Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal bukan pada
peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi masyarakat ideal ini.
Seperti, pelaksanaan amar ma’ruf nahi munkar yang sejalan dengan petunjuk Ilahi, maupun
persatuan dan kesatuan. Adapun cara pelaksanaan amar ma’ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik. Dalam rangka membangun
“masyarakat madani modern”, meneladani Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap
yang beliau peragakan saat berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain,
seperti menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok lain,
berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-sifat luhur lainnya.

Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak mendikotomikan antara
kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan dunia untuk akhiratnya dan tidak
meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar
kebahagiaan dunia dan akhirat. Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu
diteladani umat Islam saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

Berangkat dari hal di atas, maka penulis memutuskan untuk menyusun karya ilmiah yang
berjudul “Masyarakat Madani dan Kesejahteraan Umat.”

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Masyarakat Madani?

2. Bagaimana Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani?

3. Bagaimana Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat?

4. Apa yang dimaksud Manajemen Zakat dan Waqaf?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana Konsep Masyarakat Madani.

2. Untuk mengetahui bagaimana Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani.

3. Untuk Mengetahui bagaimana Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat.

4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud Manajemen Zakat dan Waqaf.


BAB II

ISI

A. Konsep Masyarakat Madani

Konsep “masyarakat madani” merupakan penerjemahan atau pengislaman konsep “civil


society”. Orang yang pertama kali mengungkapkan istilah ini adalah Anwar Ibrahim dan
dikembangkan di Indonesia oleh Nurcholish Madjid. Pemaknaan civil society sebagai
masyarakat madani merujuk pada konsep dan bentuk masyarakat Madinah yang dibangun Nabi
Muhammad. Masyarakat Madinah dianggap sebagai legitimasi historis ketidakbersalahan
pembentukan civil society dalam masyarakat muslim modern.

Pada masa-masa sekarang ini, makna masyarakat lebih mengarah kepada masyarakat sipil atau
terjemahan dari civil society. Konsep civil society lahir dan berkembang dari sejarah pergumulan
masyarakat. Cicero adalah orang barat yang pertama kali menggunakan kata “societies civilis”
dalam filsafat politiknya. Konsep civil society pertama kali dipahami sebagai negara (state).
Secara historis, istilah civil society berakar dari pemikir Montesque, JJ. Rousseau, John Locke,
dan Hubbes. Ketiga orang ini mulai menata suatu bangunan masyarakat sipil yang mampu
mencairkan otoritarian kekuasaan monarchi-absolut dan ortodoksi gereja.

Antara masyarakat madani dan civil society, sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
sedikit berbeda konteks walaupun sangat mirip secara substansi. Masyarakat madani adalah
istilah yang dilahirkan untuk menerjemahkan konsep di luar menjadi islami. Menilik dari
subtansi civil society lalu membandingkannya dengan tatanan masyarakat Madinah yang
dijadikan pembenaran atas pembentukan civil society di masyarakat Muslim modern akan
ditemukan persamaan sekaligus perbedaan di antara keduanya.

Perbedaan lain antara civil society dan masyarakat madani adalah civil society merupakan hasil
dari proses modernitas, sedangkan modernitas adalah buah dari gerakan Renaissance (gerakan
masyarakat sekuler yang meminggirkan Tuhan). Ini membuat konsep civil society sempat
diindikasi mempunyai aspek moral-transendental yang rapuh karena meninggalkan Tuhan.
Sedangkan masyarakat madani lahir dari dalam suatu proses agama. Dari alasan ini, masyarakat
madani kemudian diidentifikasi sebagai sebuah masyarakat yang terbuka, egaliter, dan toleran
atas landasan nilai-nilai etik-moral transendental yang bersumber dari wahyu Allah (A. Syafii
Maarif, 2004: 84).

Masyarakat madani merupakan konsep yang sangat majemuk, memiliki banyak arti atau sering
diartikan dengan makna yang beda-beda. Bila merujuk kepada Bahasa Inggris, ia berasal dari
kata civil society atau masyarakat sipil, sebuah kontraposisi dari masyarakat militer. Menurut
Blakeley dan Suggate (1997), masyarakat madani sering digunakan untuk menjelaskan “the
sphere of voluntary activity which takes place outside of government and the market (suatu
aktivitas sosial yang terbentuk secara sukarela tanpa adanya intervensi pemerintah/pasar)”
Merujuk pada Bahmueller (1997).

Di Indonesia, konsep Masyarakat Madani semula dimunculkan sebagai jawaban atas usulan
untuk meletakkan peran agama ke dalam suatu masyarakat Multikultural. Multikultural
merupakan produk dari proses demokratisasi di Indonesia yang sedang berlangsung terus
menerus yang kemudian memunculkan ide pluralistik dan implikasinya kesetaraan hak
individual. Perlu kita pahami, perbincangan seputar Masyarakat Madani sudah ada sejak tahun
1990-an, akan tetapi sampai saat ini, masyarakat Madani lebih diterjemahkan sebagai masyarakat
sipil oleh beberapa pakar Sosiologi. Untuk lebih jelasnya, rasanya perlu ada analisa lebih jauh
dan secara historis terkait kemunculan masyarakat madani dan kemunculan istilah masyarakat
sipil, agar lebih akurat membahas tentang peran agama dalam membangun masyarakat bangsa
Indonesia.

Dalam kutipan yang lain, masyarakat sipil diterjemahan dari istilah Inggris civil society yang
mengambil dari bahasa Latin civilas societas. Secara historis karya Adam Ferguson merupakan
salah satu titik asal penggunaan ungkapan masyarakat sipil (civil society), yang kemudian
diterjemahkan sebagai masyarakat Madani. Gagasan masyarakat sipil merupakan tujuan utama
dalam membongkar masyarakat Marxis (sekuler). Masyarakat sipil menampilkan dirinya sebagai
daerah kepentingan diri individual dan pemenuhan maksud-maksud pribadi secara bebas, dan
merupakan bagian dari masyarakat yang menentang struktur politik (dalam konteks tatanan
sosial) atau berbeda dari negara. Masyarakat sipil, memiliki dua bidang yang berlainan yaitu
bidang politik (juga moral) dan bidang sosial ekonomi yang secara moral netral dan instrumental.

Seperti ahli sosiologi Durkheim, pusat perhatian Ferguson adalah pembagian kerja dalam
masyarakat, dia melihat bahwa konsekuensi sosio-politis dari pembagian kerja jauh lebih penting
dibanding konsekuensi ekonominya. Ferguson melupakan kemakmuran sebagai landasan
berpartisipasi. Dia juga tidak mempertimbangkan peranan agama ketika menguraikan saling
mempengaruhi antara dua partisipan tersebut (masyarakat komersial dan masyarakat
perang/militer saat itu), padahal dia memasukan kebajikan di dalam konsep masyarakatnya.
Masyarakat sipil dalam pengertian yang lebih sempit ialah bagian dari masyarakat yang
menentang struktur politik dalam konteks tatanan sosial di mana pemisahan seperti ini telah
terjadi dan mungkin.

Selanjutnya sebagai pembanding, Ferguson mengambil masyarakat feodal, dimana perbandingan


di antara keduanya adalah, pada masyarakat feodal strata politik dan ekonomi jelas terlihat
bahkan dijamin secara hukum dan ritual, tidak ada pemisahan hanya ada satu tatanan sosial,
politik dan ekonomi yang saling memperkuat satu sama lain. Posisi seperti ini tidak mungkin lagi
terjadi pada masyarakat komersial. Kekhawatiran Ferguson selanjutnya adalah apabila
masyarakat perang digantikan dengan masyarakat komersial, maka negara menjadi lemah dari
serangan musuh. Secara tidak disadari Ferguson menggemakan ahli teori peradaban, yaitu Ibnu
Khaldun yang mengemukakan spesialisme mengatomisasi mereka dan menghalangi
kesatupaduan yang merupakan syarat bagi efektifnya politik dan militer. Di dalam masyarakat
Ibnu Khaldun militer masih memiliki peran dan berfungsi sebagai penjaga keamanan negara,
maka tidak pernah ada dan tidak mungkin ada bagi dunianya, masyarakat sipil.

Pada kenyataannya, apabila kita konsekuen dengan menggunakan masyarakat Madani sebagai
padanan dari Masyarakat Sipil, maka secara historis kita lebih mudah secara langsung mengacu
kepada konsep masyarakat menurut Ibnu Khaldun. Deskripsi beliau justru banyak mengandung
muatan-muatan moral-spiritual dan mengunakan agama sebagai landasan analisisnya.

Pada kenyataannya masyarakat sipil tidak sama dengan masyarakat Madani. Masyarakat Madani
merujuk kepada sebuah masyarakat dan negara yang diatur oleh hukum agama, sedangkan
masyarakat sipil merujuk kepada komponen di luar negara. Syed Farid Alatas, seorang sosiolog
sepakat dengan Syed M. Al Naquib Al Attas (berbeda dengan para sosiolog umumnya),
menyatakan bahwa faham masyarakat Madani tidak sama dengan faham masyarakat Sipil. Istilah
Madani, Madinah (kota) dan din (diterjemahkan sebagai agama) semuanya didasarkan dari akar
kata dyn. Kenyataan bahwa nama kota Yatsrib berubah menjadi Medinah bermakna disanalah
agama berlaku (lih. Alatas, 2001:7).

Secara historispun masyarakat Sipil dan masyarakat Madani tidak memiliki hubungan sama
sekali. Masyarakat Madani bermula dari perjuangan Nabi Muhammad SAW menghadapi kondisi
jahiliyyah masyarakat Arab Quraisy di Mekkah. Beliau memperjuangkan kedaulatan, agar
ummatnya leluasa menjalankan syari’at agama di bawah suatu perlindungan hukum.

Masyarakat madani sejatinya bukanlah konsep yang ekslusif dan dipandang sebagai dokumen
usang. Ia merupakan konsep yang senantiasa hidup dan dapat berkembang dalam setiap ruang
dan waktu. Mengingat landasan dan motivasi utama dalam masyarakat madani adalah Alquran.

B. Peran Umat Islam dalam Mewujudkan Masyarakat Madani

Peran umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab atau masyarakat madani adalah
dengan meningkatkan sumber daya manusia (SDA) melalui pendidikan, pendidikan di sini tidak
hanya pendidikan dalam bidang umum tetapi harus di barengi dengan pendidikan akhlak dan
pendidikan karakter sejak dini, karena peranan akhlak sangat besar dalam menciptakan manusia
yang beradab. Dalam Al-Qu’an Surat Ali Imran ayat 110 “Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”.

Untuk mewujudkan masyarakat beradab tentunya dengan mengamalkan Al-Qur’an dan Al-
Hadist dan kita sebagai umat muslim harus mencontoh dan menjadikan baginda Rasulullah
Muhammad SAW sebagai panutan hidup, Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-
Ahzab ayat 21 : ً‫اك ككثثيِررا‬ ‫اث أجلسكوةة كحكسنكةة لثكملن ككاَكن يكلرججو ا‬
‫اك كواًلليِكلوكم اًللثخكر كوكذكككر ا‬ ‫لكقكلد ككاَكن لكجكلم ثفيِ كرجسوثل ا‬

“Sesungguhnya telah ada dalam diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi
orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”

Selain dalam bidang pendidikan peranan umat Islam dalam mewujudkan masyarakat beradab
atau masyarakat madani adalah harus ditingkatkan dalam bidang ekomoni. Di dalam ajaran Islam
terdapat dua prinsip utama, yakni pertama, tidak seorangpun atau sekelompok orangpun yang
berhak mengeksploitasi orang lain; dan kedua, tidak ada sekelompok orangpun boleh
memisahkan diri dari orang lain dengan tujuan untuk membatasi kegiatan sosial ekonomi di
kalangan mereka saja. Islam memandang umat manusia sebagai satu keluarga, maka setiap
manusia adalah sama derajatnya di mata Allah SWT dan di depan hukum yang diwahyukannya.
Konsep persaudaraan dan perlakuan yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat di muka
hukum tidaklah ada artinya kalau tidak disertai dengan keadilan ekonomi yang memungkinkan
setiap orang memperoleh hak atas sumbangan terhadap masyarakat. Allah SWT melarang hak
orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Syu’ara ayat 183

‫س أكلشكيِاَكءهجلم كوكل تكلعثكلواً ثفيِ اًللكلر ث‬


: ‫ض جملفثسثديكن‬ ‫كوكل تكلبكخجسواً اًلاناَ ك‬

“Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di
muka bumi dengan membuat kerusakan”.

Dalam komitmen Islam yang khas dan mendalam terhadap persaudaraan, keadilan ekonomi dan
sosial, maka ketidakadilan dalam pendapatan dan kekayaan bertentangan dengan Islam. Akan
tetapi, konsep Islam dalam distribusi pendapatan dan kekayaan serta konsepsinya tentang
keadilan sosial tidaklah menuntut bahwa semua orang harus mendapat upah yang sama tanpa
memandang kontribusinya kepada masyarakat.

Islam mentoleransi ketidaksamaan pendapatan sampai tingkat tertentu, akrena setiap orang
tidaklah sama sifat, kemampuan, dan pelayanannya dalam masyarakat, dalam Al-Qur’an surat.
An-Nahl ayat 71 disebutkan:
‫ت أكليكماَنجهجلم فكهجلم ثفيِثه كسكواًءةء أكفكبثنثلعكمثة ا‬
‫اث‬ ‫ق فككماَ اًلاثذيكن فج د‬
‫ضجلواً بثكراًدديِّ ثرلزقثثهلم كعلكىى كماَ كملككك ل‬ ‫ض ثفيِ اًلدرلز ء ث‬
‫ضجكلم كعلكىى بكلع ض‬ ‫كو ا‬
‫ا ج فك ا‬
‫ضكل بكلع ك‬
‫يكلجكحجدوكن‬

“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki, tetapi orang-
orang yang dilebihkan (rezkinya itu) tidak mau memberikan rezki mereka kepada budak-budak
yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rezki itu. Maka Mengapa mereka
mengingkari nikmat Allah”.

Oleh karena itu untuk mewujudkan masyarakat madani dan agar terciptanya kesejahteraan umat
maka kita sebagai generasi penerus supaya dapat membuat suatu perubahan yang signifikan.
Selain itu, kita juga harus dapat menyesuaikan diri dengan apa yang sedang terjadi di masyarakat
sekarang ini dengan tetap memegang teguh Al-Qur’an dan Hadist sebagai landasan hidup kita.

C. Sistem Ekonomi Islam dan Kesejahteraan Umat

1. Pengertian Sistem Ekonomi Islam

Ekonomi Islam merupakan ilmu yang mempelajari perilaku ekonomi manusia yang perilakunya
diatur berdasarkan aturan agama Islam dan didasari dengan tauhid sebagaimana dirangkum
dalamrukun iman dan rukun Islam.

Bekerja merupakan suatu kewajiban karena Allah swt memerintahkannya, sebagaimana firman-
Nya dalam surat At Taubah ayat 105: “Dan katakanlah, bekerjalah kamu, karena Allah dan
Rasul-Nya serta orang-orang yang beriman akan melihat pekerjaan itu”.

Karena kerja membawa pada keampunan, sebagaimana sabada Rasulullah Muhammad


saw:“Barang siapa diwaktu sorenya kelelahan karena kerja tangannya, maka di waktu sore itu ia
mendapat ampunan”.(HR.Thabrani dan Baihaqi)

2. Tujuan Ekonomi Islam

Adapun tujuan Ekonomi Islam berpedoman pada: Segala aturan yang diturunkan Allah swt
dalam sistem Islam mengarah pada tercapainya kebaikan, kesejahteraan, keutamaan, serta
menghapuskan kejahatan, kesengsaraan, dan kerugian pada seluruh ciptaan-Nya. Demikian pula
dalam hal ekonomi, tujuannya adalah membantu manusia mencapai kemenangan di dunia dan di
akhirat.

Seorang fuqaha asal Mesir bernama Prof.Muhammad Abu Zahrah mengatakan ada tiga sasaran
hukum Islam yang menunjukan bahwa Islam diturunkan sebagai rahmat bagi seluruh umat
manusia, yaitu:

a. Penyucian jiwa agar setiap muslim bisa menjadi sumber kebaikan bagi masyarakat dan
lingkungannya.

b. Tegaknya keadilan dalam masyarakat. Keadilan yang dimaksud mencakup aspek kehidupan
di bidang hukum dan muamalah.

c. Tercapainya maslahah (merupakan puncaknya).

Para ulama menyepakati bahwa masalah yang menjad puncak sasaran di atas mencakup lima
jaminan dasar:

• keselamatan keyakinan agama ( al din)

• kesalamatan jiwa (al nafs)


• keselamatan akal (al aql)

• keselamatan keluarga dan keturunan (al nasl)

• keselamatan harta benda (al mal)

3. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:

a. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada
manusia.

b. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu.

c. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama.

d. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh segelintir orang
saja.

e. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk


kepentingan banyak orang.

f. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.

g. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)

h. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

D. Manajemen Zakat dan Waqaf

1. Zakat

Dilihat dari sudut bahasa, kata zakat berasal dari kata “zaka” yang berarti berkah, tumbuh, bersih
dan baik. Pendapat lain juga mengatakan bahwa kata dasar “zaka” berarti bertambah dan
tumbuh, sedangkan segala sesuatu yang bertambah disebutkan dengan zakat. Adapun dari segi
istilah, banyak ahli yang mengatakan ataupun mendefinisikan. Menurut istilah fikih zakat berarti
sejumlah harta tertentu diwajibkan Allah untuk diserahkan kepada yang berhak.

Menurut Imam Nawawi jumlah yang dikeluarkan dari kekayaan itu disebut zakat karena yang
dikeluarkan itu menambah banyak, membuat lebih berarti dan melindungi kekayaan dari
kebinasaan. Sedangkan menurut Ibnu Taimiyah, jiwa dan kekayaan orang yang berzakat itu
menjadi bersih dan kekayaannya akan bertambah.

Allah telah berfirman dalam QS. al-Baqarah ayat 110, yang artinya: “Dan Dirikanlah shalat dan
tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan
mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu
kerjakan”.

Adapun harta-harta yang wajib dizakati itu yaitu: harta berharga, hasil pertanian, binatang ternak,
harta perdagangan, harta galian (harta rikaz).

Sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat adalah: Fakir, Miskin, Amil, Muallaf,
Riqab, Gharim, Fi sabilillah, Ibnussabil.[9]

A. Syarat-syarat Zakat

Menurut Yusuf al-Qardawi, syarat – syarat harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah sebagai
berikut:

1. Pemilikan yang sempurna

2. Berkembang

3. Cukub senisab

4. Melebihi kebutuhan pokok

5. Bebas dari hutang

6. Berlaku satu tahun

B. Tujuan Zakat

Tujuan-tujuan tersebut diantaranya yaitu :

1. Mengankat derajat fakir miskin dan membantunya keluar dari kesulitan hidup dan penderitaan.

2. Membantu memecahkan masalah yang hidup dihadapi oleh para ibnusabil dan mustahiq
lainnya.

3. Membentangkan dan membina tali persaudaraan sesama umat Islam pada umumnya.

4. Menghilangkan sifat kikir atau loba pemilik harta.

5. Membersihkan diri dari sifat dengki dan iri dalam hati orang-orang miskin.

6. Menjembatani jurang pemisah antara orang kaya dan orang miskin.

7. Mengembangkan rasa tanggung jawab sosial dan pada diri sendiri.

8. Mendidik manusia disiplin menunaikan kewajibannya untuk menyerahkan hak orang lain
yang ada padanya.
9. Sarana pemerataan pendapatan (rizqi) untuk mencapai keadilan social.

Dari tujuan-tujuan diatas tergambar bahwa zakat merupakan salah satu ibadah khusus kepada
Allah yang mempunyai dampak positif yang sangat besar bagi kesejahteraan masyarakat.

2. Manajemen Wakaf

Wakaf di satu sisi berfungsi sebagai ibadah kepada Allah, sedangkan di sisi lain wakaf juga
berfungsi sosial. Dalam fungsinya sebagai ibadah ia diharapkan akan menjadi bekal bagi si wakif
di kemudian hari, sedangkan dalam fungsi sosialnya, wakaf merupakan aset amat bernilai dalam
pembangunan umat.

A. Pengertian Wakaf

Istilah wakaf beradal dari “waqb” artinya menahan. Sedangkan menurut istilah wakaf ialah
memberikan sesuatu barang guna dijadikan manfaat untuk kepentingan yng disahkan syara’ serta
tetap bentuknya dan boleh dipergunakan diambil manfaatnya oleh orang yang ditentukan (yang
meneriman wakaf). Sebagaimana hadits:

Abu Hurairah r.a. menceritakan, bahwa Rasullullah SAW bersabda, “Jika seorang manusia
meninggal dunia, maka terputuslah masa ia melanjutkan amal, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:
Sedekah jariyah (waqafnya) selama masih dipergunakan, ilmunya yang dimanfaatkan
masyarakat, dan anak salehnya yang mendo’akannya.” (Riwayat Muslim).

B. Rukun Wakaf

1. Yang berwakaf, syaratnya: berhak berbuat kebaikan dan kehendak sendiri

2. Sesuatu yang diwakafkan, syaratnya: kekal dan milik sendiri.

3. Tempat berwakaf (yang berhak menerima hasil wakaf itu).

4. Lafadz wakaf.

C. Syarat Wakaf

a. Ta’bid, yaitu untuk selama-lamanya/tidak terbatas waktunya.

b. Tanjiz, yaitu diberikan waktu ijab kabul.

c. Imkan-Tamlik, yaitu dapat diserahkan waktu itu juga.

D. Hukum Wakaf

Pemberian wakaf tidak dapat ditarik kembali sesudah diamalkannya. Dan pemberian harta wakaf
yang ikhlas karena Allah akan mendapatkan ganjaran terus-menerus selagi benda itu dapat
dimanfaatkan oleh umum.
BAB III

Penutup

A. Kesimpulan

Dalam mewujudkan masyarakat madani dan kesejahteraan umat haruslah berpacu pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah. Dan kita harus mengetahui apa yang dimaksud dengan masyarakat
madani itu dan cara menciptakan suasana pada masyarakat madani tersebut yang terdapat pada
pada zaman Rasullullah.

Selain memahami apa itu masyarakat madani kita juga harus melihat pada potensi manusia yang
ada di masyarakat, khususnya di Indonesia. Potensi yang ada di dalam diri manusia sangat
mendukung kita untuk mewujudkan masyarakat madani. Karena semakin besar potensi yang
dimiliki oleh seseorang dalam membangun agama Islam maka akan semakin baik pula hasilnya.

Di dalam Islam mengenal yang namanya zakat, dengan zakat ini kita dapat meningkatkan taraf
hidup masyarakat hingga mencapai derajat yang disebut masyarakat madani. Selain itu, ada pula
wakaf, wakaf selain untuk beribadah kepada Allah juga dapat berfungsi sebagai pengikat jalinan
antara seorang muslim dengan sesama. Jadi wakaf mempunyai tiga fungsi yakni fungsi ibadah,
fungsi sosial dan fungsi ekonomi. Insya Allah dengan menjalankan syariat Islam dengan baik dan
teratur kita dapat memperbaiki kehidupan bangsa ini secara perlahan.

B. Saran

Menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka kedepannya kami akan lebih
fokus dan detail dalam menjelaskan masalah yang dibahas pada makalah ini. Jika dalam
penulisan dan materi kami masih kurang paham pembaca bisa mencarinya kembali di website, Al
Qur’an, maupun Al Hadist.

Share :

Facebook Google+ Twitter


Related Posts :

0 RESPONSE TO "MASYARAKAT MADANI DAN KESEJAHTERAAN UMAT"

Home

View web version

Copyright 2017 Muhammad Bawaihi | ILKOM'16

Design by Muhammad Bawaihi

Anda mungkin juga menyukai