RINGKASAN PPOK napas kroniki. Eksaserbasi lebih sering terjadi.
bronkiolus berespon dalam secara hiper aktif
Disertai komplikasi kor pulmonum atau gagal terhadap stimulus tertentu. Asma A. Prevalensi PPOK jantung kanan. Adapun hasil spirometri dimanifestasikan dengan penyempitan jalan WHO menyatakan, secara global, pada tahun 2016 menunjukkan VEP/KVP < 70 %, VEP< 30 % napas, yang mengakibatkan dispnea, batuk dan PPOK menempati peringkat ketiga kematian di dunia prediksi atau VEP> 30% dengan gagal napas mengi. dengan prevalensi 4,1% dari total penduduk di dunia kronik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil b. Bronkotos kronic : merupakan kelainan saluran jumlah kematian lebih dari tiga juta jiwa. Prevalensi pemeriksaan analisa gas darah dengan kriteria napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak kematian pada laki-laki adalah 4,4% dan perempuan hipoksemia dengan normokapnia atau minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang- 3,7%. Penyebab utamanya adalah polusi udara, hipoksemia dengan hiperkapnia. kurangnya dua tahun berturut-turut dan tidak kebiasaan merokok, dan pajanan agen lainnya. disebabkan oleh penyakit lainnya. Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) Indonesia 2013 Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive c. Emfisema : adalah suatu kelainan anatomis paru menyatakan prevalensi PPOK di Indonesia adalah Lung Disease (GOLD) 2011, PPOK diklasifikasikan yang ditandai dengan adanya pelebaran rongga 3,7% atau sekitar 9,2 juta penduduk. berdasarkan derajat berikut : udara distalbronkiolus terminal, disertai B. Pengertian kerusakan dinding alveoli. PPOK adalah penyakit yang dicirikan oleh a. Derajat 0 (berisiko) Gejala klinis : Memiliki satu E. Tanda dan Gejala keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, Batuk berdahak yang tak kunjung sembuh, Sesak sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya dan dispnea. Ada paparan terhadap faktor resiko. napas dan tersengal-sengal, Mengi, Lemas, bersifat progresif dan dikaitkan dengan respon Spirometri : Normal. Penurunan berat badan, Demam, Sering berkeringat, inflamasi paru yang abnormalterhadap partikel atau b. Derajat I (PPOK ringan) Gejala klinis : Dengan Letarghi, Bibir dan kuku berwarna kebiruan. gas berbahaya, yang menyebabkanpenyempitan jalan atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi F. Proses terjadinya Dyspneu pada pasien PPOK napas, hipersekresi mucus, dan perubahan pada sputum. Spirometri : FEV/FVC < 70%, FEV ≥ Penyempitan saluran nafas tampak pada sistem pembuluh darah paru. 80%. saluran nafas yang besar dan kecil yang disebabkan C. Grade c. Derajat II (PPOK sedang) Gejala klinis : Dengan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ atau tanpa batuk. Dengan atau tanpa produksi terhadap respon inflamasi yang persisten. Epitel Perkumpulan Dokter Paru Indonesia) tahun 2005 sputum. Sesak napas derajat sesak 2 (sesak saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamousa akan maka PPOK dikelompokkan ke dalam : timbul pada saat aktivitas). Spirometri mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi a. PPOK ringan adalah pasien dengan atau tanpa :FEV/FVC < 70%; 50% < FEV < 80%. dan kelenjar mukus menjadi hipertropi. Proses ini batuk. Dengan atau tanpa produksi sputum dan d. Derajat III (PPOK berat) Gejala klinis : Sesak akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran dengan sesak napas derajad nol sampai satu. napas ketika berjalan dan berpakaian. nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru Sedangkan pemeriksaan Spirometrinya Eksaserbasi lebih sering terjadi Spirometri akan merangsang dan mempertahankan inflamasi menunjukkan VEP ≥ 80% prediksi (normal) dan :FEV/FVC < 70%; 30% < FEV < 50% . yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B VEP/KVP < 70 % e. Derajat IV (PPOK sangat berat) Gejala klinis : menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil b. PPOK sedang adalah pasien dengan gejala klinis Pasien derajat III dengan gagal napas kronik. akan memberikan beragam lesi penyempitan pada dengan atau batuk. Dengan atau produksi sputum Disertai komplikasi korpulmonale atau gagal saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, dan sesak napas dengan derajad dua. Sedangkan jantung kanan. Spirometri :FEV/FVC < 70%; infiltrasi sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, pemeriksaan Spirometrinya menunjukkan VEP ≥ FEV < 30% atau < 50%. peningkatan otot polos. 70% dan VEP/KVP < 80% prediksi D. Klasifikasi G. Hubungan merokok dengan kejadian PPOK c. PPOK berat adalah pasien dengan gejala klinis a. Asma: adalah penyaki jalan napas obstruktif Dalam asap rokok terdapat ribuan radikal sesak napas derajat tiga atau empat dengan gagal intermiten, reversibel di mana trakea dan bebas dan bahan-bahan iritan yang merugikan kesehatan. Bahan iritan tersebut masuk saluran thoraks dapat menunjukkan hasil yang normal pernafasan selanjutnya menempel pada silia (rambut I. Pemeriksaan Penunjang ataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler getar) yang selalu berlendir. Di samping itu bahan Radiologi (foto toraks), Spirometri, Laboratorium yang meningkat disertai sebagian bagian yang iritan tersebut mampu membakar silia sehingga darah rutin, Analisa Gas Darah, Mikrobiologi sputum hiperlusen. lambat laun terjadi penumpukan bahan iritan yang (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi Pemeriksaan CT scan toraks dapat membantu dapat mengakibatkan infeksi. Sementara itu produksi eksaserbasi) dalam mendiagnosis berbagai tipe dari PPOK. mucus makin bertambah banyak dan kondisi ini a. Pemeriksaan fungsi paru : Spirometri digunakan CT Scan lebih spesifik dalam mendiagnosa Sangat kondusif untuk tumbuh kuman. Apabila untuk mengukur volume maksimal udara yang emfisema jika dibandingkan foto thoraks polos. kondisi tersebut berlanjut maka akan terjadi radang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau c. Pemeriksaan laboraturium dan penyempitan saluran nafas serta berkurangnya disebut Forced vital capacity (FVC). Spirometri a) AGD : pengukuran analisa gas darah sangat elastisitas. juga mengukur volume udara yang dikeluarkan penting dilakukan dan wajib dilakukan H. Komplikasi pada satu detik pertama pada saat melakukan apabila nilai FEV1 pada penderita a. Gagal jantung : Keadaan dimana jantung tidak manuver tersebut, atau disebut dengan Forced menunjukkan nilai < 40% dari nilai dan mampu memompa darah untuk mecukupi Expiratory Volume in 1 second (FEV1). Rasio prediksi secara klinis tampak tanda-tanda kebutuhan metabolisme tubuh. Teutuma gagal dari kedua pengukuran inilah (FEV1/FVC) yang kegagalan respirasi dan gagal jantung kanan jantung kanan akibat penyakit paru, harus sering digunakan untuk menilai fungsi paru. seperti sianosis sentral, pembengkakan diobservasi terutama pada klien dengan dispnea Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan ekstermitas, dan peningkatan jugular venous berat. penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai pressure. b. Asidois Respiratory: Adalah penyakit yang dapat FEV1/FVC < 70%. Pemeriksaan post- b) Pemeriksaan Sputum : Pemeriksaan timbul karena terjadi peningkatan nilai PaCO2 bronchodilator dilakukan dengan memberikan bakteriologi Gram pada sputum diperlukan (hiperkapnia). Biasanya timbul dengan gejala bonkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, dan untuk mengetahui pola kuman dan memilih nyeri kepala/pusing, lesu, dan lelah. 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas c. Hipoxemia: Merupakan penurunan nilai PaO2 FEV1. Bila perubahan nilai FEV1 <20%, maka berulang merupakan penyebab utama kurang dari 55 mmHg, dengan nilai saturasi ini menunjukkan pembatasan aliran udara yang eksaserbasi akut pada penderita PPOK di oksigen <85%. Pada awalnya pasien akan tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan Indonesia mengalami perubahan mood, penuruan saat PPOK dalam keadaan stabil (di luar c) Pemeriksaan darah rutin : digunakan untuk konsentrasi, dan pelupa. Pada tahap lanjut eksaserbasi akut). Dari hasil pemeriksaan mengetahui adanya faktor pencetus seperti timbul sianosis. spirometri setelah pemberian bronkodilator dapat leukositosis akibat infeksi pada eksaserbasi d. Cardiac Disritmia: Adalah penyakit yang timbul digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit akut, polisitemia pada hipoksemia kronik. akibat dari hipoxemia, penyakit jantung lain, efek PPOK berdasarkan derajat obstruksinya. J. Penatalaksanaan Medis obat atau asidosis respiratori. b. Pemeriksaan radiologi : Foto torak PA dan lateral Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru e. Infeksi pernapasan: Infeksi ini terjadi karena berguna untuk menyingkirkan kemungkinan Obstruksi Kronis menurut Mansjoer (2002) adalah : peningkatan produksi mukus yang berlebih penyakit paru lain. Pada penderita emfisema 1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan peningkatan rangsangan otot polos bronkial dan dominan didapatkan gambaran hiperinflasi, yaitu merokok, infeksi, polusi udara. edema mukosa. Terbatasnya aliran udara akan diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang 2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan : meningkatkan beban kerja otot pernapasan retrosternal melebar, diafragma mendatar, dan a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut sehingga timbul dispnea. jantung yang menggantung/penduler biasanya disertai infeksi. Infeksi ini (memanjang tipis vertikal). Sedangkan pada umumnya disebabkan oleh H. penderita bronkitis kronis dominan hasil foto Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 obat ini dibutuhkan pemeriksaan g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari. obyektif dari fungsi faal paru. b. Augmentin (amoksisilin dan asam c. Fisioterapi. kluvanat) dapat diberikan jika kuman d. Latihan fisik untuk meningkatkan penyebab infeksinya adalah H. toleransi aktivitas fisik. Influenzae dan B. Catarhalis yang e. Mukolitik dan ekspektoran. memproduksi beta laktamase. f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang c. Pemberian antibiotik seperti mengalami gagal nafas tipe II dengan kotrimoksasol, amoksisilin, atau PaO2<7,3kPa (55 mmHg). doksisilin pada pasien yang mengalami g. Rehabilitasi, pasien cenderung eksasebrasi akut terbukti mempercepat menemui kesulitan bekerja, merasa penyembuhan dam membantu sendiri dan terisolasi, untuk itu perlu mempercepat kenaikan peak flow rate. kegiatan sosialisasi agar terhindar dari Namun hanya dalam 7-10 hari selama depresi. Rehabilitasi pada pasien periode eksasebrasi. Bila terdapat dengan penyakit paru obstruksi kronis infeksi sekunder atau tanda-tanda adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis pneumonia, maka dianjurkan antibiotic dan rehabilitasi pekerjaan. yang lebih kuat. d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2. e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik. f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan. 3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan : a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25- 0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut. b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka sebelum pemberian