Anda di halaman 1dari 51

RANCANGAN SISTEM PENGISIAN EMBUNG LEUWIKOPO

DENGAN AIR HUJAN

LU’LU ARIPAH BADARIYYAH

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Rancangan Sistem


Pengisian Embung Leuwikopo dengan Air Hujan adalah benar karya saya dengan
arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada
perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2017

Lu’lu Aripah Badariyyah


F44130007
iii

ABSTRAK
LU’LU ARIPAH BADARIYYAH. Rancangan Sistem Pengisian Embung
Leuwikopo dengan Air Hujan. Dibimbing oleh BUDI INDRA SETIAWAN.

Analisis mengenai ketersediaan air hujan perlu dilakukan untuk mengetahui


potensi hujan sebagai sumber air untuk embung. Tujuan penelitian adalah
mengetahui potensi air hujan dan air limpasan sebagai sumber air untuk embung
Leuwikopo serta menghasilkan rancangan sistem pengisian embung Leuwikopo.
Penelitian dilakukan di lahan percobaan Leuwikopo, dari bulan Februari-Mei
2017. Data primer berupa kondisi topografi kawasan embung Leuwikopo. Data
sekunder berupa data iklim kawasan Dramaga, diperoleh dari stasiun Klimatologi
Klas I Darmaga, Bogor periode 10 tahun. Rata-rata hujan dalam setahun adalah
1.83 m, sehingga volume yang dapat ditampung embung adalah 1096.09 m3
dengan luas permukaan embung sebesar 790.50 m2. Nilai hujan rencana (R24)
periode ulang 2 tahun sebesar 122.623 mm. Luas daerah tangkapan air 2.33 ha
dan total debit puncak limpasan 0.836 m3/det. Hujan berpotensi sebesar 35.7 %
sebagai sumber air untuk embung Leuwikopo. Rancangan saluran drainase
dilakukan berdasarkan hasil evaluasi keadaan saluran drainase lama yang
dimodifikasi maupun ditambahkan dalam proses penyaluran air limpasan menuju
embung. Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh dimensi baru saluran drainase 1
yaitu lebar saluran menjadi 60 cm dan kedalaman saluran menjadi 50 cm.

Kata kunci: drainase, embung, hujan, limpasan, rancangan.

ABSTRACT

LU’LU ARIPAH BADARIYYAH. Design of Leuwikopo Dam Supply System


with Rainfall. Supervise by BUDI INDRA SETIAWAN.

An analysis of the availability of rainfall needs to be done to show the


potential of rain as a source of dam water. The purpose of this research is to know
the potential of rainfall and runoff as the source of Leuwikopo dam water and to
design of Leuwikopo dam supply system. The research was conducted in
Leuwikopo experimental field, in February-May 2017. Primary data is topography
condition of Leuwikopo dam area. Secondary data in the form of climate data of
Dramaga area, obtained from Climatology Station Class I Darmaga, Bogor in 10
years period. The average of rainfall for a year was 1.83 m, so the volume that can
be received by Leuwikopo dam was 1096.09 m3 with a dam surface area of
790.50 m2. The rainfall value (R24) of the 2-year return period was 122.623 mm.
The total water catchment area was 2.33 ha and total runoff peak discharge was
0.836 m3/s. The rainfall potential was 35.7% for the water source of Leuwikopo
dam. The drainage channel was designed based on the evaluation of the old
drainage channel condition that was modified and added in the process of
channeling the runoff to the embung. Based on those, obtained a new dimension
of drainage channel 1 which is 60 cm channel width and 50 cm channel depth.

Keywords: dam, design, drainage, rainfall, run-off.


v

RANCANGAN SISTEM PENGISIAN EMBUNG LEUWIKOPO


DENGAN AIR HUJAN

LU’LU ARIPAH BADARIYYAH

Skripsi
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Teknik
pada
Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan

DEPARTEMEN TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
vii

PRAKATA
Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga skripsi yang berjudul “Rancangan Sistem Pengisian Embung Leuwikopo
dengan Air Hujan” dapat diselesaikan. Penyusunan skripsi ini dilakukan sebagai
salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknik di Departemen Teknik
Sipil dan Lingkungan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih diucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Budi Indra Setiawan, M.Agr selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan dan bimbingan dalam penelitian dan penyusunan skripsi.
2. Dr. Ir. Nora H. Pandjaitan, DEA dan Bapak Muhammad Fauzan, S.T, M.T
selaku penguji yang telah memberikan saran terhadap penulisan skripsi.
3. Bapak Kusmita dan Ibu Latipah sebagai orang tua serta keluarga besar yang
selalu memberikan doa dan dukungan penuh untuk kelancaran penelitian.
4. Tika Rizky Pertiwi, Marissa Dwi Ayusari, dan Firdausi Farhana selaku rekan
satu tim bimbingan yang telah menjadi teman berdiskusi, bertukar pikiran, dan
berbagi cerita semasa penelitian.
5. Wiranda Intan Suri, Kartika Pramesthi, Novi Listiana selaku sahabat terbaik
selama tiga tahun menjalani masa kuliah.
6. Dinda Puteri Pertiwi, Dewi Novitasari, Maharani Dyah Alfiana, Palupi
Nusandari, Maulida Sofiyani, serta Putri Ismi Gayatri selaku teman terbaik
yang selalu memberikan dukungan dan keceriaan selama menjalani masa
perkuliahan hingga melewati proses penelitian.
7. Seluruh teman-teman SIL 50 selaku rekan kuliah dan berorganisasi.

Juga diucapkan terima kasih kepada seluruh pihak terkait yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan
manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang Teknik Sumberdaya Air.

Bogor, Juli 2017

Lu’lu Aripah Badariyyah


ix

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi
DAFTAR GAMBAR xi
DAFTAR LAMPIRAN xi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
Ruang Lingkup Penelitian 2
METODE PENELITIAN 3
Waktu dan Tempat 3
Alat dan Bahan 3
Prosedur Penelitian 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Kondisi Umum Embung Leuwikopo 9
Potensi Hujan Sebagai Sumber Air Embung Leuwikopo 10
Intensitas Hujan dan Debit Puncak Limpasan 14
Perancangan Saluran Penyaluran Air Limpasan Menuju Embung 16
SIMPULAN DAN SARAN 20
Simpulan 20
Saran 21
DAFTAR PUSTAKA 21
LAMPIRAN 23
RIWAYAT HIDUP 63
xi

DAFTAR TABEL
1 Nilai koefisien aliran limpasan, C 7
2 Curah hujan maksimum harian Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga 10
3 Hasil perhitungan parameter statistik analisis frekuensi curah hujan 11
4 Syarat penentuan jenis distribusi yang digunakan 11
5 Curah hujan rencana (R24) 11
6 Selisih hujan dan evaporasi setiap tahun 12
7 Jumlah hujan andalan yang tersedia setiap bulan 12
8 Intensitas curah hujan 14
9 Debit puncak limpasan 15
10 Volume air limpasan 15

DAFTAR GAMBAR
1 Lokasi embung Leuwikopo 3
2 Bagan alir penelitian 4
3 Kondisi eksisting embung Leuwikopo 9
4 Hubungan kelebihan hujan dan volume embung 13
5 Saluran inlet 16
6 Kondisi eksisting saluran 17
7 (A) kondisi lubang pemasukan samping (inlet) air limpasan ke saluran,
(B) kondisi inlet dalam saluran. 19

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil uji chi-kuadrat 25
2 Curah hujan harian tahun 2007 – tahun 2016 27
3 Nilai evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 33
4 Laju curah hujan dan evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 39
5 Hasil uji sampel tanah 45
6 Nilai koefisien limpasan untuk daerah tangkapan air (DTA) 47
7 Pembagian daerah tangkapan air (DTA) 49
8 Pola aliran air di wilayah penelitian 49
9 Perhitungan dimensi saluran drainase 51
10 Perhitungan evaluasi dimensi gorong-gorong 53
11 Denah saluran drainase (eksisting) 55
12 Denah saluran drainase rancangan 57
13 Penampang 3D potongan saluran dan gorong-gorong 59
14 Potongan melintang inlet samping jalan 61
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ketersediaan air yang cukup sangat diperlukan untuk berbagai kegiatan.


Ketersedian air sepanjang tahun sangat berbeda jumlahnya karena memiliki
keterkaitan dengan distribusi dan besarnya curah hujan. Permasalahan yang sering
dihadapi terkait hal tersebut adalah kekeringan yang melanda di musim kemarau
serta banjir di musim hujan. Oleh sebab itu, adanya embung akan membantu
sebagai tempat tampungan air hujan yang dapat dimanfaatkan sebagai persediaan
air saat kekeringan.
Embung yang dibangun di kawasan Leuwikopo berfungsi untuk
menampung kelebihan air hujan di kawasan tersebut yang akan dipergunakan
ketika kekurangan air pada musim kemarau. Namun, ketersediaan air di embung
Leuwikopo hampir tidak ada, hal ini ditinjau dari kondisi embung yang sering
tidak terisi oleh air. Jika tidak ada perbaikan terutama dalam proses pengisian air
embung, akan berdampak pada ketersediaan air di embung. Menurut
Rejekiningrum dan Haryati (2002) pengisian air embung dari hujan dan limpasan
permukaan akan efektif dilakukan dengan adanya sistem pengisian yang sesuai.
Air hujan yang jatuh langsung di permukaan embung kuantitasnya bergantung
pada jumlah hujan yang terjadi saat itu. Penyaluran air limpasan ke embung perlu
diperhatikan sebaik mungkin guna menambah ketersedian air embung dan juga
dapat berguna untuk mencegah terjadinya banjir.
Teknologi panen hujan dan aliran permukaan telah banyak dilakukan di
beberapa daerah di Indonesia, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Timur, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan. Teknik panen
hujan dan aliran permukaan dimaksudkan untuk menurunkan volume aliran
permukaan, meningkatkan cadangan air tanah, mengurangi kecepatan aliran
permukaan sehingga menurunkan daya kikis dan daya angkut, dan mensuplai air
di musim kemarau (Rejekiningrum dan Haryati 2002). Teknologi panen hujan dan
aliran permukaan dengan menggunakan bak penampung kecil atau berupa
embung. Air hujan ditampung agar dapat digunakan untuk kegiatan pertanian.
Panen hujan dan aliran permukaan berkaitan erat dengan persoalan kekeringan di
musim kemarau dan banjir di musim hujan (Irianto et. al. 1999).
Beberapa teknik panen hujan sudah diaplikasikan di beberapa wilayah di
seluruh dunia. Salah satunya adalah di India, menurut Gupta (1995) teknik panen
hujan telah diaplikasikan untuk menghadapi kekeringan dan untuk irigasi pada
tanaman. Aplikasi teknik panen hujan dan aliran permukaan akan semakin
bermanfaat ketika terjadi anomali iklim (El-Nino dan La-Nina). Selain di India,
teknik panen hujan juga telah dilakukan di Irak. Menurut Zakaria et al. (2012)
teknologi panen hujan dimanfaatkan untuk irigasi suplementer di daerah lahan
kering yang sering mengalami keterbatasan sumberdaya air di Irak. Teknik ini
juga merupakan alternatif yang menjanjikan untuk meningkatkan pemenuhan
kebutuhan akan air bersih untuk kebutuhan domestik.
Panen air hujan dan aliran permukaan dapat dijadikan sebagai dasar dari
pengisian air di embung. Salah satu penerapan tersebut adalah panen air hujan dan
aliran limpasan untuk pengisian embung di Leuwikopo. Air hujan yang jatuh
2

langsung di sekitar permukaan embung akan mengisi volume embung, sedangkan


limpasan permukaan akan disalurkan melalui bangunan penyaluran air limpasan
menuju embung berupa saluran drainase. Analisis mengenai ketersedian air hujan
perlu dilakukan untuk menunjukkan potensi dari hujan sebagai sumber air
embung. Besarnya potensi air hujan perlu untuk diketahui agar pengisian embung
dari air hujan tetap dapat berjalan dengan baik. Hubungan antara curah hujan dan
volume embung dapat berguna untuk mengetahui potensi air hujan sebagai
sumber air pengisian embung Leuwikopo. Besarnya curah hujan juga dapat
menentukan debit banjir rencana yang dapat dijadikan data untuk pertimbangan
dimensi dari bangunan penyaluran air limpasan menuju embung.

Rumusan Masalah

Pembangunan embung Leuwikopo dimaksudkan untuk pemanenan hujan


sebagai tampungan air. Intensitas hujan wilayah Bogor termasuk kategori hujan
lebat (50-100 mm/hari) (Gustari dkk. 2012). Berdasarkan latar belakang diperoleh
rumusan masalah, berupa penentuan besarnya potensi air hujan sebagai sumber air
embung Leuwikopo serta perancangan sistem pengisian embung Leuwikopo dari
air hujan.

Tujuan Penelitian

Penelitian mengenai perancangan sistem pengisian embung Leuwikopo dari


air hujan bertujuan untuk:
1. Mengetahui potensi air hujan dan air limpasan sebagai sumber air embung
Leuwikopo
2. Menghasilkan rancangan sistem pengisian embung Leuwikopo dari air
limpasan.

Manfaat Penelitian

Manfaat hasil penelitian ini bagi pengelola embung leuwikopo adalah


sebagai bahan pertimbangan dalam mengembangkan teknik pengisian dan
pemanfaatan embung leuwikopo.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dari penelitian ini terbatas pada rancangan pengisian embung
melalui air hujan dan air limpasan permukaan, yang meliputi:
1. Analisis ketersediaan air hujan.
2. Analisis hubungan hujan dan volume embung Leuwikopo.
3. Perancangan saluran limpasan air hujan.
3

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan di lahan percobaan Leuwikopo, Institut Pertanian


Bogor yang terletak di Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian
dilakukan pada bulan Februari-Mei 2017. Lokasi penelitian dan letak embung
Leuwikopo terlihat dalam Gambar 1.

Skala 1:50

Gambar 1 Lokasi Embung Leuwikopo

Alat dan Bahan

Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer berupa
kondisi topografi kawasan sekitar embung Leuwikopo. Data sekunder berupa data
iklim kawasan Dramaga yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Klas I Darmaga,
Bogor dengan periode 10 tahun (2007-2016). Pengukuran topografi kawasan
embung Leuwikopo dengan menggunakan alat autolevel, target rod, pita ukur,
patok, kompas. Program Surfer 8 digunakan dalam pengolahan data pengukuran
untuk mendapatkan pola aliran. Alat lain yang dibutuhkan yakni komputer atau
laptop yang telah dilengkapi dengan beberapa perangkat lunak, diantaranya
Microsoft Word dan Microsoft Excel untuk pengolahan data dan penyusunan
laporan hasil penelitian, Google Earth untuk peta dan AutoCAD untuk pembuatan
rancangan saluran air limpasan menuju embung.

Prosedur Penelitian

Proses penelitian yang dilakukan meliputi studi literatur, observasi langsung


di embung Leuwikopo berupa pengukuran kondisi eksisting, pegumpulan data
sekunder berupa data iklim yang meliputi curah hujan, suhu, kelembaban,
kecepatan angin dan radiasi matahari, pengolahan data sekunder dalam penentuan
potensi hujan sebagai sumber air embung. Selain itu dilakukan juga analisis
terhadap aliran limpasan permukaan untuk penentuan besarnya debit puncak
4

limpasan serta perancangan saluran air limpasan menuju embung Leuwikopo.


Prosedur yang dilakukan selama proses penelitian seperti terlihat dalam bagan alir
pada Gambar 2.

Mulai

Studi literatur

Pengambilan data

Data
Data Data topografi Data
Iklim Embung dan tata Tanah
guna lahan

Analisis Daerah tangkapan


hidrologi hujan

Perhitungan Perhitungan
Perhitungan
intensitas Curah koefisien
luasan (A)
hujan (I) limpasan (C)
Potensi
pengisian dari
air hujan
Perhitungan debit pengisian dari air
limpasan permukaan

Debit embung Rancangan saluran


leuwikopo penyalur air limpasan

Selesai
Gambar 2 Bagan alir penelitian

Analisis Hidrologi
Analisis hidrologi yang dilakukan meliputi analisis curah hujan dan
evaporasi. Proses analisis curah hujan memerlukan ketersedian data curah hujan
5

yang secara kualitas dan kuantitas cukup memadai. Data curah hujan yang
digunakan adalah data periode 10 tahun yang diperoleh dari stasiun cuaca BMKG
Darmaga, Bogor.
Intensitas curah hujan dihitung dengan persamaan Mononobe seperti
persamaan (1) (Triatmodjo 2008). Perhitungan dengan persamaan Mononobe
mempertimbangkan besarnya nilai dari curah hujan rancangan setempat serta
lamanya curah hujan.

R
I (t) (1)

Keterangan :
I : intensitas curah hujan (mm/hari)
R24 : curah hujan rancangan setempat (mm)
t : lama curah hujan (jam)

Nilai R24 diperoleh dari data curah hujan minimal 10 tahun yang diperoleh
dengan menggunakan analisis frekuensi. Analisis frekuensi dilakukan dengan
menggunakan statistika untuk memprediksi suatu besaran hujan atau debit dengan
periode ulang tertentu melalui penerapan distribusi probabilitas. Analisis frekuensi
tersebut dapat dilakukan dengan distribusi normal, distribusi log normal, distribusi
log Pearson tipe III, serta distribusi Gumbel. Metode distribusi normal dapat
dihitung dengan Persamaan (2). Distribusi log normal adalah hasil transformasi
dari distribusi normal. Metode distribusi log normal seperti pada Persamaan (3)
(Triatmodjo 2008).

T
̅ Tr S (2)

̅ Tr (3)
T

Distribusi log Pearson III mempertimbangkan nilai dari nilai rata-rata,


simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Jika kemencengan sama dengan nol
maka distribusi kembali ke distribusi log Normal seperti persamaan (2). Distribusi
Gumbel merupakan metode dari nilai ekstrim. Rumus umum dalam metode
Gumbel seperti pada persamaan (4) (Triatmodjo 2008).

T
̅ Tr S (4)

Distribusi probabilitas yang meliputi distribusi normal, distribusi log


normal, distribusi log Pearson tipe III, serta distribusi Gumbel digunakan untuk
mendapatkan nilai dari R24. Nilai R24 tersebut yang akan digunakan dalam
perhitungan intensitas hujan. Besarnya nilai dari intensitas curah hujan yang
didapatkan akan digunakan untuk perhitungan debit air limpasan, yang juga
menjadi sumber air pengisian embung.
Analisis frekuensi dengan statistik memerlukan beberapa parameter dalam
menentukan jenis sebaran yang tepat. Parameter-parameter tersebut dibagi dalam
empat bagian besar pengukuran yaitu pengukuran tendensi sentral (central
tendency), pengukuran variabilitas, pengukuran kemencengan (skewness) dan
6

pengukuran keruncingan (kurtosis). Tendensi sentral dapat dihitung dengan


persamaan (5) (Triatmodjo 2008). Penentuan jenis distribusi dilakukan melalui uji
kecocokan sebaran berdasarkan uji Chi Kuadrat.

x̅ ∑ni i (5)
Keterangan :
x̅ : rerata
xi : variabel acak
n : jumlah data

Penyebaran data dapat diukur dengan deviasi standar. Deviasi standar (s)
dapat dihitung dengan Persamaan (6). Selain deviasi standar dapat dihitung juga
nilai koefisien variasi (Cv), dengan persamaan (7) (Triatmodjo 2008).

s √ ∑ni ( i - x̅ ) (6)
n-

s
Cv (7)
x

Deviasi standar dan koefisien varian dapat digunakan untuk mengetahui


variabilitas dari distribusi. Penentuan lainnya adalah kemencengan (skewness) dan
keruncingan (kurtosis). Kemencengan digunakan untuk mengetahui derajat
ketidak-simetrisan (asimetri) dari bentuk distribusi. Koefisien skewness (Cs)
seperti persamaan (8), sedangkan koefisien kurtosis (Ck) seperti persamaan (9)
(Triatmodjo 2008).

n ∑ni ( i - x̅ )
Cs (n- )(n- ) s
(8)

∑ni ( i - x̅ )
Ck (n- )(n- )(n- ) s
(9)

Curah hujan andalan merupakan curah hujan yang diandalkan tersedia setiap
beberapa tahun sekali sesuai dengan periode ulang yang diambil. Perhitungan
curah hujan andalan adalah melalui curah hujan bulanan yang diurutkan mulai
yang terkecil hingga terbesar. Nilai untuk hujan andalan 80% didapatkan dari
persamaan (10), dengan n merupakan jumlah data (Dwiratna et. al. 2013).
n
R (10)

Parameter lainnya yang diperhitungkan adalah besarnya evaporasi yang


dapat terjadi. Evaporasi dinyatakan sebagai laju evaporasi dalam satuan
millimeter per hari (mm/hari). Perhitungan evaporasi menggunakan metode
neraca energi yang dipengaruhi oleh radiasi matahari. Kedalaman air yang
menguap dihitung dengan persamaan (11) (Triatmodjo 2008). Besaran evaporasi
diperlukan untuk menghitung kehilangan air dari permukaan embung.
7

Rn
En (11)
w lv

Keterangan:
En : kedalaman penguapan (cm/hari)
Rn : radiasi netto yang diterima permukaan bumi (kal/cm2/hari)
w
: rapat massa air (gr/cm3)
lv : panas laten untuk evaporasi (kal/gr)

Berdasarkan besarnya curah hujan dan evaporasi dapat diketahui musim


kemarau dan hujan sepanjang tahun. Selisih hujan dan evaporasi digunakan untuk
mengetahui volume pengisian air embung berdasarkan hujan.

Perhitungan debit air limpasan permukaan


Besarnya debit limpasan dapat dihitung dengan menggunakan metode
rasional. Metode rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak
yang ditimbulkan oleh hujan deras pada daerah tangkapan. Beberapa parameter
hidrologi yang diperhitungkan adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi
hujan, luas DAS atau daerah tangkapan, absraksi (kehilangan air akibat evaporasi,
intersepsi, infiltrasi, tampungan permukaan) dan konsentrasi aliran. Metode
rasional yang digunakan seperti persamaan (12) (Triatmodjo 2008).

. CIA (12)

Keterangan:
Q : debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan dengan intensitas, durasi dan
frekuensi tertentu (m3/detik)
I : intensitas hujan (mm/jam)
A : luas daerah tangkapan (km2)
C : koefisien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan

Nilai koefisien aliran permukaan (C) untuk metode rasional didapatkan dari
data tekstur tanah serta tutupan lahan di sekitar daerah resapan. Nilai untuk
koefisien limpasan (C) seperti dalam Tabel 1 (Hassing 1995). Luas daerah
tangkapan (A) diperoleh dari hasil pengukuran topografi di Leuwikopo.

Tabel 1 Nilai koefisien aliran limpasan, C


Topografi (Ct) Tanah (Cs) Vegetasi (Cv)
Datar (<1%) 0.03 Pasir dan gravel 0.04 Hutan 0.04
Bergelombang
0.08 lempung berpasir 0.08 pertanian 0.11
(1-10%)
Perbukitan lempung dan Padang
0.16 0.16 0.21
(10-20%) lanau rumput
Tanpa
Pegunungan 0.26 lapisan batu 0.26 0.28
tanaman

Waktu konsentrasi (tc) adalah waktu yang dibutuhkan air untuk mengalir
dari titik terjauh menuju ke titik tinjauan. Waktu konsentrasi bergantung pada
8

karakteristik daerah tangkapan, tata guna lahan, jarak atau panjang lintasan air
dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau (Laoh et al. 2013). Waktu konsentrasi
dapat dihitung dengan persamaan Kirpich, seperti pada persamaan (13)
(Triatmodjo 2008).

. L .
tc . (13)
S

Keterangan :
tc : waktu konsentrasi (jam)
L : panjang lintasan air dari titik terjauh sampai titik yang ditinjau (km)
S : kemiringan lahan antara elevasi maksimum dan minimum

Berdasarkan perhitungan curah hujan dan debit limpasan maka diketahui


besarnya debit pengisian air embung. Hasil analisis dan perhitungan tersebut akan
menjadi nilai acuan untuk penentuan kapasitas optimum dari embung Leuwikopo
berdasarkan pada ukuran embung yang telah ada.

Rancangan Saluran Limpasan Air Hujan


Perancangan saluran limpasan air hujan tersebut berupa saluran drainase.
Saluran drainase tersebut akan membawa air limpasan permukaan menuju ke inlet
embung Leuwikopo. Perancangan saluran drainase dilakukan berdasarkan
evaluasi keadaan saluran drainase lama yang perlu dimodifikasi maupun
ditambahkan dalam proses penyaluran air limpasan menuju embung.
Perancangan saluran drainase mempertimbangkan debit puncak limpasan.
Debit tampungan dihitung dengan persamaan debit Manning, seperti persamaan
(14) (Triatmodjo 2008). Dimensi saluran drainase ditentukan melalui persamaan
penampang hidrolik terbaik, sehingga diperoleh lebar dan kedalaman dari saluran
drainase yang optimum.
AR S (14)
n

Keterangan:
Q : debit saluran (m3/detik)
n : koefisien Manning
A : luas penampang saluran (m2)
R : jari-jari hidrolik (m)
S : kemiringan lahan atau saluran

Saluran drainase yang melewati jalan dihubungkan dengan gorong-gorong.


Gorong-gorong yang direncanakan merupakan gorong-gorong dengan penampang
lingkaran. Mawardi (2007) menyatakan bahwa kecepatan aliran di dalam gorong-
gorong yaitu berkisar 1.5-2.0 m/detik. Pengaliran di dalam gorong-gorong dapat
sebagai pengaliran terbuka (bebas) selama bangunan tidak tenggelam. Perhitungan
untuk dimensi gorong-gorong yang bersifat saluran terbuka dapat dengan
menggunakan persamaan dalam perhitungan dimensi saluran drainase dengan
rumus penampang hidrolik terbaik (Triatmodjo 2008).
Berdasarkan aturan DPU (2006) perencanaan saluran inlet dihubungkan
dengan saluran kecil disebut gutter yang dibuat di antara kereb dan badan jalan
9

untuk menyalurkan air hujan yang jatuh di permukaan jalan ke saluran air
limpasan. Perencanaan bentuk atau dimensi saluran inlet tergantung kondisi
lapang. Perencanaan dimensi inlet samping dilakukan dengan metode kontinuitas.
Nilai dimensi inlet diperoleh melalui penurunan luas. Batas kecepatan aliran yang
berada di jalan dapat ditentukan melalui persamaan (15).

m
zd . Vag . (15)
s
Keterangan:
Zd : lebar genangan pada jalan (< 2 m)
Vag : kecepatan rata-rata di jalan (m/detik)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Embung Leuwikopo

Embung Leuwikopo berada di lahan percobaan Leuwikopo, Institut


Pertanian Bogor yang terletak di Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Embung leuwikopo dibangun dengan material beton untuk struktur dasar
sedangkan pasangan batu kali digunakan untuk dinding. Keseluruhan permukaan
embung tersebut dilapisi oleh geomembran. Penampang atas dari embung
leuwikopo memiliki ukuran 15.5 m x 51.0 m dan penampang dasar berukuran 9.5
m x 44.7 m. Kondisi embung Leuwikopo seperti terlihat dalam Gambar 3.

Gambar 3 Kondisi eksisting embung Leuwikopo


10

Embung didefinisikan sebagai konservasi air berbentuk kolam untuk


menampung air hujan dan air limpasan (run off) serta sumber air lainnya untuk
mendukung usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan (Siregar et.
al. 2011). Konservasi air embung bertujuan mempertahankan air tertampung pada
musim hujan untuk digunakan sepanjang musim kemarau. Konservasi tersebut
penting, hal ini disebabkan air yang tertampung di dalam embung sepenuhnya
mengandalkan air hujan dan aliran permukaan. Ketersediaan air embung dapat
diindikasikan oleh neraca air yang menggambarkan input, output dan air yang
hilang melalui model dan simulasi dengan parameter hujan, evaporasi, infiltrasi,
air yang dimanfaatkan, dan air yang terbuang (Widiyono 2008).
Embung ini dirancang untuk dapat dijadikan tempat tampungan air, salah
satunya yaitu air hujan. Air hujan yang mengisi embung berasal dari air hujan
yang jatuh langsung di permukaan embung serta air hujan yang telah menjadi
limpasan permukaan yang akan mengalir menuju embung melalui saluran air. Air
yang tertampung dalam embung tersebut dapat digunakan untuk sumber air
pertanian. Adanya embung tersebut dapat berguna untuk cadangan air yang dapat
digunakan saat kekurangan air.

Potensi Hujan Sebagai Sumber Air Embung Leuwikopo

Curah hujan wilayah dramaga diperoleh dari stasiun Klimatologi Klas I


Darmaga, Bogor yang berada pada koordinat 106o ’ .9” BT dan 06o ’ . ”
LS, yang berada pada ketinggian 207 mdpl. Data curah hujan yang digunakan
merupakan curah hujan harian dari tahun 2007-2016. Curah hujan (CH)
maksimum harian tiap tahun seperti terlihat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Curah hujan maksimum harian Stasiun Klimatologi Klas I Darmaga


Tahun CH maksimum (mm) Tahun CH maksimum (mm)
2007 155.5 2012 116.0
2008 104.5 2013 97.4
2009 115.1 2014 169.1
2010 144.5 2015 155.8
2011 97.6 2016 108.6

Curah hujan maksimum harian terbesar yang pernah terjadi adalah 169.1
mm yang terjadi pada tahun 2014. Curah hujan maksimum harian terkecil terjadi
pada tahun 2013 yaitu sebesar 97.4 mm. Nilai curah hujan maksimum harian
digunakan untuk penentuan nilai curah hujan rencana (R24) yang diperoleh dari
analisis frekuensi. Analisis frekuensi data hidrologi curah hujan rencana
digunakan untuk meramalkan besarnya hujan dengan periode ulang tertentu
(Soemarto 1999). Berdasarkan curah hujan rencana dapat dihitung intensitas yang
digunakan untuk mencari debit banjir rencana.
Parameter yang digunakan dalam perhitungan analisis frekuensi meliputi
parameter nilai rata-rata (X), standar deviasi (S), koefisien variasi (Cv), koefisien
kemencengan (Cs) dan koefisien kurtosis (Ck).Perhitungan parameter tersebut
didasarkan pada data catatan tinggi hujan harian rata-rata maksimum 20 tahun
terakhir (Soemarto 1999). Nilai parameter dalam perhitungan analisis frekuensi
seperti ditunjukkan pada Tabel 3.
11

Tabel 3 Hasil perhitungan parameter statistik analisis frekuensi curah hujan


Parameter Statistik Variabel Nilai
Jumlah data N 10
Standar deviasi Sd 27.01
Koefisien variasi Cv 0.21
Koefisien kemencengan (skewness) Cs 0.47
Koefisien kurtosius Ck 2.48

Koefisien kemencengan (Cs) dan koefisien kurtosius (Ck) digunakan


sebagai syarat penentuan jenis distribusi yang digunakan. Nilai Cs hasil
perhitungan sebesar 0.47 sedangkan nilai Ck sebesar 2.38. Nilai tersebut yang
dibandingkan dengan persyaratan sehingga diketahui jenis distribusi yang dapat
digunakan. Persyaratan tersebut seperti tersaji dalam Tabel 4.

Tabel 4 Syarat penentuan jenis distribusi yang digunakan


Syarat
Jenis distribusi Cs Ck
Cs Ck
Gumbel 0.47 2.48 Cs=1.14 Ck=5.4
Normal 0.47 2.48 Cs≈ Ck≈
Log normal 0.47 2.48 Cs=0.82 Ck=4.21
Log pearson III 0.47 2.48 selain dari nilai di atas

Berdasarkan persyaratan dalam Tabel 4 terlihat bahwa jenis distribusi yang


dapat digunakan untuk nilai curah hujan rencana (R24) yaitu distribusi Log
Pearson III. Jenis distribusi yang digunakan dilakukan adanya pengujian
keselarasan dengan menggunakan uji sebaran Chi-kuadrat (Chi Square Test).
Hasil uji Chi-kuadrat diperoleh nilai Chi-kuadrat kritis (f2cr) sebesar 5.991 dengan
menggunakan nilai DK yaitu 2 dan derajat kepercayaan 5%. Nilai f2cr tersebut
dibandingkan dengan nilai Chi-kuadrat perhitungan (f2). Menurut Soewarno
(1995) syarat yang harus dipenuhi f2 hitungan kurang dari f2cr. Nilai Chi-kuadrat
terhitung yaitu 1, nilai tersebut lebih kecil daripada nilai Chi-kuadrat kritis.
Berdasarkan hasil uji tersebut maka jenis distribusi Log Pearson III dapat diterima
atau mewakili distribusi frekuensi data yang tersedia. Hasil analisis distribusi
untuk masing-masing nilai R24 seperti terlihat dalam Tabel 5.

Tabel 5 Curah hujan rencana (R24)


Periode Curah Hujan (mm)
Ulang Normal Log normal Log Pearson III Gumbel
2 126.41 123.90 122.62 122.76
5 149.10 147.76 147.23 155.00
10 160.98 162.03 163.02 176.35
25 172.55 177.26 182.56 203.32
50 181.78 190.42 196.91 223.33

Nilai R24 digunakan dalam perhitungan intensitas curah hujan. Periode ulang
lebih lama akan menghasilkan nilai hujan rencana yang lebih besar. Nilai hujan
12

rencana untuk distribusi Log Pearson III dengan periode ulang 50 tahun mencapai
196.91 mm, sedangkan untuk periode ulang 2 tahun curah hujan rencana lebih
kecil hanya mencapai 122.62 mm.
Hujan yang jatuh dipermukaan dapat dimaanfaatkan sebagai cadangan air,
seperti ditampung dalam embung. Jumlah hujan yang dapat ditampung dihitung
dari tingginya curah hujan harian yang terjadi dengan dikurangi evaporasi.
Evaporasi diperoleh dari beberapa parameter seperti suhu, kelembaban udara, dan
radiasi matahari. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata evaporasi harian setiap
tahun sebesar 5 mm dan evaporasi maksimum harian dapat mencapai 8 mm.
Grafik evaporasi harian lebih rapat dibanding grafik hujan yang berfluktuatif. Hal
ini terjadi akibat nilai evaporasi harian yang hampir sama setiap harinya yaitu
berkisar 2 – 8 mm/hari, sedangkan untuk hujan bervariasi nilainya. Terdapat hari
dengan curah hujan yang tinggi dan hari tidak terdapat hujan, sehingga grafik
hujan berfluktuatif. Grafik hujan dan evaporasi terlampir dalam Lampiran 2 dan 3.
Selisih hujan dan evaporasi setiap tahun seperti dalam Tabel 6.

Tabel 6 Selisih hujan dan evaporasi setiap tahun


R-E R-E
Tahun R (mm) E (mm) Tahun R (mm) E (mm)
(mm) (mm)
2007 3772.40 1893.94 1878.46 2012 3550.70 1893.56 1657.14
2008 4038.90 1871.25 2167.65 2013 3238.20 1727.57 1510.63
2009 3497.80 1854.18 1643.62 2014 4175.50 1859.18 2316.32
2010 4050.80 1772.65 2278.15 2015 3013.90 1853.24 1160.66
2011 2842.10 1785.28 1056.82 2016 4542.30 1881.74 2660.56

Selisih dari hujan (R) dan evaporasi (E) merupakan nilai dari besarnya
kelebihan hujan. Berdasarkan Tabel 6, dapat diketahui bahwa rata-rata selisih dari
hujan dan evaporasi tersebut adalah 1833.00 mm atau setara dengan 1.83 m dan
menunjukkan terjadi surplus.
Curah hujan andalan (R80) dapat dijadikan sebagai nilai dari hujan yang
tersedia yang terlampaui 80%, sehingga terdapat 20% kegagalan untuk tidak
terlampaui. Curah hujan andalan adalah hujan yang diperkirakan selalu ada atau
tersedia dengan keandalan tertentu pada waktu yang lama (Dwiratna et. al. 2013).
Berdasarkan pada nilai curah hujan andalan setiap bulan dapat diketahui jumlah
hujan yang akan dapat tersedia setiap bulan seperti terlihat dalam Tabel 7.

Tabel 7 Jumlah hujan andalan yang tersedia setiap bulan


Bulan R-E (mm) ƩR-E (mm) Bulan R-E (mm) ƩR-E (mm)
Januari 95.18 95.18 Juli -4.71 472.09
Februari 194.21 289.39 Agustus -70.80 401.29
Maret 97.71 387.10 September -81.95 319.34
April 65.24 452.34 Oktober 55.12 374.46
Mei 57.73 510.07 November 156.10 530.56
Juni -33.28 476.79 Desember 37.10 567.67

Tabel 7 menunjukkan nilai dari hujan andalan setiap bulan yang akan
mengisi tampungan embung. Berdasarkan Tabel 7 terlihat bahwa terdapat nilai
13

selisih dari hujan dan evaporasi yang bernilai negatif yang terjadi pada bulan Juni
hingga September. Hal ini disebabkan oleh besarnya hujan bulanan yang jauh
lebih rendah dari nilai evaporasi bulanan. Nilai evaporasi harian hasil perhitungan
berkisar dari 2.21 mm/hari hingga 8 mm/hari. Jika evaporasi sebesar 8 mm/hari
maka besarnya evaporasi kumulatif tertinggi dalam satu bulan adalah 240 mm.
Hujan bulanan yang kurang dari 240 menyebabkan kelebihan hujan bernilai
negatif dan tidak terjadi kelebihan hujan.
Berdasarkan kumulatif dari kelebihan hujan setiap bulan dapat ditunjukkan
bahwa hujan akan mengisi embung sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh
besarnya kumulatif kelebihan hujan pada bulan Desember yang bernilai positif
yaitu sebesar 567.67 mm atau 0.57 m. Besarnya kumulatif kelebihan hujan yang
ditampung pada bulan Juni dengan jumlah lebih besar dibanding dengan
pengurangan kehilangan air yang terjadi di bulan Juni hingga September
menyebabkan pada akhir tahun masih terdapat air hujan yang tertampung dalam
embung.
Besarnya kelebihan hujan harian jika dikali dengan luasan embung akan
didapatkan besarnya volume dari total hujan. Hubungan antara hujan dan volume
diproyeksikan dalam grafik seperti terlihat dalam Gambar 4.

1200.00
y = 598.18x+2E-12
1000.00 R² = 1

800.00
volume (m3)

600.00

400.00

200.00

0.00
0.00 0.50 1.00 1.50 2.00
kelebihan hujan (m)
ƩR-E volume Linear (ƩR-E volume)
Gambar 4 Hubungan kelebihan hujan dan volume embung

Berdasarkan Gambar 4, hujan dan volume embung memiliki hubungan yang


berbanding lurus. Besarnya tampungan embung dari hujan sangat dipengaruhi
pula oleh besarnya evaporasi. Kelebihan hujan tersebut akan menjadi total hujan
yang ditampung dalam embung.
Volume tampungan dari hujan dapat ditentukan melalui persamaan seperti
dalam Gambar 4. Variabel y dalam persamaan menunjukkan besarnya volume
dalam m3 dan variabel x adalah kelebihan air hujan dengan satuan m. Berdasarkan
persamaan tersebut dapat diketahui bahwa hujan memiliki potensi dari 0 m hingga
1.83 m untuk mengisi volume embung mulai 0 m3 hingga 1096.09 m3. Besarnya
volume tampungan yang dapat terlampaui yang akan selalu tersedia adalah
sebesar 339.57 m3. Kelebihan air hujan rata-rata setiap tahun yang dapat
dimanfaatkan sebagai tampungan embung adalah sebesar 1096.09 m3 dengan luas
permukaan embung sebesar 790.50 m2 dengan ketinggian embung 3 m.
14

Kelebihan air hujan yang diperoleh membentuk amplitudo yang terdiri dari
puncak dan lembah yang menunjukkan grafik laju hujan. Garis kelebihan hujan
pada grafik laju hujan dapat digunakan untuk mengetahui rentang musim kemarau
dan musim hujan. Ketika musim kemarau grafik kelebihan hujan bernilai negatif
akibat hujan yang terjadi lebih rendah dari evaporasi. Grafik tersebut seperti
terlihat dalam Lampiran 4. Berdasarkan hal tersebut diperoleh rata-rata rentang
musim kemarau terjadi pada bulan Juli hingga Agustus. Namun, rentang musim
kemarau terpanjang yang pernah terjadi selama kurun waktu 10 tahun terakhir
(tahun 2007-2016) adalah sepanjang 106 hari dengan awal musim kemarau pada
hari ke-172 yang terjadi pada tahun 2015 selama bulan juni hingga Oktober.
Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa musim hujan pada tahun 2015
merupakan musim hujan terpendek yang terjadi selama 10 tahun terakhir. Jumlah
hujan sepanjang tahun 2015 yaitu sebesar 3013.90 mm.

Intensitas Hujan dan Debit Puncak Limpasan

Intensitas hujan dipengaruhi oleh waktu konsentrasi. Panjang saluran dan


kemiringam lahan mempengaruhi waktu konsentrasi. Semakin panjang saluran
maka waktu konsentrasi semakin lama, sedangkan semakin besar kemiringan akan
mempercepat waktu konsentrasi (Laoh et al. 2013). Besarnya nilai intensitas
hujan seperti dalam Tabel 8.

Tabel 8 Intensitas curah hujan


DTA Panjang saluran (km) Slope Tc (jam) R24 (mm) I (mm/jam)
1 0.313 0.007 0.187 122.623 129.893
2 0.165 0.037 0.059 122.623 279.831
3 0.302 0.035 0.096 122.623 203.163
4 0.289 0.016 0.125 122.623 169.638

Nilai curah hujan sebesar 122.623 mm setelah dilakukan konversi satuan


menjadi 14.19 L/det/Ha untuk periode ulang 2 tahun. Intensitas hujan adalah
tinggi curah hujan dalam periode tertentu yang dinyatakan dalam satuan mm/jam
(Verrina et. al. 2013). Semakin singkat hujan berlangsung intensitasnya
cenderung makin tinggi. Berdasarkan Tabel 8, intensitas curah hujan tersebut
termasuk dalam kategori intensitas sangat lebat. Menurut Suripin (2004),
intensitas hujan sangat lebat berada pada rentang di atas 60 mm/jam.
Nilai intensitas tersebut digunakan untuk mendapatkan debit puncak
limpasan. Luas total daerah tangkapan air yaitu 2.33 ha, sehingga dalam
perhitungan debit puncak limpasan digunakan nilai hujan rencana (R24) untuk
periode ulang 2 tahun. Menurut Suripin (2004), perhitungan debit banjir dengan
luasan daerah tangkapan kurang dari 10 ha dengan periode ulang 2 tahun dapat
dilakukan dengan metode rasional.
Limpasan permukaan (surface runoff) merupakan air hujan yang mengalir
dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan akan masuk ke parit-parit dan
selokan-selokan yang kemudian bergabung menjadi anak sungai dan akhirnya
menjadi aliran sungai (Triatmodjo 2008). Koefisien limpasan mempengaruhi
besarnya debit puncak limpasan. Menurut Tarigan (2008), koefisien limpasan
adalah persentase jumlah air yang dapat melimpas melalui permukaan tanah dari
15

keseluruhan air hujan yang jatuh pada suatu daerah. Nilai C yang rendah
menunjukkan banyaknya air yang tertahan di daerah tangkapan, sedangkan nilai C
yang tinggi menunjukkan bahwa banyak hujan yang menjadi aliran pemukaan.
Koefisien limpasan dipengaruhi oleh kondisi tanah, tutupan lahan serta
topografi. Tekstur tanah didapatkan dari pengujian 4 contoh tanah yang berasal
dari 4 zona mewakili daerah tangkapan air (DTA). Hasil penentuan tekstur tanah
terlihat dalam Lampiran 5 yang menunjukkan tanah bertekstur liat berdebu (silty
clay). Daerah tangkapan air (DTA) penelitian dibagi menjadi 4 DTA. Setiap DTA
memiliki rangkaian saluran drainase yang menyalurkan air limpasan menuju ke
embung. Pembagian DTA tersebut terlampir dalam Lampiran 7. Hasil perhitungan
koefisien limpasan seperti terlihat dalam Lampiran 6. Hasil perhitungan debit
puncak limpasan disajikan dalam Tabel 9.

Tabel 9 Debit puncak limpasan


DTA I (mm/jam) C A (km2) Q (m3/detik)
1 129.893 0.400 0.005 0.068
2 279.831 0.382 0.009 0.274
3 203.163 0.996 0.004 0.244
4 169.638 1.056 0.005 0.250

Besarnya nilai puncak limpasan untuk setiap daerah tangkapan air (DTA)
berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan luasan serta koefisien limpasan
masing-masing DTA. Debit puncak limpasan tertinggi yaitu 0.274 m3/det yang
terjadi di DTA 2. Hal ini disebabkan oleh panjang lintasan saluran di DTA 2 lebih
pendek dibandingkan dengan DTA lain, sehingga waktu konsentrasi yang
dihasilkan semakin cepat. Waktu konsentrasi yang semakin cepat akan
berpengaruh pada intensitas hujan yang semakin besar. Debit puncak limpasan
berbanding lurus dengan besarnya intensitas hujan, sehingga intensitas hujan yang
besar akan menghasilkan debit puncak yang besar pula. Total debit puncak
limpasan untuk seluruh DTA adalah 0.836 m3/det.
Volume yang dihasilkan dari besarnya debit puncak limpasan tersebut
berbeda-beda untuk masing-masing DTA. Menurut Mulyana dkk. (2013), metode
rasional dikembangkan berdasarkan asumsi bahwa hujan yang terjadi mempunyai
intensitas seragam dan merata di seluruh DAS selama paling sedikit sama dengan
waktu konsentrasi. Berdasarkan hal tersebut nilai debit yang diperoleh untuk
setiap DTA dapat dikalikan dengan waktu konsentrasi dalam satuan jam untuk
diperoleh besarnya volume limpasan. Volume tersebut seperti terlihat dalam Tabel
10.

Tabel 10 Volume air limpasan


DTA Tc (jam) Q (m3/detik) Volume (m3)
1 0.187 0.068 45.754
2 0.059 0.274 58.397
3 0.096 0.244 84.139
4 0.125 0.250 112.890

Volume air limpasan dari setiap DTA menghasilkan jumlah yang berbeda
akibat nilai debit yang berbeda. Volume air limpasan terbesar yaitu mencapai
16

112.890 m3 dan volume air limpasan terendah 45.754 m3. Berdasarkan Tabel 10,
dapat diperoleh volume total air limpasan yang dihasilkan yaitu mencapai 301.180
m3. Air limpasan dari DTA 1 dan DTA 4 akan masuk melalui saluran inlet 1 yang
berada di embung. Air limpasan dari DTA 2 dan 3 secara berturut-turut akan
masuk menuju embung melalui inlet 2 dan inlet 3.
Potensi hujan dan air limpasan permukaan sebagai sumber pengisian air
embung dapat diketahui melalui besarnya volume tampungan yang dihasilkan dari
hujan dan limpasan permukaan. Volume hujan yang dapat pengisi embung sebesar
339.57 m3, sedangkan volume limpasan permukaan sebesar 301.18 m3.
Berdasarkan hal tersebut, hujan dan limpasan permukaan dapat memberikan
potensi untuk pengisian embung sebesar 35.7 %.

Perancangan Saluran Penyaluran Air Limpasan Menuju Embung

Perancangan saluran penyaluran air limpasan menuju embung


memanfaatkan saluran drainase yang telah ada. Perancangan tersebut dilakukan
berdasarkan hasil evaluasi keadaan saluran drainase lama yang dimodifikasi
maupun ditambahkan dalam proses penyaluran air limpasan menuju embung.
Menurut Rajasa (2014), perencanaan ataupun evaluasi sistem drainase tidak
terlepas dari kondisi hidrologi lingkungan sekitar. Jumlah curah hujan yang tinggi
pada suatu daerah apabila tidak diimbangi dengan perencanaan sistem drainase
yang tepat mengakibatkan sistem drainase yang kurang optimal akibat tidak
sesuainya pola aliran dengan perencanaan awal sehingga timbulnya sedimentasi
pada saluran. Selain itu, kesalahan penentuan dimensi saluran dan kerusakan fisik
yang terjadi di sepanjang saluran juga dapat mengganggu aliran.
Berdasarkan daerah tangkapan air (DTA) pada perhitungan debit puncak
yang dibagi ke dalam 4 DTA, saluran drainase eksisting juga dibagi ke dalam 4
blok dalam proses penyaluran air limpasan menuju embung. Saluran drainase
dibagi menjadi saluran drainase 1, 2, 3, dan 4. Keempat saluran tersebut akan
berujung pada saluran inlet yang ada di embung sebelum mencapai permukaan
embung. Ada 3 inlet yang menjadi jalan masuk air limpasan menuju embung,
seperti terlihat dalam Gambar 5.

Inlet 1 Inlet 2 Inlet 3


Gambar 5 Saluran inlet
17

Saluran inlet 1 menghubungkan saluran drainase 1 dan saluran drainase 4


yang mengalirkan air limpasan dari DTA 1 dan DTA 4 menuju embung. Saluran
inlet 2 memasukkan air limpasan dari saluran drainase 2 menuju embung. Saluran
inlet 3 akan memasukkan air menuju embung yang berasal dari DTA 3 yang
dialirkan melalui saluran drainase 3.
Pola aliran air di wilayah penelitian seperti terlihat dalam Lampiran 8. Hasil
pengukuran menunjukkan bahwa aliran air yang berada di setiap DTA telah sesuai
dengan kondisi topografi yang ada. Arah aliran dari setiap saluran drainase
mengarah pada embung. Kondisi eksisting saluran saat hujan seperti terlihat
dalam Gambar 6.

Saluran drainase 1 Saluran ke embung Saluran inlet


Gambar 6 Kondisi eksisting saluran

Gambar 6 menunjukkan kondisi saluran drainase saat terjadi hujan. Aliran


air limpasan akan masuk ke saluran tersebut yang akan dialirkan menuju embung.
Saluran drainase 1 menjadi saluran utama yang mengalirkan air limpasan menuju
embung. Saluran drainase 1 mendapat tambahan limpasan air dari beberapa
daerah tangkapan, yaitu dari daerah tangkapan air (DTA) 4, sehingga dimensi
saluran tersebut harus dapat menampung total debit puncak limpasan yang
mungkin dapat terjadi.
Hasil analisis perhitungan dimensi saluran dapat dilihat dalam Lampiran 9.
Saluran drainase 1 memiliki lebar 43 cm sedangkan saluran drainase 2, 3, dan 4
memiliki lebar 50 cm. Kedalaman saluran drainase 1, 2, 3, dan 4 secara berturut-
turut yaitu 45 cm, 60 cm, 60 cm, dan 70 cm. Berdasarkan hasil perhitungan,
dimensi saluran drainase yang telah ada masih dapat menampung debit puncak
limpasan yang terjadi.
Saluran drainase 4 akan mengalirkan air masuk ke saluran drainase 1 untuk
mencapai embung, sehingga saluran drainase 1 harus dapat menampung air
limpasan dari saluran drainase 4. Dimensi awal saluran drainase 1 dapat
menampung debit sebesar 0.313 m3/det. Debit puncak pada saluran drainase 1
setelah mendapat limpahan dari saluran drainase 4 menjadi 0.318 m3/det. Hal ini
menunjukkan bahwa saluran drainase 1 tidak dapat menampung kelebihan air
sebanyak 0.005 m3/det dari saluran 4. Berdasarkan prinsip bangunan penampang
hidrolik terbaik maka dimensi baru untuk saluran drainase 1 dapat ditentukan,
sehingga dapat diketahui lebar saluran menjadi 60 cm dan kedalaman saluran
menjadi 50 cm. Gambar rancangan saluran drainase terlampir dalam Lampiran 12.
18

Berdasarkan gambar rancangan saluran dalam Lampiran 12, dibuat


penambahan panjang saluran drainase 2 dan 3. Penambahan panjang saluran
tersebut dilakukan agar air limpasan dari setiap luasan DTA dapat tertampung
semua di dalam embung. Besarnya penambahan panjang untuk saluran drainase 2
yaitu 68.8 m, sedangkan penambahan panjang untuk saluran drainase 3 mencapai
183.35 m. Dimensi rancangan saluran drainase 2 dan 3 dirancang sesuai dengan
dimensi awal saluran yaitu dengan lebar berukuran 50 cm dan kedalaman
berukuran 60 cm. Berdasarkan prinsip bangunan penampang hidrolik terbaik
dimensi awal saluran drainase 2 dan 3 tersebut memiliki kapasitas tampungan
saluran yang masih dapat menampung debit puncak. Hal ini yang menyebabkan
tidak dilakukan perubahan dimensi untuk rancangan saluran drainase 2 dan 3.
Saluran drainase 4 melewati jalan, sehingga terdapat gorong-gorong yang
menghubungkan saluran drainase 4 dengan saluran drainase 1 sebelum akhirnya
menuju embung. DPU (1986) menyatakan bahwa gorong-gorong merupakan
bangunan yang digunakan untuk membawa aliran air melewati bawah jalan air
lainnya. Menurut Wijaya (2014) pengaliran dalam gorong-gorong dapat bersifat
aliran terbuka atau dalam pipa. Mawardi (2007) menyebutkan bahwa pengaliran
di dalam gorong-gorong dapat sebagai pengaliran terbuka selama bangunan tidak
tenggelam.
Gorong-gorong yang menghubungkan saluran drainase 4 dengan saluran
drainase 1 memiliki diameter 60 cm. Hasil perhitungan untuk evaluasi dimensi
gorong-gorong terlampir dalam Lampiran 10. Gorong-gorong tersebut harus dapat
menampung debit rencana dengan periode ulang 2 tahun yaitu sebesar 0.250
m3/detik. Menurut DPU (1986), kecepatan aliran dalam perencanaan gorong-
gorong bergantung pada jumlah kehilangan energi yaitu sebesar 1.5 m/det. Luas
penampang gorong-gorong dengan diameter 0.6 m adalah 0.283 m2. Berdasarkan
hal tersebut maka diperoleh debit gorong-gorong yaitu sebesar 0.424 m3/det.
Selisih debit eksisiting gorong-gorong dengan debit rencana adalah 0.174 m3/det.
Hal ini menunjukkan bahwa gorong-gorong tersebut dapat menampung debit
puncak rencana.
Air limpasan yang menggenang di badan jalan dapat mengikis material
jalan. Hal ini terjadi akibat air limpasan yang tidak dapat masuk ke dalam saluran
karena tidak adanya jumlah lubang pemasukan air di sepanjang ruas jalan.
Berdasarkan hasil observasi, di sepanjang lintasan air hanya terdapat satu lubang
pemasukan samping (inlet) yang menjadi saluran pembawa air limpasan di jalan
menuju saluran drainase. Kondisi inlet saluran seperti terlihat dalam Gambar 7.
Selain itu, inlet tersebut belum memenuhi standar yang ditetapkan oleh DPU.
Aliran air limpasan di jalan yang terpusat pada satu lubang pemasukan
menyebabkan terjadinya genangan. Hal ini dapat terjadi akibat dimensi inlet
tersebut yang kecil dan jumlah inlet yang kurang memadai. Menurut DPU (2006),
saluran inlet yang menghubungkan aliran air dari perkerasan jalan menuju saluran
direkomendasikan maksimal dibuat tiap 5 meter. Lokasi inlet saluran ditempatkan
pada titik terendah dari kemiringan memanjang jalan atau di antara titik terendah
dan tertinggi pada kemiringan memanjang jalan. Oleh sebab itu, diperlukan
konstruksi lubang pemasukan (inlet) tertentu untuk mempercepat aliran
permukaan masuk ke dalam saluran drainase sehingga tidak menimbulkan
genangan.
19

(A) (B)
Gambar 7 (A) Kondisi lubang pemasukan samping (inlet) air limpasan ke saluran,
(B) kondisi inlet dalam saluran.

Berdasarkan Gambar 7 terlihat bahwa dimensi inlet penyaluran air limpasan


menuju saluran kurang memadai. Dimensi lubang yang terlalu kecil serta kondisi
sekeliling lubang penyaluran yang banyak ditumbuhi vegetasi menyebabkan
terhambatnya air mengalir. Mengacu pada persyaratan dalam DPU (2006), elevasi
pada lubang inlet perlu dibuat lebih rendah daripada permukaan jalan. Hal ini
dilakukan agar aliran air limpasan mengarah menuju inlet serta mempercepat
aliran masuk ke dalam inlet sehingga tidak akan menimbulkan genangan air di
jalan.
Pembuatan saluran inlet lainnya sebagai upaya untuk menambah jumlah
inlet samping penyalur air limpasan dapat dilakukan dengan menggunakan pipa
galvanis yang dipendam selebar bahu jalan. Pipa yang direkomendasikan untuk
digunakan adalah berukuran ” atau setara dengan cm. Kemiringan saluran
3
sebesar 0.7 % dengan kapasitas 0.065 m /detik maka diperoleh kemiringan bahu
yang dapat diperhitungkan dalam pembuatan inlet pemasukan samping yaitu 0.05.
Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya genangan.
Kendala yang timbul di saluran adalah adanya sedimen serta pertumbuhan
vegetasi. Menurut Fitriyah dkk. (2014) Proses sedimen meliputi proses erosi,
angkutan (transport), pengendapan (deposition) dan pemadatan dari sedimen.
Hujan yang menghasilkan energi kinetik merupakan permulaan dari proses erosi.
Tanah yang menjadi partikel halus menggelinding bersama aliran air hujan,
sebagian akan tertinggal di atas tanah sedangkan bagian yang lainnya masuk ke
saluran drainase terbawa aliran menjadi sedimen. Sedimentasi yang terjadi
menyebabkan saluran menjadi dangkal dan kapasitas saluran menjadi berkurang
sehingga tidak dapat menampung debit limpasan yang terjadi.
Sedimen berupa padatan tanah yang mengendap dalam saluran perlu untuk
diatasi agar tidak menghambat aliran. Fitriyah dkk. (2014) menyatakan bahwa
pengendalian sedimen dapat dilakukan dengan pembuatan kolam endapan
sedimen pada setiap pertemuan saluran drainase. Kolam endapan tersebut dapat
berupa bok pengecekan saluran (check box). Check box berfungsi sebagai
penampung sedimen yang terbawa oleh aliran air sehingga tidak akan terbawa
20

hingga menuju embung. Kedalaman check box dapat dibuat dengan dimensi
sebesar 2 kali kedalaman aliran air di saluran.
Kondisi saluran yang banyak ditumbuhi vegetasi juga menyebabkan
terhambatnya aliran yang masuk ke saluran. Retakan dalam saluran menjadi
media tumbuh vegetasi. Hal ini terjadi akibat permukaan saluran yang berupa
beton telah terkikis sehingga menyebabkan terdapat pori atau celah di saluran
yang dapat terisi oleh tanah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk
menangani hal tersebut adalah dengan menambahkan campuran semen sebagai
bahan penutup pori-pori pada permukaan saluran.
Pengerukan atau pembersihan sedimen yang ada di dalam saluran perlu
untuk dilakukan terlebih dahulu sebelum dimulai proses plesteran retakan pada
permukaan saluran. Sedimen yang tertimbun di dasar saluran dapat menjadi media
pertumbuhan vegetasi, sehingga proses pembersihan sedimen dalam saluran juga
penting untuk dilakukan. Jika pori di permukaan saluran dapat tertutupi serta
sedimen telah dibersihkan maka akan mencegah pertumbuhan vegetasi di saluran.
Pemeliharaan terhadap saluran secara rutin perlu untuk dilakukan. Hal ini
berguna agar menjaga kondisi saluran dapat bekerja sesuai fungsinya. Menurut
DPU (2015), kegiatan pemeliharaan rutin dapat bersifat perawatan dan bersifat
perbaikan ringan. Perawatan saluran berupa membersihkan saluran dari tanaman
liar dan semak-semak dan pembuangan endapan lumpur atau sedimen.
Pemeliharaan yang bersifat perbaikan ringan berupa menutup lubang-lubang
bocoran kecil di saluran serta perbaikan kecil, seperti plesteran retak atau
beberapa batu muka yang terlepas pada saluran.

SIMPULAN DAN SARAN

SIMPULAN

1. Telah diketahui potensi hujan untuk sumber air embung adalah 1833.00 mm
atau 1.83 m. Kelebihan air hujan rata-rata setiap tahun yang dapat ditampung
embung adalah 1096.09 m3 dengan luas permukaan embung sebesar 790.50 m2
dan asumsi ketinggian optimum embung 3 m. Volume tampungan hujan
terlampaui yang akan selalu tersedia adalah 339.57 m3. Nilai curah hujan
sebesar 122.623 mm setelah dilakukan konversi satuan menjadi 14.19 L/det/Ha
untuk periode ulang 2 tahun. Total debit puncak limpasan adalah 0.836 m3/det
dengan luas total daerah tangkapan air yaitu 2.33 ha. Volume total air limpasan
yang dihasilkan mencapai 301.180 m3. Hujan dan limpasan berpotensi sebagai
sumber air pengisian embung yaitu 35.7 %.
2. Telah dihasilkan sistem rancangan pengisian embung Leuwikopo dari air
limpasan dengan cara memanfaatkan saluran drainase yang ada dengan
memodifikasi dimensi saluran serta dengan menambah panjang saluran. Air
yang mengalir di saluran drainase dari DTA akan masuk melalui inlet embung,
yang terdiri dari 3 inlet. Saluran drainase 1 memiliki lebar 43 cm, saluran
drainase 2, 3, dan 4 memiliki lebar 50 cm. Kedalaman saluran drainase 1, 2, 3,
dan 4 secara berturut-turut yaitu 45 cm, 60 cm, 60 cm, dan 70 cm. Setelah
21

evaluasi, saluran drainase 1 diperoleh dimensi baru dengan lebar saluran


menjadi 60 cm dan kedalaman saluran menjadi 50 cm. Penambahan panjang
untuk saluran drainase 2 yaitu 68.8 m, sedangkan penambahan panjang untuk
saluran drainase 3 mencapai 183.35 m. Terdapat gorong-gorong dengan
diameter 60 cm. Penanganan sedimentasi di saluran dapat dilakukan dengan
adanya check box, serta pertumbuhan vegetasi dapat dicegah dengan dilakukan
perbaikan saluran berupa penutupan kembali pori atau retakan pada permukaan
saluran dengan campuran semen.

SARAN

Perlu dilakukan analisis lebih lanjut terhadap material saluran drainase yang
menjadi penyalur air limpasan menuju embung. Hal ini dilakukan untuk
mengetahui material penyusun saluran drainase yang tepat. Selain itu, hal tersebut
dilakukan untuk mengurangi sedimen serta mencegah tumbuhnya vegetasi di
dalam saluran yang menghambat laju aliran di saluran drainase. Salah satu yang
dapat dipertimbangkan adalah dengan menggunakan bahan ferrosemen.

DAFTAR PUSTAKA
[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Kriteria Perencanaan Irigasi bagian
Bangunan (KP-04). Bandung (ID): CV. Galang Persada.
[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2006. Pedoman Perencanaan Sistem
Drainase Jalan. Jakarta (ID): Departemen Pekerjaan Umum.
[DPU] Departemen Pekerjaan Umum. 2015. Pedoman Penyelenggaraan
Pemeliharaan Jaringan Irigasi. Peraturan Menteri PUPR No.
12/PRT/M/2015. Jakarta (ID): Departemen Pekerjaan Umum.
Dwiratna N., Nawawi G., Asdak C. 2013. Analisis curah hujan dan aplikasinya
dalam penetapan jadwal dan pola tanam pertanian lahan kering di
Kabupaten Bandung. Bionatura-Jurnal Ilmu-Ilmu Hayati dan Fisik. 15(1):
29-34.
Fitriyah F., Halim F., Jasin M. 2014. Penanganan masalah erosi dan sedimentasi
di kawasan Kelurahan Perkamil. Jurnal Sipil Statik. 2(4). 173-181.
Gupta G. N., 1995. Rain-water management for tree planting in the Indian desert.
Journal of Arid Environment. 31: 219–235.
Gustari I., Hadi T., Hadi S., Renggono F. 2012. Akurasi prediksi curah hujan
harian operasional di Jabodetabek: perbandingan dengan model WRF.
Jurnal Meteorologi dan Geofisika. 13(2): 119-130.
Hassing JM. 1995. Hydrology, in : Highway and Traffic Engineering Developing
Countries. London (UK): E & FN Spon.
Irianto G. S., Duchesne F., Forest, Perez P., Cudennec, Prasetyo T., Karama.
1999. Rain-runoff harvesting for controlling erosion and sustaining upland
agriculture development. Proceeding International Soil Conservation
Organization, Purdue University, Lavayette (US). USA.
22

Laoh G. L., Tanudjaja L., wuisan E. M., Tangkudung H. 2013. Perencanaan


sistem drainase di kawasan pusat Kota Amurang. Jurnal Sipil Statik. 1(5):
341-349.
Mawardi E. 2007. Desain Hidraulik Bangunan Irigasi. Bandung (ID): Alfabeta.
Mulyana W. P., Permana S., Farida I. 2013. Pengaruh curah hujan harian terhadap
ketersediaan air pada perencanaan pembangunan pembangkit listrik tenaga
minihidro (PLTM) Sungai Cisanggiri Kecamatan Cihurip Kabupaten Garut.
Jurnal Konstruksi Sekolah Tinggi Teknologi Garut. 11(1): 1-11.
Rajasa H. K. 2014. Analisis dan rancangan bangunan resapan air hujan di sekitar
Gedung Graha Widya Wisuda (GWW)-FEMA, Kampus IPB Darmaga,
Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Rejekiningrum P., Haryati U. 2002. Panen hujan dan aliran permukaan untuk
meningkatkan produktivitas lahan kering di Nyatnyono DAS Kaligarang
Semarang. Jurnal Agromet. 16(1-2): 61-75.
Siregar A., Rosadi R. A, Arifaini N. 2011. Maksimalisasi desain embung sebagai
sumber air irigasi untuk memenuhi kebutuhan air tanaman tebu. Jurnal
Rekayasa. 15(1): 1-12.
Soemarto C. D. 1999. Hidrologi Teknik. Jakarta (ID): Erlangga.
Soewarno. 1995. Hidrologi Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai
(Hidrometri). Bandung (ID): Nova.
Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta (ID)
Andi Offset.
Tarigan S. D. 2008. Efektifitas embung untuk irigasi tanaman hortikultura di
Cikakak Sukabumi. Jurnal Tanah dan Lingkungan. 10(1): 1-6.
Triatmodjo B. 2008. Hidrologi Terapan. Yogyakarta (ID): Beta Offset.
Verrina G. P., Anugrah D. D., Sarino. 2013. Analisa run off pada sub DAS
Lematang Hulu. Jurnal Teknik Sipil dan Ligkungan. 1(1): 22-31. ISSN:
2355-374X.
Widiyono W. 2008. Konservasi flora, tanah dan sumberdaya air embung-embung
di Timor Barat Provinsi Nusa Tenggara Timur (studi kasus embung Oemasi-
Kupang dan embung Leosama-Belu). Jurnal Teknik Lingkungan. 9(2):197-
204.
Wijaya D. 2014. Analisis pola aliran dan perencanaan saluran drainase di sekitar
Gedung Graha Widya Wisuda (GWW)-FEMA, Kampus IPB Darmaga,
Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Zakaria S., N. Al-Ansari, S. Knutsson, M. Ezz-Aldeen. 2012. Rainwater
harvesting and suplemental irrigation at Northern Sinjar Mountain Iraq.
Journal of Purity, Utility Reaction and Environment. 1(3): 121-141.
23

LAMPIRAN
25

Lampiran 1 Hasil uji Chi-kuadrat

Jumlah data : 10
jumlah kelas :5
parameter :2
derajat kebebasan (DK) :2
derajat kepercayaan : 5%
Nilai f2cr : 5.991

SD : 0.091
Xr : 2.093
Sn : 0.950
Yn : 0.495

(Of-Ef)2/Ef
Kelas Interval Of Ef Of-Ef
(f2 hitung)
1 >2.189 3 2 1 0.5
2 2.110 - 2.189 1 2 -1 0.5
3 2.054- 2.110 2 2 0 0
4 2.002 - 2.054 2 2 0 0
5 < 2.002 2 2 0 0
∑ 10 10 0 1
27

Lampiran 2 Curah hujan harian tahun 2007 – tahun 2016

180 4500
160 y = 6E-11x5 + 3E-07x4 - 0.0001x3 - 0.0163x2 + 16.431x - 126.26 4000
140 R² = 0.997 3500
120 3000

ƩCH (mm)
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

316
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301

331
346
361
Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2007
180 4500
160 y = -1E-08x5 + 1E-05x4 - 0.0043x3 + 0.5748x2 - 13.05x + 223.62 4000
R² = 0.9981
140 3500
120 3000

ƩCH (mm)
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

166

331
106
121
136
151

181
196
211
226
241
256
271
286
301
316

346
361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2008
180 4500
160 4000
140 y = -1E-09x5 + 2E-06x4 - 0.0009x3 + 0.15x2 + 2.4356x + 103.45 3500
R² = 0.9927
120 3000
ƩCH (mm)
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
61
16
31
46

76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2009
29

Lampiran 2 Curah hujan harian tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)

180 4500.00
160 y = -2E-09x5 + 5E-07x4 + 0.0003x3 - 0.1252x2 + 21.613x - 179.68 4000.00
140 R² = 0.9963 3500.00
120 3000.00
CH (mm)

100 2500.00
80 2000.00

ƩCH (mm)
60 1500.00
40 1000.00
20 500.00
0 0.00
46
16
31

61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2010
180 4500
160 4000
140 3500
y = 2E-09x5 - 6E-07x4 - 0.0002x3 + 0.0913x2 - 2.9221x + 156.93
120 3000

ƩCH (mm)
R² = 0.9934
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

331
346
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316

361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2011
180 4500
160 4000
y = -5E-11x6 + 4E-08x5 - 1E-05x4 + 0.0018x3 - 0.1154x2 + 15.458x - 65.008
140 3500
R² = 0.9964
120 3000
ƩCH (mm)
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

331
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316

346
361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2012
31

Lampiran 2 Curah hujan harian tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)


180 4500
160 4000
140 y = 3E-09x5 - 2E-06x4 + 0.0006x3 - 0.1123x2 + 19.83x + 19.632 3500
R² = 0.9933
CH (mm)
120 3000

ƩCH (mm)
100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

136

301
106
121

151
166
181
196
211
226
241
256
271
286

316
331
346
361
Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2013
180 4500
160 y = -3E-11x6 + 4E-08x5 - 2E-05x4 + 0.0033x3 - 0.3797x2 + 33.212x - 112.99 4000
140 R² = 0.9934 3500

ƩCH (mm)
CH (mm)

120 3000
100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
76
16
31
46
61

91
1

106

136

166
121

151

181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2014
180 4500
160 y= -9E-10x5 + 2E-06x4 - 0.0009x3+ 0.118x2 + 3.9515x + 35.356 4000
140 R² = 0.9895 3500

ƩCH (mm)
120 3000
CH (mm)

100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2015
180 4500
160 4000
140 y = -5E-09x5 + 5E-06x4 - 0.0015x3 + 0.1876x2 + 7.596x + 96.316 3500
ƩCH (mm)
CH (mm)

120 R² = 0.9993 3000


100 2500
80 2000
60 1500
40 1000
20 500
0 0
16
31
46
61
76
91
1

271
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256

286
301
316
331
346
361

Julian Day
CH ƩCH Poly. (ƩCH)
Hujan Harian 2016
33

Lampiran 3 Nilai evaporasi tahun 2007 – tahun 2016

8 2000
7 y = -5E-13x6 - 1E-10x5 + 3E-07x4 - 1E-04x3 + 0.0076x2 + 5.1248x + 7.3095 1800
R² = 1 1600
6
1400
5

ƩE (mm)
1200
E (mm)

4 1000
3 800
600
2
400
1 200
0 0
16
31
46
61
76
91
1

166
106
121
136
151

181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2007
8.0 2000.0
7.0 y = -3E-12x6 + 3E-09x5 - 8E-07x4 + 0.0001x3 - 0.0079x2 + 5.451x + 1800.0
1.3284 1600.0
6.0 R² = 0.9999
1400.0
5.0

ƩE (mm)
1200.0
E (mm)

4.0 1000.0
3.0 800.0
600.0
2.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2008
8.0 2000.0
7.0 y = 3E-13x6 - 1E-09x5 + 7E-07x4 - 0.0002x3 + 0.0219x2 + 3.9798x + 1800.0
9.7624 1600.0
6.0 R² = 1 1400.0
5.0
ƩE (mm)

1200.0
E (mm)

4.0 1000.0
3.0 800.0
600.0
2.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

316
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301

331
346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2009
35

Lampiran 3 Nilai evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)


8.0 2000.0
7.0 y = 2E-12x6 - 4E-09x5 + 2E-06x4 -0.0006x3 + 0.0697x2 + 2.6104x + 19.783 1800.0
R² = 0.9998 1600.0
6.0
1400.0
5.0

ƩE (mm)
1200.0
E (mm)

4.0 1000.0
3.0 800.0
600.0
2.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2010
8.0 2000.0
7.0 y = 9E-12x6 - 1E-08x5 + 5E-06x4 - 0.001x3 + 0.0908x2 + 2.1359x + 16.868 1800.0
R² = 0.9999 1600.0
6.0
1400.0
5.0

ƩE (mm)
1200.0
E (mm)

4.0 1000.0
3.0 800.0
600.0
2.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2011
8.0 2000.0
y = 2E-12x6 - 3E-09x5 + 2E-06x4 - 0.0004x3 + 0.0391x2 + 3.7614x + 4.0961 1800.0
7.0
R² = 1
1600.0
6.0
1400.0
5.0
ƩE (mm)

1200.0
E (mm)

4.0 1000.0
3.0 800.0
600.0
2.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
76
16
31
46
61

91
1

331
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316

346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2012
37

Lampiran 3 Nilai evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)


8.0 2000.0
7.0 y= -9E-12x6 + 9E-09x5 - 3E-06x4+ 0.0004x3 - 0.017x2 + 5.3341x - 7.3606 1800.0
6.0 R² = 0.9999 1600.0
1400.0

ƩE (mm)
E (mm)
5.0 1200.0
4.0 1000.0
3.0 800.0
2.0 600.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

121
106

136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2013
8.0 2000.0
7.0 y= -1E-12x6 - 8E-11x5 + 6E-07x4 -0.0003x3 + 0.0355x2 + 3.1873x + 14.839 1800.0
6.0 R² = 0.9999 1600.0
1400.0

ƩE (mm)
E (mm)

5.0 1200.0
4.0 1000.0
3.0 800.0
2.0 600.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

241

316
106
121
136
151
166
181
196
211
226

256
271
286
301

331
346
361
Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2014
8.0 2000.0
7.0 y= 2E-12x6 - 3E-09x5 + 2E-06x4 - 0.0005x3 + 0.0529x2 + 2.889x + 8.7857 1800.0
6.0 R² = 1 1600.0
1400.0

ƩE (mm)
E (mm)

5.0 1200.0
4.0 1000.0
3.0 800.0
2.0 600.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

241

316
106
121
136
151
166
181
196
211
226

256
271
286
301

331
346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2015
8.0 2000.0
7.0 y = 2E-12x6 - 3E-09x5 + 1E-06x4 - 0.0003x3 + 0.0254x2 + 4.6037x + 16.032 1800.0
6.0 R² = 0.9999
1600.0
1400.0
ƩE (mm)
E (mm)

5.0 1200.0
4.0 1000.0
3.0 800.0
2.0 600.0
400.0
1.0 200.0
0.0 0.0
16
31
46
61
76
91
1

166

226
106
121
136
151

181
196
211

241
256
271
286
301
316
331
346
361

Julian day
E ƩE Poly. (ƩE)
Evaporasi 2016
39

Lampiran 4 Laju curah hujan dan evaporasi tahun 2007 – tahun 2016

30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
16
31
46
61
76
91
1

136
106
121

151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
-5.0
Julian day
-10.0 Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2007
30.0

25.0

20.0

15.0
mm

10.0

5.0

0.0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
-5.0 Julian day
-10.0 Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2008

30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
31
16

46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

-5.0
Julian day
-10.0 Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)

Laju hujan dan evaporasi 2009


41

Lampiran 4 Laju curah hujan dan evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)
30.0

25.0

20.0

15.0
mm

10.0

5.0

0.0
16
31
46
61
76
91
1

151

316
106
121
136

166
181
196
211
226
241
256
271
286
301

331
346
361
-5.0
Julian day
-10.0
Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2010

30.0

25.0

20.0

15.0
mm

10.0

5.0

0.0
46
16
31

61
76
91
1

286
106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271

301
316
331
346
361
-5.0
Julian day
-10.0 Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2011

30.0

25.0

20.0

15.0
mm

10.0

5.0

0.0
31
16

46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

-5.0 Julian day


-10.0 Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)

Laju hujan dan evaporasi 2012


43

Lampiran 4 Laju curah hujan dan evaporasi tahun 2007 – tahun 2016 (lanjutan)
30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
16
31
46
61
76
91
1

151

361
106
121
136

166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
-5.0
Julian day
-10.0
Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2013
30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
16
31
46
61
76
91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361
-5.0
-10.0 Julian day
Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2014
30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
91
16
31
46
61
76
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

-5.0
-10.0 Julian day
Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2015
30.0
25.0
20.0
15.0
mm

10.0
5.0
0.0
76
16
31
46
61

91
1

106
121
136
151
166
181
196
211
226
241
256
271
286
301
316
331
346
361

-5.0
-10.0 Julian day
Poly. (R) Poly. (E) Poly. (R-E)
Laju hujan dan evaporasi 2016
45

Lampiran 5 Hasil uji sampel tanah

Sampel Pasir (%) Debu (%) Liat (%) Tekstur


1 7 42 51 liat berbedu
2 6 50 44 liat berbedu
4 7 51 42 liat berbedu
5 8 40 52 liat berbedu
47

Lampiran 6 Nilai koefisien limpasan untuk daerah tangkapan air (DTA)

Luas; A Luas total; A Koefisien limpasan


DTA Tata guna lahan CxA ƩCxA Ctertimbang
(km2) (km2) Ct Cs Cv C
1 Bangunan 9.3 x 10-4 0.030 0.260 0.280 0.570 5.3 x 10-4
Lahan pertanian 34.6 x 10-4 0.080 0.160 0.110 0.350 12.1 x 10-4 18.9 x
47.0 x 10-4 0.402
Lahan kosong 2.8 x 10-4 0.080 0.160 0.210 0.450 1.3 x 10-4 10-4
Jalan (berbatu) 0.3 x 10-4 0.030 0.160 0.280 0.470 0.2 x 10-4
2 lahan pertanian 80.6 x 10-4 0.080 0.160 0.110 0.350 28.2 x 10-4
35.2 x
lahan kosong 7.9 x 10-4 92.2 x 10-4 0.080 0.260 0.280 0.620 4.9 x 10-4 0.382
10-4
Jalan 3.7 x 10-4 0.030 0.260 0.280 0.570 2.1 x 10-4
3 lahan pertanian 11.2 x 10-4 0.080 0.160 0.110 0.350 3.92 x 10-4
43.0 x
lahan kosong 22.4 x 10-4 43.3 x 10-4 0.800 0.160 0.210 1.170 26.2 x 10-4 0.993
10-4
jalan 9.7 x 10-4 0.800 0.260 0.280 1.340 12.9 x 10-4
4 Bangunan 32.7 x 10-4 0.800 0.260 0.280 1.340 43.8 x 10-4
53.0 x
lahan kosong 9.6 x 10-4 50.2 x 10-4 0.080 0.160 0.210 0.450 4.3 x 10-4 1.056
10-4
Jalan 7.9 x 10-4 0.080 0.260 0.280 0.620 4.9 x 10-4
49

Lampiran 7 Pembagian daerah tangkapan air (DTA)

DTA 3
DTA 2

DTA 1

DTA 4

Lampiran 8 Pola aliran air di wilayah penelitian


51

Lampiran 9 Perhitungan dimensi saluran drainase

A. Data awal
saluran i n A (km2) h (m) b (m)
1 0.007 0.012 0.005 0.400 0.430
2 0.037 0.012 0.009 0.600 0.500
3 0.035 0.012 0.004 0.600 0.500
4 0.016 0.012 0.005 0.700 0.500

B. Debit yang ditampung saluran


saluran A (m2) P (m) R (m) Q (m3/det) Q (l/det)
1 0.172 1.230 0.140 0.313 313.436
2 0.300 1.700 0.176 1.505 1505.204
3 0.300 1.700 0.176 1.472 1472.035
4 0.350 1.900 0.184 1.193 1193.363

C. Debit puncak
Tr tc I Q
saluran tr c Q (l/det)
(tahun) (jam) (mm/jam) (m3/det)
1 2 122.623 0.187 129.893 0.400 0.068 67.882
2 2 122.623 0.059 279.831 0.382 0.274 273.954
3 2 122.623 0.096 203.163 0.996 0.244 244.180
4 2 122.623 0.125 169.638 1.056 0.250 249.968

D. Evaluasi saluran
Qtampungan Qtampungan Qpuncak Qpuncak
saluran Keterangan
(m3/det) (l/det) (m3/det) (l/det)
1 0.313 313.436 0.068 67.882 Mencukupi
2 1.505 1505.204 0.274 273.954 Mencukupi
3 1.472 1472.035 0.244 244.180 Mencukupi
4 1.193 1193.363 0.250 249.968 Mencukupi

E. Cek dimensi saluran 1 + 4 (debit puncak = 0.318 m3/det)


(Prinsip bangunan penampang hidrolik terbaik)
saluran A B P R AR2/3 y (m) B (m)
2
1 2y 2y 4y 0.5y 0.047 0.291 0.583

F. Desain saluran baru


Q
saluran h (m) b (m) y (m) A (m2) P (m) R (m)
(m3/det)
1 0.500 0.600 0.291 0.300 1.600 0.188 0.665
53

Lampiran 10 Perhitungan evaluasi dimensi gorong-gorong

Parameter Hidrolik Nilai Satuan


Debit rencana 2 tahun (Qr) 0.250 m3/detik
Koefisien Manning (n) 0.015
Kemiringan saluran (s) 0.016
Diameter (d) 0.600 m
Luas penampang basah (A) 0.283 m2
Keliling basah (P) 1.885 m
Jari-jari hidrolik. R 0.150 m
Kecepatan izin (v) 1.500 m/detik
Debit eksisting saluran (Qeks) 0.424 m3/detk
Selisih Qeks-Qr 0.174 m3/detik
55

Lampiran 11 Denah saluran drainase (eksisting)


57

Lampiran 12 Denah saluran drainase rancangan


59

Lampiran 13 Penampang 3D potongan saluran dan gorong-gorong


61

Lampiran 14 Potongan melintang inlet samping jala


63

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 4 Januari 1995 dari


pasangan Bapak Kusmita dan Ibu Latipah. Penulis
menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2007 di
SD Negeri Cimanggu IV, Kota Bogor. Penulis melanjutkan
pendidikan menengah pertama di Madrasah Tsanawiyah
(MTs.) Al-Ghazaly, Kota Bogor hingga tahun 2010. Penulis
menamatkan pendidikan menengah atas pada tahun 2013 di
Madrasah Aliyah (MA) Negeri 2 Bogor. Penulis melanjutkan
pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Penulis mengambil
program studi Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif mengikuti kepanitian dalam kegiatan
yang diadakan oleh Himpunan Teknik Sipil dan Lingkungan (Himatesil), serta
menjadi anggota dari Himpunan tersebut. Penulis melaksanakan Praktik Lapangan
(PL) yang diselenggarakan oleh Fakultas Teknologi Pertanian di Balai Irigasi,
Bekasi pada bulan Juni hingga Agustus 2016 dan menulis laporan berjudul Proses
Pelaksanaan Pembangunan Greenhouse sebagai Laboratorium Outdoor di Balai
Irigasi. Penulis menulis skripsi yang berjudul Rancangan Sistem Pengisian
Embung Leuwikopo dari Air Hujan dengan dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Budi
Indra Setiawan, M.Agr.

Anda mungkin juga menyukai