Anda di halaman 1dari 14

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Luka (vulnus)

Luka adalah hilang atau rusaknya sebagian jaringan tubuh. Penyebab luka

dapat berasal dari tusukan/goresan benda tajam, benturan benda tumpul,

kecelakaan, terkena tembakan, gigitan hewan, bahan kimia, air panas, uap air,

terkena api atau terbakar, listrik dan petir (Murtutik dan Marjiyanto, 2013).

Menurut Dorland (2006), luka dibagi 2 jenis, yaitu:

a. Luka tertutup

Luka tertutup merupakan luka dimana kulit korban tetap utuh dan

tidak ada kontak antara jaringan yang ada di bawah dengan dunia luar,

kerusakannya diakibatkan oleh trauma benda tumpul. Luka tertutup

umumnya dikenal sebagai luka memar yang dapat digolongkan menjadi

2 jenis yaitu:

1) Kontusio, kerusakan jaringan di bawah kulit yang mana dari luar

hanya tampak sebagai benjolan.

2) Hematoma, kerusakan jaringan di bawah kulit disertai pendarahan

sehingga dari luar tampak kebiruan.

b. Luka terbuka

Luka terbuka adalah luka dimana kulit atau jaringan di bawahnya

mengalami kerusakan. Penyebab luka ini adalah benda tajam, tembakan,

benturan benda keras dan lain-lain. Macam-macam luka terbuka antara

6
7

lain yaitu luka lecet (ekskoriasi), luka gigitan (vulnus marsum), luka

iris/sayat (vulnus scisum), luka bacok (vulnus caesum), luka robek

(vulnus traumaticum), luka tembak (vulnus sclopetinum), luka hancur

(vulnus lacerum) dan luka bakar .

Luka iris/sayat (vulnus scisum) biasanya ditimbulkan oleh irisan

benda yang bertepi tajam seperti pisau, silet, parang dan sejenisnya.

Luka yang timbul biasanya berbentuk memanjang, tepi luka berbentuk

lurus, tetapi jaringan kulit di sekitar luka tidak mengalami kerusakan

(Dorland, 2006).

2. Proses penyembuhan luka

Proses penyembuhan luka (wound healing) merupakan proses yang

kompleks dan terjadi secara fisiologis di dalam tubuh. Penyembuhan luka adalah

proses interaktif yang dinamis yang melibatkan mediator larut, sel darah, matriks

ekstraselular, dan sel-sel parenkim (Singer dan Clark, 1999). Penyembuhan luka

terdiri dari beberapa fase, yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi dan maturasi

(Robbin, 2007). Pada fase proliferasi, terjadi proses re-epitelisasi. Pada proses re-

epitelisasi terjadi migrasi, proliferasi dan diferensiasi keratinosit. Proses migrasi

dimulai beberapa jam setelah terjadi kerusakan pada laminin, sehingga pada kulit

yang luka terjadi kontak antara keratinosit dengan kolagen (Harrison et al.,

2006). Proses migrasi dimulai dari tepi luka pada stratum basalis yang merupakan

lapisan paling dalam dari epidermis dan sisa adneksa yaitu sisa folikel rambut

yang terletak di lapisan dermis, menuju ke stratum korneum yang terletak di

bagian terluar epidermis (Schwartz et al., 2000). Pada saat migrasi keratinosit
8

terjadi penurunan ekspresi E-cadherin dan P-cadherin dan perubahan pola dari

bentuk linier menjadi berbentuk punctate (Koizumi et al., 2005).

Pada saat sel dan jaringan sedang mengalami luka, terjadi peristiwa

perusakan sekaligus penyiapan sel yang bertahan hidup untuk melakukan

replikasi. Berbagai rangsang yang menginduksi kematian beberapa sel dapat

memicu pengaktifan jalur replikasi pada sel lainnya; sel radang yang direkrut

tidak hanya membersihkan debris nekrotik, tetapi juga menghasilkan mediator

yang merangsang sintesis matriks ekstraseluler yang baru. Menurut

Sjamsuhidayat (2005) pada proses peradangan, pemulihan dimulai sangat dini

dan melibatkan 2 proses yang berbeda:

a. Regenerasi jaringan yang mengalami luka oleh sel parenkim dari jenis

yang sama.

b. Penggantian oleh jaringan ikat (fibrosis), yang menimbulkan suatu

jaringan parut.

Pemulihan jaringan (penyembuhan) umumnya melibatkan kombinasi kedua

proses. Regenerasi dan pembentukan jaringan parut juga melibatkan mekanisme

yang serupa yaitu migrasi, proliferasi, dan diferensiasi sel serta sintesis matriks.

Oleh karena itu, walaupun keempat fase utama dalam mekanisme penyembuhan

luka, yaitu hemostasis, inflamasi, proliferasi atau granulasi, fase remodeling atau

maturasi, dijelaskan secara terpisah pada penjelasan selanjutnya, kenyataannya

keempat fase tersebut saling berkesinambungan antara satu fase ke fase lainnya

(Sjamsuhidayat, 2005).
9

1) Hemostasis

Segera setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami

konstriksi (penyempitan) dan retraksi (penyusutan) disertai reaksi hemostasis.

Hemostasis adalah interaksi kompleks antara pembuluh darah, trombosit dan

protein koagulasi dalam menghentikan perdarahan dengan tetap menjaga

aliran darah di pembuluh darah (Chlander, 2005). Fase hemostasis terjadi

karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah membentuk sumbat

trombosit, dan bersama dengan jala fibrin yang terbentuk membekukan darah

yang keluar dari pembuluh darah (Sjamsuhidayat dan Jong, 1997).

Koagulasi darah memperkuat sumbat trombosit dan mengubah darah di

sekitar tempat cedera menjadi suatu gel yang tidak mengalir. Sebagian besar

faktor yang diperlukan untuk pembekuan darah selalu terdapat di dalam

plasma dalam bentuk prekursor inaktif. Saat pembuluh mengalami cedera,

kolagen yang terpapar kemudian mengalami reaksi bertahap yang melibatkan

suksesif faktor-faktor pembekuan tersebut, yang akhirnya mengubah

fibrinogen menjadi fibrin. Fibrin, suatu molekul berbentuk benang yang tidak

larut, ditebarkan membentuk jaringan bekuan; jaring ini kemudian

menangkap sel-sel darah dan menyempurnakan pembentukan bekuan. Darah

yang telah keluar ke dalam jaringan juga mengalami koagulasi setelah

bertemu dengan tromboplastin jaringan, yang juga memungkinkan terjadinya

proses pembekuan (Sjamsuhidayat dan Jong, 1997).

Komponen hemostasis akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang

meliputi faktor pertumbuhan epidermis (epidermal growth factor, EGF),


10

faktor pertumbuhan mirip insulin (insulin-like growth factor, IGF), faktor

pertumbuhan yang berasal dari trombosit (platelet-derived growth factor,

PDGF), dan faktor pertumbuhan β yang bertransformasi (beta-transforming

growth factor, TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis neutrofil,

makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Fibroblas ini nantinya akan

membentuk jaringan parut dalam proses penyembuhan luka. Bersamaan

dengan ini terjadi pula fase inflamasi (Guyton dan Hall, 1997).

2) Inflamasi

Inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk

menghilangkan penyebab awal cedera sel serta membuang sel dan jaringan

nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan awal (Luscinskas dan Gimbrone,

1996). Menurut Sjamsuhidayat dan Jong (1997), fase ini berlangsung sejak

terjadinya luka hingga kira-kira hari kelima.

Sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang

meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan,

pembentukan sel radang, disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan

edema dan pembengkakan. Tanda dan gejala klinik reaksi radang menjadi

jelas berupa warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat

(kalor), rasa nyeri (dolor) dan pembengkakan (tumor) (Sjamsuhidayat dan

Jong, 1997).

Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit menembus

dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka karena daya kemotaksis.

Leukosit mengeluarkan enzim hidrolitik yang membantu mencerna bakteri


11

dan kotoran luka. Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut

menghancurkan dan memakan kotoran luka serta bakteri (fagositosis). Fase

ini disebut juga fase lamban karena reaksi pembentukan kolagen hanya terjadi

pada beberapa fibroblas dan luka hanya dipertautkan oleh fibrin yang amat

lemah (Sjamsuhidayat dan Jong, 1997).

3) Proliferasi atau granulasi

Proliferasi sel umumnya dirangsang oleh faktor pertumbuhan intrinsik,

luka, kematian sel, atau bahkan oleh deformasi mekanis jaringan. Sel yang

sedang berproliferasi berkembang melalui serangkaian tempat dan fase yang

sudah ditentukan yang disebut siklus sel. Siklus sel tersebut terdiri atas fase

pertumbuhan prasintesis 1 atau G1, fase sintesis DNA atau S, fase

pertumbuhan pramitosis 2 atau G2, dan fase mitosis atau M. sel istirahat

berada dalam keadaan fisiologis yang disebut G0 (Guyton dan Hall, 1997).

Pemulihan jaringan yang cedera dilakukan dengan pemusnahan dan

pembuangan jaringan yang rusak (melalui proses peradangan yang telah

disebutkan di atas), regenerasi sel atau pembentukan jaringan granulasi.

Meskipun sebagian besar jaringan tersusun terutama dari sel-sel dalam G0

(yang secara berkala memasuki siklus sel) terdapat juga kombinasi sel-sel

yang saling membelah, sel-sel yang mengadakan diferensiasi akhir dan sel-sel

induk.

Luka jaringan berat atau menetap yang disertai kerusakan pada sel

parenkim dan kerangka dasar jaringan menimbulkan suatu keadaan yang

pemulihannya tidak dapat dilaksanakan melalui regenerasi parenkim saja.


12

Dalam kondisi seperti ini, pemulihan terjadi melalui penggantian sel

parenkim nonregeneratif oleh jaringan ikat. Terdapat 3 komponen umum

dalam proses ini (Guyton dan Hall, 1997):

a) Pembentukan pembuluh darah baru (angiogenesis)

b) Migrasi dan proliferasi fibroblas

c) Deposisi matriks ekstraselular

Pemulihan dimulai dalam waktu 24 jam setelah luka melalui migrasi

fibroblas dan induksi proliferasi fibroblas dan sel endotel. Rekrutmen dan

stimulasi fibroblas dikendalikan oleh banyak faktor pertumbuhan, meliputi

PDGF, faktor pertumbuhan fibroblas dasar (basal fibroblast growth factor,

bFGF) dan TGF-β. Sumber dari berbagai faktor ini antara lain: endotel yang

teraktivasi dan sel radang terutama sel makrofag (Guyton dan Hall, 1997).

Dalam 3-5 hari, muncul jenis jaringan khusus yang mencirikan terjadinya

penyembuhan yang disebut jaringan granulasi. Gambaran makroskopisnya

adalah berwarna merah muda, lembut dan bergranulasi, seperti yang terlihat

di bawah keropeng pada luka kulit. Gambaran histologisnya ditandai dengan

proliferasi fibroblas dan kapiler baru yang halus dan berdinding tipis di dalam

matriks ekstraselular yang longgar (Guyton dan Hall, 1997).

Pada awal penyembuhan, fibroblas mempunyai kemampuan kontraktil

dan disebut miofibroblas, yang mengakibatkan tepi luka akan tertarik dan

kemudian mendekat, sehingga kedua tepi luka akan melekat. Dengan

berlangsungnya penyembuhan, maka fibroblas bertambah. Sel ini

menghasilkan kolagen, sehingga jaringan granulasi yang kemudian akan


13

mengumpulkan matriks jaringan ikat secara progresif, akhirnya akan

menghasilkan fibrosis padat (pembentukan jaringan parut kolagen), yang

dapat melakukan remodeling lebih lanjut sesuai perjalanan waktu (Guyton

dan Hall, 1997).

4) Remodeling atau maturasi

Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari penyerapan

kembali jaringan yang berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya gravitasi, dan

akhirnya perupaan kembali jaringan yang baru terbentuk. Fase ini

berlangsung selama berbulan-bulan dan dinyatakan berakhir apabila semua

tanda radang sudah lenyap. Tubuh berusaha menormalkan kembali semua

yang menjadi abnormal karena proses penyembuhan edema dan sel radang

diserap, sel yang sedang berproliferasi menjadi matang, kapiler baru menutup

dan diserap kembali, kolagen yang berlebih diserap dan sisanya mengerut

sesuai dengan regangan yang ada. Selama proses ini dihasilkan jaringan parut

yang pucat, tipis dan lemas serta mudah digerakkan dari dasar. Pengerutan

maksimal terlihat pada luka. Pada akhir fase ini, perupaan luka kulit mampu

menahan regangan kira-kira 80% kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai

kira-kira 3-6 bulan setelah penyembuhan (Sjamsuhidayat dan Jong, 1997).

Penyembuhan luka sangat penting untuk mengembalikan integritasnya

sesegera mungkin dan merupakan suatu proses kompleks dan dinamis dengan

pola yang dapat diprediksikan. Fase proliferasi merupakan salah satu tahap

penting pada penyembuhan luka dan terjadi setelah fase inflamasi (Atik dan
14

Iwan, 2009). Fase proliferasi atau fase fibroplasia akan cepat terjadi, apabila tidak

ada infeksi dan kontaminasi pada fase inflamasi (Suriadi, 2004).

Penyembuhan luka sangat diperlukan untuk mendapatkan kembali jaringan

tubuh yang utuh. Beberapa faktor yang berperan dalam mempercepat

penyembuhan, yaitu faktor internal (dari dalam tubuh) dan faktor eksternal (dari

luar tubuh). Faktor eksternal yang dapat mempercepat penyembuhan luka yaitu

dengan cara irigasi luka menggunakan larutan fisiologis (NaCl 0,9%) serta

penggunaan obat-obatan sintetik dan alami (Adam dan Alexander, 2008).

3. Pisang Klutuk (Musa balbisiana Colla.)

Pisang merupakan tanaman yang memiliki banyak kegunaan, mulai dari

buah, batang, daun, kulit hingga bonggolnya. Tanaman pisang yang merupakan

suku Musaceae termasuk tanaman yang besar memanjang. Tanaman pisang sangat

menyukai daerah yang beriklim tropis panas dan lembab terlebih di dataran

rendah. Pisang adalah tanaman buah herba yang berasal dari kawasan di Asia

Tenggara (termasuk Indonesia). Tanaman ini kemudian menyebar ke Afrika

(Madagaskar), Amerika Selatan dan Tengah (Kwartiningsih dkk., 2010).

Jenis pisang dibagi menjadi 4 yaitu pisang yang dimakan buahnya tanpa

dimasak, pisang yang dimakan setelah buahnya dimasak, pisang berbiji, dan

pisang yang diambil seratnya. Pisang yang dimakan buahnya tanpa dimasak yaitu

pisang ambon, susu, raja, canvendish, barangan, dan mas. Pisang yang dimakan

setelah buahnya dimasak misalnya pisang nangka, tanduk dan kepok. Pisang

berbiji merupakan pisang yang dimanfaatkan daunnya di Indonesia, misalnya


15

pisang batu dan klutuk. Sedangkan pisang yang diambil seratnya misalnya pisang

manila (Kwartiningsih dkk., 2010).

Klasifikasi pisang klutuk (Musa balbisiana Colla.) menurut Hutapea (1994)

adalah sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Super Divisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Liliopsida

Sub Kelas : Commelinidae

Ordo : Zingiberales

Famili : Musaceae

Genus : Musa

Spesies : Musa balbisiana Colla.

a. Morfologi

Tanaman pisang merupakan tumbuhan berbatang basah yang besar,

biasanya mempunyai batang semu yang tersusun dari pelepah-pelepah

daun. Tangkai daun jelas beralur pada sisi atasnya, helaian daun lebar,

bangun jorong (oval memanjang), dengan ibu tulang yang nyata dan

tulang-tulang cabang yang menyirip dan kecil-kecil. Bunga dalam suatu

bunga majemuk dengan daun-daun pelindung yang besar dan berwarna

merah. Masing-masing bunga mempunyai tenda bunga yang mempunyai

mahkota atau jelas mempunyai kelopak dan mahkota yang biasanya

berlekatan (Cahyono, 2009).


16

Tanaman pisang klutuk (Musa balbisiana Colla.) memiliki

karakteristik yaitu batang berwarna hijau dengan atau tanpa bercak coklat

kehitaman (Gambar 1a). Daun kadang-kadang berlapis lilin dan sulit

sobek. Tandan buah mencapai panjang 80-100 cm, jantung berbentuk

bulat telur ,kelopak luar berwarna ungu dan sebelah dalam berwarna

merah (Gambar 1b). Sisir buah berjumlah 5-7 sisir dan tiap sisir berjumlah

12-18 buah yang tersusun rapat, berpenampang segi tiga atau segi empat,

berkulit tebal. Daging buah putih atau kekuning-kuningan dan tekstur agak

kasar. Buahnya manis saat matang, tetapi banyak sekali bijinya, 1 buah

terdapat ± 50 biji, biji kecil, dan berwarna hitam (Gambar 1c) (Cahyono,

2009).

(a) (b) (c)


Gambar 1. Morfologi Pisang Klutuk (Musa balbisiana Colla.): batang semu (a);
cabang, daun, jantung pisang (b), dan buah pisang klutuk (c) (Hapsari, 2014).

b. Bonggol Pisang

Bonggol pisang merupakan bagian terbawah berwarna coklat dari

batang semu yang berada di dalam tanah, mengandung banyak cairan atau

getah yang bersifat menyejukkan dan memiliki khasiat menyembuhkan

(Putra dkk., 2014). Batang pisang ditebang, sampai dekat bonggolnya,


17

kemudian pada bagian bonggol itu dikeruk seperti ceruk dan apabila

dibiarkan semalam, maka 24 jam kemudian akan muncul air menggenang.

Getah bonggol pisang dimanfaatkan untuk menetralkan tanah yang tingkat

keasamannya tinggi (Annapurna, 2008). Getah dari bonggol pisang dapat

mengatasi infeksi saluran kencing, menghentikan perdarahan (hemostatik),

penurun panas (antipiretik) (Dalimartha, 2003). Bonggol pisang klutuk

mempunyai karakteristik yang tidak terlalu keras (Ahmad, 2008).

c. Kandungan Fitokimia

Getah pisang merupakan suspensi koloid yang keluar dari latisifer

yang terluka, dimana terkandung beragam organel. Organel-organel

tersebut yaitu tetesan lipid, lutoid dan fragmen sitoplasma (Kallarackal et

al., 1986). Getah pohon pisang mengandung tanin yang merupakan

pigmen pewarna alami (Kwartiningsih dkk., 2010). Tanin merupakan

senyawa polifenol dan bersifat sebagai astringen (Amnuaysin et al., 2012).

Menurut Dalimartha (2005), getah dari bonggol pisang mengandung

saponin, flavonoid, asam askorbat, antrakuinon, kuinon, lektin dan tanin.

Saponin, antrakuinon, dan kuinon berfungsi sebagai antimikroba dan

penghilang rasa sakit. Tanin dan flavonoid berfungsi sebagai antimikroba

(Gunawan dan Mulyani, 2004).

B. Kerangka Pemikiran

Kejadian/insiden luka sudah umum terjadi dalam kehidupan manusia sehari-

hari, baik itu luka terbuka atau tertutup maupun luka berat atau ringan. Dalam

menjalankan aktivitas, sering kita mengalami kecelakan yang dapat menyebabkan


18

luka. Terkadang masyarakat menganggap pengobatan untuk luka tidak begitu

penting, sehingga beberapa masyarakat hanya membiarkan luka tersebut terutama

luka ringan agar sembuh dengan sendirinya tanpa menggunakan obat. Luka yang

ringan juga dapat menyebabkan infeksi yang kemungkinan dapat memperparah

luka tersebut.

Getah bonggol pisang sudah digunakan oleh masyarakat zaman dahulu

sebagai obat luka ringan. Karena getah dari bonggol pisang klutuk mengandung

beberapa senyawa metabolit sekunder yang membantu dalam proses

penyembuhan luka, seperti flavonoid, saponin, kuinon, antrakuinon, tanin dan

lektin. Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 2.

Insiden luka (vulnus) sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari

Luka yang dibiarkan saja (tanpa diobati) dapat


menyebabkan infeksi

Perlu obat yang dapat


menyembuhkan luka

Obat/bahan alami Obat/bahan kimia

Getah bonggol pisang klutuk Hanya sebagai antiseptik dan


memiliki efek samping
Mengandung senyawa yang
membantu proses
penyembuhan luka Flavonoid, saponin,
quinon, antraquinon
Berpotensi dalam mempercepat
proses penyembuhan luka
Gambar 2. Diagram alir kerangka pemikiran
19

C. Hipotesis

Hipotesis penelitian ini adalah :

1) Pemberian getah bonggol pisang klutuk (Musa balbisiana Colla.) dapat

menyembuhkan luka sayat pada mencit (Mus musculus L.).

2) Pemberian getah bonggol pisang klutuk (Musa balbisiana Colla.) konsentrasi

25% efektif dalam mempercepat proses penyembuhan luka sayat pada mencit

(Mus musculus L.).

Anda mungkin juga menyukai