Anda di halaman 1dari 15

SEJARAH BERDIRINYA

MUHAMMADIYAH DI INDONESIA
Desember 14, 2012 by tonijulianto 16 Komentar

https://tonijulianto.wordpress.com/2012/12/14/sejarah-berdirinya-muhammadiyah-di-indonesia/

A. SEJARAH BERDIRINYA MUHAMMADIYAH DI INDONESIA

Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330


H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad Darwis, kemudian dikenal dengan
KHA Dahlan .
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai
pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh
dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu
beliau memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya sebagai Khatib
dan para pedagang.

Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya, akhirnya mendapat
sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya sebagai pedagang sangat mendukung
ajakan beliau, sehingga dalam waktu singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman
bahkan sampai ke luar daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut
maka didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada diseluruh
pelosok tanah air.

Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga memberi


pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang disebut “Sidratul Muntaha”. Pada
siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak
yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu
masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin
Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga
tahun 1934.Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun
1926 yang di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini
Menjadi Muktamar 5 tahunan.

B. PERKEMBANGAN MUHAMMADIYAH DI INDONESIA


Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini
diambil dari nama Nabi Muhammad SAW. sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai
orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam
proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan
kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik (ini dibuktikan dengan jumlah lembaga pendidikan yang dimiliki
Muhammadiyah yang berjumlah ribuan). Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia
dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan
perbuatan yang ekstrem.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al
Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu
segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah
dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh
Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam
secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup
berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah
dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang
mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan,
dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
A. Latar Belakang Kelahiran
Muhammadiyah merupakan gerakan umat Islam yang lahir di Yogyakarta pada tanggal 8
Djulhijah 1330 H, atau tanggal 18 Nopember 1912 M. Muhammadiyah berasal dari bahasa Arab
“Muhammad” yaitu nama nabi terakhir, kemudian mendapatkan ‘ya nisbiyah’ yang artinya
menjeniskan. Jadi Muhammadiyah berarti umatnya Muhammad atau pengikutnya Muhammad.
Tujuan : menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenarnya.
Berdasarkan situs resmi Muhammadiyah, Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di
Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.
Persyarikatan Muhammadiyah didirikan untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan untuk
memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada
awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul
Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan
sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti
nama menjadi Kweek School Muhammadiyah (sekarang dikenal dengan Madrasah Mu’allimin
_khusus laki-laki, yang bertempat di Patangpuluhan kecamatan Wirobrajan dan Mu’allimaat
Muhammadiyah khusus Perempuan, di Suronatan Yogyakarta).
Pada masa kepemimpinan Ahmad Dahlan (1912-1923), pengaruh Muhammadiyah terbatas di
karesidenan-karesidenan seperti: Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan Pekajangan, daerah
Pekalongan sekarang. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota
tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa Muhammadiyah
ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam. Dalam tempo yang relatif
singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke seluruh Sumatera Barat, dan dari
daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan
Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah telah tersebar keseluruh Indonesia. Terdapat pula
organisasi khusus wanita bernama Aisyiyah.
Muhammadiyah adalah gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar, berasa Islam dan
bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist. Gerakan Muhammadiyah bermaksud untuk berta’faul
(berpengharapan baik) dapat mencontoh dan meneladani jejak perjuangan nabi Muhammad
SAW, dalam rangka menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam semata-mata demi
terwujudnya izzul Islam wal muslimin, kejayaan Islam sebagai idealita dan kemuliaan hidup
sebagai realita.
Faktor utama yang mendorong berdirinya Muhammadiyah adalah hasil pendalaman K.H. Ahmad
Dahlan terhadap Al Qur’an dalam menelaah, membahas, meneliti dan mengkaji kandungan
isinya. Dalam surat Ali Imran ayat 104 dikatakan bahwa: “ Dan hendaklah ada diantara kamu
sekalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan
mencegah yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung”. Memahami seruan diatas,
K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk membangun sebuah perkumpulan, organisasi atau
perserikatan yang teratur dan rapi yang tugasnya berkhidmad pada pelaksanaan misi dakwah
Islam amar ma’ruf nahi munkar di tengah masyarakat.
B. Visi dan Misi Muhammadiyah
1. Visi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan
watak tajdid yang dimilikinya senantiasa istiqomah dan aktif dalam melaksanakan dakwah Islam
amar ma’ruf nahi munkar di semua bidang dalam upaya mewujudkan Islam sebagai rahmatan
lil’alamin menuju terciptanya/terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
2. Misi
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam, dakwah amar ma’ruf nahi munkar memiliki misi :
1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni sesuai dengan ajaran Allah SWT yang dibawa oleh
para Rasul sejak Nabi Adam as. hingga Nabi Muhammad saw.
2. Memahami agama dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam untuk
menjawab dan menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan.
3. Menyebar luaskan ajaran Islam yang bersumber pada Al-Qur’an sebagai kitab Allah terakhir
dan Sunnah Rasul untuk pedoman hidup umat manusia.
4. Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat.
C. Faktor Internal dan Eksternal Lahirnya Muhammadiyah
1. Faktor obyektif yang bersifat Internal
a) Kelemahan dan praktek ajaran Islam.
Kelemahan praktek ajaran agama Islam dapat dijelaskan melalui dua bentuk
1. Tradisionalisme
Pemahaman dan praktek Islam tradisionalisme ini ditandai dengan pengukuhan yang kuat
terhadap khasanah intelektual Islam masa lalu dan menutup kemungkinan untuk melakukan
ijtihad dan pembaharuan-pembaharuan dalam bidang agama. Paham dan praktek agama seperti
ini mempersulit agenda ummat untuk dapat beradaptasi dengan perkembangan baru yang banyak
datang dari luar (barat). Tidak jarang, kegagalan dalam melakukan adaptasi itu termanifestasikan
dalam bentuk-bentuk sikap penolakan terhadap perubahan dan kemudian berapologi terhadap
kebenaran tradisional yang telah menjadi pengalaman hidup selama ini.
2. Sinkretisme
Pertemuan Islam dengan budaya lokal disamping telah memperkaya khasanah budaya Islam,
pada sisi lainnya telah melahirkan format-format sinkretik, percampuradukkan antara sistem
kepercayaan asli masyarakat-budaya setempat. Sebagai proses budaya, percampuradukkan
budaya ini tidak dapat dihindari, namun kadang-kadang menimbulkan persoalan ketika
percampuradukkan itu menyimpang dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam tinjauan
aqidah Islam. Orang Jawa misalnya, meski secara formal mengaku sebagai muslim, namun
kepercayaan terhadap agama asli mereka yang animistis tidak berubah. Kepercayaan terhadap
roh-roh halus, pemujaan arwah nenek moyang, takut pada yang angker, kuwalat dan sebagainya
menyertai kepercayaan orang Jawa. Islam, Hindu, Budha dan animisme hadir secara bersama-
sama dalam sistem kepercayaan mereka, yang dalam aqidah Islam banyak yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan secara Tauhid.
b) Kelemahan Lembaga Pendidikan Islam
Lembaga pendidikan tradisional Islam, Pesantren, merupakan sistem pendidikan Islam yang khas
Indonesia. Transformasi nilai-nilai keIslaman ke dalam pemahaman dan kesadaran umat secara
institusional sangat berhutang budi pada lembaga ini. Namun terdapat kelemahan dalam sistem
pendidikan Pesantren yang menjadi kendala untuk mempersiapkan kader-kader umat Islam yang
dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan zaman. Salah satu kelemahan itu terletak pada
materi pelajaran yang hanya mengajarkan pelajaran agama, seperti Bahasa Arab, Tafsir, Hadist,
Ilmu Kalam, Tasawwuf dan ilmu falak. Pesanteren tidak mengajarkan materi-materi pendidikan
umum seperti ilmu hitung, biologi, kimia, fisika, ekonomi dan lain sebagainya, yang justru
sangat diperlukan bagi umat Islam untuk memahami perkembangan zaman dan dalam rangka
menunaikan tugas sebagai khalifah di muka bumi ini. Ketiadaan lembaga pendidikan yang
mengajarkan kedua materi inilah yang menjadi salah satu latar belakang dan sebab kenapa KH.
Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, yakni untuk melayani kebutuhan umat terhadap
ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu duniawi.
2. Faktor Objektif yang Bersifat Eksternal
a. Kristenisasi
Faktor objektif yang bersifat eksternal yang paling banyak mempengaruhi kelahiran
Muhammadiyah adalah kristenisasi, yakni kegiatan-kegiatan yang terprogram dan sistematis
untuk mengubah agama penduduk asli, baik yang muslim maupun bukan, menjadi kristen.
Kristenisasi ini mendapatkan peluang bahkan didukung sepenuhnya oleh pemerintah
Kolonialisme Belanda. Missi Kristen, baik Katolik maupun Protestan di Indonesia, memiliki
dasar hukum yang kuat dalam Konstitusi Belanda. Bahkan kegiatan-kegiatan kristenisasi ini
didukung dan dibantu oleh dana-dana negara Belanda. Efektifitas penyebaran agama Kristen
inilah yang terutama mengguggah KH. Ahmad Dahlan untuk membentengi ummat Islam dari
pemurtadan.
b. Kolonialisme Belanda
Penjajahan Belanda telah membawa pengaruh yang sangat buruk bagi perkembangan Islam di
wilayah nusantara ini, baik secara sosial, politik, ekonomi maupun kebudayaan. Ditambah
dengan praktek politik Islam Pemerintah Hindia Belanda yang secara sadar dan terencana ingin
menjinakkan kekuatan Islam, semakin menyadarkan umat Islam untuk melakukan perlawanan.
Menyikapi hal ini, KH. Ahmad Dahlan dengan mendirikan Muhammadiyah berupaya melakukan
perlawanan terhadap kekuatan penjajahan melalui pendekatan kultural, terutama upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui jalur pendidikan.
c. Gerakan Pembaharuan Timur Tengah
Gerakan Muhammadiyah di Indonesia pada dasarnya merupakan salah satu mata rantai dari
sejarah panjang gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayyim,
Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
lain sebagainya. Persentuhan itu terutama diperolah melalui tulisan-tulisan Jamaluddin al-Afgani
yang dimuat dalam majalah al-Urwatul Wutsqa yang dibaca oleh KH. Ahmad Dahlan. Tulisan-
tulisan yang membawa angin segar pembaharuan itu, ternyata sangat mempengaruhi KH. Ahmad
Dahlan, dan merealisasikan gagasan-gagasan pembaharuan ke dalam tindakan amal yang riil
secara terlembaga.
Dengan melihat seluruh latar belakang kelahiran Muhammadiyah, dapat dikatakan bahwa KH.
Ahmad Dahlan telah melakukan lompatan besar dalam beritijtihad. Prinsip-prinsip dasar
perjuangan Muhammadiyah tetap berpijak kuat pada al-Quran dan Sunnah, namun implementasi
dalam operasionalisasinya yang memeiliki karakter dinamis dan terus berubah-ubah sesuai
dengan perkembangan zaman Muhammadiyah banyak memungut dari berbagai pengalaman
sejarah secara terbuka (misalnya sistem kerja organisasi yang banyak diilhami dari yayasan-
yayasan Katolik dan Protestan yang banyak muncul di Yogyakarta waktu itu.
1. C. Tokoh-Tokoh Muhammadiyah Dari Masa ke Masa
No Nama Awal Jabatan Akhir Jabatan
1 KH. Ahmad Dahlan 1912 1923
2 KH. Ibrahim 1923 1932
3 KH. Hisyam 1932 1936
4 KH. Mas Mansur 1936 1942
5 Ki Bagoes Hadikoesoemo 1942 1953
6 Buya AR Sutan Mansur 1953 1959
7 KH. M Yunus Anis 1959 1962
8 KH. Ahmad Badawi 1962 1968
9 KH. Faqih Usman 1968 1971
10 KH. AR. Fachruddin 1971 1990
11 KH. A. Azhar Basyir 1990 1995
12 Prof. Dr. H. Amien Rais 1995 2000
13 Prof. Dr. H. Ahmad Syafi’i Ma’arif 2000 2005
14 Prof. Dr. H. Din Syamsuddin 2005 Sampai Sekarang dan habis masa jabatannya tahun 2015

D. Perkembangan Muhammadiyah Di Indonesia


1. Perkembanngan secara Vertikal
Dari segi perkembangan secara vertikal, Muhammadiyah telah berkembang ke seluruh penjuru
tanah air. Akan tetapi, dibandingkan dengan perkembangan organisasi NU, Muhammadiyah
sedikit ketinggalan. Hal ini terlihat bahwa jamaah NU lebih banyak dengan jamaah
Muhammadiyah. Faktor utama dapat dilihat dari segi usaha Muhammadiyah dalam mengikis
adat-istiadat yang mendarah daging di kalangan masyarakat, sehingga banyak menemui
tantangan dari masyarakat.
1. Perkembangan secara Horizontal
Dari segi perkembangan secara Horizontal, amal usaha Muhamadiyah telah banyak berkembang,
yang meliputi berbagai bidang kehidupan. Perkembangan Muhamadiyah dalam bidang
keagamaan terlihat dalam upaya-upayanya, seperti terbentukanya Majlis Tarjih (1927), yaitu
lembaga yang menghimpun ulama-ulama dalam Muhammadiyah yang secara tetap mengadakan
permusyawaratan dan memberi fatwa-fatwa dalam bidang keagamaan, serta memberi tuntunan
mengenai hukum. Majlis ini banyak telah bayak memberi manfaat bagi jamaah dengan usaha-
usahanya yang telah dilakukan:
1. Memberi tuntunan dan pedoman dalam bidang ubudiyah sesuai dengan contoh yang telah
diberikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
2. Memberi pedoman dalam penentuan ibadah puasa dan hari raya dengan jalan perhitungan
“hisab” atau “astronomi” sesuai dengan jalan perkembangan ilmu pengetahuan modern.
3. Mendirikan mushalla khusus wanita, dan juga meluruskan arah kiblat yang ada pada amasjid-
masjid dan mushalla-mushalla sesuai dengan arah yang benar menurut perhitungan garis lintang.
4. Melaksanakan dan menyeponsori pengeluaran zakat pertanian, perikanan, peternakan, dan
hasil perkebunan, serta amengatur pengumpulan dan pembagian zakat fitrah.
5. Memberi fatwa dan tuntunan dalam bidang keluarga sejahtera dan keluarga berencana.
6. Terbentuknya Departemen Agama Republik Indonesia juga termasuk peran dari kepeloporan
pemimpin Muhammadiyah.
7. Tersusunnya rumusan “Matan Keyakinan dan Cita-Cita hidup Muhammadiyah”, yaitu suatu
rumusan pokok-pokok agama Islam secara sederhana, tetapi menyeluruh.
Dalam bidang pendidikan, usaha yang ditempuh Muhammadiyah meliputi:
1. mendirikan sekolah-sekolah umum dengan memasukkan ke dalamnya ilmu-ilmu keagamaan,
dan
2. mendirikan madrasah-madrasah yang juga diberi pendidikan pengajaran ilmu-ilmu
pengetahuan umum.
Dengan usaha perpaduan tersebut, tidak ada lagi pembedaan mana ilmu agama dan ilmu umum.
Semuanya adalah perintah dan dalam naungan agama. Dalam bidang kemasyarakatan, usaha-
usaha yang telah dilakukan Muhammadiyah meliputi:
1. Mendirikan rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan segala peralatan, membangun balai-
balai pengobatan, rumah bersalin, apotek, dan sebagainya.
2. Mendirikan panti-panti asuhan anak yatim, baik putra maupun putri untuk menyantuni
mereka.
3. Mendirikan perusahaan percetakan, penerbitan, dan toko buku yang banyak memublikasikan
majalah-majalah, brosur dan buku-buku yang sangat membantu penyebarluasan paham-paham
keagamaan, ilmu, dan kebudayaan Islam.
4. Pengusahaan dana bantuan hari tua, yaitu dana yang diberikan pada saat seseorang tidak lagi
bisa abekerja karena usia telah tua atau cacat jasmani.
5. Memberikan bimbingan dan penyuluhan keluarga mengenai hidup sepanjang tuntunan Ilahi.
Dalam bidang politik, usaha-usaha Muhammadiyah meliputi:
1. Menentang pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan pajak atas ibadah kurban. Hal ini
berhasil dibebaskan.
2. Pengadilan agama di zaman kolonial berada dalam kekuasaan penjajah yang tentu saja
beragama Kristen. Agar urusan agama di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya beragama
Islam, juga dipegang oleh orang Islam, Muhammadiyah berjuang ke arah cita-cita itu.
3. Ikut memelopori berdirinya Partai Islam Indonesia. Pada tahun 1945 termasuk menjadi
pendukung utama berdirinya partai Islam Masyumi dengan gedung Madrasah Mu’alimin
Muhammadiyah Yogyakarta sebagai tempat kelahirannya.
4. Ikut menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air Indonesia di kalangan umat Islam
Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam tabligh-tablighnya, dalam khotbah
ataupun tulisan-tulisannya.
5. Pada waktu Jepang berkuasa di Indonesia, pernah seluruh bangsa Indonesia diperintahkan
untuk menyembah dewa matahari, tuhan bangsa Jepang. Muhammadiyah pun diperintah untuk
melakukan Sei-kerei, membungkuk sebagai tanda hormat kepada Tenno Heika, tiap-tiap pagi
sesaat matahari sedang terbit. Muhammadiyah menolak perintah itu.
6. Ikut aktif dalam keanggotaan MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) dan menyokong
sepenuhnya tuntutan Gabungan Politik Indonesia (GAPI) agar Indonesia mempunyai parlemen di
zaman penjajahan. Begitu juga pada kegiatan-kegiatan Islam Internasional, seperti Konferensi
Islam Asia Afrika, Muktamar Masjid se-Dunia, dan sebagainya, Muhammadiyah ikut aktif di
dalamnya.
7. Pada saat partai politik yang bisa amenyalurkan cita-cita perjuangan Muhammadiyah tidak
ada, Muhammadiyah tampil sebagai gerakan dakwah Islam yang sekaligus mempunyai fungsi
politik riil. Pada saat itu, tahun 1966/1967, Muhammadiyah dikenal sebagai ormaspol, yaitu
organisasi kemasyarakatan yang juga berfungsi sebagai partai politik.
Dengan semakin luasnya usaha-usaha yang dilakukan oleh Muhammadiyah, dibentuklah
kesatuan-kesatuan kerja yang berkedudukan sebagai badan pembantu pemimpin persyarikatan.
Kesatuan-kesatuan kerja tersebut berupa majelis-majelis dan badan-badan. Selain majelis dan
lembaga, terdapat organisasi otonom, yaitu organisasi yang bernaung di bawah organisasi induk,
dengan amasih tetap memiliki kewenangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dalam
persyarikatan Muhammadiyah, organisasi otonom (Ortom) ini ada beberapa buah, yaitu:
1. ‘Aisyiyah
2. Nasyiatul ‘Aisyiyah
3. Pemuda Muhammadiyah
4. Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM)
5. Ikatan Mahasiswa Muhamadiyyah (IMM)
6. Tapak Suci Putra Muhamadiyah
7. Gerakan Kepanduan Hizbul-Wathan
Organisasi-organisasi otonom tersebut termasuk kelompok Angkatan Muda Muhammadiyah
(AMM). Keenam organisasi otonom ini berkewajiban mengemban fungsi sebagai pelopor,
pelangsung, dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah.
E. Pemikiran/Gagasan Tokoh-Tokoh Muhammadiyah
1. K.H. Ahmad Dahlan, lahir di Yogjakarta 1 Agustus 1868, ia berasal adari elit keagamaan
kesultanan Yogjakarta, menjadi haji tahun 1890, sekembalinya dari Mekkah, gagasanya
memperbaharui Islam melalui organisasi yang dibentuknya. Hingga tahun 1925 Muhammadiyah
telah mendirikan 50 buah sekolah dengan jumlah murid 4000 orang, balai pengobatan dan panti
asuhan.
2. K.H. Ibrahim,lahir 7 Mei 1874 di Yogjakarta, beliau adik Nyai Ahmad Dahlan. Pada masa ini
Muhammadiyah mengalami perkembangan yang pesat. Gagasannya adalah 1) kaum ibu supaya
rajin beramal dan beribadah, senantiasa mengingat Allah, rajin menjalankan perintah agama
Islam, 2) pengajian model sorogan, yaitu belajar prifat bersifat sindividual terutama untuk anak-
anak muda, dan model weton, yaitu cara mengajar mengaji kyai membaca sedang santri-
santrinya mendengarkan dengan memegang kitabnya masing-masing, 3) konggres mulai
diadakan secara bergiliran diseluruh kota Indonesia, seperti konggres Muhammadiyah ke 15di
Surabaya, kemudian berturut-turut setelah itu di selenggarakan di kota Pekalongan, Solo,
Bukittinggi, Makasar dan Semarang, 4) bea siswa, khitanan massal, memperbaiki badan
perkawinan dan menjodohka putra-putri Muhammadiyah, penurunan gambar KH. Ahmad
Dahlan, karena ada indikasi mengkultuskan beliau, 5) member kebebasan pada golongan muda
untuk mengekspresikan cara-cara berdakwah.
3. KH. Hisyam, lahir Yogjakarta, 10 November 1883, pada pereode ini perekembangan sekolah
sekolah Muhammadiyah tumbuh subur bak jamur, karena beliau lebih memperhatikan tentang
pendidikan dan pengajaran .Gagasannya, tentang 1) ketertiban administrasi dan menejemen
organisasi, 2) modernisasi sekolah-sekolah Muhammadiyah, sampai masa berakhir
kepemimpinannya tahun 1932 telah berdiri 103 volkschool, 47 Standaardschool, 69
hollandschool Inlandsche School ( HIS), dan 25 Schael School , yaitu sekolah lima tahun yang
menyambung ke MULO ( Meer Uitgedbreid lager Onderwijs) setara dengan SMP saat ini., 5)
menerima subsidi dari pemerintah Hindia Belanda.
4. Mas Mansyur, lahir Surabaya 25 Juni 1896, pahlawan nasional dan anggota 4 serangkai dalam
pergerakan Nasional Indonesia. Gagasannya, 1) membentuk majlis diskusi bersama (Tawsir al-
Afkar) berdiri karena latar belang kekolotan masyarakat Surabaya 2) membebaskan tanah air dari
penjajahan, 3) menerbitkan majalah Suara Santri, 4) memperbolehkan bunga bank.
5. Ki Bagus Hadikoesoemo, lahir Yogjakarta, dengan nama R Hidayat, 24 November 1890,
merupakan tokoh kuat patriotik, anggota BPUPKI dan PPKI. Gagasanya, 1) sangat besar
peranannya dalam mukodimah UUD 1945, dengan memberikan landasan ketuhanan,
kemanusiaan, keberadaban, dan keadilan, 2) merumuskan pokok-pokok pikiran KH. Ahmad
Dahlan yang dijadikan muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, 3) memperlakukan hukum
agama Islam, 4) menentang penghormatan kepada dewa matahari pada masa pemerintahan
Jepang,
6. Prof. Dr. Amin Rais, lahir di Solo, 26 April 1944, ia politikus yang pernah menjabat ketua
MPR pereode 1999 -2004, seorang yang kritis pada kebijakan pemerintah, dijuluki “King
Maker” dalam jabatan Presiden Indonesia saat awal reformasi. Gagasanya, 1) mendirikan PAN
dan membawa organisasi ke partai politik, 2) mendukung evaluasi kontrak karya terhadap PT
Freeport Indonesia.
7. Prof. Dr.Ahmad Syafi’i Ma’arif, lahir Sijunjung Sumatera Barat, 31 Mei 1935, tokoh ilmuwan
yang mempunyai komitmen kebangsaan yang kuat, sikap yang plural, kritis dan bersahaja.
Gagasannya tertuang dalam tulisan-tulisannya seperti dalam buku Dinamika Islam dan Islam
Mengapa Tidak ?
8. Prof. Dr. Din Syamsudin, lahir Sumabawa Besar, Nusatengara Tenggara Barat, 31 Agustus
1958, politisi yang saat ini masih menjabat sebagai ketua Umum Pimpinan Pusat
Muhammadiyah. Gagasannya, ia memandang bahwa terorisme lebih relevan bila dikaitkan
dengan isu poliik dibanding dengan isu idilogi, ia juga tidak senang bila sebagian kelompok
umat Islam menggunakan label Islam dalam melakukan aksi terorisme, menurutnya, aksi
terorisme yang mengatasnamakan Islan akan merugikan umat Islam baik dalam tingkat internal
umat Islam atau pada skala global
9. HAMKA, nama singkatan dari Haji Abdul Malik Karim ‘Amrullah ( Maninjau, Sumatera
Barat 16 Februari 1908 – Jakarta, 24 Juli 1981), tokoh dan pengarang Islam. Putera seorang
ulama terkemuka, terkenal dengan Haji Rasul dan medapat gelar doctor dari Al- Azhar ( 1955),
membawa pembaharuan dalam soal agama di Minangkabau , pendidikan formal SD tetapi
banyak belajar sendiri , terutama dalam bidang agama. Keahlian dalam Islam diakui oleh
Internasional sehingga mendapat gelar kehormatan dari Al-Azhar tahun 1955 dan Universitas
Kebangsaan Malaysia ( 1976). Tahun 1924 beliau merantau di pulau Jawa, untuk belajar antara
lain kepada H.O.S. Tjokroaminoto dan aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Karya tulisnya
adalah, Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal van der Wijck, Merantau ke Deli, Di
Dalam Lembah Kehidupan.
10. H. Abul Karim Oei ( Oei Tjen Hien ), lahir di Padang Panjang, 1905, mantan anggota
parlemen RI dan mendirikan organisasi etnis Tionghoa Islam dengan nama Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia/ PITI. Mantan komisaris BCA dan akktif dalam pembauran / asimilasi
Gagasannya, kesadaran harus hidup keluar dari lingkungan etnisnya.
Sejarah Singkat Muhammadiyah
http://www.muhammadiyah.or.id/content-
178-det-sejarah-singkat.html
Bulan Dzulhijjah (8 Dzulhijjah 1330 H) atau November (18 November 1912 M) merupakan momentum
penting lahirnya Muhammadiyah. Itulah kelahiran sebuah gerakan Islam modernis terbesar di Indonesia,
yang melakukan perintisan atau kepeloporan pemurnian sekaligus pembaruan Islam di negeri
berpenduduk terbesar muslim di dunia. Sebuah gerakan yang didirikan oleh seorang kyai alim, cerdas,
dan berjiwa pembaru, yakni Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis dari kota santri Kauman
Yogyakarta.

Kata ”Muhammadiyah” secara bahasa berarti ”pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata
”Muhammadiyah” dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak
perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma
mengandung pengertian sebagai berikut: ”Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa
pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw,
yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang
ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan
dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang suci dan benar itu dapat
memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya.”

Kelahiran dan keberadaan Muhammadiyah pada awal berdirinya tidak lepas dan merupakan menifestasi
dari gagasan pemikiran dan amal perjuangan Kyai Haji Ahmad Dahlan (Muhammad Darwis) yang
menjadi pendirinya. Setelah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci dan bermukim yang kedua kalinya
pada tahun 1903, Kyai Dahlan mulai menyemaikan benih pembaruan di Tanah Air. Gagasan pembaruan
itu diperoleh Kyai Dahlan setelah berguru kepada ulama-ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah
seperti Syeikh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari Banten, Kyai Mas Abdullah dari
Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang; juga setelah membaca pemikiran-pemikiran para
pembaru Islam seperti Ibn Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, dan Rasyid Ridha. Dengan modal kecerdasan dirinya serta interaksi selama bermukim di Ssudi
Arabia dan bacaan atas karya-karya para pembaru pemikiran Islam itu telah menanamkan benih ide-ide
pembaruan dalam diri Kyai Dahlan. Jadi sekembalinya dari Arab Saudi, Kyai Dahlan justru membawa ide
dan gerakan pembaruan, bukan malah menjadi konservatif.

Embrio kelahiran Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi untuk mengaktualisasikan gagasan-


gagasannya merupakan hasil interaksi Kyai Dahlan dengan kawan-kawan dari Boedi Oetomo yang
tertarik dengan masalah agama yang diajarkan Kyai Dahlan, yakni R. Budihardjo dan R. Sosrosugondo.
Gagasan itu juga merupakan saran dari salah seorang siswa Kyai Dahlan di Kweekscholl Jetis di mana
Kyai mengajar agama pada sekolah tersebut secara ekstrakulikuler, yang sering datang ke rumah Kyai
dan menyarankan agar kegiatan pendidikan yang dirintis Kyai Dahlan tidak diurus oleh Kyai sendiri tetapi
oleh suatu organisasi agar terdapat kesinambungan setelah Kyai wafat. Dalam catatan Adaby Darban,
ahli sejarah dari UGM kelahiran Kauman, nama ”Muhammadiyah” pada mulanya diusulkan oleh kerabat
dan sekaligus sahabat Kyai Ahmad Dahlan yang bernama Muhammad Sangidu, seorang Ketib Anom
Kraton Yogyakarta dan tokoh pembaruan yang kemudian menjadi penghulu Kraton Yogyakarta, yang
kemudian diputuskan Kyai Dahlan setelah melalui shalat istikharah (Darban, 2000: 34). Artinya, pilihan
untuk mendirikan Muhammadiyah memiliki dimensi spiritualitas yang tinggi sebagaimana tradisi kyai
atau dunia pesantren.

Gagasan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah tersebut selain untuk mengaktualisasikan pikiran-
pikiran pembaruan Kyai Dahlan, menurut Adaby Darban (2000: 13) secara praktis-organisatoris untuk
mewadahi dan memayungi sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah, yang didirikannya pada 1
Desember 1911. Sekolah tersebut merupakan rintisan lanjutan dari ”sekolah” (kegiatan Kyai Dahlan
dalam menjelaskan ajaran Islam) yang dikembangkan Kyai Dahlan secara informal dalam memberikan
pelajaran yang mengandung ilmu agama Islam dan pengetahuan umum di beranda rumahnya. Dalam
tulisan Djarnawi Hadikusuma yang didirikan pada tahun 1911 di kampung Kauman Yogyakarta tersebut,
merupakan ”Sekolah Muhammadiyah”, yakni sebuah sekolah agama, yang tidak diselenggarakan di
surau seperti pada umumnya kegiatan umat Islam waktu itu, tetapi bertempat di dalam sebuah gedung
milik ayah Kyai Dahlan, dengan menggunakan meja dan papan tulis, yang mengajarkan agama dengan
dengan cara baru, juga diajarkan ilmu-ilmu umum.

Maka pada tanggal 18 November 1912 Miladiyah bertepatan dengan 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah di
Yogyakarta akhirnya didirikanlah sebuah organisasi yang bernama ”MUHAMMADIYAH”. Organisasi baru
ini diajukan pengesahannya pada tanggal 20 Desember 1912 dengan mengirim ”Statuten
Muhammadiyah” (Anggaran Dasar Muhammadiyah yang pertama, tahun 1912), yang kemudian baru
disahkan oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 22 Agustus 1914. Dalam ”Statuten Muhammadiyah”
yang pertama itu, tanggal resmi yang diajukan ialah tanggal Miladiyah yaitu 18 November 1912, tidak
mencantumkan tanggal Hijriyah. Dalam artikel 1 dinyatakan, ”Perhimpunan itu ditentukan buat 29
tahun lamanya, mulai 18 November 1912. Namanya ”Muhammadiyah” dan tempatnya di Yogyakarta”.
Sedangkan maksudnya (Artikel 2), ialah: a. menyebarkan pengajaran Igama Kangjeng Nabi Muhammad
Shallalahu ‘Alaihi Wassalam kepada penduduk Bumiputra di dalam residensi Yogyakarta, dan b.
memajukan hal Igama kepada anggauta-anggautanya.”

Terdapat hal menarik, bahwa kata ”memajukan” (dan sejak tahun 1914 ditambah dengan kata
”menggembirakan”) dalam pasal maksud dan tujuan Muhammadiyah merupakan kata-kunci yang selalu
dicantumkan dalam ”Statuten Muhammadiyah” pada periode Kyai Dahlan hingga tahun 1946 (yakni:
Statuten Muhammadiyah Tahun 1912, Tahun 1914, Tahun 1921, Tahun 1931, Tahun 1931, dan Tahun
1941). Sebutlah Statuten tahun 1914: Maksud Persyarikatan ini yaitu:
1. Memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran Igama di Hindia Nederland,
2. dan Memajukan dan menggembirakan kehidupan (cara hidup) sepanjang kemauan agama Islam
kepada lid-lidnya.

Dalam pandangan Djarnawi Hadikusuma, kata-kata yang sederhana tersebut mengandung arti yang
sangat dalam dan luas. Yaitu, ketika umat Islam sedang dalam kelemahan dan kemunduran akibat tidak
mengerti kepada ajaran Islam yang sesungguhnya, maka Muhammadiyah mengungkap dan
mengetengahkan ajaran Islam yang murni itu serta menganjurkan kepada umat Islam pada umumnya
untuk mempelajarinya, dan kepada para ulama untuk mengajarkannya, dalam suasana yang maju dan
menggembirakan.

Pada AD Tahun 1946 itulah pencantuman tanggal Hijriyah (8 Dzulhijjah 1330) mulai diperkenalkan.
Perubahan penting juga terdapat pada AD Muhammadiyah tahun 1959, yakni dengan untuk pertama
kalinya Muhammadiyah mencantumkan ”Asas Islam” dalam pasal 2 Bab II., dengan kalimat,
”Persyarikatan berasaskan Islam”. Jika didaftar, maka hingga tahun 2005 setelah Muktamar ke-45 di
Malang, telah tersusun 15 kali Statuten/Anggaran Dasar Muhammadiyah, yakni berturut-turut tahun
1912, 1914, 1921, 1934, 1941, 1943, 1946, 1950 (dua kali pengesahan), 1959, 1966, 1968, 1985, 2000,
dan 2005. Asas Islam pernah dihilangkan dan formulasi tujuan Muhammadiyah juga mengalami
perubahan pada tahun 1985 karena paksaan dari Pemerintah Orde Baru dengan keluarnya UU
Keormasan tahun 1985. Asas Islam diganti dengan asas Pancasila, dan tujuan Muhammadiyah berubah
menjadi ”Maksud dan tujuan Persyarikatan ialah menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam
sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah Subhanahu wata’ala”. Asas
Islam dan tujuan dikembalikan lagi ke ”masyarakat Islam yang sebenar-benarnya” dalam AD
Muhammadiyah hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta.

Kelahiran Muhammadiyah sebagaimana digambarkan itu melekat dengan sikap, pemikiran, dan langkah
Kyai Dahlan sebagai pendirinya, yang mampu memadukan paham Islam yang ingin kembali pada Al-
Quran dan Sunnah Nabi dengan orientasi tajdid yang membuka pintu ijtihad untuk kemajuan, sehingga
memberi karakter yang khas dari kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah di kemudian hari. Kyai
Dahlan, sebagaimana para pembaru Islam lainnya, tetapi dengan tipikal yang khas, memiliki cita-cita
membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui
tajdid (pembaruan) yang meliputi aspek-aspek tauhid (‘aqidah), ibadah, mu’amalah, dan pemahaman
terhadap ajaran Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang aseli
yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad.

Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung
Kauman, Adaby Darban (2000: 31) menyimpulkan hasil temuan penelitiannya sebagai berikut:”Dalam
bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang
ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan
kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, ia merombak taklid
untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad.”.
Adapun langkah pembaruan yang bersifat ”reformasi” ialah dalam merintis pendidikan ”modern” yang
memadukan pelajaran agama dan umum. Menurut Kuntowijoyo, gagasan pendidikan yang dipelopori
Kyai Dahlan, merupakan pembaruan karena mampu mengintegrasikan aspek ”iman” dan ”kemajuan”,
sehingga dihasilkan sosok generasi muslim terpelajar yang mampu hidup di zaman modern tanpa
terpecah kepribadiannya (Kuntowijoyo, 1985: 36). Lembaga pendidikan Islam ”modern” bahkan menjadi
ciri utama kelahiran dan perkembangan Muhammadiyah, yang membedakannya dari lembaga pondok
pesantren kala itu. Pendidikan Islam “modern” itulah yang di belakang hari diadopsi dan menjadi
lembaga pendidikan umat Islam secara umum.

Langkah ini pada masa lalu merupakan gerak pembaruan yang sukses, yang mampu melahirkan generasi
terpelajar Muslim, yang jika diukur dengan keberhasilan umat Islam saat ini tentu saja akan lain, karena
konteksnya berbeda.

Pembaruan Islam yang cukup orisinal dari Kyai Dahlan dapat dirujuk pada pemahaman dan pengamalan
Surat Al-Ma’un. Gagasan dan pelajaran tentang Surat Al-Maun, merupakan contoh lain yang paling
monumental dari pembaruan yang berorientasi pada amal sosial-kesejahteraan, yang kemudian
melahirkan lembaga Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKU). Langkah momumental ini dalam wacana
Islam kontemporer disebut dengan ”teologi transformatif”, karena Islam tidak sekadar menjadi
seperangkat ajaran ritual-ibadah dan ”hablu min Allah” (hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru
peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah ”teologi
amal” yang tipikal (khas) dari Kyai Dahlan dan awal kehadiran Muhammadiyah, sebagai bentuk dari
gagasan dan amal pembaruan lainnya di negeri ini.

Kyai Dahlan juga peduli dalam memblok umat Islam agar tidak menjadi korban misi Zending Kristen,
tetapi dengan cara yang cerdas dan elegan. Kyai mengajak diskusi dan debat secara langsung dan
terbuka dengan sejumlah pendeta di sekitar Yogyakarta. Dengan pemahaman adanya kemiripan selain
perbedaan antara Al-Quran sebagai Kutab Suci umat Islam dengan kitab-kitab suci sebelumnya, Kyai
Dahlan menganjurkan atau mendorong ”umat Islam untuk mengkaji semua agama secara rasional untuk
menemukan kebenaran yang inheren dalam ajaran-ajarannya”, sehingga Kyai pendiri Muhammadiyah
ini misalnya beranggapan bahwadiskusi-diskusi tentang Kristen boleh dilakukan di masjid (Jainuri, 2002:
78) .

Kepeloporan pembaruan Kyai Dahlan yang menjadi tonggak berdirinya Muhammadiyah juga
ditunjukkan dengan merintis gerakan perempuan ‘Aisyiyah tahun 1917, yang ide dasarnya dari
pandangan Kyai agar perempuan muslim tidak hanya berada di dalam rumah, tetapi harus giat di
masyarakat dan secara khusus menanamkan ajaran Islam serta memajukan kehidupan kaum
perempuan. Langkah pembaruan ini yang membedakan Kyai Dahlan dari pembaru Islam lain, yang tidak
dilakukan oleh Afghani, Abduh, Ahmad Khan, dan lain-lain (mukti Ali, 2000: 349-353). Perintisan ini
menunjukkan sikap dan visi Islam yang luas dari Kyai Dahlan mengenai posisi dan peran perempuan,
yang lahir dari pemahamannya yang cerdas dan bersemangat tajdid, padahal Kyai dari Kauman ini tidak
bersentuhan dengan ide atau gerakan ”feminisme” seperti berkembang sekarang ini. Artinya, betapa
majunya pemikiran Kyai Dahlan yang kemudian melahirkan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
murni yang berkemajuan.

Kyai Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya, menurut Djarnawi Hadikusuma (t.t: 69) telah
menampilkan Islam sebagai ”sistem kehidupan mansia dalam segala seginya”. Artinya, secara
Muhammadiyah bukan hanya memandang ajaran Islam sebagai aqidah dan ibadah semata, tetapi
merupakan suatu keseluruhan yang menyangut akhlak dan mu’amalat dunyawiyah. Selain itu, aspek
aqidah dan ibadah pun harus teraktualisasi dalam akhlak dan mu’amalah, sehingga Islam benar-benar
mewujud dalam kenyataan hidup para pemeluknya. Karena itu, Muhammadiyah memulai gerakannya
dengan meluruskan dan memperluas paham Islam untuk diamalkan dalam sistem kehidupan yang
nyata.

Kyai Dahlan dalam mengajarkan Islam sungguh sangat mendalam, luas, kritis, dan cerdas. Menurut Kyai
Dahlan, orang Islam itu harus mencari kebenaran yang sejati, berpikir mana yang benar dan yang salah,
tidak taklid dan fanatik buta dalam kebenaran sendiri, menimbang-nimbang dan menggunakan akal
pikirannya tentang hakikat kehiduupan, dan mau berpikir teoritik dan sekaligus beripiki praktik (K.R. H.
Hadjid, 2005). Kyai Dahlan tidak ingin umat Islam taklid dalam beragama, juga tertinggal dalam
kemajuan hidup. Karena itu memahami Islam haruslah sampai ke akarnya, ke hal-hal yang sejati atau
hakiki dengan mengerahkan seluruh kekuatan akal piran dan ijtihad.

Dalam memahami Al-Quran, dengan kasus mengajarkan Surat Al-Ma’un, Kyai Dahlan mendidik untuk
mempelajari ayat Al-Qur’an satu persatu ayat, dua atau tiga ayat, kemudian dibaca dan simak dengan
tartil serta tadabbur (dipikirkan): ”bagaimanakah artinya? bagaimanakah tafsir keterangannya?
bagaimana maksudnya? apakah ini larangan dan apakah kamu sudah meninggalkan larangan ini? apakah
ini perintah yang wajib dikerjakan? sudahkah kita menjalankannya?” (Ibid: 65). Menurut penuturan
Mukti Ali, bahwa model pemahaman yang demikian dikembangkan pula belakangan oleh KH.Mas
Mansur, tokoh Muhammadiyah yang dikenal luas dan mendalam ilmu agamanya, lulusan Al-Azhar Cairo,
cerdas pemikirannya sekaligus luas pandangannya dalam berbagai masalah kehidupan.

Kelahiran Muhammadiyah dengan gagasan-gagasan cerdas dan pembaruan dari pendirinya, Kyai Haji
Ahmad Dahlan, didorong oleh dan atas pergumulannya dalam menghadapi kenyataan hidup umat Islam
dan masyarakat Indonesia kala itu, yang juga menjadi tantangan untuk dihadapi dan dipecahkan.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pendorong lahirnya Muhammadiyah ialah antara lain:

1. Umat Islam tidak memegang teguh tuntunan Al-Quran dan Sunnah Nabi, sehingga
menyebabkan merajalelanya syirik, bid’ah, dan khurafat, yang mengakibatkan umat Islam tidak
merupakan golongan yang terhormat dalam masyarakat, demikian pula agama Islam tidak
memancarkan sinar kemurniannya lagi;
2. Ketiadaan persatuan dan kesatuan di antara umat Islam, akibat dari tidak tegaknya ukhuwah
Islamiyah serta ketiadaan suatu organisasi yang kuat;
3. Kegagalan dari sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam memprodusir kader-kader
Islam, karena tidak lagi dapat memenuhi tuntutan zaman;
4. Umat Islam kebanyakan hidup dalam alam fanatisme yang sempit, bertaklid buta serta berpikir
secara dogmatis, berada dalam konservatisme, formalisme, dan tradisionalisme;
5. dan Karena keinsyafan akan bahaya yang mengancam kehidupan dan pengaruh agama Islam,
serta berhubung dengan kegiatan misi dan zending Kristen di Indonesia yang semakin
menanamkan pengaruhnya di kalangan rakyat

(Junus Salam, 1968: 33).

Karena itu, jika disimpulkan, bahwa berdirinya Muhammadiyah adalah karena alasan-alasan dan tujuan-
tujuan sebagai berikut: (1) Membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan
Islam; (2) Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran modern; (3) Reformulasi ajaran dan
pendidikan Islam; dan (4) Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan luar (H.A. Mukti Ali,
dalam Sujarwanto & Haedar Nashir, 1990: 332).

Kendati menurut sementara pihak Kyai Dahlan tidak melahirkan gagasan-gagasan pembaruan yang
tertulis lengkap dan tajdid Muhammadiyah bersifat ”ad-hoc”, namun penilaian yang terlampau
akademik tersebut tidak harus mengabaikan gagasan-gagasan cerdas dan kepeloporan Kyai Dahlan
dengan Muhammadiyah yang didirikannya, yang untuk ukuran kala itu dalam konteks amannya sungguh
merupakan suatu pembaruan yang momunemntal. Ukuran saat ini tentu tidak dapat dijadikan standar
dengan gerak kepeloporan masa lalu dan hal yang mahal dalam gerakan pembaruan justru pada inisiatif
kepeloporannya.

Kyai Dahlan dengn Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan
melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang
dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, berikut pandangan James Peacock
(1986: 26), seorang antropolog dari Amerika Serikat yang merintis penelitian mengenai Muhammadiyah
tahun 1970-an, bahwa: ”Dalam setengah abad sejak berkembangnya pembaharuan di Asia Tenggara,
pergerakan itu tumbuh dengan cara yang berbeda di bermacam macam daerah. Hanya di Indonesia saja
gerakan pembaharuan Muslimin itu menjadi kekuatan yang besar dan teratur. Pada permulaan abad ke-
20 terdapat sejumlah pergerakan kecil kecil, pembaharuan di Indonesia bergabung menjadi beberapa
gerakan kedaerahan dan sebuah pergerakan nasional yang tangguh, Muhammadiyah. Dengan beratus-
ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri,
Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara.
Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan
sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan,
rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang
utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang
terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di
negara terbesar kelima di dunia.”

Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang
bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam
dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah
sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam
pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan
rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada
sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan
untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.

Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam
yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem
organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat
Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti
lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas
merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai
Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.

Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan
semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam
pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu
urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar
lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh
rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan/penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang
memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf,
dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai
”ayat” Muhammadiyah.

Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam
bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid
semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni
itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis
untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak
pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga
Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru
Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.

Sumber : http://suara-muhammadiyah.com/

Anda mungkin juga menyukai