by Hery Sopari
A. PENDAHULUAN
Definisi
Pengetahuan adalah Persepsi subyek (manusia) atas obyek (riil dan gaib) atau fakta.
Ilmu Pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar disusun dengan sistem dan
metode untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi
kebenarannya. Ilmu Pengetahuan bukan satu, melainkan banyak (plural), bersifat terbuka
(dapat dikritik), berkaitan dalam memecahkan masalah.
Jadi, Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan
tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah Cabang filsafat yang
mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar
kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat Ilmu
Pengetahuan disebut juga Kritik Ilmu, karena historis kelahirannya disebabkan oleh
rasionalisasi dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan tahayul.
Aspek Epistemologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan
sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat 3 persoalan pokok dalam bidang epistemology antara
lain: (1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana datangnya pengetahuan yang benar
itu? Dan bagaiman cara mengetahuinya?; (2) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada
dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengatahuinya;
(3) Apakah pengetahuan itu benar(valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar
dari yang salah.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran
pengetahuan atau kepercayaan.
Untuk menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut:
1. Menemukan kebenaran dari masalah
2. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
3. Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran
4. Falsification atau operasionalism (experimental opetarion, operation research)
5. Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran
6. Metode hipotetico – deduktif
7. Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta
Aspek Aksiologi
Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter
bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita
yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan
kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu ,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
menerapkan ilmu ke dalam praksis. Pertanyaan mengenai aksiologi menuru Kattsoff dapat
dijawab melalui 3 cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut
pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung kepada pengalaman mereka. Kedua, nilai merupakan kenyataan
ditinjau dari segi ontologisme namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan
objektivisme logis. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan yang
demikian disebut objektivisme metafisik.
Tujuan dasar Aksiologi yaitu menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau
sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah.
Sains Modern
Temuan Nicolas Copernicus (1473-1549) yang menggeser pandangan Geosentris yang
merupakan ajaran suci gereja, ke pandangan Heliosentris merupakan pertanda dimulainya
era baru, era dimana pemikiran rasional dapat melepaskan diri dari cengkraman
teologi(filsafat keagamaan). Episode perpecahan ini digambarkan dengan sangat baik oleh
lukisan klasik yang memperlihatkan Galileo yang berjubah terdakwa sedang berlutut
dihadapan otoritas gereja untuk mengucapkan sumpah bahwa ia akan meninggalkan
pendapat Copernicus yang dianggap sesat.
Walaupun Galileo telah dipaksa bersumpah, tetapi perkembangan sains tetap tidak dapat
dihambat. Berikut adalah beberapa perkembangan sains:
1. Metode Empiris induktif telah disumbangkan oleh Francis Bacon (1561-1662) sebagai
tandingan sekaligus serangan terhadap logika deduktifnya Aristotelian.
2. Doktrin Reduksionisme telah dikembangkan oleh Descartes (1596-1650), dia juga
mengembangkan filsafat rasionalisme yang menjadi acuan metode Rasional Deduktif.
3. Isaac Newton(1642-1727) melakukan sintesis besar dari berbagai pemikiran ilmuwan
para pendahulunya yang bermuara pada keberhasilannya merumuskan hukum-hukum
dasar tentang gerak serta teori gravitasi. Karya Newton inilah yang mendorong
perkembangan Sains Modern yang akhirnya dapat dilihat seperti saat ini.
Ada 3 pilar utama Sains Modern yang telah menggantikan sistem Aristotelian-Ptolemeus
yang berbau mistik neoplatonis dan teologi kristiani, yaitu:
1. Reduksionisme, yaitu faham yang melihat segala sesuatu terdiri atas bagian-bagian.
Menurut faham ini pemahaman terhadap setiap bagian akan memberikan gambaran
komprehensif tentang sesuatu itu.
2. Determinisme, yaitu faham yang meyakini bahwa semesta bekerja menurut hukum sebab
akibat yang pasti.
3. Objektivisme, yaitu faham yang meyakini kebenaran bersifat objektif, tidak tergantung
kepada pengamat dan cara mengamati.
Sains Modern yang dikenal dengan Newtonian memandang alam semesta tidak lebih dari
suatu sistem mekanis yang tunduk pada hukum-hukum matematika yang pasti. Semua hal
dapat diprediksi secara kuantitatif, sehingga tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi
pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa kualitatif termasuk mental spiritual.
Di era sebelumnya akal dan rasio dijadikan pelayan bagi kepentingan iman kepercayaan,
maka pada zaman ini keduanya berhasil membebaskan diri, menduduki posisi terhormat dan
memilih alam untuk melayaninya. Pelayanan alam tersebut telah membuat manusia terlena,
semakin asyik dengan menikmatinya, hal ini semakin melupakan kita dalam pencarian
hakikat alam semesta. Disadari ataupun tidak kita telah mengulangi kesalahan abad
pertengahan yang telah menyingkirkan upaya pencarian itu demi kepentingan iman
kepercayaan.
Sains Modern telah memberikan sumbangan besar bagi peradaban manusia, namun
dibalik itu semua dirasakan adanya kehampaan makna dan kekosongan bagi sebagian besar
umat manusia. Peradaban yang dihasilkan dari Sains Modern tidak dapat dipungkiri telah
sangat berhasil menggunakan secara optimal potensi rasio manusia, namun disisi lain Sains
Modern telah menjauhkan diri dari hal lainnya yang lebih kaya dan bermakna.
Ilmu pengetahuan dan teknologi di era ini sangat begitu maju, namun disisi lain membuat
manusia terasing dengan lingkungannya, bahkan tidak mengenal dengan dirinya sendiri. Hal
ini mendorong manusia untuk kembali meneruskan pencariannya.
Sains Baru
Sains Modern sangat mencengangkan karena telah menyingkap banyak dari rahasia alam
semesta, namun disisi lain banyak juga menghasilkan dampak negatif.
Beberapa penemuan sains telah memperingatkan kita untuk meninjau kembali /merevisi
pilar-pilar paradigma Sains Modern. Teori Chaos memperingatkan kita bahwa kita harus
memperhatikan perubahan-perubahan kecil karena memiliki potensi nyata untuk mengubah
masa depan suatu sistem. Butterfly Effect (Efek sayap kupu-kupu), adalah istilah dalam
"Teori Chaos" (Chaos Theory) yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka
terhadap kondisi awal" (sensitive dependence on initial conditions), dimana perubahan kecil
pada satu tempat dalam suatu sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam
keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini
merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil
secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Semesta terbukti tidak linear dan saling terkait satu dengan yang lainnya secara
dinamis. Semesta juga bersifat partisipatif sekaligus tertutup. Semesta hanya mau menjawab
pertanyaan sesuai dengan cara yang kita ajukan, tetapi menyembunyikan yang lainnya.
Fakta ini membuat metode penelitian membutuhkan revisi mendasar, meninggalkan
pendekatan interogatif dan menggantikannya dengan pendekatan keterlibatan/dialogis.
Pendekatan ilmiah pun sudah saatnya dilengkapi dengan pendekatan lain yang bersifat
kualitatif, agar kita dapat memanfaatkan secara optimal potensi kemanusiaan kita, seperti
emosi, intuisi, kemampuan spiritual dan kesadaran transendental.
Paradigma sains baru merupakan jawaban dari hasil temuan-temuan baru, diharapkan
dapat menghadirkan dimensi baru yang akan memperkaya makna kehidupan serta
mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan hakikat realitas alam semesta.
Ada dua alternatif paradigma Sains Baru yaitu paradigma Holisme-Dialogis dan
paradigma digitalis-informatisme.
Pada kesempatan ini akan difokuskan pada paradigma Holisme-Dialogis yang merupakan
jawaban langsung dari runtuhnya paradigma Newtonian. 3 Pilar utama yang menunjang
paradigma ini adalah:
1. Holisme-interkoneksitas
2. Probabilisme
3. Kontekstualisme
Objektivisme
Objektivisme merupakan konsekuensi logis paham dualisme yang membagi alam
semesta menjadi subjek dan objek yang saling terpisah secara absolut. Subjek dalam hal ini
manusia dapat mengamati, mengukur, dan memahami objek sebagaimana adanya, tanpa
pengaruh atau dipengaruhi oleh objek. Hasil pengamatan itu sendiri bersifat objektif, dalam
arti bukan merupakan hasil konstruksi mental manusia dan juga tidak dipengaruhi oleh
proses pengamatan. Dengan demikian realitas atau kebenaran yang ditemukan bersifat
absolut. Artinya jika sesuatu telah diterima atau dianggap benar, maka semua yang
tidak sesuai atau serupa dengannya pastilah salah.
Agar dapat menghasilkan kebenaran ilmiah, proses pengamatan harus dilakukan
berdasarakan metode ilmiah yang shahih. Jika tidak, hasil yang diperoleh harus ditolak.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai paham Materialisme-Saintisme (materialisme ilmiah)
yang menjadi acuan dalam penelitian-penelitian yang memberikan kontribusi kepada
kemajuan sains seperti yang kita lihat sekarang. Walaupun perlu digarisbawahi, bahwa tidak
sedikit pula temuan ilmiah yang tidak diperoleh melalui metode ilmiah.
Doktrin objektivisme membuat manusia merasa terpisah atau bukan merupakan bagian
dari alam lingkungan. Ini membuat manusia merasa bebas untuk mengamati semesta demi
mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk memanipulasi, mengontrol dan
memanfaatkannya. Dengan kata lain, objektivisme mendorong lahirnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang memberikan dominasi manusia terhadap lingkungannya.
Dampak atau pengaruh lain dari doktrin ini adalah semakin berkembangnya paham
Antroposentris yang memang merupakan ciri paradigma Newtonian. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, dua pendiri penting paradigma ini yaitu Descartes dan Bacon,
memang memandang semesta sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan dan mengabdi bagi
kepentingan manusia. Paham ini membuat modus berpikir dalam Sains Modern sangat
bernuansa Instrumentalisme yang melihat kebenaran ilmu pengetahuan hanya semata diukur
dari kegunaannya dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan material manusia.
Kontekstualisme
Sumber :
1. Kemandirian Lokal(Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif
Sains baru) Karya Prof. Dr. Eng. A. Mappadjantji Amien, DEA
2. Filsafat Ilmu Karya Prof. Dr. Endang Komara, M. Si
3. Wikipedia
Ket:* ) Individual Assignment for Master of Regional Planning and Development at Hasanuddin University
Supervised by Prof.Dr.Eng Dadang A. Suriamiharja,M.Eng