NIM : 1401421405
Dosen : Dr. Saipuddin, M. Ag
MK : Historiografi
1. Kontribusi historiografi dalam studi ilmu keislaman !
Sebelum membahas mengenai kontribusi historiografi dalam ilmu keislaman,
sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu apa pengertian dari historiografi itu sendiri.
Historiografi biasanya sering terkait erat dengan sejarah.
Secara terminologi sejarah berasal dari bahasa Arab, syajaratun yang berarti pohon.
Perkataan sejarah memiliki dua arti yang dapat membedakan antara kejadian sejarah
dan penulisan sejarah. Sejarah dalam arti obyektif adalah kejadian sejarah yang
sebenarnya, terjadi hanya sekali dan bersifat unik.
Sejarah dalam arti subyektif adalah cerita atau tulisan tentang suatu kejadian dan
sering disebut History as Written atau Historiografi.
Dalam bahasa Arab, untuk menunjukkan sejarah, sering digunakan terma tarikh dan
qishah dan untuk biografi sering menggunakan terma sirah. Al Qur’an lebih banyak
menggunakan terma qishah untuk menunjukkan sejarah dengan pengertian sebagai
eksplanasi terhadap peristiwa sejarah yang dihadapi oleh para Rasul. Dalam bahasa
Indonesia, sejarah sebagai istilah diangkat dari terma bahasa Arab ’syajaratun’ yang
berarti pohon. Kata ini memberikan gambaran pertumbuhan peradaban manusia
dengan ”pohon”, yang tumbuh dari biji yang kecil menjadi pohon yang rindang dan
berkesinambungan. Pengertian sejarah ini yang dikaitkan dengan masalah syajarah
(pohon) juga tertuang dalam ayat-ayat A1 Quran: A1 Baqarah (2):35; Al-A'raf
(7):10,22; Ibrahim(14): 24,26; Al Isra' (17):60; Thaha (20):120; Al Mu'minun
(23):20; An Nur (24):35; A1-Qashash (28):30; Luqman (31):27; Ash-Shafat
(37):62,64,146; Ad-Dukhan (44):43. Dari petunjuk Al Qur'an di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pengertian syajarah sangat berkaitan erat dengan "perubahan"
(change).Oleh karena itu dalam Al Quran manusia diperintahkan untuk menyiapkan
masa depannya dengan mempelajari sejarah yang telah dilaluinya.
Dalam penuturan kembali kisah umat-umat terdahulu, A1 Quran berkali-kali
mengingatkan bahwa dalam kisah-kisah tersebut terkandung ibrah (pelajaran) yang
dapat diambil oleh umat Islam. Pelajaran atau mau'idzah yang terdapat dalam Al
Quran adalah "hukum sejarah" yang terpolakan dalam 25 peristiwa kerasulan. Dari
peristiwa kerasulaan tersebut disimpulkan lagi menjadi 5 peristiwa sejarah kerasulan.
Kelima peristiwa sejarah ini dialami oleh Nabi Nuh a.s., Nabi Ibrahim a.s., Nabi
Musa a.s., Nabi Isa a.s, dan terakhir adalah Nabi Muhammad Saw.
Umat Islam dituntut untuk menangkap pesan-pesan sejarah yang terumuskan dalam
peristiwa Ulul Azmi1 tersebut, sehingga umat Islam tidak saja mengetahui "guna
sejarah" tetapi sekaligus "akan mampu memanfaatkannya" -sesuai dengan fungsinya
masing-masing.
Historiografi dalam arti sempit adalah perkembangan penulisan sejarah dalam
peradaban dunia. Dengan adanya historiografi, umat manusia dapat melihat
perkembangan dunia, termasuk didalamnya masalah peradaban, sosial, ekonomi,
kebudayaan, agama dan sebagainya. Sedangkan historiografi dalam arti luas adalah
perkembangan penulisan sejarah, yang didalamnya juga memuat teori dan
metodologi sejarah.
Historiografi pada hakikatnya merupakan representasi dari kesadaran sejarawan
dalam zamannya dan lingkungan kebudayaan di tempat sejarawan itu hidup.
Pandangan sejarawan terhadap peristiwa sejarah yang dituangkan didalam tulisannya
akan dipengaruhi oleh situasi zaman dan lingkungan kebudayaan dimana sejarawan
itu hidup. Dengan kata lain, pandangan sejarawan itu selalu mewakili zaman dan
kebudayaannya. Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi peristiwa yang terjadi di
masa lampau. Penulisan itu baru dapat dilaksanakan setelah dilakukan penelitian.
Tanpa penelitian, penulisan menjadi rekonstruksi tanpa pembuktian. Baik penelitian
maupun penulisan membutuhkan suatu keterampilan. Penelitian membutuhkan
kemampuan untuk mencari, menemukan, dan menguji sumber-sumber dengan benar
sedangkan penulisan membutuhkan kemampuan menyusun fakta-fakta yang bersifat
fragmentaris dalam suatu uraian yang sistematis, utuh, dan komunikatif. Keduanya
membutuhkan suatu kesadaran teoretis yang tinggi dan imajinasi historis yang baik.
Hasil penulisan sejarah disebut dengan historiografi. Dengan demikian, historiografi
berarti penulisan sejarah, yang didahului oleh penelitian (analisis) terhadap
1 Ulul ’Azmi adalah sebutan bagi 5 Rasul yang diberi kelebihan dan mukjizat khusus yang berbeda dari
Rasul yang lain. Ke-5 Rasul Ulul ’Azmi itu adalah Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad SAW.
peristiwa-peristiwa di masa silam. Penelitian dan penulisan sejarah itu berkaitan
dengan berbagai latar belakang: teoretis, wawasan, metodologi penulisan sejarah,
sejarawan, aliran penulis, dan lain sebagainya.2
Historiografi memiliki kedudukan penting dalam ilmu sejarah dan ilmu
keislaman. Dari subjek perkuliahan ini, sejarawan, mahasiswa serta penggemar
sejarah dapat mengetahui bagaimana sejarah itu ditulis. Social setting yang dijumpai
pada kurun kerajaan-kerajaan Islam besar Berjaya, sekitar abad 16 hingga 17, tentu
belum memungkinkan sejarah ditulis dalam suatu lembaran tertib dan sistematis
yang dicetak rapi dalam suatu buku. Aksara latin pun belum dijumpai di masa itu,
dan yang tidak kalah penting adalah semangat zaman (zeitgeist) masa itu belumlah
terbangun untuk menghasilkan karya sejarah yang kaya akan tinjauan teoritis serta
berimbang. Setelah mengetahui bagaimana pengertian dari historiogrfi, maka kita
berlanjut kepada manfaat dan seberapa pentingnya mmpelajari historiografi tersebut,
Melihat dari pentingnya studi historiografi dalam rancang bangun kelengkapan dari
ilmu sejarah, maka tidaklah bisa diabaikan, bahwa historiografi merupakan salah satu
sentrum dari jaringan ilmu-ilmu masa lalu. Historiografi membuka cakrawala
pembelajarnya untuk senantiasa awas dan teliti terhadap suatu karya sejarah.
Banjirnya penulisan sejarah yang ada di pasaran, merupakan ladang subur untuk bisa
mengaktifkan sense of feeling atau “merasa” dan “meresapi” suatu karya sejarah
dari segi penyajiannya. Sekali lagi, jangan hanya terlena pada informasi sejarah di
dalamnya. Dengan adanya historiografi, manfaat yang dapat kita dapatkan adalah:
2 Badri Yatim, Historiografi Islam (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hlm. 3-5.
yang primer dari yang sekunder, yang otentik dan yang palsu, dan yang
historis dari yang fiksi.
Dan masih banyak manfaat yang lain lagi, mengenai ilmu keislaman, salah satu ilmu
keislaman adalah ilmu sejarah, atau apabila di pondok pesantren serig dikatakan
dengan sebutan “ilmu tarikh”, maka kontribusi yang diberikan oleh historiografi
adalah, penyaringan sumber yang akurat dan benar, untuk menghasilkan hasil karya
sejarah yang bisa diakui, diterima, dan menjadi bahan ajaran ditengah masyarakat.
Kita dapat mengetahui perbandingan antara metode penelitian hadits dan sejarah,
ketika kita mengetahui apa saja yang harus dilakukan, adapun metode penelitian
hadits, adalah sebagai berikut:
1. Melakukan Takhrij
Secara etimologi kata takhrij berasal dari kata kharraja yang berarti al-zuhur yang
(tampak) al-istinbath (mengeluarkan) al-taujih (menerangkan) at-tadrib (meneliti).
Metode Takhrij hadits ada dua macam: pertama Takhrijul hadits bil-lafzh yakni
berdasarkan lafal, yang kedua Takhrijul hadits bil Maudhu’ yakni berdasarkan
topik.
Kitab yang digunakan dalam melakukan takhrijul hadis bil lafdz yaitu kamus al-
Mu’jam al-Mufahras li al-Hadis an-Nabawi, Susunan Dr. A.J. Wensink. Contoh:
lafal matn yang berbunyi مككن رأى منكككم منكككرا. Dengan lafal منكككراdapat ditelusuri
melalui halaman kamus yang memuat lafal نكرSetelah ditemukan lalu dicari kata
منكرا. Dibagian itu akan diberi petunjuk bahwa hadis yang dicari memiliki sumber
yang banyak yakni :
Dari seluruh riwayat yang dikemukakan oleh keempat kitab tersebut dikutip secara
lengkap untuk menghindari adanya riwayat yang tidak tercakup.
Demikian juga dengan lafal lain yang terdapat dalam matn yang sama perlu
dilakukan takhrij. mungkin bisa diketahui bahwa hadis tersebut terdapat dalam kitab
yang lain.
Apabila Hadis yang akan diteliti tidak terikat pada bunyi lafal matn maka
bisa diteliti berdasarkan tofik masalah misalnya topik masalah yang akan diteliti
adalah hadis tentang kawin kontrak atau nikah mut’ah untuk menelusurinya
diperlukan bantuan kamus yang dapat memberikan keterangan tentang berbagai
riwayat hadis tentang topik tersebut. kamus yang disusun berdasarkan topik
masalah adalah kitab Miftah Kunuz as-Sunnah yang disusun oleh Dr. A.J.Wensinck
dan kawan-kawan dan kitabMuntakhab Kanzil Ummal yang disusun oleh Ali bin
Hisam ad-Din al-Mutqi.
Contoh: Untuk topik yang berkenaan dengan nikah mut’ah kamus Miftah
Kunuzis –Sunnah mengemukakan data hadis yang bersumber kepada kitab-kitab
antara lain Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Daud dan lainnya pada
masing-masing kitab dibubuhkan data tentang letak hadis yang bersangkutan.
Dengan memilih lafadz yang terdapat dalam daftar lafadz yang sesuai dengan
hadis yang dicari:
Setelah dilakukan takhrij maka seluruh sanad hadis dicatat dan dihimpun
untuk kemudian dilakukan i’tibar.
Prof. Dr. Syuhudi Ismail, MA. menjelaskan bahwa untuk meneliti pribadi periwayat
dan metode periwayatannya beberapa hal yang perlu diteliti adalah:
Untuk meneliti hadis, diperlukan acuan. Acuan yang digunakan adalah kaidah
kesahihan hadis bila ternyata hadis yang diteliti bukanlah hadis mutawatir. hadis
sahih ialah hadis yang bersambung sanadnya (sampai kepada Nabi) diriwayatkan
oleh ( periwayat ) yang adil dan dabit sampai akhir sanad (didalam hadis itu ) tidak
terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (Illat)
Ulama hadis sependapat bahwa ada dua hal yang harus diteliti pada diri pribadi
periwayat hadis untuk dapat diketahui apakah riwayat hadis yang dikemukakannya
dapat diterima sebagai hujjah ataukah harus ditolak yaitu keadilan
dan kedabitannya kriteria untuk sifat adil itu adalah:
beragama islam, Mukallaf, Melaksanakan ketentuan agama,
memelihara muru’ah dan kriteria untuk sifat dabit adalah: hafal dengan
sempurna hadis yang diterimanya, mampu menyampaikan dengan baik hadis
yang dihafalnya itu kepada orang lain serta mampu memahami dengan baik
hadis yang di hafalnya.
7. Sekitar jar Wat-Ta’dil
Jarh yang berarti tampak jelasnya sifat pribadi periwayat yang tidak adil atau buruk
di bidang hafalannya dan kecermatannya yang keadaan itu menyebabkan gugurnya
atau lemahnya riwayat yang di sampaikan oleh periwayat. Kritik terhadap para
periwayat hadis yang telah di kemukakan oleh ulama ahli kritik hadis tidak hanya
berkenaan dengan hal-hal yang terpuji tetapi juga yang tercela untuk menjadi
pertimbangan dapat tidaknya di terima riwayat hadis yang di sampaikan.
Sanad yang yang mengandung syuzuz bila sanad yang diteliti lebih dari satu buah.
salah satu langkah penelitian yang sangat penting untuk meneliti kemungkinan
adanya syuzuz suatu sanad hadis adalah dengan membandingkan semua sanad yang
ada untuk matn yang topik pembahasannya sama atau memiliki kesamaan.
Meneliti Illat yang dimaksudkan dalam salah satu unsur kesahihan hadis ialah illat
yang untuk mengetahuinya diperlukan penelitian lebih cermat sebab hadis yang
bersangkutan tampak sanadnya berkualitas sahih. Cara menelitinya antara lain
dengan membandingkan semua sanad yang ada untuk matn yang isinya semakna.
Sebelum melakukan penelitian sejarah kita harus mengerti terlebih dahulu apa itu
metode dalam penelitian sejarah. Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara
yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan
permasalahannya. Dengan kata lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen
untuk merekonstruksi peristiwa sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah
sebagai kisah (history as written). Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode
penelitian itu disebut metode sejarah. Metode sejarah digunakan sebagai metode
penelitian, pada prinsipnya bertujuan untuk menjawab enam pertanyaan (5 W dan 1
H) yang merupakan elemen dasar penulisan sejarah, yaitu what (apa), when (kapan),
where (dimana), who (siapa), why (mengapa), dan how (bagaimana). Pertanyaan
pertanyaan itu konkretnya adalah: Apa (peristiwa apa) yang terjadi? Kapan
terjadinya? Di mana terjadinya? Siapa yang terlibat dalam peristiwa itu? Mengapa
peristiwa itu terjadi? Bagaimana proses terjadinya peristiwa itu?
Sumber sejarah merupakan segala sesuatu yang langsung atau tidak langsung
menceritakan kepada kita tentang suatu kenyataan atau kegiatan manusia pada masa
lalu (past actuality). Sumber sejarah merupakan bahan-bahan mentah (raw materials)
sejarah yang mencakup segala macam evidensi (bukti) yang telah ditinggalkan oleh
manusia ayng menunjukkan segala aktivitas mereka di masa lalu yang berupa kata-
kata yang tertulis (tulisan) atau kata-kata yang diucapkan (lisan). Helius Sjamsuddin
(2007:95)
Sebuah sumber sejarah dapat berupa sautu produk dari kegiatan-kegiatan manusia
yang memuat informasi tentang kehidupan manusia meskipun produk ini mula-mula
tidak dimaksudkan (sengaja) untuk memberikan informasi kepada generasi kemudian
tetapi dapat juga sumber itu berupa sesuatu yang benar-benar memberikan informasi
kepada generasi kemudian. Kajian tentang sumber-sumber adalah suatu ilmu
tersendiri dan disebut heuristik.
Menulis sejarah merupakan suatu kegiatan intelektual dan ini suatu ara yang utama
untuk memahami sejarah. Ketika sejarawan memasuki tahap menulis, maka dia
mengerahkan seluruh daya pikirannya, bukan saja keterampilan teknis penggunaan
kutipan-kutipan dan catatan-catatan. Tetapi yang terutama penggunaan pikiran-
pikiran kritis dan analisanya karena dia pada akhirnya akan menghasilkan suatu
sintesis dari seluruh hasil penelitiannya atau penemuannya itu dalam suatu peulisan
utuh ayng disebut historiografi. Keberartian (signifikansi) semua fakta yang dijaring
melalui metode kritik baru dapat dipahami hubungannya satu sama lain setelah
semuanay ditulis dalams utu keutuhan bulat historiografi. Di sinilah istilah ini
mempunyai arti “penulisan sejarah” karena ada pengertian lain untuk istilh
historiografi yaitu “sejarah penulisan sejarah”. Helius Sjamsuddin (2007:156)
Mengenai kemampuan menulis sendiri dapat merupakan bakat, atau juga kemauan
dengan latihan tulis-menulis secara terus-menerus. Para sejarawan sendiri menaydari
betul bahwa proses menulis itu sendiri adalah suatu kerja keras yang tidak jarang
dapat menimbulkan frustasi namun setiap sejarawan pada akhirnya bebas
menentukan sendiri cara menulis sehingga menghasilkan karya mandiri yang
menjadi tanggung ajwabnya, namun dia menyadari betul bahwa dalam
“kebebasannya” itu ketentuan-ketentuan umum yang khusus berlaku bagi setiap
sejarawan sebagai patokan-patokan atau rambu-rambu, baik dalam penulisannya
maupun dalam penafsirannya.
Untuk mengetahui dan mendapatkan informasi dari peristiwa di masa lalu dapat
dilakukan melalui penelitian sejarah. Secara umum dapat dimengerti bahwa
penelitian sejarah merupakan penelaahan serta sumber-sumber lain yang berisi
informasi mengenai masa lampau dan dilaksanakan secara sistematis. Dengan kata
lain yaitu penelitian yang bertugas mendeskripsikan gejala, tetapi bukan yang terjadi
pada waktu penelitian dilakukan. Penelitian sejarah di dalam pendidikan merupakan
penelitian yang sangat penting atas dasar beberapa alasan. Penelitian sejarah
bermaksud membuat rekontruksi masa latihan secara sistematis dan objektif, dengan
cara mengumpulkan, mengevaluasi, mengverifikasikan serta mensintesiskan bukti-
bukti untuk mendukung bukti-bukti untuk mendukung fakta memperoleh kesimpulan
yang kuat. Dimana terdapat hubungan yang benar-benar utuh antara manusia,
peristiwa, waktu, dan tempat secara kronologis dengan tidak memandang sepotong-
sepotong objek-objek yang diobservasi.
Penelitian sejarah banyak sekali macamnya. Akan tetapi secara umum ada empat
jenis, yaitu:
Jika dalam metode sejarah diinginkan untuk menyelidiki hal-hal yang menyangkut
dengan hukum, baik hukum formal ataupun hokum nonformal dalam masa yang lalu,
maka penelitian sejarah tersebut digolongkan dalam penelitian yuridis. Misalnya,
peneliti ingin mengetahui dan menganalisis tentang keputusan-keputusan pengadilan
akibat-akibat hukum adat serta pengaruhnya terhadap suatu masyarakat pada masa
lampau, serta ingin membuat generalisasi tentang pengaruh-pengaruh hukum
tersebut atas masyarakat, maka penelitian sejarah tersebut termasuk dalam penelitian
yuridis.
Penelitan Biografis
Penelitian Bibliografis
Dalam kajian tentang penulisan sejarah atau apa yang dikenal dengan historiografi,
akan tampak keanekaragaman corak, bentuk, metode, maupun isinya. Memang
historiografi merupakan suatu studi tentang keanekaragaman pendekatan dalam
penulisan sejarah, di samping sebagai keanekaragaman penafsiran tentang peristiwa-
peristiwa masa lampau. Lebih dari itu, historiografi juga diangkat sebagai studi
tentang teknik yang dipergunakan masing-masing sejarawan dalam menuliskan
karya-karyanya.
Metode penelitian sejarah adalah metode atau cara yang digunakan sebagai pedoman
dalam melakukan penelitian peristiwa sejarah dan permasalahannya. Dengan kata
lain, metode penelitian sejarah adalah instrumen untuk merekonstruksi peristiwa
sejarah (history as past actuality) menjadi sejarah sebagai kisah (history as written).
Dalam ruang lingkup Ilmu Sejarah, metode penelitian itu disebut metode sejarah.
Historiografi adalah ilmu yang mempelajari praktik ilmu sejarah. Hal ini dapat
diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk mempelajari metodologi sejarah dan
perkembangan sejarah sebagai suatu disiplin akademik.
PASAR terapung adalah pasar yang berada di tepi Sungai Barito, tepatnya berada di
dua kelurahaan yakni Kelurahan Kuin Utara meliputi Muara Kuin dan Sungai Kuin.
Selanjutnya, di kawasan Kelurahan Alalak Selatan, Kecamatan Banjarmasin Utara,
Kota Banjarmasin. Kini, pasar ini menjadi salah objek wisata yang ditawarkan
Pemkot Banjarmasin. Hal ini dikarenakan, karakteristik pasar yang berada di atas
sungai dengan para pedagang yang kebanyakan berjualan sembako dan sayur mayur.
Kapan pasar ini telah ada? Menurut penuturan salah seorang keturunan Khatib
Dayan–ulama Kerajaan Banjar– bernama Syarif Bistamy SE, keberadaan Pasar
Terapung memang tak lepas dengan berdirinya Kerajaan Banjar sekitar tahun 1595.
Namun, Syarif yakin berdasarkan dari catatan sejarah yang dimiliki keluarganya
bahwa Pasar Terapung itu berdiri atau sudah ada sebelum berdirinya Kerajaan Banjar.
Dimana, menurut Syarif, kawasan Pasar Terapung merupakan bagian dari pelabuhan
sungai yang bernama Bandarmasih. Pelabuhan sungai ini meliputi aliran Sungai
Barito, dari Sungai Kuin hingga Muara Sungai Kelayan, Banjarmasin Selatan. Saat
itu, pengelolaan pelabuhan sungai ini diserahkan ke Patih Masih dan Patih Kuin. Dua
'penguasa' bersaudara yang dipercaya Syarif dan sebagian masyarakat Kuin
merupakan keturunan dari hasil perkawinan (asimilisasi) antara suku Melayu yang
berdiam di pesisir (tepi sungai) dan suku Dayak terutama dari subetnis Ngaju.
Selanjutnya, pelabuhan Kuin ini diberi nama Bandarmasih atau kotanya orang
Melayu. Nah, keberadaan Pasar Terapung turut mengembangkan roda perekonomian
sebelum Kerajaan Islam Banjar berdiri. "Dari penuturan orang tua dan catatan yang
ada, Pasar Terapung memang merupakan pasar yang tumbuh secara alami. Sebab,
posisinya yang berada di pertemuan beberapa anak sungai menjadikan pasar ini
menjadi tempat perdagangan," ujar Syarif Bistamy, saat ditemui di kediamannya di
Jalan Kuin Utara, Banjarmasin Utara, belum lama ini. Pria yang mengaku keturunan
ke-13 dari Khatib Dayan ini menuturkan kebanyakan para pedagang yang beraktivitas
di Pasar Terapung berasal dari Tamban, Anjir, Alalak, Berangas dan sebagian lagi
orang Kuin sendiri. "Jadi, pasar ini sudah ada sejak abad ke-14. Pokoknya, sebelum
Kerajaan Banjar berdiri," tegasnya. Menurut Ayip–sapaan akrab pria ini, kalau ditarik
garis merah, hubungan antara Pasar Terapung dengan ditemukannya 'Pangeran
Terbuang' dari Kerajaan Negara Daha (kini berada di daerah Nagara, Kabupaten Hulu
Sungai Selatan) sangat erat. Sebab, sebelum Sultan Suriansyah diangkat menjadi Raja
Banjar, ia dikenal sebagai nelayan atau pencari ikan yang menjual hasil
tangkapannya–biasanya daerah 'perburuannya' di kawasan Blandaian (Alalak) ke
Pasar Terapung. "Ketika itu, namanya asli dari Sultan Suriansyah ini adalah Raden
Samudera atau lebih dikenal dengan sebutan Samidri," terangnya. Saat menjual hasil
tangkapan ikan sungainya ini, sang Sultan kecil ini selalu bertemu dengan Patih
Masih. Ketika itu, diperkirkan usia Raden Samudera sekira 14 tahun atau masih
remaja. Namun, Patih Masih curiga jika Raden Samudera atau Samidri ini bukan
orang sembarangan. Dugaannya, remaja ini adalah keturunan raja atau Pangeran yang
terbuang akibat 'kudeta' kekuasaan oleh pamannya, Pangeran Tumenggung di Negara
Daha. "Karena sering bertemu di Pelabuhan Bandarmasih atau setidaknya Pasar
Terapung, Patih Masih yakin bahwa Samidri tersebut merupakan pangeran yang
terbuang tersebut," tutur Ayip. Pasar Terapung awal 1900-an dengan latar belakang
Muara Kuin dan Pulau Alalak Untuk meyakinkan dugaannya, saat itu Patih Masih
langsung mengumpulkan 'penguasa' dari beberapa pelabuhan yang ada yakni Patih
Balit dari Alalak, Patih Muhur dari Anjir, dan Patih Kuin (adiknya sendiri) untuk
mengundang Samidri ke sebuah pesta makan. Dengan taktik memabukkan Samidri
yang ketika itu diberi arak, rahasia yang tersembunyi itu pun berhasil dibongkar dari
mulut 'Pangeran Terbuang' ini. Nah, sejak usia 14 tahun itu, Samidri langsung
didaulat dan diangkat menjadi Raja Banjar atau Raja Bandarmasih. Hal ini karena
bagi keempat patih tersebut dalam darahnya masih mengalir tutus raja. "Saat itu,
Pasar Terapung dan Pelabuhan Bandarmasih sangat maju. Ini jika dibandingkan
pelabuhan dagang yang ada seperti di Marabahan (Kabupaten Barito Kuala) atau di
Sungai Nagara sendiri, tempat kerajaan kakeknya Sultan," tutur Ayip. Menurut Ayip,
keberadaan Pelabuhan Bandarmasih dan Pasar Terapung juga tak lepas dari
berkembangnya Kerajaan Banjar baik secara ekonomi maupun politik. Dimana, di
pusat Kerajaan Banjar di kawasan Kuin, banyak pedagang dari Jawa, Gujarat (India)
dan Cina yang melakukan aktivitas perdagangan dengan masyarakat Banjar, ketika
itu. Secara politik, kawasan Pasar Terapung juga tak luput menjadi medan
pertempuran antara Kerajaan Banjar dengan Kerajaan Negara Daha, yang hanya
terpicu dendam keluarga. Setelah Pangeran Tumenggung mengetahui bahwa
keponakannya yang dibuang, diangkat menjadi raja dan menguasai Bandar saingan
Bandar Kerajaan Nagara. Perang mulainya berkecamuk secara sporadis, hingga
akhirnya terjadi penyerbuan dari Kerajaan Daha. Bahkan, pasukan Kerajaan Banjar
sempat menghadang pasukan Negara Daha di kawasan Sungai Alalak. Namun, karena
kalah kuat baik dari segi persenjataan maupun personil, akhirnya pasukan Banjar
terus terdesak hingga memasuki 'areal terlarang' Kerajaan Banjar di kawasan Kuin.
Agar tak terus terdesak, para petinggi Kerajaan Banjar berinisiatif untuk membuat
benteng dari ancaman serangan Pasukan Kerajaan Negara Daha. Tepatnya, di
kawasan Kuin Cerucuk ditancapkan tiang-tiang kayu ulin sebagai penyangga agar
perahu musuh tidak bisa bersandar langsung ke Pelabuhan Bandarmasih, hingga kini
nama Kuin Cerucuk diabadikan sebagai nama kampung yang berada di wilayah
Banjarmasin Barat. "Waktu itu, perang terjadi di Sungai Alalak dan Sungai Kuin.
Namun, ternyata kekuatan Pasukan Nagara Dipa lebih besar dibandingkan Pasukan
Banjar hingga terdesak," masih cerita Ayip. Setelah terus mengalami kekalahan, atas
usul Patih Masih yang memiliki hubungan dagang dan politik dengan para pedagang
dari Jawa, terutama dari Kerajaan Mataram Islam, dijalin hubungan kemiliteran.
Namun, sebetulnya, versi Ayip ini berbeda dengan versi yang kebanyakan ditulis
dalam Sejarah Kerajaan Banjar, dimana Kerajaan Demak yang telah membantu
Sultan Suriansyah dalam mengusir pasukan Kerajaan Daha. "Waktu itu Kerajaan
Demak mulai runtuh, dan digantikan Kerajaan Mataram Islam. Walaupun sebetulnya
kendali pemerintahan masih dibawah Kerajaan Cirebon," tutur Ayip yang yakin versi
ceritanya ia dapatkan dari penuturan pendahulunya. Bantuan dari Kerajaan Mataram
Islam pun datang. Namun, bantuan tidak 'gratis', sebab ada beberapa syarat yang
harus dipenuhi Kerajaan Banjar, jika perang saudara ini dimenangkan Sultan
Suriansyah, maka Kerajaan Banjar harus bersedia menjadi fusi atau bagian dari
Kerajaan Mataram Islam serta agama Islam diakui sebagai agam resmi kerajaan.
Persyaratan itu disetujui, hingga dikirim sekitar 1.000 pasukan dari Kerajaan
Mataram Islam dibawah pimpinan Fatahillah atau bernama Syarif Hidayatullah,
hingga dikenal sebagai Khatib Dayan, meskipun nama sebenarnya adalah Khatib
Dayat (berasal dari Hidayatullah), karena lidan Urang Banjar agak kedal, hingga
dinamakan Khatib Dayan saja. "Namun, Fatahillah ini bukan Fatahillah yang dikenal
sebagai Sunan Gunung Jati. Sebab, saat itu ada dua nama Fatahillah yang merupakan
panglima perang sekaligus ulama," ujar Ayip. Atas bantuan Kerajaan Mataram ini,
pasukan Kerajaan Banjar berhasil 'mengusir' pasukan Kerajaan Negara Daha bahkan
sempat menyerang ke wilayah kerajaan tersebut. Namun, korban tetap berjatuhan dari
kedua belah pihak. Untuk itu disepakati jalan arbitasi atau damai. Usulan perang
tanding atau adu ilmu antara Sultan Suriansyah dengan Pangeran Tumenggung dipilih
sebagai upaya penuntasan perang saudara berkepanjangan. Tawaran ini diakuri kedua
belah pihak, hingga terjadi adu 'kedigjayaan' di atas dua perahu. Untuk Sultan
Suriansyah, saat itu dikayuh oleh Patih Masih, sementara Pangeran Tumenggung di
atas perahu yang dikayuh oleh Arya Trenggara–merupakan paman Sultan Suriansyah
sendiri sebelum ia dibuang ke Muara Banjar. "Rupanya adu kesaktian tak terjadi. Saat
itu, Pangeran Tumenggung justru menangis ketika mendengar cerita pahit yang
dialami keponakannya tersebut. Makanya, ketika itu langsung disepakati perang
berakhir dan damai," kata Ayip. Sejak saat itu, dua kerajaan yakni Kerajaan Banjar
dan Kerajaan Nagara Daha digabungkan dalam satu 'komando' Sultan Suriansyah.
"Sejak itu pula, Pasar Terapung berkembang secara alami. Karena, sebagian pedagang
juga berasal dari Nagara," pungkas Ayip. Hingga kini, situs sejarah berupa Pasar
Terapung, dan makam para Raja Banjar ini tetap terpelihara di kawasan Makam
Sultan Suriansyah, Kuin Utara, sekitar 4 kilometer dari pusat kota Banjarmasin. ***
tulisan dari for kota (disarikan dari wawancara dalam bentuk hardnews, didi G.
sanusi).