Anda di halaman 1dari 19

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
segala rahmat, karunia dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun berdasarkan hasil dari berbagai sumber yang kami
dapatkan baik itu dari buku, jurnal maupun makalah yang sudah ada. Makalah ini
membahas tentang “Nilai Kebenaran Pengetahuan Sains”.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kesalahan dan
kekurangan dalam menyusun makalah ini, karena kami masih dalam tahap belajar.
Untuk itu kami mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya.
Terima kasih.

Palu, 26 Februari 2018

Kelompok 5

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………………….… i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………...…. 3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….. 4
1.3 Tujuan……………………………………………………………………….. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Manusia………………………………………………………...…... 5
2.2 Teori Kebenaran……………………………………………………………... 7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………. 18
3.2 Saran……………………………………………………………………….. 18
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………. 19

ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia yang pada dasarnya hewan memiliki banyak sifat yang serupa
denganmakhluk lain. Meski demikian ada seperangkat perbedaan antara manusia
dengan makhluklain yang tidakdisamai, yang menganugrahi keunggulan pada diri
manusia( Muthahhari,1992:62).Kenyataan seperti ini terkadang membuat manusia
mempunyai versiyang berbeda dalam fikirannya. Sesuatu saat manusia akan
berfikir bahwa merekamerupakan salah satu anggota margasatwa ( Animal
kingdom). Disaat lain dia juga akanmerasa warga dunia idea dan nilai ( Anshari,
1992:6). Pandangan seperti itulah yang padaakhirnya akan memperlihatkan
keberadaan manusia secara utuh, bahwa mereka adalahpencari kebenaran. Dengan
adanya akal, membuat manusia selalu ingin tahu tentang apapun.Untuk memenuhi
rasa ingin tahu itu manusia menggunakan jalur pendidikan. Melalui pendidikan
manusia memperoleh berbagai ilmu baru dan dapat mengembangkan ilmu tersebut.
Filsafat merupakan cabang ilmu pengetahuan yang selalu menggunakan
pemikiranmendalam, luas, radikal (sampai keakar-akarnya), dan berpegang pada
kebijakansanaandalam melihat suatu problem. Dengan kata lain, filsafat selalu
mencoba mencari hakikat ataumaksud dibalik adanya sesuatu tersebut. Dalam
makalah ini, kami mencoba membahassedikit tentang hakekat manusia dilihat dari
segi filsafat (menyeluruh). Sebenarnya untuk apamanusia hidup, bagaiman ia harus
hidup, dan lain-lain. Yang nantinya, dengan melihathakekat manusia tersebut, apa
kaitanya dengan proses pendidikan. Mengingat manusiamerupakan makhluk yang
istimewa dan tidak akan pernah cukup membahas tentang manusiayang luas hanya
dengan satu makalah, maka kami sangat mengharap saran dan kritikan
yangmembangun dari peserta ketika nanti dalam makalah ini terdapat banyak
kesalahan (baukpernyataan maupun penulisan) atau masih ada yang belum lengkap
(kurang).
Dalam lintas sejarah, manusia dalam kehidupannya senantiasa disibukkan
oleh berbagai pernyataan mendasar tentang dirinya. Berbagai jawaban yang bersifat
spekulatif coba diajukan oleh para pemikir sepanjang sejarah dan terkadang
jawaban-jawaban yang diajukan saling kontradiktif satu dengan yang lainnya.
Perdebatan mendasar yang sering menjadi bahan diskusi dalam sejarah kehidupan
manusia adalah perdebatan seputar sumber dan asal usul pengetahuan dan
kebenaran. Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran, beberapa cara
ditempuh untuk memenuhi kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio
seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-
pengalaman yang diperoleh manusia membuat prinsip-prinsip yang lewat penalaran
rasional agar kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Proses
pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan

3
proses yang sangat melelahkan bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan
keputusan. Sering kali dengan dalih sebuah kebenaran seseorang atau kelompok
akan menghalalkan tindakan terhadap orang lain karena dianggap sudah melakukan
tindakan yang benar. Kebenaran tidak mungkin berdiri sendiri jika tidak ditopang
dengan dasar-dasar penunjangan, baik pernyataan, teori keterkaitan, konsistensi,
keterukuran, dapat dibuktikan, berfungsi, dan bersifat netral atau tidak netral,
bahkan apakah kebenaran bersifat tentatif atau sepanjang masa? Untuk mengetahui
hal itu pemakalah akan membahas seputar kriteria kebenaran ilmiah berserta
dengan teori-teori digunakan untuk menguji kebenaran ilmiah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian filsafat itu?
2. Bagaimanakah hakikat manusia dalam pandangan filsafat?
3. Bagaimanakah pandangan ilmu pengetahuan tentang hakikat manusia?
4. Apa Pengertian kebenaran dan tingkatan-tingkatannya?
5. Bagaimana Hubungan metode dengan kebenaran ilmu pengetahuan?
6. Apa Teori-teori kebenaran filsafat ilmu?
7. Bagaimana Sifat dan tingkatan kebenaran ilmu?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui arti filsafat
2. Untuk mengetahui hakikat manusia dalam pandangan filsafat
3. Untuk mengetahui pandangan ilmu pengetahuan tentang hakikat manusia
4. Agar mahasiswa mampu mengetahui pengertian dan tingkatan-tingkatan
kebenaran ilmu pengetahuan.
5. Agar mahasiswa dapat menjelaskan apa saja hubungan metode dengan
kebenaran ilmu pengetahuan.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang teori-teori kebenaran ilmu
pengetahuan.
7. Mahasiswa mampu menjabarkan apa saja tingkatan-tingkatan dan sifat-
sifat kebenaran ilmu pengetahuan.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Hakikat Manusia
Sebelum lebih jauh membahas tentang hakekat manusia dalam pandangan
filsafat, izinkan penulis sedikit memaparkan tentang pengertian filsafat itu sendiri
terlebih dahulu. Secara etimologis, filsafat berakar dari bahasa Yunani yaitu
phillein yang berarti cinta, dan shopia yang berarti kebijaksanaan. Jadi filsafat
adalah “cinta kebijaksanaan”. Kemudian dari pendekatan etimologis tersebut, dapat
disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai pengetahuan, akar dari
pengetahuan atau pengetahuan yang terdalam.
Secara terminologis, banyak sekali pendapat-pendapat yang berkenaan
dengan pengertian filsafat. Tidak ada pengertian yang secara pasti, tetapi berikut
beberapa pengertian yang penulis dapat dari beberapa sumber. Filsafat adalah ilmu
pengetahuan yang amat luas (komprehensif) yang berusaha untuk memahami
persoalan-persoalan yang timbul didalam keseluruhan ruang lingkup pengalaman
manusia. Filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh tentang
hakekat kebenaran sesuatu.
Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami,
mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai
ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut.
1. Hakikat Manusia dalam Pandangan Filsafat
Sebagaimana telah sedikit di utarakan di awal tadi, manusia merupakan
makhluk yang sangat unik. Upaya pemahaman hakekat manusia sudah
dilakukan sejak dahulu. Namun, hingga saat ini belum mendapat pernyataan
yang benar-benar tepat dan pas, dikarenakan manusia itu sendiri yang memang
unik, antara manusia satu dengan manusia lain berbeda-beda. Bahkan orang
kembar identik sekalipun, mereka pasti memiliki perbedaaan. Mulai dari fisik,
ideologi, pemahaman, kepentingan dll. Semua itu menyebabkan suatu
pernyataan belum tentu pas untuk di amini oleh sebagian orang.
Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sebutan kepada manusia sesuai
dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini;
a. Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi,
b. Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir,
c. Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan
bahasa danmenjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata
yang tersusun,
d. Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai
membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang
yang pandai membuat alat.

5
e. Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama,
bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
f. Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada
prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis.
g. Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama. Dr. M.
J. Langeveld seorang tokoh pendidikan bangsa Belanda, memandang
manusia sebagai Animal Educadum dan Animal Educable, yaitu manusia
adalah makhluk yang harus dididik dan dapat dididik. Oleh karena itu,
unsur rohaniah merupakan syarat mutlak, terlaksananya program-program
pendidikan. Aliran Dualisme. Aliran ini menganggap bahwa manusia itu
pada hakekatnya terdiri dari dua substansi, yaitu jasmani dan rohani.
Aliran ini melihat realita semesta sebagai sintesa kedua kategori animate
dan inanimate, makhluk hidup dan benda mati. Demikian pula manusia
merupakan kesatuan rohani dan jasmani, jiwa dan raga.
Misalnya ada persoalan: dimana letaknya mind (jiwa, rasio) dalam pribadi
manusia. Mungkin jawaban umum akan menyatakan bahwa ratio itu terletak
pada otak. Akan tetapi akan timbul problem, bagaiman mungkin suatu
immaterial entity (sesuatu yang non-meterial) yang tiada membutuhkan ruang,
dapat ditempatkan pada suatu materi (tubuh jasmani) yang berada pada ruang
wadah tertentu. Jadi, aliran ini meyakini bahwa sesungguhnya manusia tidak
dapat dipisahkan antara zat/raga dan ruh/jiwa. Karena pada hakekatnya
keduanya tidak dapat dipisahkan. Masing-masing memiliki peranan yang sama-
sama sangat vital. Jiwa tanpa ruh ia akan mati, ruh tanpa jiwa ia tidak dapat
berbuat apa-apa. Dalam pendidikan pun, harus memaksimalkan kedua unsur ini,
tidak hanya salah satu saja karena keduanya sangat penting.

2. Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia


Hampir semua disiplin itu pengetahuan dalam bahasannya berusaha
menyelidiki dan dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Secara
khusus tujuan-tujuan pendidikan adalah memahami dengan mendalam tentang
hakekat manusia itu sendiri. Aritoteles (384-32 SM) mengatakan bahwa
manusia itu adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya yang
berbicara berdasarkan akal pikirannya ( Zaini dan ananto, 1986 :4) hal itu tentu
saja dengan tetap menilai seperangkat perbedaan antara manusia dengan hewan
itu secara umum. Manusia selalu menjadi objek penelitian dalam berbagai
disiplin ilmu, seperti antropologi, sosiologi, psikologi dan lain-lain. Mengapa
kehidupan manusia itu diperhatikan, yaitu :
a. Manusia merupakan makhluk yang memiliki kemampuan dan mempunyai
hal istimewa sampai batas-batas tertentu dan memiliki tugas menyelidiki
segala sesuatu secara mendalam.
b. Manusia selalu memikirkan dan bertanya tentang segala hal dan ingin
mengetahuinya.
c. Setiap manusia mempunyai tanggung jawab untuk mengerti terhadap
dirinya maupun terhadap orang lain dalam kehidupan.
Hakekat manusia sebagai subjek didik adalah :

6
1. Manusia bertanggung jawab atas pendidikannya sesuai wawasan
pendidikan seumur hidup.
2. Manusia punya potensi baik fisik maupun psikis yang berbeda-beda.
3. Manusia adalah insan yang aktif
Eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu ( dan seharusnya)
dimengerti untuk pemikiran selanjutnya. Untuk itu, adalah sangat penting
membangun manusia yang sanggup melakukan pembangunan diniawi, yang
mempunyai arti bagi hidup pribadi diakherat kelak. Dengan kata lain, usaha
ilmu tersebut dalam rangka pembinaanmanusia ideal merupakan progarm
utama dalam pendidikan modern ( pendidikan yang lebih maju) pada masa-
masa sekarang ini.
2.2 Teori Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau
martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu
kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa dilepaskan dari makna
dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan dimanfaatkan oleh
manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah melalui tahap-
tahap metode ilmiah.
Kriteria ilmiah dari suatu ilmu memang tidak dapat menjelaskan fakta dan
realitas yang ada. Apalagi terhadap fakta dan kenyataan yang berada dalam lingkup
religi ataupun yang metafisika dan mistik, ataupun yang non ilmiah lainnya. Di
sinilah perlunya pengembangan sikap dan kepribadian yang mampu meletakkan
manusia dalam dunianya. Penegasan di atas dapat kita pahami karena apa yang
disebut ilmu pengetahuan diletakkan dengan ukuran, pertama, pada dimensi
fenomenalnya yaitu bahwa ilmu pengetahuan menampakkan diri sebagai
masyarakat, sebagai proses dan sebagai produk. Kedua, pada dimensi strukturalnya,
yaitu bahwa ilmu pengetahuan harus terstruktur atas komponen-komponen, obyek
sasaran yang hendak diteliti (begenstand), yang diteliti atau dipertanyakan tanpa
mengenal titik henti atas dasar motif dan tata cara tertentu, sedang hasil-hasil
temuannya diletakkan dalam satu kesatuan system.
Tampaknya anggapan yang kurang tepat mengenai apa yang disebut ilmiah
telah mengakibatkan pandangan yang salah terhadap kebenaran ilmiah dan
fungsinya bagi kehidupan manusia. Ilmiah atau tidak ilmiah kemudian
dipergunakan orang untuk menolak atau menerima suatu produk pemikiran
manusia.
Maksud dari hidup ini adalah untuk mencari kebenaran. Tentang kebenaran
ini, Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak
bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah
kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya
(dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidak benaran
(keburukan).
Dalam bahasan, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna
“kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun
langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya
merupakan pendekatan. Kebenaran intelektual yang ada pada ilmu bukanlah suatu

7
efek dari keterlibatan ilmu dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran
merupakan ciri asli dari ilmu itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu
secara netral, tak bermuara, dapat melunturkan pengertian kebenaran sehingga ilmu
terpaksa menjadi steril. Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya
harus diperkuat oleh kesadaran terhadap berakarnya kebenaran.
Selaras dengan Poedjawiyatna yang mengatakan bahwa persesuaian antara
pengatahuan dan obyeknya itulah yang disebut kebenaran. Artinya pengetahuan itu
harus yang dengan aspek obyek yang diketahui. Jadi pengetahuan benar adalah
pengetahuan obyektif.
Meskipun demikian, apa yang dewasa ini kita pegang sebagai kebenaran
mungkin suatu saat akan hanya pendekatan kasar saja dari suatu kebenaran yang
lebih jati lagi dan demikian seterusnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dengan
keberadaan manusia yang transenden,dengan kata lain, keresahan ilmu bertalian
dengan hasrat yang terdapat dalam diri manusia. Dari sini terdapat petunjuk
mengenai kebenaran yang trasenden, artinya tidak henti dari kebenaran itu terdapat
diluar jangkauan manusia.Kebenaran dapat dikelompokkan dalam tiga makna:
kebenaran moral, kebenaran logis, dan kebenaran metafisik. Kebenaran moral
menjadi bahasan etika, ia menunjukkan hubungan antara yang kita nyatakan dengan
apa yang kita rasakan. Kebenaran logis menjadi bahasan epistemologi, logika, dan
psikologi, ia merupakan hubungan antara pernyataan dengan realitas objektif.
Kebenaran metafisik berkaitan dengan yang-ada sejauh berhadapan dengan
akalbudi, karena yang ada mengungkapkan diri kepada akal budi. Yang ada
merupakan dasar dari kebenaran, dan akalbudi yang menyatakannya.
1. Hubungan antara metode dengan kebenaran
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu
kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya tahapan-tahapan yang harus
dilalui untuk memperoleh pengetahuan ilmiah. Secara metafisis kebenaran ilmu
bertumpu pada objek ilmu, melalui penelitian dengan dukungan metode serta
sarana penelitian maka diperoleh suatu pengetahuan. Semua objek ilmu benar
dalam dirinya sendiri, karena tidak ada kontradiksi di dalamnya. Kebenaran dan
kesalahan timbul tergantung pada kemampuan menteorikan fakta.
Bangunan suatu pengetahuan secara epistemologis bertumpu pada suatu
asumsi metafisis tertentu, dari asumsi metafisis ini kemudian menuntut suatu
cara atau metode yang sesuai untuk mengetahui objek. Dengan kata lain metode
yang dikembangkan merupakan konsekuensi logis dari watak objek. Oleh
karena itu pemaksaan standard tunggal pengetahuan dengan paradigma
(metode, dan kebenaran) tertentu merupakan kesalahan, apapun alasannya,
apakah itu demi kepastian maupun objektivitas suatu pengetahuan. Secara
epistemologis kebenaran adalah kesesuaian antara apa yang diklai sebagai
diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya yang menjadi objek pengetahuan.
Kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang
diketahui subjek dan realitas sebagaimana adanya.
Setiap tradisi epistemologi beranggapan bahwa kebenaran suatu
pengetahuan dapat diperoleh berkat metode yang dipergunakannya, adapun
metode-meode tersebut adalah sebagai berikut :

8
a. Empirisme
Empirisme sangat menghargai pengamatan empiris dan cara kerja
Empirisme bertitik tolak dari adanya dualitas antara pengenal dan apa yang
dikenal. Mereka menginginkan agar apa yang terdapat dalam pengetahuan
pengenal bersesuaian dengan kenyataan yang ada di luarnya. Mereka
memberi peran yang besar pada objek yang mau dikenal, sedang pengenal
bersifat pasif. Teori Kebenaran Korespondensi adalah sarana bagi mereka
untuk menguji hasil pengetahuan, menurut teori ini suatu pernyataan
dikatakan benar bila sesuai dengan fakta empiri yang menjadi objeknya.
Menurut Abbas, teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang
paling awal, sehingga dapat digolongkan ke dalam teori kebenaran
tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad Modern)
mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan yang
diketahuinya.
Kelemahan teori kebenaran korespondensi ialah munculnya kekhilafan
karena kurang cermatnya penginderaan, atau indera tidak normal lagi.
Disamping itu teori kebenaran korespondensi tidak berlaku pada
objek/bidang nonempiris atau objek yang tidak dapat diinderai. Kebenaran
dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, ia harus didukung oleh
fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam pembentukan objektivanya.
Kebenaran yang benar-benar lepas dari kenyataan subjek.
b. Rasionalisme
Spinoza dan Hegel amat menekankan pada pengenal dibanding dengan
apa yang dikenal sebagai suatu kenyataan, mereka adalah tokoh yang
menekankan dibangunnya pengetahuan yang bersifat a priori sebagaimana
ilmu falak dan mekanika. Ilmu falak dan mekanika tidak bisa memakai
kenyataan objektif untuk mendukung pernyataan-pernyataan teoritisnya,
karena menurutnya ilmu cukup bertumpu pada kerangka teoritis yang
bersifat a priori. Mereka menggunakan Teori Kebenaran Koherensi dalam
menguji produk pengetahuannya. Teori Kebenaran Koherensi
berpandangan bahwa suatu pernyataan dikatakan benar bila terdapat
kesesuaian antara pernyatan satu dengan pernyataan terdahulu atau lainnya
dalam suatu sistem pengetahuan yang dianggap benar.
Sebab sesuatu adalah anggota dari suatu sistem yang unsur-unsurnya
berhubungan secara logis. Teori kebenaran koherensi tergolong dalam teori
kebenaran yang tradisional. Selain melalui hubungan gagasaan-gagasan
secara logis-sistemik, ada beberapa cara pembuktian dalam berpikir
rasional, yaitu melalui hukum-hukum logika dan perhitungan matematis.
Kebenaran koherensi mempunyai kelemahan mendasar, yaitu terjebak pada
penekanan validitas, teorinya dijaga agar selalu ada koherensi internal.
Suatu pernyataan dapat benar dalam dirinya sendiri, namun ada
kemungkinan salah jika dihubungkan dengan pernyataan lain di luar
sistemnya. Hal ini bisa mengarah pada relativisme pengetahuan. Misal pada
jaman Pertengahan ilmu bertumpu pada mitos dan cerita rakyat, kebenaran
argumen tidak pernah bertumpu pada pengalaman dunia luar.

9
c. Induktivisme
Induktivisme berpendapat bahwa pengetahuan ilmiah bertolak dari
observasi, dan observasi memberikan dasar yang kokoh untuk membangun
pengetahuan ilmiah di atasnya, sedangkan pengetahuan ilmiah disimpulkan
dari keterangan-keterangan observasi yang diperoleh melalui induksi. Hal
itu berarti bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah pengetahuan yang telah
dibuktikan, melainkan pengetahuan yang probabel benar. Makin besar
jumlah observasi yang membentuk dasar suatu induksi, dan makin besar
variasi kondisi di mana observasi dilakukan, maka makin besarlah pula
probabilitas hasil generalisasi itu benar. Namun kebenaran ilmu akan
mundur menuju kearah probabilitas. Kebenaran yang bertumpu pada pola
induksi adalah selalu dalam kemungkinan, dengan kata lain produk ilmu
bersifat tentatif, ia benar sejauh belum ada data yang menunjukkan
pengingkaran terhadap teori.
2. Teoti-Teori Kebenaran
Ilmu pengetahuan terkait erat dengan pencarian kebenaran, yakni
kebenaran ilmiah. Ada banyak yang termasuk pengetahuan manusia, namun
tidak semua hal itu langsung kita golongkan sebagai ilmu pengetahuan.
Hanya pengetahuan tertentu, yang diperoleh dari kegiatan ilmiah, dengan
metode yang sistematis, melalui penelitian, analisis dan pengujian data
secara ilmiah, yang dapat kit sebut sebagai ilmu pengetahuan. Dalam
sejarah filsafat, terdapat beberapa teori tentang kebenaran, antara lain :
a. Teori Kebenaran Korespondensi (Teori persesuaian)
Ujian kebenaran yang dinamakan teori korespondensi adalah paling
diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran
adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality).
Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta
itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
pertimbangan itu berusaha untuk melukiskan, karena kebenaran
mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu.
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan
yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan
obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Misalnya jika seorang
mahasiswa mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau Jawa” maka
pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan itu dengan obyek yang
bersifat faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di
pulau Jawa. Sekiranya orang lain yang mengatakan bahwa “kota
Yogyakarta berada di pulau Sumatra” maka pernnyataan itu adalah tidak
benar sebab tidak terdapat obyek yang sesuai dengan pernyataan terebut.
Dalam hal ini maka secara faktual “kota Yogyakarta bukan berada di pulau
Sumatra melainkan di pulau Jawa”.
Menurut teori koresponden, ada atau tidaknya keyakinan tidak
mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan, oleh
karena atau kekeliruan itu tergantung kepada kondisi yag sudah ditetapkan

10
atau diingkari. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka
pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah.
Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran
sebagai persesuaian bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang
dikatakan dengan kenyataan. Jadi suatau pernyataan dianggap benar jika
apa yang dinyatakan memiliki keterkaitan (correspondence) dengan
kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran adalah soal kesesuaian antara apa yang
diklaim sebagai diketahui dengan kenyataan yang sebenarnya. Benar dan
salah adalah soal sesuai tidaknya apa yang dikatakan dengan kenyataan
sebagaimana adanya. Atau dapat pula dikatakan bahwa kebenaran terletak
pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek
dan realitas sebagaimana adanya. Kebenaran sebagai persesuaian juga
disebut sebagai kebenaran empiris, karena kebenaran suatu pernyataan
proposisi, atau teori, ditentukan oleh apakah pernyataan, proposisi atau
teori didukung fakta atau tidak.
Suatu ide, konsep, atau teori yang benar, harus mengungkapkan
relaitas yang sebenarnya. Kebenaran terjadi pada pengetahuan.
Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai
dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu. Oleh karena itu, bagi teori
ini, mengungkapkan realitas adalah hal yang pokok bagi kegiatan ilmiah.
Dalam mengungkapkan realitas itu, kebenaran akan muncul dengan
sendirinya ketika apa yang dinyatakan sebagai benar memang sesuai
dengan kenyataan.
Masalah kebenaran menurut teori ini hanyalah perbandingan antara
realita oyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang
ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati
subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu
benar. Teori korespodensi (corespondence theory of truth), menerangkan
bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada
kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/ dimaksud oleh pernyataan atau pendapat
tersebut. Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang
berselaran dengan realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan
demikian ada lima unsur yang perlu yaitu :
 Statemaent (pernyataan)
 Persesuaian (agreemant)
 Situasi (situation)
 Kenyataan (realitas)
 Putusan (judgements)

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran


dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya plato,
aristotels dan moore dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas
Aquinas di abad skolatik, serta oleh Berrand Russel pada abad moderen.

11
b. Teori Kebenaran Konsistensi/Koherensi (teori keteguhan)
Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar. Artinya pertimbangan adalah benar jika
pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika. Misalnya, bila
kita menganggap bahwa “semua manusia pasti akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si Hasan seorang manusia
dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua
adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa
karena kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau
kesesuaiannya dengan pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana
dengan kebenaran pernyataan tadi? Jawabannya, kebenarannya ditentukan
berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut sesuai dan sejalan dengan
pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus sehingga akan terjadi
gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi gerak putar
tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai
keteguhan ini penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori
kebenaran sebagai kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita
tidak selalu perlu mengecek apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan
merujuknya pada realitas. Kita cukup mengandaikannya sebagai benar
secara apriori, tetapi, dalam situasi lainnya, kita tetap perlu merujuk pada
realitas untuk bisa menguji kebenaran pernyataan tersebut. Kelompok
idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan
Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem
kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas
dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut. Meskipun demikian perlu
lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi faktual, yakni
persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
c. Teori Pragmatik
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make
Ideals Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat
yang kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan
filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini
di antaranya adalah William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952),
George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I. Lewis.
Pragmatisme menantang segala otoritanianisme, intelektualisme dan
rasionalisme. Bagi mereka ujian kebenaran adalah manfaat (utility),
kemungkinan dikerjakan (workability) atau akibat yang memuaskan,
Sehingga dapat dikatakan bahwa pragmatisme adalah suatu aliran yang
mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya

12
sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara
praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan dimana kebenaran
itu membawa manfaat bagi hidup praktis dalam kehidupan manusia.
Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan dalam
menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu. Secara historis
pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin
tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan
bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai
kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu
tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri
yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan,
demikian seterusnya. Tetapi kriteria kebenaran cenderung menekankan satu
atau lebih dati tiga pendekatan , yaitu :
 Yang benar adalah yang memuaskan keinginan kita,
 Yang benar adalah yang dapat dibuktikan dengan eksperimen,
 Yang benar adalah yang membantu dalam perjuangan hidup
biologis.

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan


pragmatisme) itu lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling
bertentangan, maka teori tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi
tentang kebenaran. kebenaran adalah persesuaian yang setia dari
pertimbangan dan ide kita kepada fakta pengalaman atau kepada alam
seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi yang sebenarnya,
maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan


kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau
konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi
kehidupan manusia”. Dalam pendidikan, misalnya di IAIN, prinsip
kepraktisan (practicality) telah mempengaruhi jumlah mahasiswa pada
masing-masing fakultas. Tarbiyah lebih disukai, karena pasar kerjanya lebih
luas daripada fakultas lainnya. Mengenai kebenaran tentang “Adanya
Tuhan” para penganut paham pragmatis tidak mempersoalkan apakah
Tuhan memang ada baik dalam ralitas atau idea (whether really or ideally).

William James mengembangkan teori pragmatisnya dengan berangkat


dari pemikirannya tentang “berpikir”. Menurutnya, fungsi dari berpikir
bukan untuk menangkap kenyataan tertentu, melainkan untuk membentuk
ide tertentu demi memuaskan kebutuhan atau kepentingan manusia. Oleh
karena itu, pernyataan penting bagi James adalah jika suatu ide diangap
benar, apa perbedaan praktis yang akan timbul dari ide ini dibandingkan
dengan ide yang tidak benar. Apa konsekuensi praktis yang berbeda dari ide

13
yang benar dibandingkan dengan ide yang keliru. Menurut William James,
ide atau teori yang benar adalah ide atau teori yang berguna dan berfungsi
memenuhi tuntutan dan kebutuhan kita. Sebaliknya, ide yang salah, adalah
ide yang tidak berguna atau tidak berfungsi membanu kita memenuhi
kebutuhan kita.

Dewey dan kaum pragmatis lainnya juga menekankan pentingnya ide


yang benar bagi kegiatan ilmiah. Menurut Dewey, penelitian ilmiah selalu
diilhami oleh suatu keraguan awal, suatu ketidakpastian, suatu kesangsian
akan sesuatu. Kesangsian menimbulkan ide tertentu. Ide ini benar jika ia
berhasil membantu ilmuwan tersebut untuk sampai pada jawaban tertentu
yangmemuaskan dan dapat diterima. Misalnya, orang yang tersesat di
sebuah hutan kemudian menemukan sebuah jalan kecil. Timbul ide, jangan-
jangan jalan ini akan membawanya keluar dari hutan tersebut untuk sampai
pada pemukiman penduduk. Ide tersebut benar jika pada akhirnya dengan
dituntun oleh ide tadi ia akhirnya sampai pada pemukiman manusia.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu


berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang
berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna
(useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan
(utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang
memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya
kebenaran yang tetap atau mutlak kebenarannya tergantung pada manfaat
dan akibatnya. Akibat/ hasil yang memuaskan bagi kaum pragmatis adalah:

 Sesuai dengan keinginan dan tujuan


 Sesuai dengan teruji dengan suatu eksperimen
 Ikut membantu dan mendorong perjuangan untuk tetap eksis
(ada).

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti


dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau
sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah
tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.
Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.

3. Standarisasi ilmu
Beberapa pandangan tentang kebenaran tak terelakkan mengarah kepada
relativisme, Filsafat adalah merupakan contoh dari suatu sistem yang
mempertahankan kebenaran hingga mengarah ke bentuk solip. Lingkungan dari
berbagai budaya sepertinya mengadopsi kebenaran yang berbeda satu dengan
lainnya karena di sana tidak ada jalan untuk membandingkan secara
transkultural. Popper mengatakan: kita terkurung dalam kerangka teori kita,
ekspektasi kita, pengalaman lampau kita, dan bahasa kita. Dalam perjalanan

14
sejarah Ilmu, ilmu modern (Positivisme) berusaha melakukan standarisasi
metode dan kebenaran pengetahuan. Faham Positivisme menginginkan satu
standar bagi pengetahuan dan keyakinan manusia yaitu ilmu. Menurutnya ilmu
lebih unggul baik dalam metode maupun kebenaran dibanding pengetahuan dan
keyakinan lainnya.
Gadamer menginginkan standard metode yang berbeda untuk ilmu
humaniora, karena menurutnya historia adalah sumber kebenaran yang
sepenuhnya berbeda dengan alasan teoritis. Demikian juga Dilthey dan Weber
menginginkan pendekatan yang berbeda untuk dunia sosial, mereka
menetapkan teori kritis tentang masyarakat. Kata “benar” yang dipergunakan
dalam ilmu, agama, spiritualitas, estetika adalah sama, namun semuanya tidak
dapat diukur dengan standard yang sama (inkommensurabel), tidak ada satupun
yang benar-benar menunjuk pada klaim bahwa suatu pernyataan adalah benar
dalam suatu makna kata namun bermakna salah pada lainnya. Misal: kata “ilmu
penciptaan” sebagai pemilik kebenaran menjadi bermakna keteraturan
(kosmos) diterima sebagai ilmiah namun tujuannya tidak ilmiah dan dua jenis
kebenaran tersebut tidak sama.
Adalah sulit untuk menyatakan ”benar” tentang keyakinan ataupun visi dari
suatu masyarakat atau budaya. Karena itu sulit untuk menilai tingkat kebenaran
misalnya antara filsafat Barat dan filsafat Cina, sebab masing-masing punya
cakupan, , kompleksitas dan variasi yang berbeda.
4. Sifat kebenaran ilmu
Kebenaran mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat
didekati secara terpilah dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper
memandang teori adalah sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya
tergantung pada persetujuan antara konsekuensi dan fakta observasi.
a. Evolusionisme
Suatu teori adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling
bagus hanya berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan
bahwa kemajuan ilmu tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya
berkembang. Sejalan dengan itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses
evolusi apakah berkembang ke arah kemajuan ataukah kemunduran, karena
ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang selalu berkembang dari jaman ke
jaman.
Kebenaran ilmu walau diperoleh secara konsensus namun memiliki sifat
universal sejauh kebenaran ilmu itu dapat dipertahankan. Sifat keuniversalan
ilmu masih dapat dibatasi oleh penemuan-penemuan baru atau penemuan lain
yang hasilnya menggugurkan penemuan terdahulu atau bertentangan sama
sekali, sehingga memerlukan penelitian lebih mendalam . Jika hasilnya berbeda
dari kebenaran lama maka maka harus diganti oleh penemuan baru atau kedua-
duanya berjalan bersama dengan kekuatannya atas kebenaran masing-masing.
lmu sekarang lebih mendekati kebenaran daripada ilmu pada jaman
Pertengahan, dan ilmu pada abad duapuluh akan lebih mendekati kebenaran
daripada abad sebelumnya. Hal tersebut tidak seperti ilmu pada jaman Babilonia
yang dulunya benar namun sekarang salah, ilmu kita (kealaman) benar untuk

15
sekarang dan akan salah untuk seribu tahun kemudian, tapi kita mendekati
kebenaran lebih dekat.
b. Falsifikasionis
Popper dalam memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia
berpendapat bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu
hanya berusaha mendekat ke kebenaran (verisimilitude). Menurutnya teori-teori
lama yang telah diganti adalah salah bila dilihat dari teori-teori yang berlaku
sekarang atau mungkin kedua-duanya salah, sedangkan kita tidak pernah
mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang ada hanyalah teori sekarang
lebih superior dibanding dengan teori yang telah digantinya. Namun
verisimilitude tidak sama dengan probabilitas, karena probabilitas merupakan
konsep tentang menedekati kepastian lewat suatu pengurangan gradual isi
informatif. Sebaliknya, verisimilitude merupakan konsep tentang mendekati
kebenaran yang komprehensif. Jadi verisimilitude menggabungkan kebenaran
dengan isi, sementara probabilitas menggabungkan kebenaran dengan
kekurangan isi.
Tesis utama Popper ialah bahwa kita tidak pernah bisa membenarkan
(justify) suatu teori. Tetapi terkadang kita bisa “membenarkan”(dalam arti lain)
pemilihan kita atas suatu teori, dengan mempertimbangkan kenyataan bahwa
teori tersebut sampai kini bisa bertahan terhadap kritik lebih tangguh daripada
teori saingannya Taryadi, 1989: 75).
c. Relativisme
Relativisme berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative
dilihat dari penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend
memandang ilmu sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh
karena itu kriteria kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena
setiap masyarakat punya kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
Pragmatisme tergolong dalam pandangan relativis karena menganggap
kebenaran merupakan proses penyesuaian manusia terhadap lingkungan.
Karena setiap kebenaran bersifat praktis maka tiada kebenaran yang bersifat
mutlak, berlaku umum, bersifat tetap, berdiri sendiri, sebab pengalaman
berjalan terus dan segala sesuatu yang dianggap benar dapat dikoreksi oleh
pengalaman berikutnya.
d. Objektivisme
Apa yang diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklain suatu pernyataan
adalah sebagaimana yang Aristoteles artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“:
pernyataan benar adalah “representasi atas objek” atau cermin atas itu ). Tarski
menekankan teori kebenaran korespondensi sebagai landasan objektivitas ilmu,
karena suatu teori dituntut untuk memenuhi kesesuaian antara pernyataan
dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan Tarski merupakan suatu teori
yang memandang kebenaran bersifat “objektif”, karena pernyataan yang benar
melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat subjektif. Ia juga “absolut”
karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau kepercayaan.
Objektivisme menyingkirkan individu-individu dan penilaian para individu
yang memegang peranan penting di dalam analisa-analisa tentang pengetahuan,
objektivisme lebih bertumpu pada objek daripada subjek dalam

16
mengembangkan ilmu. Bila teori ilmiah benar dalam arti sesungguhnya, yaitu
bersesuaian secara pasti dengan keadaan, maka tidak ada tempat bagi
interpretasi ketidaksetujuan, beberapa ilmuwan percaya bahwa teori-teori
mewakili gunung kebenaran. Roger berpendapat bahwa teori-teori selalu
merupakan imajinasi dari konstruksi mental, dikuatkan oleh persetujuan antara
fakta observasi dan peramalan atas implikasi. Kelemahan kebenaran merupakan
kesesuaian dengan keadaan adalah mereka merupakan penyederhanaan dan
pengabstraksian dari hubungan antara fakta-faktadan kejadian-kejadianyang
digabungkan dengan unsur persetujuan.

17
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Filsafat adalah daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami,
mendalami dan menyelami secara radikal, dan integral serta sistematik mengenai
ketuhanan, alam semesta dan manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan
tentang bagaimana hakekatnya yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana
sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahua tersebut. Parah ahli berfikir
bahwa manusia memiliki sebutan-sebutan yang berbeda-beda seperti homo sapiens,
animal rational, homo faber, homo laquen dan lain sebagainaya. Secara khusus
tujuan-tujuan pendidikan adalah memahami dengan mendalam tentang hakekat
manusia itu sendiri.
Pembelajaran adalah adanya interaksi. lnteraksi yang terjadi antara si belajar
dengan lingkungan belajarnya, baik itu dengan pendidik, teman-temannya, tutor,
media pembelajaran, dan atau sumber-sumber belajar yang lain. Sedangkan ciri-ciri
lainnya dari pembelajaran ini berkaitan dengan komponen-komponen pembelajaran
itu sendiri. Dimana di dalam pembelajaran akan terdapat komponen-komponen
sebagai berikut: tujuan pendidikan, peserta didik, pendidik , bahan atau materi
pelajaran, pendekatan dan metode, media atau alat, sumber belajar serta, evaluasi.
Semua komponen tersebut saling terkait atau berhubungan untuk mewujudkan
proses pembelajaran yang efektif dan efisien. Komponen-komponen pembelajaran
tersebut sebagai suatu sistem yang utuh dan saling mendukung satu sama lain.

3.2 Saran

Semoga dengan terbentuknya makalah ini dapat bermanfaat untuk semua


pihak dan sebagai manusia hendaklah kita bisa memahami hakikat kita sebagai
manusia dan dapat menggunakan teori kebenaran dengan baik sehingga bisa
bermanfaat untuk diri sendiri, orang lain, serta lingkungan kita.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dimyati,dkk. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta

Djamarah, Syaiful Bahri & Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta:

Rineka Cipta.

Djumransjah.2004.Pengantar Filsafat Pendidikan.Jawa Timur: Banyumedia

Hamalik, Oemar. 2004. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.

Siswoyo, Dwi, dkk. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri

Yogyakarta Press.

Slameto. 2010. Belajar & Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka

Cipta.

Soekarlan, Endang. 1969. Pedagogik Umum. Yogyakarta: FIP IKIP Yogyakarta.

Suhartono, suparlan.2008. Filsafat Pendidikan.Jakarta: Ar-ruzz Media

19

Anda mungkin juga menyukai