Anda di halaman 1dari 20

Hubungan Dietary Fiber Terhadap Penyakit Jantung Koroner

(Coronary Heart Disease)

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mata Kuliah Pangan Fungsional


Program Studi Magister Teknologi Pangan

Oleh :

Tanty Sulistiani Widodo


NPM 168050003

Lenny Amelia HK
Npm 168050005

FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNOLOGI PANGAN
UNIVERSITAS PASUNDAN
BANDUNG
2017
I. Jantung Koroner (Coronary Heart Disease)

1. Penyakit Jantung Koroner (Coronary Heart Disease)


Penyakit Jatung Koroner (PJK) adalah suatu kelainan yang disebabkan
oleh penyempitan atau penghambatan pembuluh arteri yang mengalirkan darah ke
otot jantung. Jantung diberi oksigen dalam darah melalui arteri-arteri koroner
utama yang bercabang menjadi sebuah jaringan pembuluh lebih kecil yang efisien.
Penyakit jantung koroner dalam suatu keadaan akibat terjadinya
penyempitan, penyumbatan atau kelainan pembuluh nadi koroner. Penyakit
jantung koroner diakibatkan oleh penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah
koroner. Penyempitan atau penyumbutan ini dapat menghentikan aliran darah ke
otot jantung yang sering ditandai dengan rasa nyeri.
Penyakit jantung koroner merupakan kasus utama penyebab kematian dan
kesakitan pada manusia. Meskipun tindakan pencegahan sudah dilakukan seperti
pengaturan makanan (diet), menurunkan kolesterol dan perawatan berat badan,
diabetes dan hipertensi, penyakit jantung koroner ini tetap menjadi masalah utama
kesehatan. Masalah utama pada penyakit jantung koroner adalah aterosklerosis
koroner. Merupakan penyakit progresif yang terjadi secara bertahap yaitu
penebalan dinding arteri koroner. Aterosklerosis koroner dianggap sebagai proses
pasif karena sebagian besar dihasilkan oleh kolesterol yang berada pada dinding
arteri (Yuet Wai Kan, 2010).
Penyakit jantung koroner merupakan pembunuh nomor satu di negara-
negara maju dan dapat juga terjadi di negara-negara berkembang. Organisasi
kesehatan duina (WHO) telah mengemukakan fakta bahwa penyakit jantung
koroner (PJK) merupakan epidemi modern dan tidak dapat dihindari oleh faktor
penuaan. Diperkirakan bahwa jika insiden PJK mencapai nol maka dapat
meningkatkan harapan hidup 3 sampai 9% (Shivaramakrishna. 2000).
Gambaran kasus di atas menunjukkan pentingnya penyakit ini yang belum
mendapat perhatian mengenai besarnya resiko seseorang, ketidakmampuan,
hilangnya pekerjaan, dan pada saat masuk rumah sakit. Pada dekade sekarang
sejak konferensi klinis terakhir oleh New York Heart Association atau asosiasi
kesehatan New York menyatakan subjek ini, dari sejumlah loka karya telah
mengeluarkan informasi baru yang penting mengenai penyakit ini, cara
pencegahan dan kontrol. Hal ini dinyatakan dalam besarnya perubahan yang jelas
secara klinis dari PJK dan banyaknya faktor yang mungkin relevan, besarnya
jumlah pasien yang ikut, kelompok yang akan termasuk dalam semua kasus PJK
yang timbul pada populasi umum dengan karakteristik jelas.
Penyakit jantung yang dipengaruhi oleh tingginya kadar kolesterol, banyak
terjadi pada individu dengan kelas ekonomi menengah ke atas. Hal ini
dipengaruhi oleh aktivitas fisik dan makanan yang menjadi faktor penting penentu
kadar kolesterol individu. Gaya hidup masyarakat kerja, dewasa ini lebih
cenderung mengejar hal-hal yang bersifat praktis, termasuk di dalamnya jenis
makanan yang dikonsumsi. Makanan cepat saji (fast food) atau yang juga dikenal
sebagai makanan sampah (junk food) menjadi pilihan bagi individu yang
mengutamakan kecepatan pelayanan karena waktu menjadi sangat berharga di
dunia kerja. Namun di sisi lain, makanan ini sebenarnya tidak memiliki
kandungan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kandungan yang tinggi. Nystrom
(2008) dalam penelitiannya di Perancis mengatakan, responden yang makan dua
kali sehari di McDonalds, Burger King atau restoran cepat saji lain selama 4
minggu, 2 kali sehari, mengalami peningkatan berat badan hingga 15% dan
peningkatan kadar enzim alanine aminotrasnferase (ALT) hingga 10 kali.
Aktivitas fisik yang sedikit dan makanan cepat saji menjadi bagian dari
kehidupan pekerja kantor dewasa ini. Hal ini disebabkan oleh beratnya tuntutan
pekerjaan sehingga tidak ada kesempatan untuk berolah raga dan merujuk kepada
perilaku hidup yang instan, misalnya makanan. Gaya hidup yang demikian akan
menyebabkan terjadinya penumpukan karbohidrat dan kolesterol di dalam tubuh,
yang kemudian dapat menyebabkan dislipidemia yang merupakan faktor risiko
terjadinya PJK.
Di sisi lain, pekerja kasar umumnya memiliki aktivitas fisik yang berat
namun tidak diimbangi dengan makanan dengan kandungan gizi yang cukup.
Keterbatasan ekonomi pada pekerja kasar membuat mereka jarang memakan
makanan hewani seperti daging dan ikan, makanan cepat saji, atau makanan-
makanan lain yang cenderung berkolesterol tinggi. Walaupun demikian, dewasa
ini PJK bukan hanya menjadi penyakit bagi golongan ekonomi menengah ke atas,
namun juga sering terjadi pada masyarakat ekonomi bawah.
Diduga hal ini terjadi akibat mengkonsumsi makanan yang banyak
mengandung minyak tak jenuh dan trans yang bisa terdapat pada minyak goreng
kualitas rendah atau minyak goreng bekas (American Heart Association, 2008).

2. Penyebab Penyakit Jantung Koroner (Coronary Heart Disease)


Penyakit jantung yang diakibatkan oleh penyempitan pembuluh nadi
koroner ini disebut penyakit jantung koroner. Penyempitan dan penyumbatan ini
dapat menghentikan aliran darah ke otot jantung yang sering ditandai dengan rasa
nyeri. Dalam kondisi lebih parah kemampuan jantung memompanya darah dapat
hilang. Hal ini akan merusak system golongan irama jantung dan berakibat
dengan kematian (Krisatuti dan Yenrina, 1999).
Salah satu penyakit jantung koroner adalah kebiasaan makan makanan
berlemak tinggi terutama lemak jenuh. Agar lemak mudah masuk dalam
peredarah darah dan diserap tubuh maka lemak harus diubah oleh enzim lipase
menjadi gliserol. Sebagian sisa lemak akan disimpan di hati dan metabolisme
menjadi kolesterol pembentuk asam empedu yang berfungsi sebagai pencerna
lemak, berarti semakin meningkat pula kadar kolesterol dalam darah.
Penumpukan tersebut dapat menyebabkan (artherosklerosis) atau penebalan pada
pembuluh nadi koroner (arteri koronoria).
Kondisi ini menyebabkan kelenturan pembuluh nadi menjadi berkurang,
serangan jantung koroner akan lebih mudah terjadi ketika pembuluh nadi
mengalami penyumbatan ketika itu pula darah yang membawa oksigen ke
jaringan dinding jantung pun terhenti (Sulistiani, W, 2005).
Penyakit jantung coroner (PJK) ternyata bukan ditimbulkan oleh satu
penyebab saja. Hasil penyelidikan medis mengungkapkan bahwa ada
serangkaian keadaan yang memungkinkan Anda terkena PJK, dan inilah yang
dinamakan factor risiko.
a. Faktor risiko
Sebagaimana orang berbadan tinggi lebih mudah terantuk ambang
pintu daripada orang pendek, begitupun orang dengan satu atau lebih faktor
risiko lebih mudah terkena serangan jantung , meski kemungkinannya lebih
besar.
Faktor risiko untuk penyakit jantung dapat dibagi dalam dua bagian,
yang kami sebut “dapat diubah” dan “yang tak dapat diubah” .Kemungkinan
terkena PJK akan semakin besar jika faktor risikonya lebih banyak.
Tidak semua faktor risiko sama beratnya. Beberapa faktor, seperti
merokok, bisa memiliki efek yang lebih besar untuk menimbulkan PJK.
Jadi, misalnya, seorang perokok dengan tingkat kolesterol tinggi dan
tekanan darah tinggi mempunyai risiko lebih tinggi daripada orang yang
tidak mempunyai faktor – faktor tersebut.
Jadi, tingkat kolestrol yang tinggi pada seseorang tanpa faktor risiko
lain berarti bahwa risiko itu akan meningkat hanya sedikit di atas rata-rata.
Hal ini mungkin tak perlu terlalu dikhawatirkan, dokter Anda bisa memberi
nasehat yang diperlukan.
b. Usia dan Gender
Penyakit jantung, sebagaimana penyakit lain, semakin meningkat
seiring pertambahan usia. Di Inggris, misalnya, separuh dari jumlah serangan
jantung terjadi pada mereka yang berusia di atas 65 tahun, dan jumlahnya
bertambah sesuai rata – rata pertambahan usia.
Hal yang mencolok pada PJK adalah dibawah usia 55 tahun, jumlah
pria yang terkena PJK lebih banyak daripada wanita. Penyebabnya, sebelum
menopause (berhenti haid pada wanita), sangat jarang wanita yang terkena
serangan jantung. Setelah menopause, jumlah wanita yang terkena PJK
meningkat, dan diatas 75 tahun , jumlah wanita dan pria yang terkena penyakit
ini kira – kira sebanding.
Penyebab yang tepat wanita jarang terkena PJK sebelum menopause
belum diketahui secara pasti, namun tampaknya berhubungan dengan
hormon yang tidak produksi lagi setelah haid berhenti. Terapi pengganti
hormon (TPH) yang banyak dilakukan kaum wanita ternyata dapat mencegah
terjadinya serangan jantung. Karena itu, beberapa dokter merekomendasikan
TPH ini.
Tabel 1. Faktor – Faktor yang menambah risiko terkena PJK
Dapat Diubah Tidak dapat diubah
a. Faktor genetika; kadar kolesterol tinggi
a. Merokok
karena turunan
b. Masalah Gender, lebih banyak pria
b. Kolestrol
terkena PJK daripada wanita
c. Tekanan darah tinggi
d. Diabetes
e. Kegemukan c. Usia
f. Stress
g. Kurang olahraga
II. Dietary Fiber

Makanan umumnya terdiri atas komponen nutrien dan non-nutrien. Serat


termasuk dalam komponen non-nutrien. Trowell (1972) mendefinisikan serat
dalam batasan fisiologis sebagai sisa-sisa dari sel tanaman yang tahan terhadap
pencernaan enzim dalam tubuh manusia. Selanjutnya Trowell memodifikasi
definisinya bahwa serat merupakan kelompok bahan-bahan yang tidak tercerna
oleh enzim hingga ileum, tetapi sebagian dihidrolisis oleh bakteri di kolon.
Menurut istilah serat sebagai bahan makanan, serat adalah bagian dari
makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis (enzim yang diproduksi oleh
manusia) sehingga bukan sebagai sumber zat makanan. Yang termasuk dalam
kategori serat adalah selulosa dan hemiselulosa dari dinding sel tanaman, pectin
(bagian buah yang digiling), dan gum/gummy, yang merupakan komponen
nonstructural sel tanaman (banyak didapatkan pada apel dan bagian putih jeruk).
Lignin juga bagian dari serat makanan tetapi bukan karbohidrat, melainkan
polimer fenil propane (M.C. Linder, 2006).
Pencernaan juga memerlukan definisi lebih lanjut, karena bakteri flora
saluran pencernaan dapat menyerang dan mendegradasi serat tersebut, terutama
dalam kolon (enzim saluran pencernaan manusia sendiri tidak ada yang dapat
memecahkannya). Hasil penelitian memperlihatkan sebanyak 75% NDF (Neutral
Detergent Fiber) dapat dicerna dengan jalan ini (Brauer dkk., 1981). Serat yang
kaya selulose merangsang pemindahan bahan makanan dalam/melalui saluran
pencernaan; pectin yang banyak membawa air dengan bentuk gel dan gum
menghambat pengosongan lambung; karena pembentukan gel dalam usus kecil
maka juga menghambat penyerapan di- dan monosakarida (Anderson dan
Chen,1979; Anderson,1981).
Serat adalah istilah/pemberian nama yang salah karena materi tersebut
tidak berserat, tidak panjang berupa benang dan sebenarnya dapat larut. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat pada table berikut ini :
Tabel 2. Jenis, sumber, struktur, dan sifat beberapa komposen Serat Makanan
Jenis Sumber Struktur dan Sifat
Larut dalam air; Polimer
Komponen dinding sel
Linear (ikatan  1,4 glu-
Selulose tanaman ; komponen
glu); berat molekul : 105
utama dedak gandum
– 106
Tidak larut dalam air;
Polimer heksosa atau
Komponen dinding sel
Hemiselulosa pentose, sering
tanaman
bercabang; berat molekul
: 104
Larut dalam air; Polimer
linear (ikatan  1,4) asam
glutamik dan/atau
Pektin Buah-buahan modifikasi asam
galakturonik; mengikat
asam empedu; berat
molekul : 105 – 106
Larut dalam air; Polimer
linear (ikatan  1,4)
Red seaweed; untuk gula- dengan disakarida; unit
Karagenan gula dan bahan makanan gal-4-SO4 dan 3,6-
yang diproses anhidro-gal-2SO4 (ikatan
 1,3); membentuk gel;
berat molekul : 104
Larut dalam air; polimer
Inulin Artichoke Jerusalem
fructose (ikatan  2,1)
Tidak larut dalam air;
Polimer Fenil propane
yang tinggi, bercabang
Lignin Komponen dinding sel (bukan karbohidrat);
dapat berikatan dengan
empedu; berat molekul :
1-5x103
Sumber : Metzler (1977); White dkk. (1973); Gray dan Fogel (1978); Anderson
(1981.)
Secara umum, serat dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu ;
1. Serat kasar (crude fiber)
Komponen serat kasar yang terbesar adalah polisakarida dan disebut
dengan selulosa. Selulosa merupakan bagian structural dari material semua jenis
tanaman (batang tubuh tanaman, tangkai, akar, dan daun serta buahnya). Selulosa
bersama-sama komponen karbohidrat lain, yaitu pectin, hemiselulosa, dan lignin
disebut dengan dietary fiber.
2. Serat Pangan (diatary fiber)
Diatary fiber adalah suatu bahan yang tidak dapat dicerna oleh enzim
pencernaan manusia. Beberapa bacteria dalam saluran pencernaan dapat mencerna
serat ini dan menghasilkan suatu produk yang dapat diserap dan berkontribusi
memberikan kalori penghasil energy.
Ada lima sifat fisik dietary fiber yang perlu diperhatikan:
1. Mengendalikan air (water holding capacity)
2. Mengendalikan kekentalan (viscosity)
3. Berpengaruh pada proses fermentasi
4. Mengikat asam empedu
5. Mempunyai kapasitas mengendalikan muatan kation.
Respon physiological yang bersumber pada diatary fiber adalah :
1. Menurunkan konsentrasi plasma kolesterol
2. Memodifikasi respon glikemik
3. Memperpaiki fungsi usus besar (kolon)
4. Menurunkan nilai gizi yang tersedia
Berdasarkan struktur kimianya, dietary fiber terbagi menjadi dua, yaitu :
A. Serat Terlarut
Ditemukan dalam buah-buahan, beberapa jenis kacang-kacangan, dan
beberapa biji-bijian. Serat tersebut terlarut danmembentuk gel dalam air.
Bentukan gel ini dalam saluran pencernaan menyebabkan kecepatan melambat
dan mendorong komponen makanan ke usus. Keadaan ini memberikan
kesempatan untuk meningkatkan absorpsi zat gizi.
Beberapa fungsi utama serat larut air antara lain sebagai berikut :
· Menghambat proses pencernaan di dalam usus, sehingga perolehan energi
menjadi berkurang.
· Memberikan perasaan kenyang lebih lama sehingga membantu
mengendalikan berat badan dengan memperlambat munculnya rasa lapar.
· Memperlambat kenaikan gula darah, sehingga dibutuhkan sedikit insulin
untuk mengubah glukosa menjadi energi.
· Meningkatkan kesehatan saluran pencernaan dengan cara meningkatkan
motilitas (pergerakan) usus besar.
· Mengurangi risiko penyakit jantung.
· Mengikat asam empedu, lemak, dan kolesterol, serta mengeluarkannya
melalui proses buang air besar (BAB).
B. Serat Tak Terlarut (Insoluble Fiber)
Senyawa yang tergolong dalam serat tak terlarut adalah selulosa,
hemiselulosa, dan lignin. Golongan ini dijumpai dalam sayuran dan kulit gandum.
Serat jenis ini mempunyai kecenderungan menyerap air dan meningkatkan
pemadatan (bulky) sehingga mempunyai kontribusi pada volume tinja menjadi
besar, sehingga proses BAB lancar. Dengan demikian, serat tak terlarut dapat
meningkatkan kecepatan pergerakan material melalui saluran pencernaan sampai
ke kolon.
Adapun beberapa fungsi utama serat tidak larut adalah sebagai berikut :
· Memperpendek waktu transit makanan di dalam usus
· Meningkatkan massa tinja
· Memperlancar proses BAB
· Mengurangi risiko wasir dan kanker kolon
Tabel 3. Serat Bahan Makanan yang Umum digunakan
Serat Tidak Larut % Glukosed
Serat
Total Serat
Sumber Larut Poli- Serat
Serata b Selulose Lignin tidak
sakaridac Larutf
larut
Serealia
Dedak
46e 3,6 31 6 6 46 4
gandum
Dedak oat 30 15,3 9 2 4 86 12
Rolled oat 15 8,5 5 1 1 80 29
Jagung
13 7,5 3 2 1 87 59
Flake
Grapenut 14 6,0 6 1 1 63 16
Kacang-Kacangan (Beans)
Pinto,
27 8,2 12 4 3 52 12
mentah
Pinto,
29 12,3 10 3 3 59 17
kalengan
White,
27 11,6 11 3 2 58 14
mentah
Kidney,
29 13,2 10 3 3 51 13
kalengan
Lentil,
21 4,5 10 4 3 72 13
mentah
Lima
25 8,6 11 4 2 69 8
kalengan
Sayur-sayuran
Jagung,
17 9,5 6 1 1 83 4
kalengan
Ubi jalar 10 4,3 3 2 1 64 26
Kale, beku 25 5,9 12 2 6 10 1
Cabe hijau,
19 7,1 6 2 4 1 1
mentah
Asparagus,
20 5,8 9 3 2 2 21
mentah
Bonteng,
dikuliti / 11 4,4 4 2 1 2 1
mentah
Sumber : Data dari Chen, W-J.L dan J.W Anderson (1981).
a Jumlah berbagai bentuk serat yang diperlihatkan
b Diekskresi dalam air mendidih (pectin, gum, dan polisakarida simpanan)
c Bagian non-selulose, non-lignin dan serat tidak larut yang dibebaskan dalam
proses pencernaan dengan 1 N H2 SO4 (2,5 jam) atau 2 N trifluoroasetat (1
jam).
d Biasanya kada asam uronatnya berbanding terbalik dengan kadar glucose;
dengan meningkatnya kadar glucose, dan xylose
III. Mekanisme Dietary Fiber Dapat Menurunkan Resiko Penyakit Jantung
Koroner (Coronary Heart Disease)

Kolesterol berperan penting didalam tubuh, karena merupakan komponen


membrane structural sel dan komponen sel otak maupun saraf. Namun sebenarnya
kolesterol hanya dibutuhkan dalam jumlah sedikit, karena apabila berlebih justru
akan menimbulkan berbagai penyakit, seperti penyakit jantung koroner dan
hiperkolesterolemia (kadar kolesterol darah tinggi).
Naiknya kolesterol darah lebih banyak disebabkan oleh peningkatan
pembentukannya dalam hati yang dalam keadaan normal mencapai 500 mg/hari
(Hartono, 1996). Penyebab lain adalah meningkatnya penyerapan kolesterol
kembali lewat siklus enteroheaptik dari dalam usus halus. Apabila hati dapat
mengurangi arus pembentukan kolesterol yang pada gilirannya diekskresikan
lewat getah empedu ke dalam usus, sementara penyerapan kolesterol dalam usus
dapat dihambat dengan pengikatan sebagain getah empedu, maka penyerapan
kembali kolesterol di dalam usus akan berkurang sehingga kadarnya dalam darah
dapat menurun (Budaarsa, 1997).
Kandungan serat yang tinggi dalam makanan menurut berbagai penelitian
memberikan banyak manfaat, diantaranya efektif untuk menurunkan kadar
kolesterol darah. Sumber serat dapat diperoleh dari berbagai bahan pangan nabati
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya.
Didalam tubuh, serat bersifat seperti spon ketika melwati saluran
pencernaan. Sifat-sifat fisik yang penting dilihat dari segi gizi adalah bulk,
kapasitas hidrasi, sifat-sifat pengikatan dan pembentukan matriks serta mudah
tidaknya untuk difermentasi oleh bakteri. Serat dengan komposisi dan sifat fisikia
kimia berbeda akan menghasilkan efek fisiologis yang berbeda pada bagian
depan, tengah, dan belakang saluran pencernaan. Fermentasi dalam sekum dapat
memodifikasi sifat-sifat fisiologis serat. Bergantung pada kapasitas hidrasi serat
yang dicerna, waktu transit pada saluran pencernaan seperti lambung, usus kecil,
dan usus besar akan berbeda. Adanya zat terlarut yang terserap oleh serat akan
memperlambat penyerapan pada usus. Serat merupakan pengatur biologis yang
aktif, yaitu sebagai pengikat asam empedu, kation dan mungkin juga elektron.
Efek fisiologis dan sifat-sifat fisik tersebut agak berbeda pengaruhnya pada usus
kecil, sekum, dan sisi kolon. Di dalam usus besar, serat bertindak sebagai matriks
yang mempengaruhi interaksi antara bekteri dan zat terlarut. Serat juga mengalami
degradasi selektif akibat aktivitas dalam kolon, dan akibat sifat-sifat fisik
kimianya berubah (Eastwood, 1984).
Serat mempengaruhi waktu pengosongan isi perut. Tampaknya cairan dan
padatan meninggalkan lambung dengan kecepatan berbeda. Dengan menggunakan
teknik isotop, Grimes dan Goddard (1977) memperlihatkan bahwa kecepatan fase
padat kandungan isi perut meninggalkan lambung adalah tetap, tetapi fase cair
white bread (tepung gandum yang berwarna putih) secara nyata lebih cepat
meninggalkan lambung dibandingkan dengan whole meal (tepung gandum yang
masih kasar). Selain itu, jumlah cairan yang meninggalkan lambung ternyata
secara nyata lebih banyak setelah makan white bread dibandingkan dengan whole
meal.
Sifat-sifat fisik dan kimia dari matriks spons serat pada intestinum bagian
atas dipengaruhi oleh pH, kondisi osmotik, dan konsentrasi elektrolit. Hal tersebut
dikarenakan serat tahan terhadap degradasi oleh enzim usus halus dan sekresi
cairan pankreas, perubahan-perubahan struktural yang terjadi relatif sedikit. Kerja
fisiologis serat di dalam usus kecil disebabkan adanya pembentukan gel, daya ikat
air, pertukaran kation dan sifat-sifat penyerapan asam empedu (Eastwood, 1975).
Pengeluaran makanan dari lambung oleh air dan fase cairan berlangsung dengan
kecepatan berbeda. Hal tersebut berarti bahwa terdapat stratifikasi aliran makanan,
sehingga bahan-bahan yang larut dalam air terpisah dari bahan-bahan yang tidak
larut dalam air. Serat dapat mengembang dengan berbagai cara bergantung pada
pertautan silang (cross linkage) serta jumlah dan bentuk fisik dari pati yang ada.
Oleh karena itu komponen yang larut seperti glukosa atau alkohol, akan
diencerkan dalam air yang terikat dalam celah-celah serat atau terikat secara kimia
dan fisik di dalam struktur gel. Akibatnya, serat mempengaruhi kecepatan difusi
pada permukaan serap mukosa (absortive mucosal surface) dan mengubah
penyerapan glukosa, obat-obatan dan kolesterol. Adanya sifat pertukaran kation
serat yang disebabkan oleh gugus karboksil bebas, mineral esensial, dan logam-
logam toksik (Eastwood, 1973) akan terikat secara reversibel pada serat sehingga
tidak terserap pada usus halus.
Pengaruh lebih langsung dari serat dalam metabolisme asam empedu dapat
diperantarai melalui sekum. Masuknya serat meningkatkan waktu transit mulut ke
sekum, menurunkan laju aliran asam empedu ke usus halus, akibatnya akan
menurunkan laju pergantian sirkulasi enterohepatik. Pengurangan frekuensi
sirkulasi karena adanya serat akan mengurangi mekanisme penghambatan umpan
balik (feed back inhibition) yang sebagian mengontrol sintesis asam empedu. Hal
tersebut mempengaruhi pool empedu.
Peranan serat dalam kolon merupakan hal yang kompleks. Serat terdiri
dari matriks yang mirip spons yang memiliki daya ikat air, kapasitas pertukaran
kation, dan kapasitas penyerapan. Adanya enzim yang berasal dari bakteri
menimbulkan variabel lain, karena enzim tersebut mampu mendegradasi serat
secara selektif yang akan mempengaruhi baik struktur matrik serat maupun
lingkungan kimiawi kolon (Eastwood, 1984).
Interaksi dapat terjadi antara bakteri, serat dan bahan-bahan dalam usus.
Serat bertindak sebagai permukaan yang bersifat absorptif dalam kolon.
Permukaan absorptif tersebut akan menyerap bakteri dan cairan. Penyerapan akan
mencegah atau mempengaruhi metabolisme bakteri pada cairan. Dalam sekum,
serat peka terhadap degradasi yang disebabkan enzim bakteri. Faktor-faktor yang
mengatur proses tersebut dalam sekum manusia masih belum dipahami.
Fermentasi sebagian dipengaruhi oleh struktur fisik dan kimia dari serat. Terdapat
bukti-bukti bahwa pada buah-buahan dan sayuran makin besar daya ikat air,
makin peka terhadap degradasi oleh bakteri dan makin sedikit pengaruhnya pada
berat feses. Lignin mempunyai struktur polimerik yang berantai silang yang tahan
terhadap degradasi, sehingga adanya lignin akan menghambat fermentasi. Faktor-
faktor lain yang mempengaruhi pencernaan serat meliputi nisbah permukaan-
volume serat dan waktu transit dalam kolon (Steven, 1978).
Kolon memainkan peranan yang penting dalam sirkulasi enterohepatik.
Pembuangan senyawa-senyawa yang larut dalam lemak dari tubuh, terutama
senyawa yang mempunyai berat molekul lebih besar dari 300, dilakukan oleh
sistem empedu yang disertai enteric loss. Senyawa-senyawa seperti ini
mempunyai kelarutan yang rendah dalam air, konjugasi senyawa tersebut dengan
asam glukuronat, glisin, dan sulfation akan meningkatkan baik berat molekul
maupun kelarutan dalam air. Asam empedu yang berkonjugasi dengan glisin dan
taurin juga mempermudah kelarutan komponen-komponen tersebut dalam
empedu. Senyawa-senyawa polar tersebut dikeluarkan dalam empedu dan secara
umum akan melewati usus halus dengan mengalami sedikit absorpsi atau bahkan
tidak mengalami absorpsi sama sekali. Di kolon, senyawa-senyawa konjugasi
seperti bilirubin, asam empedu, digoksin, klorampenikal, dan morfin akan
dihidrolisis. Senyawa-senyawa bebas yang terbentuk akan dimetabolisasikan oleh
bakteri. Sebagai akibatnya akan terjadi perubahan kepolaran yang menghasilkan
senyawa sukar larut, yang mungkin akan diabsorpsi kembali dan mungkin pula
tidak. Oleh karena itu sekum berperan sebagai penghemat pada sirkulasi
enterohepatik. Hal tersebut berarti memperpanjang waktu paruh senyawa-senyawa
di dalam sirkulasi enterohepatik. Sekum hanya memainkan peranan tambahan saja
dalam konversi asam empedu, walaupun demikian peranan tersebut cukup
penting. Asam empedu yang berkonjugasi dengan glisin dan taurin melewati
kantung empedu dengan membawa prekursor kolesterol dalam larutan (Eastwood,
1984).
Fase absorpsi dalam ileum pada sirkulasi enterohepatik asam empedu
berlangsung dengan cepat. Pada fase yang lebih lambat dalam kolon, asam
empedu bebas akan diserap kembali ataupun dikeluarkan melalui feses.
Penyerapan bahan-bahan seperti asam empedu oleh serat bisa mencegah atau
mempengaruhi degradasi asam empedu oleh bakteri. Akibatnya akan
mempengaruhi penyerapan kembali asam empedu dari kolon. Dapat dikatakan
bahwa serat dapat mengubah jenis dan proporsi asam empedu yang dikembalikan
ke hati (Eastwood, 1984).
Pengaruh dari serat pada metabolisme dalam sekum dan penjenuhan
empedu bisa merupakan kunci dalam penelitian peranan serat pada penyakit batu
empedu yang disebabkan oleh kolesterol. Penambahan makanan dengan dedak
(20-40 g per hari) untuk sekurang-kurangnya satu bulan menyebabkan empedu
secara nyata kurang dijenuhkan oleh kolesterol. Hal tersebut berarti bahwa
empedu menjadi tidak jenuh. Penemuan tersebut menimbulkan kemungkinan
bahwa makanan yang kandungan seratnya tinggi bisa mencegah pembentukkan
batu ginjal atau bisa mencegah pembentukannya kembali setelah diobati dengan
“chenodeoxy cholic acid” (Eastwood, 1984).
Ada beberapa bahan yang bertindak sebagai senyawa pemadat feses, yaitu
asam lemak volatil yang mempertinggi kandungan air, massa bakteri, dan daya
ikat air serat. Hemiselulosa merupakan bahan yang paling efektif dalam
meningkatkan kepadatan feses. Selulosa dalam keadaan alaminya tidak seefektif
hemiselulosa. Residu serat yang bersifat higroskopis dengan kandungan yang
tinggi dalam feses pasti akan sangat efektif. Kandungan lignin yang tinggi
menyebabkan konstipasi. Efektivitas residu yang tidak tercerna terutama bukan
disebabkan oleh rangsangan mekanis dari distensi tetapi oleh rangsangan kimia
yang berasal dari destruksi hemiselulosa dan selulosa oleh flora bakteri usus.
Salah satu stimulan terhadap fungsi kolon adalah asam lemak volatil. Rangsangan
kimia, dibantu oleh sifat higroskopis dari residu yang tidak terdegradasi,
merupakan penentu berat feses (Eastwood, 1984).
Berat kering feses terdiri dari 40-50 persen bakteri. Hal tersebut diduga
akibat degradasi serat (seperti pektin) oleh bakteri akan terjadi penambahan massa
flora bakteri dan dengan demikian meningkatkan berat feses (Stephen dan
Cummings, 1980). Kandungan air feses yang konstan munkin dikarenakan
kandungan air dalam bakteri-bakteri juga konstan yaitu 75-80 persen. Oleh karena
itu laktulosa dapat menaikkan berat feses melalui peningkatan massa bakteri.
Bahan-bahan polisakarida seperti pektin hampir semuanya tercerna dalam saluran
pencernaan dan karena itu hanya sedikit berpengaruh terhadap berat feses. Jadi
pertumbuhan bakterilah yang menyebabkan peningkatan berat feses. Aspek
penting dari daya ikat air sefektif dalam kolon adalah kemampuan serat melawan
penyerapan air oleh mukosa.
Pada penderita hiperkolesterolemia, upaya menurunkan kadar kolesterol
dalam tubuh harus dilakukan secara sinergis melalui aktivitas olah raga, diet
makanan rendah lemak, penggunaan obat penurun kolesterol, serta pencegahan
dan penurunan terjadinya penumpukan kolesterol dengan pangan fungsional
penurun kolesterol.
Seperti juga yang telah disebutkan sebelumnya, serat telah banyak
digunakan dan direkomendasikan untuk mencegah peningkatan kolesterol ke arah
hiper-kolesterolemia, dan atau mengembalikan kadar kolesterol darah yang tinggi
pada hiperkolesterolemia ke arah normokolesterolemia. Mekanisme kerja serat
sebagai penurun kolesterol khususnya pada penderita hiperkolesterolemia masih
belum dapat dipahami. Namun diduga serat mempunyai sifat viskositas yang
cukup tinggi. Pemberian serat dengan viskositas yang tinggi lebih efektif
menurunkan kolesterol daripada pemberian serat dengan viskositas yang rendah.
Viskositas serat yang tinggi menyebabkan penurunan kadar kolesterol, disertai
peningkatan ekskresi asam empedu dan sterol netral. Serat dengan viskositas yang
tinggi akan bercampur dengan misel-misel dan atau asam empedu. Laju difusi
misel-misel yang mengandung kolesterol dalam bentuk bolus menurun, sehingga
menyebabkan penyerapan kolesterol dan asam empedu turut menurun juga.
Selain sifat viskositas yang dimiliki serat, penurunan kolesterol akibat
pemberian serat, diduga karena serat mempunyai sifat amba (bulky). Oleh karena
itu ada kecenderungan serat dapat mengikat kolesterol dan langsung dibawa
melewati sistem pencernaan yang selanjutnya dibuang bersama feses. Diduga pula
bahwa dengan keberadaan serat akan menghambat emulsifikasi lemak dan
kolesterol oleh garam empedu, sehingga kolesterol akan terikat oleh serat yang
kemudian akan dikeluarkan melalui ekskreta. Selanjutnya berdasarkan sifat
kelarutan serat, maka serat yang mudah larut diduga dapat menurunkan kadar
kolesterol darah karena mempunyai kemampuan untuk mengikat asam empedu.
Asam empedu merupakan hasil akhir dari metabolisme kolesterol. Semakin
banyak serat yang berikatan dengan kolesterol, maka semakin banyak kolesterol
yang di metabolisme, sehingga pada akhirnya kadar kolesterol menurun. Upaya
untuk memproduksi kembali asam empedu yang hilang, hati akan menarik
kolesterol dari darah, sehingga kadar kolesterol darah akan menurun.
IV. KESIMPULAN

Berdasarkan materi yang telah dipaparkan diatas mengenai hubungan


dietary fiber dengan Coronary Heart Disease, konsumsi serat baik serat larut
maupun serat tidak larut sangan baik untuk pencernaan karena serat mempunyai
kemampuan untuk mengikat asam empedu yang merupakan hasil akhir dari
metabolism kolesterol. Sehingga, semakin banyak serat yang berikatan dengan
kolesterol, semakin banyak kolesterol yang dimetabolisme yang mengakibatkan
kadar kolesterol menurun. Oleh karena itu, konsumsi serat yang cukup sekitar 25-
30 gram per hari secara teratur dapat menurunkan kadar kolesterol dalam darah
15-19% yang akan berdampak pada menurunnya resiko penyakit jantung koroner.
DAFTAR PUSTAKA

Anderson JW, Jones AE, Riddell-Mason S. 1994. Ten different dietary fiber have
significantly different effects on serum and liver lipid of cholesterol fed
rats. J. Nutr.

Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. 2007. Gizi


dan Kesehatan Masyarakat, Edisi Revisi. Jakarta: PT Grafindopersada

Eastwood MA. 1984. Present Knowledge in Nutrition. Fifth Edition. London:


The Nutrition Foundation, Inc.

Hernawati. 2010. Peranan Berbagai Sumber Serat dalam Dinamika


Kolesterol pada Individu Hiperkolesterolemia dan
Normokolesterolemia. Pdf-doc.

Mayes PA. 1995. Biokimia Harpes. Edisi 22. Hartono A, penerjemah. Jakarta.

Penerbit buku kedokteran EGC. Terjemahan dari : Harper’s Biochemistry.

M.C. Linder. 2006. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme, Dengan Pemakaian


Secara Klinis. Jakarta : UI-Press.

Montgomery R, Dryer RL, Conway TW, Spector AA. 1983. Biokimia suatu
Pendekatan Berorientasi Kasus. Jilid 2, Edisi 4. Gajah Mada University.

Muchtadi D, Sri Palupi N, Astawan M. 1993. Metabolisme Zat Gizi, Sumber,


Fungsi dan Kebutuhan Bagi Manusia. Jilid 2. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.

Wirahadikusumah M. 1985. Biokimia Metabolisme Energi, Karbohidrat Dan


Lipid. Bandung. Penerbit ITB.

Anda mungkin juga menyukai