (pita suara).
Fonologi dibedakan menjadi, fonetik dan fonemik. Didalam fonologi terdapat istilah fonem,
fon, dan alofon. Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang masih abstrak atau yang tidak
diartikulasikan. Fonem merupakan aspek bahasa pada aspek langue (istilah de Sausure),
misalnya /t/. /d/, /c/. Fon adalah realisasi dari fonem (parole), atau bunyi yang diartikulasikan
(diucapkan) misalnya {lari}. Alofon adalah perbedaan bunyi yang tidak
menimbulkan perbedaan makna, misalnya /i/ dan /I/ dalam /menangIs/.
Bunyi Vokal : bunyi yang tidak mengalami hambatan di daerah artikulator. Disebut juga
huruf hidup karena dapat berdiri sendiri dan dapat menghidupkan konsonan. Terdiri dari : a, i,
u, e, o. Diftong → au, ai, oi.
Fonetik
4.2 Klasifikasi vokal :
Berdasarkan bentuk bibir
· Vokal bulat → a, o, u
· Vokal lonjong → i, e
Berdasarkan tinggi rendah lidah
· Tinggi → i
· Tengah → e
· Bawah → a
Berdasarkan maju mundurnya lidah
· Depan → i, a
· Tengah → e
· Belakang → o
4.3 Bunyi Konsonan
Bunyi Konsonan adalah bunyi yang mengalami hambatan dalam pengucapan.
4.3.1. Pembentukan konsonan
a) Bilabial : pembentukan konsonan oleh 2 bibir. (b, p, m)
b) Apikodental : pembentukan konsonan oleh ujung lidah dan gigi (t, d, h)
c) Labiodental : pembentukan konsonan oleh gigi dan bibir (f, v)
d) Palatal : lidah – langit-langit keras (c, j)
e) Velar : belakang lidah – langit-langit lembut (k,g)
f) Hamzah (glottal stop) : posisi pita suara tertutup sama sekali.
g) Laringal : pita suara terbuka lebar, udara keluar melalui geseran.
4.4 Macam-macam bunyi bahasa
a. Bunyi Segmental
Bunyi segmental ialah bunyi yang dihasilkan oleh pernafasan, alat ucap dan pita suara. Bunyi
Segmental ada empat macam
1. Konsonan= bunyi yang terhambat oleh alat ucap
2. Vokal = bunyi yang tidak terhambat oleh alat ucap
3. Diftong= dua vokal yang dibaca satu bunyi, misalnya: /ai/ dalam sungai, /au/ dalam /kau/
4. Kluster= dua konsonan yang dibaca satu bunyi.
Contoh Kluster/Konsonan Rangkap
ng: yang
ny: nyonya
kh: khusus, khas, khitmad,
pr: produksi, prakarya, proses
kr: kredit, kreatif, kritis, krisis
sy: syarat, syah, syukur
str: struktur, strata, strategi
spr: sprai
tr : tradisi, tragedi, tragis, trauma, transportasi.

b. Bunyi Supra Segmental


Dalam suatu runtutan bunyi yang sambung-bersambung terus-menerus diselangseling dengan
jeda singkat atau agak singkat, disertai dengan keras lembut bunyi, tinggi rendah bunyi,
panjang pendek bunyi, ada bunyi yang dapat disegmentasikan yang disebut bunyi segmental.
1 . Tekanan atau Stres
Menyangkut masalah keras lunaknya bunyi.
2 . Nada atau Pitch
Berkenaan dengan tinggi rendahnya bunyi.
3 Jeda atau Persendian
Berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar.
Jeda antar kata, diberi tanda ( / )
Jeda antar frase, diberi tanda ( // )
Jeda antar kalimat, diberi tanda ( # )

Fonemik
Pengertian Fonemik
1. Fonetik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari bunyi bahasa secara umum,
tanpa memperhatikan makna, yang tidak bersifat fungsional, kajian bunyi bahasa
manapun. Sedangkan fonemik adalah bagian dari studi linguistik yang mempelajari
bahasa tertentu yang memperhatikan perbedaan makna.
2. Fonemisasi adalah salah satu prosedur atau cara menemukan fonem suatu bahasa.
Penemuan fonem suatu bahasa itu didasarkan pada data-data yang secara fonetis akurat.
Salah satu prosedur fonemisasi adalah “pasangan minimal” (minimal pairs). Pasangan
minimal, yaitu bentuk-bentuk bahasa yang terkecil dan bermakna dalam sebuah bahasa
yang secara ideal sama, kecuali satu bunyi yang tidak sama. Hasil dari fonemisasi dengan
prosedur pasangan minimal adalah ditemukannya suatu fonem, yaitu satuan bunyi yang
terkecil yang fungsional atau distingtif, dalam arti membedakan makna.
Asimilasi merupakan peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi lain sebagai akibat
dari bunyi yang ada di lingkungannya. Disimilasi yaitu perubahan dua buah fonem yang sama
menjadi fonem yang berlainan. Kontraksi adalah pemendekan bentuk ujaran yang ditandai
dengan hilangnya sebuah fonem atau lebih.

Fonem dan grafem


Fonem adalah satuan bunyi bahasa terkecil yang fungsional atau dapat membedakan makna
kata. Untuk menetapkan apakah suatu bunyi berstatus sebagai fonem atau bukan harus dicari
pasangan minimalnya.
Alofon merupakan realisasi sebuah fonem. Alofon dapat dilambangkan dalam wujud tulisan
atau transkripsi fonetik yaitu penulisan pengubahan menurut bunyi, dan tandanya adalah […].
Grafem merupakan pelambangan fonem ke dalam transkripsi ortografis, yaitu penulisan
fonem-fonem suatu bahasa menurut sistem ejaan yang berlaku pada suatu bahasa, atau
penulisan menurut huruf dan ejaan suatu bahasa.

TATARAN LINGUISTIK : MORFOLOGI


Identifikasi Morfem
Untuk menentukan bahwa sebuah satuan bentuk merupakan morfem atau bukan kita harus
membandingkan bentuk tersebut di dalam bentuk lain. Bila satuan bentuk tersebut dapat hadir
secara berulang dan punya makna sama, maka bentuk tersebut merupakan morfem. Dalam
studi morfologi satuan bentuk yang merupakan morfem diapit dengan kurung kurawal ({ })
kata kedua menjadi {ke} + {dua}.
Morf dan Alomorf
Morf adalah nama untuk semua bentuk yang belum diketahui statusnya. Sedangkan Alomorf
nama untuk bentuk bila sudah diketahui status morfemnya (bentuk-bentuk realisasi yang
berlainan dari morfem yang sama) .
Melihat . me-
Membawa . mem-
Menyanyi . meny-
Menggoda . meng-
Klasifikasi Morfem
Klasifikasi morfem didasarkan pada kebebasannya, keutuhannya, maknanya dan sebagainya.
Morfem bebas dan Morfem terikat
Morfem Bebas adalah morfem yang tanpa kehadiran morfem lain dapat muncul dalam
pertuturan. Sedangkan yang dimaksud dengan morfem terikat adalah morfem yang tanpa
digabung dulu dengan morfem lain tidak dapat muncul dalam pertuturan. Berkenaan dengan
morfem terikat ada beberapa hal yang perlu dikemukakan. Pertama bentuk-bentuk seperti :
juang, henti, gaul, dan , baur termasuk morfem terikat. Sebab meskipun bukan afiks, tidak
dapat muncul dalam petuturan tanpa terlebih dahulu mengalami proses morfologi. Bentuk
lazim tersebut disebut prakategorial. Kedua, bentuk seperti baca, tulis, dan tendang juga
termasuk prakategorial karena bentuk tersebut merupakan pangkal kata, sehingga baru
muncul dalam petuturan sesudah mengalami proses morfologi. Ketiga bentuk seperti : tua (tua
renta), kerontang (kering kerontang), hanya dapat muncul dalam pasangan tertentu juga,
termasuk morfem terikat. Keempat, bentuk seperti ke, daripada, dan kalau secara morfologis
termasuk morfem bebas. Tetapi secara sintaksis merupakan bentuk terikat. Kelima disebut
klitika. Klitka adalah bentuk singkat, biasanya satu silabel, secara fonologis tidak mendapat
tekanan, kemunculannya dalam pertuturan selalu melekat tetapi tidak dipisahkan .
Morfem Utuh dan Morfem Terbagi
Morfem utuh adalah morfem dasar, merupakan kesatuan utuh. Morfem terbagi adalah sebuah
morfem yang terdiri dari dua bagian terpisah. Catatan yang perlu diperhatikan dalam morfem
terbagi. Pertama, semua afiks disebut konfiks termasuk morfem terbagi. Untuk menentukan
konfiks atau bukan, harus diperhatikan makna gramatikal yang disandang. Kedua, ada afiks
yang disebut sufiks yakni yang disisipkan di tengah morfem dasar.
Morfem Segmental dan Suprasegmental
Morfem segmental adalah morfem yang dibentuk oleh fonem segmental. Morfem
suprasegmental adalah morfem yang dibentuk oleh unsur suprasegmental seperti tekanan,
nada, durasi.
Morfem beralomorf zero
Morfem beralomorf zero adalah morfem yang salah satu alomorfnya tidak berwujud bunyi
segmental maupun berupa prosodi melainkan kekosongan.
Morfem bermakna Leksikal dan Morfem tidak bermakna Leksikal
Morfem bermakna leksikal adalah morfem yang secara inheren memiliki makna pada dirinya
sendiri tanpa perlu berproses dengan morfem lain. Sedangkan morfem yang tidak bermakna
leksikal adalah tidak mempunyai makna apa-apa pada dirinya sendiri.
Morfem Dasar, Bentuk Dasar, Pangkal (stem), dan Akar(root)
Morfem dasar bisa diberi afiks tertentu dalam proses afiksasi bisa diulang dalam suatu
reduplikasi, bisa digabung dengan morfem lain dalam suatu proses komposisi. Pangkal
digunakan untuk menyebut bentuk dasar dari proses infleksi. Akar digunakan untuk menyebut
bentuk yang tidak dapat dianalisis lebih jauh.

TATARAN LINGUISTIK : SINTAKSIS


Kajian Sintaksis
Morfosintaksis yaitu gabungan dari morfologi dan sintaksis. Morfologi membicarakan tentang
struktur internal kata. Sintaksis membicarakan tentang hubungan kata dengan kata lain.
Struktur Sintaksis
Struktur sintaksis ada tiga yaitu fungsi sintaksis, kategori sintaksis, dan peran sintaksis.
Dalam fungsi sintaksis ada hal-hal penting yaitu subjek, predikat, dan objek. Dalam kategori
sintaksis ada istilah nomina, verba, adjektiva, dan numeralia. Dalam peran sintaksis ada istilah
pelaku, penderita, dan penerima. Menurut Verhaar (1978), fungsi-fungsi S, P, O, dan K
merupakan kotak kosong yang diisi kategori dan peranan tertentu.
Contohnya: Kalimat aktif: Nenek melirik kakek tadi pagi.
SPOK
pelaku sasaran
Kalimat pasif: Kakek dilirik nenek tadi pagi.
SPOK
sasaran pelaku
Agar menjadi kalimat berterima, maka fungsi S dan P harus berurutan dan tidak disisipi kata
di antara keduanya. Struktur sintaksis minimal mempunyai fungsi subjek dan predikat seperti
pada verba intransitif yang tidak membutuhkan objek.
Contohnya: Kakek makan.
Verba transitif selalu membutuhkan objek.
Contohnya: Nenek membersihkan kamarnya.
Menurut Djoko Kentjono(1982), hadir tidaknya fungsi sintaksis tergantung konteksnya.
Contohnya: Kalimat seruan: Hebat!
Kalimat jawaban: Sudah!
Kalimat perintah: Baca!
Fungsi-fungsi sintaksis harus diisi kategori-kategori yang sesuai. Fungsi subjek diisi kategori
nomina, fungsi predikat diisi kategori verba, fungsi objek diisi kategori nomina, dan fungsi
keterangan diisi kategori adverbia.
Contohnya: Dia guru.(salah) Dia adalah guru.(benar)
SOSPO
Kata “adalah” pada kalimat tersebut merupakan verba kopula, seperti to be pada bahasa
Inggris.
- Berenang menyehatkan tubuh.
SPO
Kata “berenang” menjadi berkategori nomina karena yang dimaksud adalah pekerjaan
berenangnya. Peran dalam struktur sintaksis tergantung pada makna gramatikalnya. Kata yang
bermakna pelaku dan penerima tetap tidak berubah walaupun kata kerja yang aktif diganti
menjadi pasif. Pelaku berarti objek yang melakukan pekerjaan. Penerima berarti objek yang
dikenai pekerjaan. Makna pelaku dan sasaran merupakan makna gramatikal. Eksistensi
struktur sintaksis terkecil ditopang oleh urutan kata, bentuk kata, dan intonasi. Perbedaan
urutan kata dapat menimbulkan perbedaan makna.
Contohnya: tiga jam – jam tiga.
Nenek melirik kakek. – Kakek melirik nenek.
Dalam kalimat aktif transitif mempunyai kendala gramatikal yaitu fungsi predikat dan objek
tidak dapat diselipi kata keterangan.
Contohnya: Nenek melirik tadi pagi kakek.(salah)
Intonasi merupakan penekanan. Perbedaan intonasi juga menimbulkan perbedaan makna.
Intonasi ada tiga macam yaitu intonasi deklaratif untuk kalimat bermodus deklaratif atau
berita dengan tanda titik, intonasi interogatif dengan tanda tanya, dan intonasi interjektif
dengan tanda seru. Intonasi juga dapat berupa nada naik atau tekanan.
Contohnya: Kucing / makan tikus mati.
Kucing makan tikus / mati.
Kalimat tersebut sudah berbeda makna karena tafsiran gramatikal yang berbeda yang disebut
ambigu atau taksa. Konektor bertugas menghubungkan konstituen satu dengan yang lain.
dilihat dari sifatnya, ada dua macam konektor. Konektor koordinatif menghubungkan dua
konstituen sederajat. Konjungsinya seperti dan, atau, dan tetapi. Contohnya: Nenek dan kakek
pergi ke sawah. Konektor subordinatif menghubungkan dua konstituen yang tidak sederajat.
Konjungsinya seperti kalau, meskipun, dan karena. Contohnya: Kalau diundang, saya tentu
akan datang.
Frase
Frase adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas
fungsi. Misalnya: akan datang, kemarin pagi, yang sedang menulis.
Dari batasan di atas dapatlah dikemukakan bahwa frase mempunyai dua sifat, yaitu
a. Frase merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih.
b. Frase merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi unsur klausa, maksudnya
frase itu selalu terdapat dalam satu fungsi unsur klausa yaitu: S, P, O, atau K.
Macam-macam frase:
A. Frase endosentrik
Frase endosentrik adalah frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Frase
endosentrik dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu:
1. Frase endosentrik yang koordinatif, yaitu: frase yang terdiri dari unsur-unsur yang
setara, ini dibuktikan oleh kemungkinan unsur-unsur itu dihubungkan dengan kata
penghubung.
Misalnya: kakek-nenek : pembinaan dan pengembangan
laki bini : belajar atau bekerja
2. Frase endosentrik yang atributif, yaitu frase yang terdiri dari unsur-unsur yang tidak
setara. Karena itu, unsur-unsurnya tidak mungkin dihubungkan.
Misalnya: perjalanan panjang
hari libur
Perjalanan, hari merupakan unsur pusat, yaitu: unsur yang secara distribusional sama dengan
seluruh frase dan secara semantik merupakan unsur terpenting, sedangkan unsur lainnya
merupakan atributif.
3. Frase endosentrik yang apositif: frase yang atributnya berupa aposisi/ keterangan
tambahan.
Misalnya: Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai.
Dalam frase Susi, anak Pak Saleh secara sematik unsur yang satu, dalam hal ini unsur anak
Pak Saleh, sama dengan unsur lainnya, yaitu Susi. Karena, unsur anak Pak Saleh dapat
menggantikan unsur Susi. Perhatikan jajaran berikut:
Susi, anak Pak Saleh, sangat pandai
Susi, …., sangat pandai.
…., anak Pak Saleh sangat pandai.
Unsur Susi merupakan unsur pusat, sedangkan unsur anak Pak Saleh merupakan aposisi (Ap).
B. Frase Eksosentrik
Frase eksosentrik ialah frase yang tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya.
Misalnya:
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di dalam kelas.
Frase di dalam kelas tidak mempunyai distribusi yang sama dengan unsurnya. Ketidaksamaan
itu dapat dilihat dari jajaran berikut:
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong di ….
Siswa kelas 1A sedang bergotong royong …. kelas
C. Frase Nominal, frase Verbal, frase Bilangan, frase Keterangan.
1. Frase Nominal: frase yang memiliki distributif yang sama dengan kata nominal.
Misalnya: baju baru, rumah sakit
2. Frase Verbal: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan golongan kata verbal.
Misalnya: akan berlayar
3. Frase Bilangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata bilangan.
Misalnya: dua butir telur, sepuluh keping
4. Frase Keterangan: frase yang mempunyai distribusi yang sama dengan kata keterangan.
Misalnya: tadi pagi, besok sore
5. Frase Depan: frase yang terdiri dari kata depan sebagai penanda, diikuti oleh kata atau
frase sebagai aksinnya.
Misalnya: di halaman sekolah, dari desa
D. Frase Ambigu
Frase ambigu artinya kegandaan makna yang menimbulkan keraguan atau mengaburkan
maksud kalimat. Makna ganda seperti itu disebut ambigu.
Misalnya: Perusahaan pakaian milik perancang busana wanita terkenal, tempat mamaku
bekerja, berbaik hati mau melunaskan semua tunggakan sekolahku.
Frase perancang busana wanita dapat menimbulkan pengertian ganda:
1. Perancang busana yang berjenis kelamin wanita.
2. Perancang yang menciptakan model busana untuk wanita.

Klausa
Klausa adalah satuan gramatika yang terdiri dari subjek (S) dan predikat (P) baik disertai
objek (O), dan keterangan (K), serta memilki potensi untuk menjadi kalimat. Misalnya:
banyak orang mengatakan.
Unsur inti klausa ialah subjek (S) dan predikat (P).
Penggolongan klausa:
1. Berdasarkan unsur intinya
2. Berdasarkan ada tidaknya kata negatif yang secara gramatik menegatifkan predikat
3. Berdasarkan kategori kata atau frase yang menduduki fungsi predikat
Kalimat
a. Pengertian
Kalimat adalah satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang mengandung pikiran
yang lengkap dan punya pola intonasi akhir.
Contoh: Ayah membaca koran di teras belakang.
b. Pola-pola kalimat
Sebuah kalimat luas dapat dipulangkan pada pola-pola dasar yang dianggap menjadi dasar
pembentukan kalimat luas itu.
1. Pola kalimat I = kata benda-kata kerja
Contoh: Adik menangis. Anjing dipukul.
Pola kalimat I disebut kalimat ”verbal”
2. Pola kalimat II = kata benda-kata sifat
Contoh: Anak malas. Gunung tinggi.
Pola kalimat II disebut pola kalimat ”atributif”
3. Pola kalimat III = kata benda-kata benda
Contoh: Bapak pengarang. Paman Guru
Pola pikir kalimat III disebut kalimat nominal atau kalimat ekuasional. Kalimat ini
mengandung kata kerja bantu, seperti: adalah, menjadi, merupakan.
4. Pola kalimat IV (pola tambahan) = kata benda-adverbial
Contoh: Ibu ke pasar. Ayah dari kantor.
Pola kalimat IV disebut kalimat adverbial
Jenis Kalimat
A. Kalimat inti dan kalimat non inti.
Kalimat inti disebut juga kalimat dasar, adalah kalimat yang dibentuk dari klausa inti yang
lengkap bersifat deklaratif, aktif atau netral dan afirmatif. Dalam bahasa Indonesia paling
tidak kalimat inti kita dapati dengan pola sebagai berikut :
FN + FV = Nenek datang
FN + FV + FN = Nenek membaca komik
FN + FV + FN + PN = Nenek membacakan kakek komik
FN + FN = Nenek dokter
FN + FA = Nenek cantik
FN + Fnum = Uangnya dua juta
FN + FP = Uangnya di dompet
B. Kalimat tunggal dan kalimat majemuk
Kalimat tunggal : klausanya hanya satu
Kalimat majemuk : klausa dalam kalimat terdapat lebih dari satu
Macam-macam kalimat majemuk :
1) Kalimat majemuk koordinatif.
2) Kalimat majemuk subordinatif
3) Kalimat majemuk kompleks.
C. Kalimat mayor dan kalimat minor
Kalimat mayor : klausanya lengkap, minimal mempunyai subjek dan predikat
Kalimat minor : klausanya tidak lengkap, hanya terdiri dari S/P/O/K saja.
D. Kalimat verbal dan kalimat non verbal
E. Kalimat bebas dan kalimat terikat.

Wacana
a. Pengertian Wacana
Wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan
satuan gramatikal tertinggi dan terbesar.
Sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep,
gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis)
atau pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Sebagai satuan gramatikal
tertinggi atau terbesar, wacana dibentuk dari kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan
gramatikal, dan persyaratan kewacanaan lainnya. Persyaratan gramatikal dapat dipenuhi kalau
dalam wacana itu sudah terbina kekohesifan, yaitu adanya keserasian hubungan antara unsur-
unsur yang ada dalam wacana sehingga isi wacana apik dan benar.
b. Alat Wacana
Alat-alat gramatikal yang dapat digunakan untuk membuat sebuah wacana menjadi kohesif,
antara lain: Pertama, konjungsi, yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian
kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf. Kedua, menggunakan kata ganti dia,
nya, mereka, ini, dan itu sebagai rujukan anaforis sehingga bagian kalimat yang sama tidak
perlu diulang melainkan menggunakan kata ganti. Ketiga, menggunakan elipsis, yaitu
penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain.
Selain dengan upaya gramatikal, sebuah wacana yang kohesif dan koheren dapat juga dibuat
dengan bantuan berbagai aspek semantik, antara lain: Pertama, menggunakan hubungan
pertentangan pada kedua bagian kalimat yang terdapat dalam wacana itu. Kedua,
menggunakan hubungan generik – spesifik; atau sebaliknya spesifik – generik. Ketiga,
menggunakan hubungan perbandingan antara isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua
buah kalimat dalam satu wacana. Keempat, menggunakan hubungan sebab – akibat di antara
isi kedua bagian kalimat; atau isi antara dua buah kalimat dalam satu wacana. Kelima,
menggunakan hubungan tujuan di dalam isi sebuah wacana. Keenam, menggunakan
hubungan rujukan yang sama pada dua bagian kalimat atau pada dua kalimat dalam satu
wacana.
c. Jenis Wacana
Berkenaan dengan sasarannya, yaitu bahasa lisan atau bahasa tulis, dilihat adanya wacana
lisan dan wacana tulis.
Dilihat dari penggunaan bahasa apakah dalam bentuk uraian ataukah bentuk puitik dibagi
wacana prosa dan wacana puisi. Selanjutnya, wacana prosa, dilihat dari penyampaian isinya
dibedakan menjadi wacana narasi, wacana eksposisi, wacana persuasi dan wacana
argumentasi.
d. Subsatuan Wacana
Dalam wacana berupa karangan ilmiah, dibangun oleh subsatuan atau sub-subsatuan wacana
yang disebut bab, subbab, paragraf, atau juga subparagraf. Namun, dalam wacana –wacana
singkat sub-subsatuan wacana tidak ada.

TATARAN LINGUISTK : SEMANTIK


Kajian Semantik
Status tataran semantik dengan tataran fonologi, morfologi dan sintaksis adalah tidak sama.
Semantik dengan objeknya yakni makna, berada di seluruh tataran, yaitu berada di tataran
fonologi, morfologi dan sintaksis. Makna yang menjadi objek semantik sangat tidak jelas, tak
dapat diamati secara empiris, sehingga semantik diabaikan. Tetapi, pada tahun 1965,
Chomsky menyatakan bahwa semantik merupakan salah satu komponen dari tata bahasa dan
makna kalimat sangat ditentukan oleh semantik ini.
Hakikat Makna
Menurut de Saussure, setiap tanda linguistik atau tanda bahasa terdiri dari 2 komponen, yaitu
komponen signifian (yang mengartikan) yang berwujud runtunan bunyi, dan komponen
signifie (yang diartikan) yang berwujud pengertian atau konsep (yang dimiliki signifian).
Menurut teori yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, makna adalah pengertian atau
konsep yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Jika tanda linguistik tersebut
disamakan identitasnya dengan kata atau leksem, berarti makna adalah pengertian atau konsep
yang dimiliki oleh setiap kata atau leksem. Jika disamakan dengan morfem, maka makna
adalah pengertian atau konsep yang dimiliki oleh setiap morfem, baik morfem dasar maupun
morfem afiks.
Di dalam penggunaannya dalam pertuturan yang nyata, makna kata atau leksem itu seringkali
terlepas dari pengertian atau konsep dasarnya dan juga acuannya. Banyak pakar menyatakan
bahwa kita baru dapat menentukan makna sebuah kata apabila kata itu sudah berada dalam
konteks kalimatnya. Pakar itu juga mengatakan bahwa makna kalimat baru dapat ditentukan
apabila kalimat itu berada di dalam konteks wacananya atau konteks situasinya. Bahasa
bersifat arbiter, sehingga hubungan antara kata dan maknanya juga bersifat arbiter.
Jenis Makna
a. Makna Leksikal, Gramatikal dan Kontekstual
Makna leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem meski tanpa konteks
apapun. Dapat juga dikatakan bahwa makna leksikal adalah makna yang sebenarnya, sesuai
dengan hasil observasi indera kita atau makna apa adanya. Makna gramatikal adalah makna
yang ada jika terjadi proses gramatikal seperti afiksasi, reduplikasi, komposisi atau
kalimatisasi. Makna kontekstual adalah makna sebuah leksem atau kata yang berada di dalam
satu konteks. Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasinya, yakni tempat, waktu
dan lingkungan penggunaan bahasa itu.
b. Makna Referensial dan Non-referensial
Sebuah kata atau leksem dikatakan bermakna referensial jika ada referensnya atau acuannya.
Ada sejumlah kata yang disebut kata diektik, yang acuannya tidak menetap pada satu wujud.
Misalnya : kata-kata pronominal seperti, dia, saya dan kamu.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh
sebuah leksem. Makna denotatif sebenarnya sama dengan makna leksikal. Makna konotatif
adalah makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif yang berhubungan dengan nilai
rasa dari orang yang menggunakan kata tersebut. Konotasi sebuah kata bisa berbeda antara
seseorang dengan orang lain.
d. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Leech (1976) membagi makna menjadi menjadi makna konseptual dan makna asosiatif.
Makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem terlepas dari konteks atau
asosiasi apapun. Makna konseptual sebenarnya sama dengan makna leksikal, deotatif dan
makna referensial. Makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah leksem atau kata
bahasa. Makna asosiasi sama dengan perlambangan yang digunakan oleh suatu masyarakat
bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan sifat, keadaaan atau ciri-
ciri yang ada pada leksem tersebut. Makna konotatif termasuk dalam makna asosiatif, karena
kata-kata tersebut berasosiasi dengan nilai rasa terhadap kata itu. Makna stilistika berkenaan
dengan perbedaan penggunaan kata sehubungan dengan perbedaan sosial atau bidang
kegiatan. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara terhadap lawan bicara atau
terhadap objek yang dibicarakan. Makna kolokatif berkenaan dengan ciri-ciri makna tertentu
yang dimiliki sebuah kata dengan kata-kata yang bersinonim.
e. Makna Kata dan Makna Istilah
Pada awalnya, makna yang dimiliki oleh sebuah kata adalah makna leksikal, denotatif atau
makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas jika kata
itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Istilah mempunyai
makna yang pasti, jelas, tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu,
istilah sering dikatakan bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks.
f. Makna Idiom dan Peribahasa
Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna unsur-
unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Idiom terbagi atas idiom penuh dan
idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsurnya telah melebur menjadi satu
kesatuan. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang salah satu unsurnya masih memiliki
makna leksikal sendiri. Peribahasa memilliki makna yang masih dapat ditelusuri dari makna
unsurnya karena adanya “asosiasi” antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa.
Relasi Makna
Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan
yang lain.
a. Sinonim
Yaitu hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan
ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Dua buah ujaran yang bersinonim maknanya tidak akan
sama persis. Ketidaksamaan itu terjadi karena faktor :
1. Faktor waktu
2. Faktor tempat atau wilayah
3. Faktor keformalan
4. Faktor sosial
5. Faktor bidang kegiatan
6. Faktor nuansa makna
b. Antonim
Yaitu hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan
kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
c. Polisemi
Yaitu kata yang mempunyai makna lebih dari satu. Dalam kasus polisemi, biasanya makna
pertama adalah makna sebenarnya, yang lain adalah maknamakna yang dikembangkan
berdasarkan salah satu komponen makna yang dimiliki kata atau satuan ujaran itu. Oleh
karena itu, makna-makna pada sebuah kata atau satuan ujaran yang polisemi ini masih
berkaitan satu dengan yang lain.
d. Homonim
Yaitu dua buah kata atau satuan ujaran yang bentuknya “kebetulan” sama dan maknanya
berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Pada
kasus homonim ada dua istilah lain yang biasa dibicarakan, yaitu homofon dan homograf.
Homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran, tanpa memperhatikan
ejaannya. Homograf adalah bentuk ujaran yang ortografinya dan ejaannya sama, tetapi ucapan
dan maknanya berbeda. Perbedaan antara homonim dengan polisemi adalah bahwa homonim
yaitu dua buah bentuk ujaran atau lebih yang “kebetulan” bentuknya sama, dan maknanya
berbeda, sedangkan polisemi yaitu sebuah bentuk ujaran yang memiliki makna lebih dari satu.
Dengan demikian jelas bahwa antara keduanya tidak punya hubungan sama sekali.
e. Hiponimi
Yaitu hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna
bentuk ujaran yang lain. Relasi hiponimi bersifat searah.
f. Ambiguitas atau Ketaksaan
Yaitu gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda.
Ketaksaan terjadi dalam bahasa tulis akibat perbedaan gramatikal karena ketiadaan unsur
lisan, karena ketidakcermatan dalam menyusun konstruksi beranaforis. Perbedaan homonim
dengan ambiguiti adalah bahwa homonim yaitu dua buah bentuk atau lebih yang kebetulan
bentuknya sama, sedangkan ambiguitas adalah sebuah bentuk dengan dua tafsiran makna atau
lebih. Perbedaan polisemi dengan ambiguitas adalah bahwa polisemi biasanya hanya pada
tataran kata, dan makna-makna yang dimilikinya yang lebih dari satu itu, sedangkan ambiguiti
adalah satu bentuk ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu sebagai akibat perbedaan
tafsiran gramatikal.
g. Redudansi
Yaitu kata yang berlebih-lebihan yang menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk
ujaran.

Perubahan Makna
Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah, tetapi secara diakronis
ada kemungkinan dapat berubah. Dalam masa yang relative singkat, makna sebuah kata tidak
akan berubah, tetapi dalam waktu yang relative lama ada kemungkinan makna tersebut akan
berubah. Ini tidak berlaku untuk semua kosakata, tetapi hanya terjadi pada sebuah kata saja,
yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain :
1. Perkembangan dalam bidang ilmu dan teknologi
2. Perkembangan sosial budaya
3. Perkembangan pemakaian kata
4. Pertukaran tanggapan indera (sinestesia)
5. Adanya asosiasi

SEJARAH DAN ALIRAN LINGUISTIK


Linguistik Tradisional
Sejarah Linguistik dimulai dari linguistik tradisional,Tata bahasa tradisional menganalisis
bahasa berdasarkan filsafat dan semantik; sedangkan tata bahasa struktural berdasarkan
struktur atau ciri-ciri formal yang ada dalam suatu bahasa tertentu.Misalnya dalam
merumuskan kata kerja, tata bahasa tradisional mengatakan kata kerja adalah kata yang
menyatakan tindakan atau kejadian; sedangkan tata bahasa struktural menyatakan kata kerja
adalah kata yang dapat berdistribusi dengan frase “dengan . . . .”.
Dalam perkembangannya di dalam aliran linguistik tradisional dikenal linguistik zaman
Yunani. Sejarah studi bahasa pada zaman Yunani ini sangat panjang, yaitu dari lebih kurang
abad ke-5 S.M sampai lebih kurang abad ke 2 M. Masalah pokok kebahasaan yang menjadi
pertentangan pada linguis pada waktu itu adalah pertentangan antara bahasa bersifat alami
(fisis) dan bersifat konvensi (nomos). Bersifat alami atau fisis maksudnya bahasa itu
mempunyai hubungan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti
di luar manusia itu sendiri. kaum naturalis adalah kelompok yang menganut faham itu,
berpendapat bahwa setiap kata mempunyai hubungan dengan benda yang ditunjuknya. Atau
dengan kata lain, setiap kata mempunyai makna secara alami, secara fisis. Sebaliknya
kelompok lain yaitu kaum konvensional, berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi,
artinya, makna-makna kata itu diperoleh dari hasil-hasil tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang
mempunyai kemungkinan bisa berubah.
Selanjutnya yang menjadi pertentangan adalah antara analogi dan anomali. Kaum analogi
antara lain Plato dan Aristoteles, berpendapat bahwa bahasa itu bersifat teratur. Karena
adanya keteraturan itulah orang dapat menyusun tata bahasa. Jika tidak teratur tentu yang
dapat disusun hanya idiom-idiom saja dari bahasa itu. Sebaliknya, kelompok anomali
berpendapat bahwa bahasa itu tidak teratur. Kalau bahasa itu tidak teratur mengapa bentuk
jamak bahasa Inggris child menjadi children, bukannya childs; mengapa bentuk past tense
bahasa Inggris dari write menjadi wrote dan bukannya writed ?
Kelompok-kelompok yang termasuk dalam aliriran ini adalah Kaum Sophis (abad ke-5 S.M),
Plato (429-347 S.M),Aristoteles (384-322 S.M),Kaum Stoik (Abad ke- 4S.M), Kaum
Alexandrian.
Kemudian dikenallingistik zaman Romawi. Studi bahasa pada zaman Romawi dapat dianggap
kelanjutan dari zaman Yunani, sejalan dengan jatuhnya Yunani dan munculnya kerajaan
Romawi. Tokoh pada zaman romawi yang terkenal antara lain, Varro (116 – 27 S.M) dengan
karyanya De Lingua Latina dan Priscia dengan karyanya Institutiones Grammaticae.
Lalu, linguistik zaman Pertengahan.Studi bahasa pada zaman pertengahan di Eropa mendapat
perhatian penuh terutama oleh para filsuf skolastik, dan bahasa Latin menjadi Lingua Franta,
karena dipakai sebagai bahasa gereja, bahasa diplomasi, dan bahasa ilmu pengetahuan.
Berikutnya, linguistik zaman Renaisans. Dalam sejarah studi bahasa ada dua hal pada zaman
renaisans ini yang menonjol yang perlu dicatat, yaitu :
1) Selain menguasai bahasa Latin, sarjana-sarjana pada waktu itu juga menguasai bahasa
Yunani, bahasa Ibrani, dan bahasa Arab.
2) Selain bahasa Yunani, Latin, Ibrani, dan Arab, bahasa-bahasa Eropa lainnya juga
mendapat perhatian dalam bentuk pembahasan, penyusunan tata bahasa dan malah juga
perbandingan.
Dan yang terakhir yang termasuk ke dalam linguistik tradisional adalah masa menjelang
lahirnya linguistik modern. Dalam masa ini ada satu tonggak yang sangat penting dalam
sejarah studi bahasa, yaitu dinyatakan adanya hubungan kekerabatan antara bahasa Sanskerta
dengan bahasa-bahasa Yunani, Latin dan bahasa-bahasa Jerman lainnya. Dalam pembicaraan
mengenai linguistik tradisional di atas, maka secara singkat dapat dikatakan, bahwa :
a) Pada tata bahasa tradisional ini tidak dikenal adanya perbedaan antara bahasa ujaran
dengan bahasa tulisan;
b) Bahasa yang disusun tata bahasanya dideskripsikan dengan mengambil patokan-patokan
dari bahasa lain, terutama bahasa Latin;
c) Kaidah-kaidah bahasa dibuat secara prekriptif, yakni benar atau salah;
d) Persoalan kebahasaan seringkali dideskripsikan dengan melibatkan logika;
e) Penemuan-penemuan atau kaidah-kaidah terdahulu cenderung untuk selalu dipertahankan.
Linguistik Strukturalis
1. Ferdinand de Saussure
Ferdinand de saussure (1857-1913) dianggap sebagai bapak linguistik modern, pandangannya
dimuat dalam buku course de linguistique generle. Beliau mengemukakan teori bahwa setiap
tanda linguistik (signe) dibentuk oleh dua buah komponen yang tidak terpisahkan, yaitu
komponen signifiant (bentuk) dan komponen signifie (makna)
2. Aliran praha (terbentuk tahun 1926)
Tokohnya Vilem Mathesius. Aliran praha inilah yang pertama-tama membedakan tegas akan
fonetik dan fonolog.
3. Aliran glosematik lahir di Denmark.
Tokohnya Louis Hjemslev beliau terkenal karena usaha untuk membuat ilmu bahasa menjadi
ilmu yang berdiri sendiri.
4. Aliran firthian
Tokohnya R. Firth (1890-1960) beliau terkenal karena teorinya mengenai fonologi prosodi.
Fonologi prosodi adalah suatu cara untuk menentukan arti pada tataran fonetis. Fonologi
prosodi terdiri dari satuan-satuan fonematis dan satuan prosodi
5. Aliran linguistik sistemik
Tokohnya M.A.K Halliday belaiu mengembangkan teori Fith mengenai bahasa khususnya
yang berkenaan dengan segi kemasyarakatan bahasa. Pokok-pokok pandangannya antara
variasinya pemberian bahasa tertentu berserta variasinya mengenai adanya gradasi dan
kontinum.
6. Aliran tagmemik
Tokohnya Kenneth L. Pike, menurut aliran ini satuan dasar dari sintaksis adalah tagmen.
Yang dimaksud tagmen adalah bentuk kata yang dapat saling dipertukarkan untuk mengisisi
slot tertentu.

Linguistik Tranformasional dan Aliran-aliran Sesudahnya


Dunia ilmu termasuk linguistik, bukan merupakan kegiatan yang statis, melainkan merupakan
kegiatan yang dinamis, berkembang terus menerus sesuai dengan filsafat ilmu itu sendiri yang
selalu mencari kebenaran yang hakiki.

Tata Bahasa Transformasi


Ahli linguistik yang cukup produktif dalam membuat buku adalah Noam Chomsky. Sarjana
inilah yang mencetuskan teori transformasi melalui bukunya Syntactic Structures (1957),
yang kemudian disebut classical theory. Dalam perkembangan selanjutnya, teori transformasi
dengan pokok pikiran kemampuan dan kinerja yang dicetuskannya melalui Aspects of the
Theory of Syntax (1965) disebut standard theory. Karena pendekatan teori ini secara sintaktis
tanpa menyinggung makna (semantik), teori ini disebut juga sintaksis generatif (generative
syntax). Pada tahun 1968 sarjana ini mencetuskan teori extended standard theory. Selanjutnya
pada tahun 1970, Chomsky menulis buku generative semantics; tahun 1980 government and
binding theory; dan tahun 1993 Minimalist program.
Setiap tata bahasa dari suatu bahasa, menurut Chomsky adalah merupakan teori dari bahasa
itu sendiri; dan tata bahasa itu harus memenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kalimat yang dihasilkan oleh tata bahasa itu harus dapat diterima oleh pemakai bahasa
tersebut, sebagai kalimat yang wajar dan tidak dibuat-buat.
2) Tata bahasa tersebut harus berbentuk sedemikian rupa, sehingga satuan atau istilah yang
digunakan tidak berdasarkan pada gejala bahasa tertentu saja, dan semuanya ini harus sejajar
dengan teori linguistik tertentu.
Semantik Generatif
Menjelang dasawarsa tujuh puluhan beberapa murid dan pengikut Chomsky, antara lain
Pascal, Lakoff, Mc Cawly, dan Kiparsky, sebagai reaksi terhadap Chomsky, memisahkan diri
dari kelompok Chomsky dan membentuk aliran sendiri. Kelompok Lakoff ini, kemudian
terkenal dengan sebutan kaum Semantik generatif.
Menurut semantik generatif, sudah seharusnya semantik dan sintaksis diselidiki bersama
sekaligus karena keduanya adalah satu.
Tata Bahasa Kasus
Tata bahasa kasus atau teori kasus pertama kali diperkenalkan oleh Charles J. Fillmore dalam
karangannya berjudul “The Case for Case” tahun 1968 yang dimuat dalam buku Bach, E. dan
R. Harms Universal in Linguistic Theory, terbitan Holt Rinehart and Winston.
Dalam karangannya yang terbit tahun 1968 itu Fillmore membagi kalimat atas (1) modalitas,
yang bisa berupa unsur negasi, kala, aspek, dan adverbia; dan (2) proposisi, yang terdiri dari
sebuah verba disertai dengan sejumlah kasus. Yang dimaksud dengan kasus dalam teori ini
adalah hubungan antara verba dengan nomina.
Tata Bahasa Relasional
Tata bahasa relasional muncul pada tahun 1970-an sebagai tantangan langsung terhadap
beberapa asumsi yang paling mendasar dari teori sintaksis yang dicanangkan oleh aliran tata
bahasa transformasi.
Tentang Linguistik Di Indonesia
Hingga saat ini bagaimana studi linguistik di Indonesia belum ada catatan yang lengkap,
meskipun studi linguistik di Indonesia sudah berlangsung lama dan cukup semarak. Pada
awalnya penelitian bahasa di Indonesia dilakukan oleh para ahli Belanda dan Eropa lainnya,
dengan tujuan untuk kepentingan pemerintahan kolonial. Pendidikan formal linguistik di
fakultas sastra (yang jumlahnya juga belum seberapa) dan di lembaga-lembaga pendidikan
guru sampai akhir tahun lima puluhan masih terpaku pada konsep-konsep tata bahasa
tradisional yang sangat bersifat normatif. Perubahan baru terjadi, lebih tepat disebut
perkenalan dengan konsep-konsep linguistik modern. Pada tanggal 15 November 1975, atas
prakarsa sejumlah linguis senior berdirilah organisasi kelinguistikan yang diberi nama
Masyarakat Linguistik Indonesia (MLI). Anggotanya adalah para linguis yang kebanyakan
bertugas sebagai pengajar di perguruan tinggi negeri atau swasta dan di lembaga-lembaga
penelitian kebahasaan. Penyelidikan terhadap bahasa-bahasa daerah Indonesia dan bahasa
nasional Indonesia, banyak pula dilakukan orang di luar Indonesia. Misalnya negeri Belanda,
London, Amerika, Jerman, Rusia, dan Australia banyak dilakukan kajian tentang bahasa-
bahasa Indonesia. Sesuai dengan fungsinya sebagai bahasa nasional, bahasa persatuan, dan
bahasa negara maka bahasa Indonesia tampaknya menduduki tempat sentral dalam kajian
linguistik dewasa ini, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Pelbagai segi dan aspek
bahasa telah dan masih menjadi kajian yang dilakukan oleh banyak pakar dengan
menggunakan pelbagai teori dan pendekatan sebagai dasar analisis. Dalam kajian bahasa
nasional Indonesia, di Indonesia tercatat nama-nama seperti Kridalaksana, Kaswanti Purwo,
Dardjowidjojo, dan Soedarjanto, yang telah menghasilkan tulisan mengenai pelbagai segi dan
aspek bahasa Indonesia.
Ringkasan Materi Linguistik Umum Semester Satu
Kata linguistik berasal dari bahasa latin “lingua” yang berarti bahasa. Dalam bahasa Inggris “linguistics”

sedangkan dalam bahasa jerman “lingustique”. Jadi linguistik adalah ilmu tentang bahasa.

Perbedaan linguistik umum dengan spesipik yaitu:

a. linguistik Mikro yaitu sifat telaahnya sempit/internal, karena khusus mengkaji bahasa tersebut tanpa

mengkaitkannya dengan bahasa lain/hanya mengkaji bahasa itu sendiri

b. linguistik Makro yaitu sifat telaahnya luas/eksternal, karena mengkaji bahasa dibubuhkannya dengan

disiplin ilmu yang lain.

Ciri-ciri keilmuan linguistik terdiri dari:

1. Eksplisit yaitu jelas,tidak bermakna ganda, serta menyeluruh/ajeg dan yang pasti konsisten atau

tetap. Contoh: me + siram = menyiram

2. Sistematik yaitu memiliki aturan atau pola.

3. Objektif yaitu apa adanya, sesuai dengan kenyataan.

Objek linguistik yaitu:

1. Lisan (objek primer) yang artinya ujaran, ucapan, karena bahasa lisan objektif /apa adanya.

2. Tulisan (objek sekunder) karena bersifat subjektif, maksudnya yang terlihat dan terbaca contoh buku.

Hakikat bahasa yaitu:

a. bahasa berwujud deretan bunyi yang bersistem

b. bahasa sebagai alat (instrumentalis), atau mengganti

c. bahasa bersipat individual

d. bahasa bersipat kooperatif.

Ahli linguistik Perancis “Ferdinand de sawssure” dalam Bukunya “Cours de linguistique general”

mengungkapkan 3 istilah linguistic yang terkenal yaitu:

1. Langage yang artinya bahasa pada umumnya (abstrak, bahasa milik manusia).

2. Langue yamg artinya bahasa tertentu yaitu bahasa nasional /sistem tersendiri.

3. Parole yang artinya ujaran, ucapan, yaitu konkret (menurut logatnya, (individu) ).

-Tautan paradigmatik artinya hubungan yang terdapat didalam bahasa namun tidak tampak dalam

satuan kalimat.

-Tautan sintagmatik artinya hubungan yang terdapat antara satuan bahasa didalam kalimat yang

konkret tertentu.

Tahap-tahap proses berkomunikasi yaitu secara:

1. Verbal yaitu komunikasi yang menjadikan bahasa sebagai sarananya.

2. Non verbal yaitu komunikasi yang menggunakan non bahasa. Sebagai contoh; lonceng, bedug, warna,

bendera.

Jenis-jenis linguistik yaitu:

a. Jenis linguistik berdasarkan pembidangnya yaitu:


1. Jenis linguistik umum (general linguitics) artinya ilmu yang mempelajari bahasa secara keseluruhan.

Maksudnya adalah suatu jenis linguistik yang mengkaji cirri-ciri bahasa secara umum. Contoh; morfologi,

fonologi, semantic, sintaksis.

2. Linguistik terapan (Applaid linguistics) yaitu satu jenis linguistic yang berusaha menerapkan hasil

penelitian dalam bidang linguistic untuk keperluan praktis, yang dimaksudkan untuk kepentingan proses

bahasa sehari-hari. (untuk memecahkan persoalan berbahasa).

3. Linguistik Teoretis yang artinya sebuah jenis linguistic yang meneliti/mengkaji bahasa itu sendiri saja

4. Sejarah linguistik yang artinya uraian kronologis tentang perkembangan bahasa dari masa ke masa.

b. Linguistik berdasarkan sifat telaahnya yaitu:

1. Linguistik mikro artinya linguistik yang sifat telaahnya sempit/internal.

2. Linguistik makro artinya linguistik yang sifat telaahnya uas/eksternal.(mengkaji bahasa

dibubuhkannya dengan disiplin ilmu yang lain.

c. Linguistik berdasarkan pendekatan objek yaitu:

1. Linguistik Deskriptif artinya linguistik yang menggambarkan bahasa apa adanya pada saat penelitian

dilangsungkan. Dan mempunyai cirri khusus ; menggambarkan apa adanya , menjelaskan apa adanya.

2. Linguistik Historis Komparatif artinya jenis linguistik yang membandingkan dua bahasa/lebih pada

waktu yang berbeda.

3. Linguistik Kontranstif artinya jenis linguistik yang membatasi diri pada perbandingan dua bahasa/lebih

tapi pada waktu tertentu/satu zaman/satu periode.

4. Linguistik Sinkronis artinya Jenis linguistik yang mempelajari satu bahasa pada satu waktu/satu

periode.

5. Linguistik Diakronis artinya jenis linguistik yang mempelajari satu bahasa dari/pada masa ke masa.

Tataran Linguistik terdiri dari 4 tahapan yaitu:

1. Fonologi adalah ilmu yang menyelidiki cirri-ciri bunyi bahasa, cara terjadinya, dan fungsinya dalam

sistem kebahasaan secara keseluruhan. Contoh; -fonem (satuan terkecil dari bunyi bahasa) ;

/L/,/r/,/b/,/t/

2. Morfologi adalah ilmu yang mempelajari /menyelidiki bentuk-bentuk kata, perubahan kata,

pembentukan kata dan perubahan makna kata akibat terjadinya proses perubahan bentuk kata.

Objek kajian dari morfologi adalah; morfem, stem, kata.

Contoh morfem; baca (di + baca = dibaca)

Kuda (ber + kuda = berkuda)

3. Sintaksis adalah ilmu yang mempelajari tata kalimat (ilmu bahasa yang membicarakan seluk-beluk

wacana, kalimat, klausa, dan frase.

-frase ialah dua buah kata /satuan gramatik yang terdiri atas dua buah kata atau lebih yang tidak

melampui satu batas unsur fungsional klausa/kalimat. Contoh; buku itu dibaca, frasenya adalah buku
itu.

(S) (P)

-klausa ialah satuan gramatik yang terdiri atas subjek, predikat,dan boleh disertai dengan objek

pelengkap dan keterangan.

Contoh; Saya membaca buku diperpustakaan

(S) (P) (O) (K)

-kalimat ialah satuan gramatik yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai naik turunnya nada

akhir.

Contoh; Sekarang kita harus melompat

Melompat?

-wacana ialah satuan gramatik yang bergantung pada cirri konteks atau situasinya.

Contoh; 1. Matahari Jakarta serasa di ubun-ubun

2. Ratusan pemuda bergoyang dalam irama jazz

Artinya; membangun koherensi dengan syarat pembaca harus membayangkan mengenai maksud dari

kalimat tersebut (ada konser musik jazz saat cuaca panas dan para penontonnya bergoyang.)

3. Semantik ialah cabang sistematik bahasa yang mempelajari makna atau arti.

Contoh; 1. Saya membeli jagung (arti jagung disini yaitu makanan)

Umurnya hanya seumur jagung (artinya umurnya pendek).

Unsur-unsur bahasa terdiri dari:

1. bentuk (form)

2. makna (meaning)

maksunya: lambang ____ makna ____ acuan

form ____ meaning ___ referent

Kuda, sebagaimana kita ketahui bahwa Kuda dapat kita maknai sebagai:

-sejenis binatang

-berkaki empat

-berkuku ganjil

-menyusui

-pemakan rumput, dsb.

Sifat-sifat bahasa terdiri dari:

a. bahasa merupakan seperangkat bunyi , bunyi itu bersistem dan dikeluarkan oleh alat bicara manusia.

b. bahasa itu arbiter artinya; hubungan antara bunyi dan wujudnya yang berwujud benda, atau konsep

bersifat manasuka.

c. bahasa adalah seperangkat alat lambang, karena bunyi yang dihasilkan oleh alat bicara manusia itu

berwujud lambang.

d. bahasa bersifat sempurna maksudnya; bahwa bahasa membawakan amanahnya sebagai wahana
komunikasi.

e. bahasa itu produktif artinya; meskipun unsur bahasa itu terbatas tetapi dengan unsur yang jumlahnya

terbatas itu terdapat satuan-satuan bahasa yang jumlahnya tidakm terbatas meski secara relative sesuai

dengan sistem yang berlaku dalam bahasa itu.

f. bahasa itu unik artinya; mempunyai ciri khas yang spesifik yang tidak dimiliki oleh orang lain.

g. bahasa itu universal artinya; bersifat menyeluruh, yakni setiap bahasa yang dimiliki di dunia ini

mempunyai sifat/ciri dari masing-masing.

h. bahasa itu manusia artinya; dapat dipakai untuk menyatakan sesuatu yang baru berbeda dengan alat

komunikasi binatang.

Teori dan aliran-aliran dalam linguistik

a. Teori Tradisional; yang mendasarkan pada analisis makna. Yaitu:

1. Aliran Struktural (aliran taksonomi) ; aliran ini melihat bahasa dari segi strukturnya.

2. Aliran Skopenhagen; aliran ini memperkenalkan istilah glissematics dalam linguistik.

3. Aliran Praha; aliran ini membahas mengenai hubungan antara fonem dan cirri-ciri pembeda

(distinctive features).

b. Teori Tagmemik; ada dua hal diantaranya:

1. perbedaan antara epic dan emic

2. hirearki tagmemik

c. Teori Stratifikasi; teori ini menganggap bahwa bahasa merupakan sistem yang berhubungan

d. Teori Konteks; inti dari teori konteks yaitu:

- makna tidak terdapat pada unsur-unsur lepas yang berwujud kata, tetapi terpadu pada ujaran secara

keseluruhan.

- makna tidak boleh ditafsirkan secara dualis(kata dan acuan)/secara trialis(kata,acuan,tafsiran), tetapi

makna merupakan satu fungsi /tugas yang terpadu dalam tutur yang dipengaruhi oleh situasi.; yaitu:

Aliran Transformasi (The mit school); menurut teori ini setiap manusia menggunakan bahasa yang

tercermin dalam kalimat-kalimat.

f. Teori Semantik Generatif (Abstract Syntax); yakni berpendapat bahwa struktur semantik dan struktur

sintaksis bersifat homogen.untuk menggabungkannya cukup digambarkan oleh satu jenis kaidah, yakni

transformasi.

g. Teori Kasus; ialah hubungan antara verba dan nomina dalam struktur semantik, yakni verba identik

dengan predikat, dan nomina identik dengan argument dalam semantik generatif, hanya argument diberi

label kasus.

Anda mungkin juga menyukai