Dosen Pembimbing :
Dwi P. S. Kep., Ns., M.Kep
Oleh Kelompok 2 :
Esty Laillatul F 161.0032
Lina Arsita 161.0058
Nandika Nur Ayu F 161.0068
Ni Putu Gita Wirani 161.0072
Ringga Sena 161.0090
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya,
penulis dapat menyelesaikan Lembar Tugas Kelompok yang berjudul
“Pemberdayaan Masyarakat Dengan Evidence Base In Disaster Nursing Tanah
Longsor Dan Area Pesisir”. Tugas ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat
dalam penilaian tugas mata kuliah Keperawatan Bencana. Penulis mengucapkan
terima kasih pada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian
tugas ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ketua STIKES Hang Tuah Surabaya, Ibu Wiwiek Liestyaningrum, M.Kep.,
atas kesempatan untuk menimba ilmu di Stikes Hang Tuah Surabaya
2. Kepala Prodi S1 Keperawatan, Ibu Puji Hastuti, S.Kep., Ns., M.Kep., atas
kesempatan untuk menimba ilmu di Stikes Hang Tuah Surabaya
3. Dosen Pembimbing, Dwi P. S. Kep., Ns., M.Kep atas bimbingan, inspirasi,
serta memfasilitasi demi sempurnanya lembar tugas kelompok ini.
4. Rekan – rekan satu kelompok dan seangkatan, atas kerjasamanya dalam
menyelesaikan lembar tugas kelompok ini.
Penulis menyadari bahwa Lembar Tugas Kelompok ini memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun sebagai perbaikan yang berkelanjutan. Akhir kata,
penulis berharap Lembar Tugas Kelompok ini dapat memberi manfaat bagi semua
pihak.
Surabaya, 12 Oktober 2019
Kelompok 2
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB 1
PENDAHULUAN
1
perubahan tersebut sangatlah menarik untuk dikaji, terlebih lagi mengenai
pengaruh yang ditimbulkan terhadap tingkat kerentanan pesisir.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana pemberdayaan masyarakat dengan evidence base in
disaster nursing tanah longsor ?
1.2.2 Bagaimana pemberdayaan masyarakat dengan evidence base in
disaster nursing di area pesisir ?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Menjelaskan pemberdayaan masyarakat dengan evidence base in
disaster nursing tanah longsor dan area pesisir
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Menjelaskan tentang konsep bencana tanah longsor
2. Menjelaskan tentang menejemen dalam penanggulangan bencana
3. Menjelaskan tentang konsep costal area
4. Menjelaskan tentang trend kejadian
5. Menjelaskan tentang kajian resiko
1.4 Manfaat
1. Mengetahui tentang konsep bencana tanah longsor
2. Mengetahui tentang menejemen dalam penanggulangan bencana
3. Mengetahui tentang konsep costal area
4. Mengetahui tentang trend kejadian
5. Mengetahui tentang kajian resiko
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
tanah tersebut telah mengakibatkan 1.163 jiwa meninggal, 112
orang hilang, 973 orang terluka dan sekitar 48.191 orang
mengungsi. Sedangkan di wilayah Jawa Timur BNPB mencatat
sebanyak 548 kejadian tanah longsor selama Bulan Januari 2019
sampai 30 Agustus 2019 dengan 59 korban meninggal dan hilang,
93 luka-luka dan sedikitnya 3390 warga harus mengungsi. Tren
kejadian bencana tanah longsor di Jawa Timur selama 5 tahun
terakhir mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuaktif,
puncaknya pada tahun 2017 dengan jumlah kasus 123 dari total
434 kasus bencana, dan yang terendah pada tahun 2019 yaitu 35
kasus dari total 277 kasus bencana.
2.1.3 Penyebab Tanah Longsor
Dalam beberapa tahun terakhir, intensitas terjadinya
bencana gerakan tanah di Indonesia semakin meningkat, dengan
sebaran wilayah bencana semakin luas. Hal ini disebabkan oleh
makin meningkatnya pemanfaatan lahan yang tidak berwawasan
lingkungan pada daerah rentan gerakan tanah, serta intensitas hujan
yang tinggi dengan durasi yang panjang, ataupun akibat
meningkatnya frekuensi kejadian gempa bumi (BNPB, 2018).
Tabel Fenomena Bencama Gerakan Tanah (Tanah Longsor)
No Jenis Longsoran Uraian Pemicu
1 Rayapan Terletak pada zona tekuk Hujan
(creep) lereng atau zona transisi
dari kondisi lereng curam
menjadi landai
2 Luncuran bahan Debris Slump terbentuk Hujan
rombakan pada salah satu sisi tebing
berupa tanah & yang mengelilingi
batuan (Debris hamparan lahan, dikontrol
Slump) oleh kemiringan lereng
yang relatif curam,
material penyusunan
4
lereng berupa tanah tebal
hasil pelapukan breksi
volkanik dan perubahan
fungsi lahan
3 Luncuran bahan Dikontrol oleh kondisi Gempa
rombakan kemiringan lereng yang bumi
berupa tanah & terjal, yaitu lebih dari 70
batuan (Debris derajat dan kondisi
Slump) material penyusun lereng
berupa endapan kuarter
gunung api yang bersifat
lepas dan belum
terkompaksi. Getaran
gempa bumi menyebabkan
terjadinya perubahan
susunan butiran material
penyusun lereng dan
memicu terjadinya debris
slump.
4 Luncuran tanah Dipicu oleh adanya hujan
(Earth Slide) deras, earth slide
berkembang berkembang membentuk
menjadi bahan debris flow. Hal ini,
rombakan terutama disebabkan oleh
berupa meningkatnya kandungan
campuran tanah air dalam material
dan batuan longsoran. Endapan
(Debris Flow) material dari debris flow
membentuk landslide dam
yang rentan mengalami
pergerakan dan dapat
menyebabkan terjadinya
5
debris flood, terutama
dipicu oleh ada hujan
Sumber: Rencana Induk Penanggulangan Risiko Bencana
Tanah Longsor BNPB, 2012
Berdasarkan hasil kajian risiko, total jumlah jiwa terpapar
risiko bencana Tanah Longsor di Indonesia adalah sebanyak
194.812.121 jiwa di seluruh provinsi di Indonesia dengan kerugian
mencapai Rp. 185 Trilyun (RENAS, 2014)
2.1.4 Penanggulangan Bencana Tanah Longsor
Penyelenggaraan penanggulan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang
berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana,
tanggap darurat, dan rehabilitasi. Penanggulangan bencana harus
mengacu kepada Sistem Penanggulangan Bencana Nasional yang
termuat dalam Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana serta turunan aturannya. Selain itu
kapasitas daerah juga harus melihat kepada tatanan pada skala
internasional. Pada skala internasional, Kerangka Aksi Hyogo
(KAH) dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dasar
pembangunan kapasitas. KAH merupakan kesepakatan lebih dari
160 negara untuk mengarusutamakan pengurangan risiko bencana
dalam pembangunan. BNPB, 2018). Upaya pemerintah dalam
menanggulangi bencana, antara lain:
1. Kajian Kapasitas Daerah
Penilaian kapasitas daerah merupakan salah satu dasar
untuk upaya Pengurangan Risiko Bencana. Upaya
Pengurangan Risiko Bencana salah satunya dapat didukung
oleh peningkatan kapasitas daerah dalam menghadapi
bencana. Penilaian kapasitas daerah mengacu kepada
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 03 Tahun 2012 tentang Panduan Penilaian Kapasitas
Daerah dalam Penanggulangan Bencana. Berdasarkan aturan
6
tersebut diketahui proses pengkajian terhadap indeks
kapasitas Provinsi. Pengkajian kapasitas Provinsi mengacu
kepada prioritas program pengurangan risiko bencana.
(BNPB, 2018).
2. Penetapan Kebijakan
Penetapan kebijakan prioritas peningkatan kapasitas
daerah. Pada tingkat kabupaten/kota, pada saat seluruh hasil
kuesioner dimasukkan dalam program penghitung tingkat
kapasitas kabupaten/kota, otomatis akan dihasilkan
rekomendasi kebijakan prioritas untuk peningkatan kapasitas
daerah. Penilaian Kapasitas Daerah ditujukan untuk
memberikan dasar kebijakan yang kuat dalam meningkatkan
kapasitas daerah untuk meredam risiko bencana. Penilaian
kapasitas daerah merupakan salah satu langkah strategis yang
dapat dilakukan daerah untuk mengurangi risiko bencana di
kawasannya. Penilaian kapasitas ini juga menjadi salah satu
acuan daerah dalam menyusun Rencana Penanggulangan
Bencana Daerah.
Berdasarkan indikator pencapaian, diperoleh nilai indeks kapasitas
yang dikelompokkan pada 5 (lima) tingkatan atau level pencapaian
daerah dalam penanggulangan bencana. Level tersebut adalah (BNPB,
2018):
1. Level 1: Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil
dalam upaya pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan
beberapa tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan.
2. Level 2: Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan
pengurangan risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang
masih bersifat sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen
kelembagaan dan/atau kebijakan sistematis.
3. Level 3: Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas tekait
pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan
didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang
7
diperoleh dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum
menyeluruh hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi
dampak negatif dari bencana.
4. Level 4: Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang
menyeluruh dalam pengurangan risiko bencana di suatu daerah
telah memperoleh capaian-capaian yang berhasil, namun diakui
masih ada keterbatasan dalam komitmen, sumber daya finansial
ataupun kapasitas operasional dalam pelaksanaan upaya
pengurangan risiko bencana di daerah tersebut.
5. Level 5: Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen
dan kapasitas yang memadai di semua tingkat komunitas dan
jenjang pemerintahan.
2.2 Manajemen dalam Penangggulangan Tanah Longsor
Manajemen bencana Undang - Undang No. 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana menjelaskan bahwa bencana merupakan
peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu
kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan,
kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Siklus manajemen tersebut
terdiri atas 3 tahapan. Tahapan-tahapan tersebut (Kusumasari, 2014)
antara lain:
1. Pra Bencana
Pra bencana merupakan tahapan bencana pada kondisi sebelum
kejadian meliputi:
a. Pencegahan dan Mitigasi
Mitigasi menurut King didefinisikan sebagai tindakan yang
diambil sebelum bencana terjadi dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan dampak bencana terhadap
masyarakat dan lingkungan.
b. Kesiapsiagaan
8
Kesiapsiagaan berarti merencanakan tindakan untuk
merespon jika terjadi bencana. Kesiapsiagaan berkaitan dengan
kegiatan dan langkah-langkah yang diambil sebelum terjadinya
bencana untuk memastikan adanya respon yang efektif terhadap
dampak bahaya, termasuk dikeluarkannya peringatan dini
secara tepat waktu dan efektif.
Mitigasi dan upaya pengurangan resiko bencana :
1) Hindarkan daerah rawan bencana untuk pembangunan
pemukiman dan fasilitas utama lainnya
2) Mengurangi tingkat keterjalan lereng permukaan maupun
air tanah. (Fungsi drainase adalah untuk menjauhkan air
dari lereng, menghindari air meresap ke dalam lereng atau
menguras air ke dalam lereng ke luar lereng. Jadi drainase
harus dijaga agar jangan sampai tersumbat atau
meresapkan air ke dalam tanah).
3) Pembuatan bangunan penahan, jangkar (anchor) dan pilling
4) Terasering dengan sistem drainase yang tepat (drainase
pada teras - teras dijaga jangan sampai menjadi jalan
meresapkan air ke dalam tanah. Penghijauan dengan
tanaman yang sistem perakarannya dalam dan jarak tanam
yang tepat (khusus untuk lereng curam, dengan kemiringan
lebih dari 40 derajat atau sekitar 80% sebaiknya tanaman
tidak terlalu rapat serta diseling-selingi dengan tanaman
yang lebih pendek dan ringan, di bagian dasar ditanam
rumput).
5) Mendirikan bangunan dengan fondasi yang kuat.
6) Melakukan pemadatan tanah di sekitar perumahan.
7) Pengenalan daerah rawan longsor.
8) Pembuatan tanggul penahan untuk runtuhan batuan (rock
fall).
9) Penutupan rekahan di atas lereng untuk mencegah air
masuk secara cepat ke dalam tanah.
9
10) Pondasi tiang pancang sangat disarankan untuk
menghindari bahaya liquefaction (infeksi cairan).
11) Utilitas yang ada di dalam tanah harus bersifat fleksibel.
12) Dalam beberapa kasus relokasi sangat disarankan.
13) Menanami kawasan yang gersang dengan tanaman yang
memiliki akar kuat, banyak dan dalam seperti nangka,
durian, pete, kaliandra dan sebagainya.
14) Tidak mendirikan bangunan permanen di daerah tebing dan
tanah yang tidak stabil (tanah gerak).
15) Membuat selokan yang kuat untuk mengalirkan air hujan.
16) Waspada ketika curah hujan tinggi.
17) Jangan menggunduli hutan dan menebang pohon
sembarangan.
2. Saat Bencana
Tahapan paling krusial dalam system manajemen bencana
adalah saat bencana berlangsung atau terjadi. Kegiatan yang
dilakukan adalah tanggap darurat atau respon. Tahapan tanggap
darurat ( Emergency Response) :
a. Melakukan pengkajian secara cepat dan tepat terhadap
lokasi,kerusakan,kerugian, dan sumber daya saat informasi
tentang bencana longsor diterima dengan akurat,
b. Pembukaan akses lokasi longsor dengan menggunakan alat ber-
ac.
c. Penyelamatan dan evakuasi masyarakat yang terkena bencana
longsor.
d. Memberikan pengobatan massal/ pelayanan kesehatan terpadu
di lokasi pengungsiane.
e. Pemenuhan kebutuhan dasar bagi korban bencana longsor yang
telah di evakuasiketitik titik pengungsian,f.
f. Menyediakan akses informasi terkait bencana longsor.
g. Memberikan perlindungan terhadap kelompok rentan terhadap
dampak dari bencana longsor.
10
3. Pasca Bencana
Pasca bencana adalah tahapan yang dilakukan setelah
bencana terjadi dan setelah proses tanggap darurat dilewati (Ramli,
2011:37), antara lain :
a. Rehabilitasi, yaitu perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang
memadai pada wilayah pasca bencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat.
b. Rekonstruksi, yaitu pembangunan kembali semua sarana dan
prasarana, kelembagaan pada wilayah pasca bencana, baik pada
tingkat pemerintahan maupun masyarakat dengan sasaran
utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan.
Penanggulangan bencana secara menyeluruh, baik melalui
pengurangan dampak maupun menghilangkan penyebab bencana,
bukan pekerjaan yang sederhana. Salah satu upaya yang dapat
dilakukan adalah upaya menjadikan masyarakat tangguh bencana.
Masyarakat yang tangguh bencana ialah masyarakat yang mampu
mengantisipasi dan meminimalisir kekuatan yang merusak, melalui
adaptasi. Mereka juga mampu mengelola dan menjaga struktur dan
fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana. Apabila terkena dampak
bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya
menjadi normal kembali atau paling tidak dapat dengan cepat
memulihkan diri secara mandiri.
Desa Tangguh merupakan program Nasional/dari BNPB (Perka
BNPB 01/2012) dalam rangka mewujudkan Indonesia Tangguh.
Program ini merupakan wujud tanggungjawab pemerintah terhadap
masyarakatnya dalam hal penanggulangan bencana. Karena
masyarakat yang merupakan penerima dampak langsung dari bencana,
11
dan sekaligus sebagai pelaku pertama dan langsung yang akan
merespon bencana disekitarnya. Maka masyarakat perlu dibekali
dalam konteks pemberdayaan agar menjadi Tangguh, bukan hanya
siap menghadapi bencana tapi menjadi TANGGUH.
Masyarakat tangguh adalah mampu mengantisipasi dan
meminimalisasi kekuatan yang merusak (ancaman bencana), dengan
cara melakukan adaptasi; mampu mengelola dan menjaga stuktur dan
fungsi dasar tertentu ketika terjadi bencana; jika terkena dampak
bencana, mereka akan dengan cepat bisa membangun kehidupannya
menjadi normal kembali Program desa tangguh tanggap bencana,
dikhususkan untuk desa yang berpotensi mengalami bencana longsor.
Tujuan pembentukan desa tangguh tanggap bencana, untuk
menyiapkan masyarakat yang lebih siap menghadapi bencana.
Kesiapan itu diwujudkan dalam dokumen penanggulangan bencana
yang berlaku hingga 5 tahun. Terdapat sembilan program yang harus
dilakukan oleh setiap desa tangguh tanggap bencana, yakni analisis
resiko dengan membuat peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas;
mendirikan forum relawan; rencana aksi komunitas, rencana kontijensi
desa; membuat jalur evakuasi, dan jalur ekonomi untuk pembiayaan
pasca bencana.
12
BAB 3
EVIDENCE BASED WILAYAH PESISIR
13
3.2 Tren Kejadian
3.2.1 Tren Kejadian di Indonesia
Tren kejadian bencana tanah longsor di Indonesia selama 10 tahun
terakhir mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuaktif, puncaknya
pada tahun 2017 dengan jumlah kasus 848 dari total 2866 kasus bencana,
dan yang terendah pada tahun 2012 yaitu 287 kasus dari total 1780 kasus
bencana (DIBI BNPB, 2019).
14
Tren kejadian bencana tanah longsor di Jawa Timur selama 5 tahun
terakhir mengalami kenaikan dan penurunan secara fluktuaktif, puncaknya
pada tahun 2017 dengan jumlah kasus 123 dari total 434 kasus bencana,
dan yang terendah pada tahun 2019 yaitu 35 kasus dari total 277 kasus
bencana.
15
3.3 Kajian Risiko
Matriks Kajian Risiko Berdasarkan hasil kajian risiko bencana yang
disusun oleh BNPB pada tahun 2015, terlihat bahwa jumlah jiwa terpapar
risiko bencana tanah longsor tersebar terutama di Pulau Jawa dan Nusa
Tenggara dengan jumlah seluruh Indonesia melebihi 14 juta jiwa dan nilai aset
terpapar melebihi Rp. 78 Triliun. Bahaya tanah longsor dibuat berdasarkan
pengklasifikasian zona kerentanan gerakan tanah yang dikeluarkan oleh
PVMBG dan dikoreksi dengan kemiringan lereng di atas 15%. Bagi wilayah
kabupaten/kota yang belum memiliki zona kerentanan gerakan tanah, bahaya
tanah longsor dibuat dengan mengacu pada RSNI Penyusunan dan Penentuan
Zona Kerentanan Gerakan Tanah yang dikeluarkan oleh PVMBG (2015)
dalam BNPB (2018).
16
Gambar Alur Proses Pembuatan Peta Bahaya Tanah Longsor
Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah
17
3.3.1 Penyebab Longsor di Pesisir Jawa Timur
Adapun faktor penyebab longsor di Pesisir Jawa Timur, antara lain:
1. Kondisi geologi
Berdasarkan hasil penelitian Gemilang et al (2017) daerah
terjadinya longsor didominasi oleh litologi yang tersusun atas
pelapukan batuan breksi tuf, yang mengandung fragmen berukuran
boulder karena matrik telah mengalami proses pelapukan sehingga
fragmen tersebut terlihat seperti bagian material lepas dan memicu
terjadinya longsor akibat ketidakstabilan tersebut berukuran boulder
karena matrik telah mengalami proses pelapukan sehingga fragmen
tersebut terlihat seperti bagian material lepas dan memicu terjadinya
longsor akibat ketidakstabilan tersebut.
Menurut Tang et al. (2013), litologi dideskripsikan sebagai
batuan pada singkapan yang dibedakan berdasarkan karakteristiknya,
seperti warna, komposisi mineral dan ukuran butir. Berdasarkan
18
karakteristiknya batuan dibagi menjadi 3, yaitu batuan beku, batuan
sedimen, dan batuan metamorf. Batuan yang terdapat di wilayah
pesisir adalah batuan sedimen, menurut Ariwibowo et al. (2014)
pembentukan batuan jenis ini terjadi akibat akumulasi material hasil
perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya (hasil aktivitas kimia
atau organisme) yang diendapkan pada permukaan bumi lapis demi
lapis yang kemudian mengalami pembatuan.(Dhiauddin, 2017)
2. Kemiringan lereng
Dalam Penelitian Dhiauddin, 2017) analisis kemiringan lereng
berdasarkan pengolahan data menggunakan software ArcScene 9.3
bahwa daerah pesisir morfologi perbukitan dengan kemiringan lereng
yang cukup bervariasi dan luasan yang berbeda-beda, dengan luasan
masing – masing kemiringan lereng(Gambar 4) yaitu datar ( 27,3 ),
landai ( 20,46 ), agak curam ( 18,38%), curam (29,45%) dan sangat
terjal (4.41%). Daerah didominasi oleh jenis kemiringan datar landai.
Umumnya bentukan lahan dengan kemiringan lereng datar – landau
merupakan area persawahan dan wilayah dataran alluvial yang
terbentuk akibat proses transportasi dan sedimentasi sungai, dan juga
merupakan wilayah pasang-surut air laut.
3. Kemiringan pantai
Kemiringan daerah pesisir mengacu kepada ukuran ketinggian
pada daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut rata-rata.
Semakin curam kelerengan sebuah wilayah pesisir semakin kecil pula
probabilitas terdampak oleh bencana pesisir (Dhiauddin, 2017)
4. Variasi tempat
Berdasarkan variasi tempat, wilayah Bungus dan sebagian
wilayah Kabupaten Pesisir Selatan merupakan daerah dengan tipe
hujan B, pola hujan bulannya memiliki dua puncak. Curah hujan
sepanjang tahun didominasi oleh bulan-bulan basah, dengan nilai
curah hujan ratarata >200mm. Perbedaan antara bulan basah dan
bulan kering hampir dikatakan tidak ada. Curah hujan tertinggi
19
berada pada bulan Oktober dan Desember hingga mencapai 579 –
591mm (Dhiauddin, 2017).
3.3.2 Penanggulangan Ancaman Bencana di wilayah Pesisir
Adapun hal-hal yang dilakukan pemerintah dalam mengahadi
siatuasi bencana, antara lain:
1. Teori Politik Hijau
Inti dari penyebab kerusakan lingkungan menurut pemerhati
ekologi politik adalah perkembangan teknologi dan kebutuhan
masyarakat. Ilrich Beck sebagai akademisi teori ekologi
memasukkan konsep dan wacana seputar masyarakat resiko (social
risk) sebagai perpektif politik hijau termasuk di dalamnya dengan
social risk-nya dan great technology. Bryan Barry yang memusatkan
perhatiannya pada keadilan antar generasi dengan cara membangun
jembatan penghubung antara teori politik hijau dan teori politik
kontemporer yng mendalami isu-isu lingkungan (2012: 425).
Gerakan politik hijau dalam menyelamatkan kawasan pantai
utara Jenu kabupaten Tuban berawal dari seorang individu yang peka
terhadap kerusakan lingkungan yang ada di sekitarnya. Kondisi
Pesisir Tuban khususnya wilayah Pantai Jenu dulu adalah pesisir
pantai yang memiliki vegetasi pohon kelapa dan dilengkapi dengan
banyaknya hewan bajing yang memainkan jaring makanan disana.
Namun perilaku masyarakat pesisir yang memburu bajing di
kawasan pantai, tidak mempedulikan pertumbuhan pohon kelapa dan
mengambil pasir pantai untuk digunakan sendiri maupun dijual, juga
terjadi pada saat itu. Kondisi itu diperparah dengan tidak adanya
upaya untuk merawat pantai.
2. Mitigasi
Merujuk pada kejadian tebing longsor di Pantai Sadranan,
Gunungkidul, Yogyakarta pada 17 Juni 2015 yang menewaskan
empat orang wisatawan dan dua orang luka-luka (Mustaqim, 2015),
sehingga perlu dilakukan beberapa upaya untuk mengurangi dampak
terjadinya gerakan tanah di wilayah pesisir Jawa Timur. Kerentanan
20
gerakan tanah di pesisir diindikasikan sangat dipengaruhi oleh faktor
fisik berupa: geologi, topografi, tataguna lahan dan curah hujan.
Informasi klasifikasi tingkat kerentanan daerah rawan gerakan tanah
di pesisir Jawa Timur berdasarkan karakteristik fisik tersebut
bermanfaat untuk keperluan tata ruang wilayah dna mitigasi bencana
khususnya di wilayah pariwisata pesisir atau pantai (Gemilang,
2017).
3. Pembentukan Desa Tangguh
Desa Tangguh merupakan program Nasional/dari BNPB (Perka
BNPB 01/2012) dalam rangka mewujudkan Indonesia Tangguh.
Tujuan pembentukan desa tangguh tanggap bencana, untuk
menyiapkan masyarakat yang lebih siap menghadapi bencana.
Terdapat sembilan program yang harus dilakukan oleh setiap desa
tangguh tanggap bencana, yakni analisis resiko dengan membuat
peta ancaman, kerentanan, dan kapasitas; mendirikan forum
relawan; rencana aksi komunitas, rencana kontijensi desa; membuat
jalur evakuasi, dan jalur ekonomi untuk pembiayaan pasca bencana.
Desa Tangguh bencana di Desa Babalan, Pati Jawa Tengah
merupakan pola kekokohan desa yang tangguh di Desa Babalan
dapat mempersiapkan orang yang tinggal di daerah rawan bencana.
Komunitas Desa Babalan sekarang dapat mengidentifikasi daerah
yang aman dan membuat rute evakuasi. Juga ditunjukkan bahwa
para pemangku kepentingan (Gemilang, 2017)
21
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Indonesia memang merupakan daerah yang sangat menarik. Selain
memiliki wilayah paparan benua yang luas (Paparan Sunda dan Paparan
Sahul), juga memiliki pegunungan lipatan tertinggi di daerah tropika dan
bersalju abadi (Pegunungan Tengah Papua). BNPB (2019) menyebutkan
tanah longsor merupakan salah satu bencana alam yaitu bencana yang
diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh
alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir,
kekeringan, angin topan dan tanah longsor. Di Indonesia tanah longsor
menempati urutan pertama bencana alam dengan jumlah kejadian terbanyak
diatas banjir Pada ahun 2019. Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(2019) mencatat sebanyak 2.425 kejadian bencana gerakan tanah sepanjang
tahun 2009 hingga 2019, dengan lokasi kejadian tersebar di berbagai wilayah
di Indonesia.
Wilayah pesisir (coastal area) merupakan suatu ekosistem yang khas
dan menyimpan banyak potensi, seperti sumber daya alam hayati dan sumber
daya alam non hayati. Sumberdaya alam hayati wilayah pesisir Jawa Timur
memiliki keanekaragaman yang cukup tinggi, seperti hutan mangrove, hutan
cemara laut, aneka burung, serta rumput laut, yang biasa dimanfaatkan
sebagai pariwisata, industri, pelabuhan, perikanan, permukiman, dan
sebagainya. Kemiringan daerah pesisir mengacu kepada ukuran ketinggian
pada daerah tertentu yang berada di atas permukaan laut rata-rata. Semakin
curam kelerengan sebuah wilayah pesisir semakin kecil pula probabilitas
terdampak oleh bencana pesisir.
4.2 Saran
Penulis menyarankan kepada pembaca agar mempelajari dan menelaah
makalah ini sebagai referensi dalam belajar. Untuk teman-teman mahasiswa
supaya lebih giat dalam belajar dan semoga makalah ini dapat menjadi
sumber ilmu yang baru bagi yang mempelajari ilmu keperawatan serta
22
semoga mahasiswa mampu memahami dan mempelajari lebih dalam lagi
tentang pemberdayaan masyarakat dengan evidence base in disaster nursing
tanah longsor dan area pesisir dan turut serta mengaplikasikannya.
23
DAFTAR PUSTAKA
24