Anda di halaman 1dari 9

FILSAFAT ILMU

“Objektivisme dan Kontekstualisme”*

by Hery Sopari

A. PENDAHULUAN

Definisi
Pengetahuan adalah Persepsi subyek (manusia) atas obyek (riil dan gaib) atau fakta.
Ilmu Pengetahuan adalah kumpulan pengetahuan yang benar disusun dengan sistem dan
metode untuk mencapai tujuan yang berlaku universal dan dapat diuji/diverifikasi
kebenarannya. Ilmu Pengetahuan bukan satu, melainkan banyak (plural), bersifat terbuka
(dapat dikritik), berkaitan dalam memecahkan masalah.

Jadi, Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan
tertentu secara rasional. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah Cabang filsafat yang
mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar
kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Filsafat Ilmu
Pengetahuan disebut juga Kritik Ilmu, karena historis kelahirannya disebabkan oleh
rasionalisasi dan otonomisasi dalam mengeritik dogma-dogma dan tahayul.

Membangun Filsafat Ilmu Pengetahuan “Tertentu”


Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan
aksiologi), maka perlu mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau
intisari atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut.
Aspek Ontologi
Ontologi merupakan salah satu diantara lapangan-lapangan penyelidikan kefilsafatan
yang paling kuno. Sejak dini dalam pikirna barat sudah menunjukkan munculnya
perenungan ontologism, sebagaimana Thales ketika ia merenungkan dan mencari apa
sesungguhnya hakikat “yang ada” (being) itu, yang pada akhirnya ia berkesimpulan bahwa
asal-usul dari segala sesuatu itu adalah air.
Ontologi merupakan asas dalam menetapkan batas ruang lingkup wujud yang menjadi
obyek penelaahan serta penafsiran tentang hakikat realitas. Ontologi meliputi permasalahan
apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan
itu, yang tidak terlepas dari pandangan tentang apa dan bagaimana yang ada(being) itu.
Paham idealisme atau spiritualisme, materialism, dualism, pluralism dan seterusnya
merupakan paham ontologisme yang akan menentukan pendapat dan bahkan keyakinan kita
masing-masing tentang apa dan bagaimana kebenaran dan kenyataan yang hendak dicapai
dan ilmu itu.
Louis O. Kattsoff membagi ontologi dalam 3 bagian yaitu ontologi bersahaja, ontologi
kuantitatif serta ontologi monistik. Dikatakan ontologi bersahaja sebab segala sesuatu
dipandang dalam keadaan sewajarnya dan apa adanya. Dikatakan ontologi kuantitatif karena
dipertanyakan mengenai tunggal atau jamaknya dan diakatakan ontologi kualitatif juga
bernagkat dari pertanyaan : apakah yang merupakan jenis kenyataan itu. Sedangkan ontoligi
monistik adalah jika dikatakan bahwa kenyataan itu tunggal adanya; keanekaragaman,
perbedaan dan perubahan dianggap semu belaka. Pada gilirannya ontologi monistik
melahirkan monism atau idealism.

Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan secara :


1. Metodis; Menggunakan cara ilmiah
2. Sistematis; Saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan
3. Koheren; Unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan
4. Rasional; Harus berdasar pada kaidah berfikir yang benar (logis)
5. Komprehensif; Melihat obyek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan
secara multidimensional – atau secara keseluruhan (holistik)
6. Radikal; Diuraikan sampai akar persoalannya, atau esensinya
7. Universal; Muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.

Aspek Epistemologis
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan
sahnya ilmu pengetahuan. Terdapat 3 persoalan pokok dalam bidang epistemology antara
lain: (1) Apakah sumber pengetahuan itu? Dari mana datangnya pengetahuan yang benar
itu? Dan bagaiman cara mengetahuinya?; (2) Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada
dunia yang benar-benar di luar pikiran kita? Dan kalau ada, apakah kita bisa mengatahuinya;
(3) Apakah pengetahuan itu benar(valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar
dari yang salah.

Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang justifikasi kebenaran
pengetahuan atau kepercayaan.
Untuk menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut:
1. Menemukan kebenaran dari masalah
2. Pengamatan dan teori untuk menemukan kebenaran
3. Pengamatan dan eksperimen untuk menemukan kebenaran
4. Falsification atau operasionalism (experimental opetarion, operation research)
5. Konfirmasi kemungkinan untuk menemukan kebenaran
6. Metode hipotetico – deduktif
7. Induksi dan presupposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta

Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools


untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari
kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera
sebagai pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang
positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah
kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.

Aspek Aksiologi

Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat nilai yang pada
umumnya ditinjau dari sudut pandang kefilsafatan. Aksiologi meliputi nilai-nilai, parameter
bagi apa yang disebut sebagai kebenaran atau kenyataan itu, sebagaimana kehidupan kita
yang menjelajahi berbagai kawasan, seperti kawasan sosial, kawasan fisik materil dan
kawasan simbolik yang masing-masing menunjukkan aspeknya sendiri. Lebih dari itu ,
aksiologi juga menunjukkan kaidah-kaidah apa yang harus kita perhatikan di dalam
menerapkan ilmu ke dalam praksis. Pertanyaan mengenai aksiologi menuru Kattsoff dapat
dijawab melalui 3 cara. Pertama, nilai sepenuhnya berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut
pandang ini, nilai merupakan reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan
keberadaannya tergantung kepada pengalaman mereka. Kedua, nilai merupakan kenyataan
ditinjau dari segi ontologisme namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai
tersebut merupakan esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan
objektivisme logis. Ketiga, nilai merupakan unsur objektif yang menyusun kenyataan yang
demikian disebut objektivisme metafisik.
Tujuan dasar Aksiologi yaitu menemukan kebenaran atas fakta “yang ada” atau
sedapat mungkin ada kepastian kebenaran ilmiah.

B. Sains Modern dan Sains Baru


Kajian ini mengacu pada buku Kemandirian Lokal (Konsepsi Pembangunan, Organisasi,
dan Pendidikan dari Perspektif Sains Baru karya Prof. Dr.Eng. A. Mappadjantji Amien,
DEA)

Sains Modern
Temuan Nicolas Copernicus (1473-1549) yang menggeser pandangan Geosentris yang
merupakan ajaran suci gereja, ke pandangan Heliosentris merupakan pertanda dimulainya
era baru, era dimana pemikiran rasional dapat melepaskan diri dari cengkraman
teologi(filsafat keagamaan). Episode perpecahan ini digambarkan dengan sangat baik oleh
lukisan klasik yang memperlihatkan Galileo yang berjubah terdakwa sedang berlutut
dihadapan otoritas gereja untuk mengucapkan sumpah bahwa ia akan meninggalkan
pendapat Copernicus yang dianggap sesat.

Walaupun Galileo telah dipaksa bersumpah, tetapi perkembangan sains tetap tidak dapat
dihambat. Berikut adalah beberapa perkembangan sains:
1. Metode Empiris induktif telah disumbangkan oleh Francis Bacon (1561-1662) sebagai
tandingan sekaligus serangan terhadap logika deduktifnya Aristotelian.
2. Doktrin Reduksionisme telah dikembangkan oleh Descartes (1596-1650), dia juga
mengembangkan filsafat rasionalisme yang menjadi acuan metode Rasional Deduktif.
3. Isaac Newton(1642-1727) melakukan sintesis besar dari berbagai pemikiran ilmuwan
para pendahulunya yang bermuara pada keberhasilannya merumuskan hukum-hukum
dasar tentang gerak serta teori gravitasi. Karya Newton inilah yang mendorong
perkembangan Sains Modern yang akhirnya dapat dilihat seperti saat ini.
Ada 3 pilar utama Sains Modern yang telah menggantikan sistem Aristotelian-Ptolemeus
yang berbau mistik neoplatonis dan teologi kristiani, yaitu:
1. Reduksionisme, yaitu faham yang melihat segala sesuatu terdiri atas bagian-bagian.
Menurut faham ini pemahaman terhadap setiap bagian akan memberikan gambaran
komprehensif tentang sesuatu itu.
2. Determinisme, yaitu faham yang meyakini bahwa semesta bekerja menurut hukum sebab
akibat yang pasti.
3. Objektivisme, yaitu faham yang meyakini kebenaran bersifat objektif, tidak tergantung
kepada pengamat dan cara mengamati.

Sains Modern yang dikenal dengan Newtonian memandang alam semesta tidak lebih dari
suatu sistem mekanis yang tunduk pada hukum-hukum matematika yang pasti. Semua hal
dapat diprediksi secara kuantitatif, sehingga tidak menyisakan sedikitpun ruang bagi
pertimbangan-pertimbangan yang bernuansa kualitatif termasuk mental spiritual.

Di era sebelumnya akal dan rasio dijadikan pelayan bagi kepentingan iman kepercayaan,
maka pada zaman ini keduanya berhasil membebaskan diri, menduduki posisi terhormat dan
memilih alam untuk melayaninya. Pelayanan alam tersebut telah membuat manusia terlena,
semakin asyik dengan menikmatinya, hal ini semakin melupakan kita dalam pencarian
hakikat alam semesta. Disadari ataupun tidak kita telah mengulangi kesalahan abad
pertengahan yang telah menyingkirkan upaya pencarian itu demi kepentingan iman
kepercayaan.
Sains Modern telah memberikan sumbangan besar bagi peradaban manusia, namun
dibalik itu semua dirasakan adanya kehampaan makna dan kekosongan bagi sebagian besar
umat manusia. Peradaban yang dihasilkan dari Sains Modern tidak dapat dipungkiri telah
sangat berhasil menggunakan secara optimal potensi rasio manusia, namun disisi lain Sains
Modern telah menjauhkan diri dari hal lainnya yang lebih kaya dan bermakna.
Ilmu pengetahuan dan teknologi di era ini sangat begitu maju, namun disisi lain membuat
manusia terasing dengan lingkungannya, bahkan tidak mengenal dengan dirinya sendiri. Hal
ini mendorong manusia untuk kembali meneruskan pencariannya.

Sains Baru
Sains Modern sangat mencengangkan karena telah menyingkap banyak dari rahasia alam
semesta, namun disisi lain banyak juga menghasilkan dampak negatif.
Beberapa penemuan sains telah memperingatkan kita untuk meninjau kembali /merevisi
pilar-pilar paradigma Sains Modern. Teori Chaos memperingatkan kita bahwa kita harus
memperhatikan perubahan-perubahan kecil karena memiliki potensi nyata untuk mengubah
masa depan suatu sistem. Butterfly Effect (Efek sayap kupu-kupu), adalah istilah dalam
"Teori Chaos" (Chaos Theory) yang berhubungan dengan "ketergantungan yang peka
terhadap kondisi awal" (sensitive dependence on initial conditions), dimana perubahan kecil
pada satu tempat dalam suatu sistem non-linear dapat mengakibatkan perbedaan besar dalam
keadaan kemudian. Istilah yang pertama kali dipakai oleh Edward Norton Lorenz ini
merujuk pada sebuah pemikiran bahwa kepakan sayap kupu-kupu di hutan belantara Brazil
secara teori dapat menghasilkan tornado di Texas beberapa bulan kemudian.
Semesta terbukti tidak linear dan saling terkait satu dengan yang lainnya secara
dinamis. Semesta juga bersifat partisipatif sekaligus tertutup. Semesta hanya mau menjawab
pertanyaan sesuai dengan cara yang kita ajukan, tetapi menyembunyikan yang lainnya.
Fakta ini membuat metode penelitian membutuhkan revisi mendasar, meninggalkan
pendekatan interogatif dan menggantikannya dengan pendekatan keterlibatan/dialogis.
Pendekatan ilmiah pun sudah saatnya dilengkapi dengan pendekatan lain yang bersifat
kualitatif, agar kita dapat memanfaatkan secara optimal potensi kemanusiaan kita, seperti
emosi, intuisi, kemampuan spiritual dan kesadaran transendental.
Paradigma sains baru merupakan jawaban dari hasil temuan-temuan baru, diharapkan
dapat menghadirkan dimensi baru yang akan memperkaya makna kehidupan serta
mengantarkan kita untuk lebih dekat dengan hakikat realitas alam semesta.

Ada dua alternatif paradigma Sains Baru yaitu paradigma Holisme-Dialogis dan
paradigma digitalis-informatisme.
Pada kesempatan ini akan difokuskan pada paradigma Holisme-Dialogis yang merupakan
jawaban langsung dari runtuhnya paradigma Newtonian. 3 Pilar utama yang menunjang
paradigma ini adalah:
1. Holisme-interkoneksitas
2. Probabilisme
3. Kontekstualisme

Perbandingan Sains Modern dan Sains Baru

Pilar Utama Sains Modern Sains Baru


3 Pilar utama Reduksionisme Holisme-interkoneksitas
Determinisme Probabilisme
Objektivisme Kontekstualisme
Pada kesempatan ini akan dibahas mengenai objektivisme dan kontekstualisme sebagai salah
satu pilar paradigma Holisme-Dialogis.

C. Objektivisme dan Kontekstualisme

Objektivisme
Objektivisme merupakan konsekuensi logis paham dualisme yang membagi alam
semesta menjadi subjek dan objek yang saling terpisah secara absolut. Subjek dalam hal ini
manusia dapat mengamati, mengukur, dan memahami objek sebagaimana adanya, tanpa
pengaruh atau dipengaruhi oleh objek. Hasil pengamatan itu sendiri bersifat objektif, dalam
arti bukan merupakan hasil konstruksi mental manusia dan juga tidak dipengaruhi oleh
proses pengamatan. Dengan demikian realitas atau kebenaran yang ditemukan bersifat
absolut. Artinya jika sesuatu telah diterima atau dianggap benar, maka semua yang
tidak sesuai atau serupa dengannya pastilah salah.
Agar dapat menghasilkan kebenaran ilmiah, proses pengamatan harus dilakukan
berdasarakan metode ilmiah yang shahih. Jika tidak, hasil yang diperoleh harus ditolak.
Inilah yang kemudian dikenal sebagai paham Materialisme-Saintisme (materialisme ilmiah)
yang menjadi acuan dalam penelitian-penelitian yang memberikan kontribusi kepada
kemajuan sains seperti yang kita lihat sekarang. Walaupun perlu digarisbawahi, bahwa tidak
sedikit pula temuan ilmiah yang tidak diperoleh melalui metode ilmiah.
Doktrin objektivisme membuat manusia merasa terpisah atau bukan merupakan bagian
dari alam lingkungan. Ini membuat manusia merasa bebas untuk mengamati semesta demi
mendapatkan pengetahuan yang diperlukan untuk memanipulasi, mengontrol dan
memanfaatkannya. Dengan kata lain, objektivisme mendorong lahirnya ilmu pengetahuan
dan teknologi yang memberikan dominasi manusia terhadap lingkungannya.
Dampak atau pengaruh lain dari doktrin ini adalah semakin berkembangnya paham
Antroposentris yang memang merupakan ciri paradigma Newtonian. Sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, dua pendiri penting paradigma ini yaitu Descartes dan Bacon,
memang memandang semesta sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan dan mengabdi bagi
kepentingan manusia. Paham ini membuat modus berpikir dalam Sains Modern sangat
bernuansa Instrumentalisme yang melihat kebenaran ilmu pengetahuan hanya semata diukur
dari kegunaannya dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan material manusia.

Kontekstualisme

Kontekstualisme adalah doktrin yang menyatakan bahwa “ kebenaran” tidaklah bersifat


objektif. Kebenaran sangat tergantung pada pengamat dan cara mengamati. Artinya bersifat
kontekstual. Doktrin ini mengantar kita kepada simpulan bahwa tidak ada kebenaran absolut
karena semuanya tergantung kepada cara pandang atau paradigma yang kita anut.
Kontekstualisme merupakan salah satu pilar utama dari paradigm Holisme-Dialogis yaitu
salah satu paradigma Sains Baru. Kontekstualisme sebagai pengganti dari objektivisme pada
paradigma Newtonian.
Realitas sangat tergantung kepada posisi dan cara kita mengamatinya. Sebagai
contoh, bola yang terletak di kejauhan akan terlihat sebagai cakram dua dimensi, namun
setelah diamati pada jarak dekat, bola akan terlihat sebagai benda tiga dimensi. Pengamatan
serupa tapi lebih rumit adalah pada pengamatan elektron yang sangat menggugah
pemahaman baru manusia terhadap realitas semesta. Elektron menunjukkan penampakan
yang senantiasa menyesuaikan diri terhadap peralatan yang kita gunakan untuk
mengamatinya. Jika peralatan yang dipakai adalah untuk mengamati gejala gelombang,
maka elektron akan menampakkan diri sebagai gelombang, dan sebaliknya jika peralatan
yang digunakan adalah untuk mendeteksi partikel, maka elektron terdeteksi dalam wujud
materi. Ini menunjukkan sifat “baru” alam semesta, bahwa alam semesta senantiasa
menjawab pertanyaan sesuai dengan pertanyaan itu sendiri.
Hal ini membawa implikasi luar biasa, realitas yang tampak pada kita adalah senantiasa
sesuai dengan apa yang kita inginkan atau bayangkan untuk mendapatkannya. Semesta
ternyata sangat partisipatif. Cara kita bertanya, menentukan jawaban yang akan kita
peroleh. Semesta adalah gelombang probabilitas. Ia mewujudkan dirinya sesuai peralatan
yang kita gunakan. Wujud itupun selanjutnya akan kita interpretasikan sesuai dengan
persepsi kita yang dibentuk oleh akumulasi pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.
Contoh fenomena elektron ini sekaligus memperlihatkan bahwa disamping bersifat
partisipatif, alam sekaligus bersifat “tertutup”. Ia hanya mau memperlihatkan sisi yang kita
inginkan jawabannya, hanya menjawab apa yang kita tanyakan, tetapi pada saat yang sama
menyembunyikan sisi lainnya.
Pelajaran yang dapat kita tarik dari fenomena elektron tadi adalah bahwa kita harus
mampu menerima realitas yang sekilas terlihat bertentangan(paradox). Kita harus belajar
hidup dalam kemenduaan karena alam semesta terdiri dari unsur-unsur yang bertentangan
tapi saling melengkapi. Realitas ini sebenarnya bukan hal yang baru. Peradaban Cina kuno
mengenalnya dengan Yin dan Yang sedangkan kebudayaan Yunani klasik melihatnya
sebagai pasangan Gaia dan Chaos. Kedua kekuatan saling bertentangan itu sebenarnya
bersifat komplementaris, saling melengkapi, khususnya dilihat dari perannya untuk menjaga
keberlangsungan proses yang menjadi sifat dasar semesta.
Tidak terdapat kenyataan objektif yang menunggu untuk diungkapkan rahasianya. Tidak
ada rumus yang tetap untuk menerangkan realitas. Yang ada hanyalah apa yang kita ciptakan
melalui hubungan manusia dengan manusia dan dengan peristiwa. Dengan demikian segala
sesuatu selalu baru dan unik (Wheatley, 1999). Dengan kata lain, kenyataan hanya akan
mewujud jika ada pengamat. Tanpa kehadiran pengamat, tidak akan ada kenyataan.
Kehadiran pengamat akan meruntuhkan gelombang probabilitas menjadi kenyataan tunggal.
Dengan demikian, penjelasan atau deskripsi ilmiah yang selama ini diyakini bersifat
objektif yaitu terlepas dari manusia yang mengamati dan dari proses pengetahuan,
tidak lagi dapat dipertahankan. Kesadaran baru terhadap adalah bahwa epistemologi,
pemahaman atas proses ilmu pengetahuan, secara eksplisit tercakup ke dalam penjelasan
terhadap fenomena alam. Ini menunjukan bahwa realitas tergantung pada cara pandang
kita. Walaupun pada saat ini belum disepakati format epistemologi yang tepat, namun mulai
dapat diterima bahwa epistemologi harus menjadi bagian integral dari setiap teori
ilmiah(Capra, 1991).
Konsekuensi logis dari pergeseran yang dimaksudkan di atas adalah bahwa semua
penjelasan ilmiah bersifat “perkiraan deskriptif” bukan merupakan “kebenaran
absolut” sebagaimana yang diyakini dalam paradigma Newtonian. Paradigma lama
didasarkan pada keyakinan bahwa pengetahuan ilmiah mampu mencapai kepastian yang
mutlak dan final. Sedangkan dalam paradigma baru, diakui bahwa semua konsep, teori, dan
hasil penyelidikan selalu terbatas dan hanya bersifat perkiraan.
Ilmu pengetahuan tidak akan pernah mampu memberikan pemahaman yang lengkap dan
definitif terhadap realitas. Teori ilmiah tidak mampu membuat gambaran realitas secara
lengkap dan pasti. Teori-teori tersebut selalu hanya merupakan perkiraan terhadap hakikat
realitas sejati. Kisah tentang beberapa orang buta yang mendiskusikan wujud seekor
gajah merupakan contoh yang sangat baik digunakan untuk menggambarkan keterbatasan
ilmu dalam merefleksikan semesta. Orang buta yang memegang kaki gajah menjelaskan
bahwa gajah sangat menyerupai batang pohon kelapa. Kemudian yang memegang ekornya
menyimpulkan bahwa gajah adalah seutas cambuk. Yang memeriksa bagian tubuh yang lain
memiliki kesimpulan yang lain pula. Semua kesimpulan itu benar karena dapat
menggambarkan sebagaian dari realitas, tetapi sekaligus salah karena tidak menggambarkan
sosok gajah yang sebenarnya.
Hak ini dapat mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tidak ada bentuk
pengukuran yang netral, karena disadari bahwa semua objek pengamatan, termasuk
pengamatnya sendiri saling terkait dengan “objek” yang lainnya. Kontekstualisme
merupakan kepekaan terhadap saling ketergantungan antara bagaimana segala sesuatu
terlihat dan lingkungannya yang menyebabkannya tampak demikian.

Perbandingan antara objektivisme dan kontekstualisme


Unsur Objektivisme Kontekstualisme
Filsafat Ilmu
Ontologi  Realitas berdasarkan objek. Kebenaran  bahwa “ kebenaran” tidaklah bersifat
bersifat absolut objektif. Kebenaran sangat tergantung
pada pengamat dan cara mengamati.
 penjelasan atau deskripsi ilmiah yang Artinya bersifat kontekstual
selama ini diyakini bersifat objektif yaitu
terlepas dari manusia yang mengamati dan  tidak ada kebenaran absolut karena
dari proses pengetahuan semuanya tergantung kepada cara
pandang atau paradigma yang kita anut

 kenyataan hanya akan mewujud jika ada


pengamat. Tanpa kehadiran pengamat,
tidak akan ada kenyataan. Kehadiran
pengamat akan meruntuhkan gelombang
probabilitas menjadi kenyataan tunggal.
Epistemologi  Subjek dalam hal ini manusia dapat  Realitas sangat tergantung kepada posisi
mengamati, mengukur, dan memahami dan cara kita mengamatinya
objek sebagaimana adanya, tanpa
pengaruh atau dipengaruhi oleh objek.  Wujud semesta/realitas di
Hasil pengamatan itu sendiri bersifat interpretasikan sesuai dengan persepsi
objektif, dalam arti bukan merupakan hasil manusia yang dibentuk oleh akumulasi
konstruksi mental manusia dan juga tidak pengalaman dan pengetahuan yang
dipengaruhi oleh proses pengamatan. dimiliki

 Agar dapat menghasilkan kebenaran  Semesta sangat partisipatif


ilmiah, proses pengamatan harus
dilakukan berdasarakan metode ilmiah
yang shahih. Jika tidak, hasil yang
diperoleh harus ditolak.
Aksiologi  Ini membuat manusia merasa bebas untuk  alam semesta terdiri dari unsur-unsur
mengamati semesta demi mendapatkan yang bertentangan tapi saling
pengetahuan yang diperlukan untuk melengkapi. Kedua kekuatan saling
memanipulasi, mengontrol dan bertentangan itu sebenarnya bersifat
memanfaatkannya. Dengan kata lain, komplementaris, saling melengkapi,
objektivisme mendorong lahirnya ilmu khususnya dilihat dari perannya untuk
pengetahuan dan teknologi yang menjaga keberlangsungan proses yang
memberikan dominasi manusia terhadap menjadi sifat dasar semesta.
lingkungannya  Kontekstualisme memberikan pelajaran
bahwa kita harus bisa menerima
perbedaan sudut pandang, kebenaran
tidak bersifat absolut karena tergantung
sudut pandang, oleh karena itu tidak ada
bentuk pengukuran yang netral, karena
disadari bahwa semua objek
pengamatan, termasuk pengamatnya
sendiri saling terkait dengan “objek”
yang lainnya. Kontekstualisme
merupakan kepekaan terhadap saling
ketergantungan antara bagaimana
segala sesuatu terlihat dan
lingkungannya yang menyebabkannya
tampak demikian.

Sumber :
1. Kemandirian Lokal(Konsepsi Pembangunan, Organisasi, dan Pendidikan dari Perspektif
Sains baru) Karya Prof. Dr. Eng. A. Mappadjantji Amien, DEA
2. Filsafat Ilmu Karya Prof. Dr. Endang Komara, M. Si
3. Wikipedia

Ket:* ) Individual Assignment for Master of Regional Planning and Development at Hasanuddin University
Supervised by Prof.Dr.Eng Dadang A. Suriamiharja,M.Eng

Anda mungkin juga menyukai