Anda di halaman 1dari 32

2.

1 Nyeri Kepala ( Headache)

Nyeri kepala merupakan gejala umum yang pernah dialami hampir semua orang, setidak-

tidaknya secara episodik selama hidupnya. Nyeri kepala adalah semua nyeri yang berlokasi di

kepala.

Struktur-struktur yang terletak di kepala, dibagi menjadi 2, yaitu :

1. Struktur yang sensitif nyeri, yaitu kulit kepala, otot, jaringan subkutan, arteria ekstrakranial

periosteum tulang tengkorak, mata, telinga, cavum nasal, gigi, oropharynx, sinus kranial,

sinus vena intrakranial, dan cabang-cabang vena, bagian dura yang terdapat pada dasar otak

dan arteria dalam dura, saraf kranial trigeminus, fasialis, vagus, dan glossofaringeus, serta

saraf saraf servikal (C1, C2 dan C3).

2. Struktur-struktur yang tidak sensitif terhadap nyeri, yaitu parenkim otak, sebagian besar

jaringan meningeal tengkorak (kecuali periosteum), ependim, pleksus khoroid. (Neil H.

Raskin, Harrison’ s, Principles of Internal Medicine, 16 th edition)

Di bawah ini adalah klasifikasi nyeri kepala berdasarkan Internatonal Headache Society,

yaitu

a. Nyeri kepala primer

1. Migraine

2. Tension Type Headache

3. Nyeri kepala kluster dan hemicrania paroksismal kronik


4. Nyeri kepala lain yang tidak berhubungan dengan lesi struktural

b. Nyeri kepala sekunder

1. Nyeri kepala karena trauma kepala

2. Nyeri kepala karena kelainan vaskular

3. Nyeri kepala karena kelainan intrakranial nonvaskular

4. Nyeri kepala karena penggunaan suatu zat

5. Nyeri kepala karena infeksi

1
6. Nyeri kepala karena kelainan metabolik

7. Nyeri kepala atau nyeri wajah karena kelainan wajah atau struktur kranial

8. Nyeri kepala atau wajah karena kelainan saraf (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of

Internal Medicine, 16 th edition)

Karena luasnya penyebab nyeri kepala, maka kami menitikberatkan pada nyeri kepala

primer, yang meliputi migraine, cluster headache, dan tension-type headache.

2.2 Migrain

2.2.1 Epidemiologi

Berdasarkan penelitian di Anmerika, dilaporkan bahwa migraine timbul pada 18,2

% wanita dan 6,5 % pria di Amerika setiap tahunnya. Prevalensi migraine bervariasi menurut umur

dan jenis kelamin. Sebelum umur 12 tahun, migraine umumnya terjadi pada anak laki-laki

dibandingkan dengan anak wanita, tetapi prevalensi meningkat cepat ada anak wanita setelah

pubertas. Setelah umur 12 tahun, wanita lebih sering terkena migraine dibandingkan dengan pria,

kira-kira dua hingga tiga kalinya.

Prevalensi terbesar tejadi pada usia 35 dan 45 tahun. Onset biasanya terjadi pada usia 10

hingga 29 tahun, tetapi onset migraine pada masa kanak-kanak tidak umum terjadi. (Deborah S.

King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

2.2.2 Teori dan pathophysiology

Mekanisme dan pathophysiology migraine sampai sekarang, belum sepenuhnya dimengerti.

Di bawah ini ada beberapa teori terjadinya migraine, yaitu :

a. Teori genetik

Mutasi spesifik yang menyebabkan nyeri kepala telah berhasil didefinisikan. Sebagai contoh

: sindrom MELAS, yang terdiri atas encephalomyopathy mitochondrial, asidosis laktat, dan episode

seperti stroke yang disebabkan oleh mutasi basa Adenin menjadi Guanin pada gen mitokondria yang

mengkode tRNA pada posisi nukleotida 3243. Migraine adalah gambaran klinik yang umum dari

2
sindrom ini, khususnya pada permulaan sindrom ini. (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of

Internal Medicine, 16 th edition)

Migraine Familial Hemiplegik, karakteristiknya adalah terjadinya hemiplegia atau

hemiparesis selama fase aura pada migraine. Kira-kira 50% dari kasus MFL disebabkan oleh mutasi

gen CACNL1A4 pada kromosom 19, yang mengkode subunit channel calsium tipe P/Q, yang hanya

diekspresikan pada sistem saraf pusat. (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of Internal Medicine,

16 th edition)

Pada penelitian genetik, polimorfisme NcoI pada gen yang mengkode reseptor dopamin D2

(DRD2), terlihat berlebihan pada pasien migraine dengan aura dibandingkan pada pasien tanpa

migraine, sehingga diperkirakan pasien migraine dengan aura dipengaruhi oleh alel DRD2. Tetapi,

bagaimanapun juga tidak semua pasien dengan gen DRD2 mengalami migraine dengan aura,

sehingga diperkirakan ada gen atau faktor lain yang terlibat. (Neil H. Raskin, Harrison ’ s, Principles

of Internal Medicine, 16 th edition)

b. Teori vaskular

Berdasarkan hipotesis vaskular yang diajukan oleh Harold Wolff pada tahun 1938, migraine

itu berhubungan dengan perubahan vaskular kranial, Selama masa prodormal (aura), terjadi

vasokontriksi dari pembuluh interkranial, menyebabkan manifestasi neurologi yang bervariasi

menurut tempat terjadinya vasokontriksi. Dilanjutkan dengan fase nyeri kepala dimana terjadi

dilatasi pembuluh ekstrakranial. (Deborah S. King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a

Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

Penelitian mengenai aliran darah serebral regional pada pasien migraine klasik saat serangan,

terjadi hipoperfusi kortikal dimulai pada visual korteks, yang menyebar dengan aliran 2-3

mm/menit. Penurunan aliran darah kira-kira 25-30 %

Perubahan aliran darah ini dalam menyebabkan gejala migraine masih dipertanyakan. Hal ini

dikarenakan :

a) Penurunan aliran darah yang diamati tidak cukup significant untuk menyebabkan gejala
3
neurologik fokal

b) Peningkatan aliran darah tidak menyebabkan nyeri dan vasodilatasi sendiri tidak dapat

menyebabkan edema lokal yang sering diamati pada migraine

Lebih jauh lagi, pada migrain tanpa aura, tidak terjadi perubahan aliran darah. Oleh karena itu

peristiwa vasokontriksi di ikuti vasodilatsi sebagai patofisiologi fundamental terjadinya migrain

masih dipertanyakan. Tetapi, bagaimanapun juga, memang benar terjadi perubahan aliran darah

selama terjadinya migrain. (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of Internal Medicine, 16 th

edition).

c. Teori neuronal (brain stem generator)

Pada migraine, terjadi pengaktifan neuron dorsal raphe pada batang otak dan locus coeruleus

(teori ”brain stem generator”). Terdapat proyeksi dari dorsal raphe ke arteri serebral, yang mungkin

mempengaruhi aliran darah. Selain itu terdapat pula proyeksi dorsal raphe ke badan geniculatum

lateral, kolikulus superior, retina, dan visual korteks. Hal ini mungkin dapat menjelaskan aura pada

migrain. (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of Internal Medicine, 16 th edition)

d. Sistem trigeminovaskular pada migrain

Mekanisme aktivasi sistem trigeminovaskular tidak sepenuhnya dimengerti. Diduga aktivitas

sistem trigeminovaskular diatur oleh noradrenergik dan neuron serotonergik di dalam batang otak.

Oleh karena itu, terjadinya migrain berhubungan dengan ketidakseimbangan antara aktivitas neuron

serotonergik dan noradrenergik dalam batang otak . Ketidakseimbangan ini mengakibatkan

terjadinya pengaktivan nukleus kaudalis trigeminal pada medula (pusat pengolah nyeri untuk bagian

wajah dan kepala) yang menyebabkan pelepasan vasoaktif neuropeptide yang meliputi substansi P

dan calcitonin gene related peptide (CGRP) dari nervus trigeminal terminal saraf. Neurotransmitter

peptida ini menginduksi inflamasi steril yang mengaktifkan nociceptive afferent trigeminal pada

pembuluh darah yang menyebabkan diproduksinya nyeri. Selain itu, transmisi nyeri juga berjalan ke

sentral menuju otak dan mengaktifkan nucleus-nukleus di otak yang menyebabkan terjadinya

4
beberapa gejala seperti mual , muntah (Neil H. Raskin, Harrison’ s, Principles of Internal Medicine,

16 th edition)

e. Peran serotonin dalam migraine

Hipotesis bahwa serotonin merupakan mediator penting pada patogenesis migrain massih

berlaku sampai saat ini, karena agonis reseptor serotonin masih merupakan obat utama migrain akut.

Hipotesis ini berdasarkan fakta pada eksperimen di laboratorium dan fakta pada manusia bahwa

kosentrasi serotonin dan metabolitnya pada urin meningkat pada kebanyakan kasus selama serangan

migraine. Hipotesis biokimia mengatakan bahwa pada migran, terjadi ketidakseimbangan

neurotransmitter yang mungkin berhubungan dengan perubahan sensitivitas pada reseptor serotonin

sentral dan perifer.(Bush and Mayer, 2001)

2.2.3 Gambaran klinik

Menurut International Headache Society, migraine adalah nyeri kepala sedang hingga

berat, berdenyut, unilateral, tetapi kadang dapat bilateral. Onset nyeri biasanya bertahap, mencapai

puncaknya dalam beberapa menit hingga jam dan menetap selama 4

hingga 72 jam. Gejala pencernaan bervariasi menyertai migraine. Selama gejala, 90 % penderita

memperlihatkan mual dan emesis terjadi pada 1/3 penderita migraine. 5


Migrain adalah nyeri kepala primer yang dibagi dalam 2 jenis, yaitu:

1) Migrain tanpa aura (migrain umum)

Pada migrain ini, tidak terjadi gangguan neurologik fokal yang mendahului nyeri kepala,

tetapi memiliki ciri khas yaitu timbulnya nyeri kepala yang berdenyut secara mendadak.

2) Migraine dengan aura (migraine klasik)

Biasanya terjadi gangguan neurologik fokal negatif maupun positif sebelum timbul nyeri

kepala. Aura ini biasanya terjadi selama 5-20 menit dan paling lama selama 60 menit. Nyeri kepala

biasanya terjadi setelah akhir aura selesai. Kadang-kadang, aura muncul pada saat mulai terjadi

nyeri kepala atau selama nyeri kepala berlangsung. Aura ini biasanya berkaitan dengan area visual

dan lapang penglihatan. Aura visual sangat kompleks dan bervariasi, dan dapat positif (scintilllation,

photopsia, atau spektrum fortifikasi) dan negatif (skotoma, hemianopsia). Gejala aura motorik dan

sensorik meliputi kesemutan pada wajah dan lengan, dysphasia atau aphasia, kelemahan, dan

hemiparesis.

2.2.4 Terapi migrain

Dokter yang mengobati pasien migraine harus memperhatikan akibat migraine tersebut pada

hidup pasien, keluarganya, dan pekerjaan pasien. Oleh karena itu, dokter sebaiknya menentukan

tujuan terapi jangka panjang dan tujuan terapi migraine akut.

Tujuan terapi migraine jangka panjang meliputi :

1. Menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan ketidakmampuan akibat migrain

2. Meningkatkan kualitas hidup

3. Mencegah nyeri kepala

4. Mencegah penggunaan obat nyeri kepala yang berlebihan


5. Mengajarkan pasien agar mampu menangani sendiri, nyeri kepala yang dideritanya.

6. Menurunkan stress dan gejala psychologic yang menyebabkan migraine Tujuan

terapi migraine akut

1. Mengobati serangan migraine dengan cepat dan konsisten tanpa rekuren


6
2. Memperbaiki ketidakmampuan pasien akibat migraine

3. Meminimalkan atau menghilangkan efek samping

4. Efektif dalam penanganan

Migraine dapat diobati secara nonfarmakologik maupun dengan cara farmakologik.

2.2.4.1 Pendekatan nonfarmakologik

Sebaiknya dengan cara menghindari agen pentebab migraine dan jika migraine telah terjadi,

maka dapat dilakukan pendekatan nonfarmakologik, seperti beristirahat atau tidur, sebaiknya di

ruangan yang gelap, lingkungan yang tenang. Catatan mengenai frekuensi, tingkat keparahan, dan

durasi serangan nyeri kepaka dapat membantu mengidentifikasikan penyebab migraine. Dibawah ini

adalah agen yang biasanya menyebabkan migraine :

2 Makanan : alkohol, kafein, coklat, pisang, produk kalengan, monosodium glutamat (pada

makanan instan), sakarin, aspartat, makanan yang mengandung tiramin

3 Lingkungan : suara keras, ketinggian, perubahan cuaca, asap rokok, cahaya yang terlalu terang

4 Perubahan perilaku-phyiologik : tidur yang kurang, kelelahan, menstruasi,

menopause, aktivitas fisik yang berlebihan, stress (Deborah S. King and Katherine

C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

2.2.4.2 Terapi farmakologik

1) Terapi migrain akut

(1) NonSteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID)

Kombinasi aspirin, asetaminophen, dan kafein telah disetujui penggunaannya oleh FDA

(Food Drug Administration) sebagai obat pilihan pertama untuk pengobatan serangan migraine

ringan dan sedang. NSAID mencegah inflamasi pada sistem trigeminovaskular melalui inhibisi

sintesis prostaglandin. Pada umumnya, NSAID dengan waktu kerja yang panjang lebih dianjurkan.

NSAID harus digunakan hati-hati pada pasien dengan ulkus peptikum, penyakit ginjal atau

hipersensitivitas. Kombinasi terapi dengan metoklopramide dapat meningkatkan absorbsi dari

analgesik dan meringankan gejala mual dan muntah akibat migraine. (Deborah S. King and
7
Katherine

C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

(2) Ergotamin tartrat

Ergotamin tartrate dan dihydroergotamin berguna pada pengobatan serangan migraine

sedang dan berat. Ergotamin adalad alkaloid ergot asam amino, sedangkan dihydroergotamin

alkaloid ergot asam amino.Obat ini adalah agonis nonselektif reseptor 5-HT1 yang menyebabkan

vasokonstriksi pembuluh darah intrakranial, dan mencegah inflamasi neurogenik pada sistem

trigeminovaskular. Dengan dosis klinik umumnya, efek antimigrain mungkin dihasilkan dari

vasokontriksi dan reduksi pulsasi arteri ekstrakranial.

Ergotamin tartrat tersedia dalam bentuk oral, sublingual, dan rektal. Preparat rektal dan oral

mengandung kafein untuk meningkatkan absorbsi. Mual dan muntah merupakan efek samping

yang paling umum pada pemberian derivat ergotamine.Bagaimanapun juga, ergotamin, 12 kali

lebih emetik dibandingkan dengan dihidroergotamine. Pemberian antiemetik harus dipertimbangkan

pada terapi migraine dengan ergotamine.

Sekitar 60 % dosis ergotamin diabsorbsi dari saluran pencernaan. Dengan dosis

klinik umumnya, level darah puncak terjadi dalam dua jam dan terdapat dalam rentang rendah (1-3)

nanogram/ml. Ergotamin tartrat paling efektif jika diberikan pada saat terjadi serangan. 2 mg dosis

oral atau sublingual diberikan ketika terjadi nyeri diikuti dengan 2 mg setiap jam. Jika diperlukan,

hingga nyeri itu reda, tetapi tidak melebihi 6 mg sehari. Beristirahat di ruangan yang gelap

meningkatkan aksi dari obat ini. Jika menginginkan efek terjadi lebih cepat atau jika pasien

mengalami mual atau muntah dengan sakit kepala yang berat, dosis obat 0,5 mg intramuskular

diberikan pada saat serangan. Rute lain pemberian ergotamin adalah 2 mg rektal supositoria atau

aerosol inhaler 0,36 mg. Dengan dosis yang adekuat, hilangnya serangan pada 70-80 % pasien dapat

terjadi. Terapi ergotamin dapat lebih efektif ketika digunakan bersama kafein, karena meningkatkan

absorbsi ergotamine. Kombinasi yang mengandung 1 atau 2 mg ergotamin dan 50 atau 100 mg

kafein telah tersedia.. Keuntungan dan kombinasi obat, bagaimanapun, dapat menurun karena
8
insomnia yang diakibatkan kafein. Oleh karena itu, penggunaannya tergantung pada keadaan pasien.

Terkadang, serangan migrain tetap berlanjut bahkan setelah dosis maksimum

ergotamine telah diberikan. Pada situasi ini, analgesik kuat seperti kodein atau pentazosine dapat

digunakan. Sedasi dengan barbiturat dapat membantu dan mampu menginduksi tidur dengan 100-

200 mg pentobarbital telah menghentikan banyak serangan. Flurazepam (15-30 mg) dapat juga

digunakan untuk tujuan itu. Mual dan muntah yang berlanjut dapat diobati dengan obat antiemetik.

Phenothiazine seperti prochlorperazine (5-10 mg) atau thiethylperazine (6,5 mg) diberikan baik

secara supositoria ataupun parenteral.

Efek samping dari ergotamin terjadi pada lebih dari 30 % pasien yang diobati, dan

meliputi ketulian, parestesia ekstremitas, kram otot dan kaku, kelelahan, dan distress prekordial.

Efek samping cenderung lebih sering dan berat pada pemberian dosis tinggi. Overdosis yang

memanjang dapat menyebabkan ergotism, meningkatnya gangren pada ibu jari dan jari. Ergotamin

tartrat sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan hipertensi berat atau dengan penyakit vaskular

perifer, jantung, otak atau gangguan ginjal atau fungsi hati, atau sepsis. Sebaiknya dihindari pada

ibu hamil, tetapi karena mempunyai sedikit efek oksitosik , maka obat ini dapat diberikan dengan

peringatan, jika terdapat indikasi.

Pada beberapa pasien, ketergantungan ergotamin menjadi suatu masalah.

Manifestasinya adalah terjadinya kembali sakit kepala setelah efek ergotamin menurun setelah

beberapa jam waktu pemberian. Hal ini dapat diatasi dengan periode putus obat. Pada masa itu,

nyeri kepala diobati dengan kodein (30-45 peroral) atau pentazosin (30-45 intramuskular), diberikan

dalam interval 4 jam, jika diperlukan.

Dihidroergotamin mesylate juga efektif dalam mengobati serangan migrain akut. Efek

farmakologiknya sama dengan ergotamine tartrat, walaupun efek vasokontriksinya kurang dan efek

reflek blocking adrenergik besar. Obat ini buruk diabsorbsi dari saluran pencernaan, oleh karena itu,

diberikan perenteral. Dosis awalnya diberikan secepat mungkin setelah adanya tanda serangan,

sebesar 1 mg intramuskular. Dosis yang sama dapat diberikan setiap jam, jika diperlukan, hingga
9
nyeri kepala menghilang, tetapi tidak melebihi 3 mg sehari. Pemberian dosis 0,3 mg intramuskular

dapat digunakan jika menginginkan efek yang cepat, tetapi dosis sebaiknya tidak melebihi 2 mg.

Overdosis akut dari ergotamin menyebabkan hipertensi atau hipotensi, koma, dan kejang. Pada

pengobatan overdosis dihidroergotamin, dapat digunakan vasodilator atau diazepam intramuskular

untuk mengatasi kejang. (Deborah S. King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a

Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

(3) Antiemetik

Terapi antiemetik tambahan berguna untuk mengatasi mual dan muntah yang sering

menyertai migraine. Dosis tunggal antiemetik seperti metoklopramide, klorpromazine,

prochlorperazine biasanya diberikan 15-30 menit sebelum pemberian obat migraine abortif.

Preparat supositoria juga dapat diberikan jika terjadi mual dan muntah yang berat. Metoklopramide

juga berguna untuk meningkatkan absorbsi dari saluran pencernaan selama serangan. (Deborah S.

King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

(4) Agonis reseptor serotonin

Agonis reseptor serotonin efektif dalam terapi migraine. Kelas pertama dari golongan ini

adalah sumatripan, dan generasi kedua adalah zolmitripan, naratripan, rizatripan, , almotripan,

frovatripan, dan eletriptan adalah agonis selektif dari reseptor 5- HT1B dan 5-HT1D. Mekanisme

kerjanya adalah menghambat pelepasan neuropeptida vasoaktif dari nervus trigeminal perivaskular

melalui stimulasi reseptor presinaptik 5- HT1D, mengganggu transmisi signal dalam nukleus

trigeminal batang otak melalui reseptor 5-HT1D, dan vasokontriksi pembuluh darah intrakranial

melalui stimulasi reseptor vaskular 5-HT1B.

Sumatripan adalah obat untuk terapi antimigraine yang secara luas sedang dipelajari.

Sumatripan subkutan mempunyai OOA yang cepat (10 menit) dibandingkan dengan preparat oral

(30 menit). Kira-kira 30 hingga 40 % pasien yang berrespon terhadap sumatripan mengalami nyeri

kepala rekuren dalam 24 jam. Hal ini dikarenakan waktu paruh obat yang pendek.

Generasi kedua tripan, mempunyai farmakokinetik dan farmakodinamik yang lebih baik jika
10
dibandingkan dengan sumatripan oral. Golongan ini mempunyai bioavailabilitas oral yang lebih

tinggi dan waktu paruh yang panjang jika dibandingkan dengan sumatripan. Frovatripan mempunyai

waktu paruh yang terpanjang, tetapi mempunyai OOA yang terpendek.

Efek samping dari triptan meliputi paresthesia, lemah, pusing, kulit kemerahan, sensasi

hangat, dan somnolence. (Deborah S. King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a

Pathophysiologic Approach, Sixth Edition)

Terapi pencegahan

Terapi untuk mencegah serangan migraine dilakukan pada pasien yang sering mendapat

serangan.

(1) NonSteroidal Anti-Inflammatory Drug (NSAID)

NSAID efektif menurunkan frekuensi, tingkat keparahan, dan durasi dari serangan migraine.

NSAID biasanya digunakan untuk mencegah nyeri yang biasa terjadi dengan pola tertentu seperti

nyeri selama menstuasi.. NSAID sebaiknya diberikan 1-2 hari sebelum onset terjadinya nyeri.

Mekanisme NSAID dalam mencegah nyeri terkait dengan penghambatan sintesis prostaglandin.

(Deborah S. King and Katherine C. Herdon, Pharmacotherapy, a Pathophysiologic Approach, Sixth

Edition)

(2) Antagonis β adrenergik

Propanolol adalah prototipe antagonis adrenergik β. Mekanisme pasti dari antagonis

adrenergik tidak begitu jelas, di duga dapat menaikkan ambang batas migraine dengan cara

memodulasi neurotransmisi adrenergik datau serotonergik pada jalur kortikal atau subkortikal

mencegah dilatasi arteri ekstrakranial, memblok pengambilan serotonin oleh platelet. Propanolol

secara adekuat diabsorbsi setelah pemberian oral. Kosentrasi plasma puncak terjadi setelah 1-2 jam

pemberian.

Dosis efektif propanolol dalam mencegah serangan migraine bervariasi antara 80-240 mg

sehari dengan rata-rata 160 mg. Terapi dimulai dengan 20 mg, dua kali sehari dan dosis dapat

11
ditingkatkan, jika diperlukan. Efek samping yang umum dari propanolol meliputi mual, kram

abdominal, diare, hipotensi postural, dan ngantuk. Dosis sebaiknya dipertahankan pada level dimana

denyut jantung kurang dari 60 setiap menitnya. Propanolol sebaiknya tidak digunakan pada pasien

dengan asma, penyakit paru obstruktif kronik, penyakit gagal jantung kongestif, gangguan konduksi

atrioventrikular, dan diabetes melitus.

(3) Methysergide

Methysergide adalah ergot alkaloid semisintetik yang berperan sebagai antagonis reseptor 5-

HT2 poten yang mampu menstabilkan neurotransmitter serotonergik pada sistem trigeminovaskular

dan menghambat inflamasi karena neurogenik serotonin. Methysergide diabsorbsi baik setelah

pemberian oral, kadar plasma puncak terjadi setelah 1-2 jam. Level plasma bervariasi antara 20-40

ng/ml selama pemeliharaan terapi dengan dosis yang umum. Methysergide menurunkan frekuensi

serangan pada kira-kira 60 % pasien yang diobati, Dosis methysergide sebaiknya ditingkatkan

perlahan dengan test 0,5 mg diawal untuk menghilangkan kecurigaan idiosinkrasi. Jika cocok, dosis

ditingkatkan 1 mg sehari, menjadi 1 mg, tiga kali sehari lalu menjadi 2 mg, 3 kali sehari. Biasanya

efektif dalam 1 atau 2 minggu. Jika tidak terlihat keuntungan yang didapat, itu artinya kecil

kemungkinan untuk melanjutkan pemberian methysergide. Jika efektif, pengobatan dilanjutkan

selama 6 bulan. Penghentian obat sebaiknya dilakukan bertahap dalam 2-3 minggu untuk mencegah

”rebound headache”. Komplikasi fibrotik meliputi fibrosis retoperitoneal menyebabkan sakit

punggung, , nyeri abdominal ; fibrosis pleuropulmonal menyebabkan nyeri dada atau dyspnea atau

fibrosis valvular jantung menyebabkan murmur jantung, kardiomegali, dan dyspnea. Setelah interval

bebas obat selama 1-2 bulan, obat dapat diberikan lagi selama 6 bulan.

Selama terapi methysergide, terjadi mual, ketidaknyamanan epigastrik, paresthesia, dan

kejang otot pada 45 % pasien yang diobati. Hal ini biasanya terlihat pada onset terapi dan menurun

atau menghilang seiring dengan berlanjutnya terapi atau menurunnya dosis. Kira-kira 10 % pasien

tidak dapat melanjutkan pengobatan karena efek samping. Supervisi yang ketat terhadap semua

pasien itu diwajibkan. Methysergide sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan ulkus peptik
12
aktif, hipertensi berat, iskemik jantung, penyakit vaskular perifer, trombophlebitis, penyakit renal

atau kehamilan.

(4) Amitriptilin

Amitriptilin merupakan obat profilaksis yang efektif pada migraine berdasarkan efek antidepresinya.

Amitriptilin menghambat ambilan kembali serotonin da norepinefrin neuron masuk ke terminal saraf

prasinaptik

2.3 Tension-type Headache

2.3.1 Epidemiologi

Tension-type headache merupakan jenis nyeri kepala yang paling sering, dengan prevalensi

63% pada pria dan 86% pada wanita selama waktu estimasi 1 tahun. Onset awal tension-type
13
headache terjadi pada masa dini kehidupan (40% pada usia <20 tahun), dan puncaknya pada usia 20

dan 50 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dewasa, dengan rasio wanita dan pria 4:3. Prevalensi

tension-type headache kronis(180 headache harian per tahun) diperkirakan 2%-3%. Walaupun 60%

penderita diperkirakan mengalami gangguan fungsional, tetapi hanya 16% penderita yang

memeriksakan dirinya.

2.3.2 Patofisiologi

Walaupun tension-type headache merupakan jenis nyeri kepala yang paling sering, tapi juga

merupakan jenis nyeri kepala yang paling akhir diteliti, dan terdapat pemahaman yang terbatas

tenang kunci konsep patofisiologinya. Rasa nyeri pada episode tension-type headache diperkirakan

berasal dari jaringan miofasial, walaupun mekanisme pusat juga terlibat. Aktivasi dari struktur

persepsi nyeri supraspinal diikuti oleh self-limiting headache sebagai respon modulasi sentral

terhadap stimulus perifer yang datang. Tension-type headache kronis dapat berkembang dari

tension-type headache episodik pada individu yang memiliki predisposisi yang disebabkan

gangguan proses nosiseptif pusat dan sensitisasi sistem saraf pusat.

2.3.3 Manifestasi klinis

Gejala awal dan aura tidak terdapat pada tension-type headache. Nyeri yang terjadi biasanya

intensitas ringan sampai sedang dan biasanya digambarkan sebagai rasa tumpul, sesak atau tekanan

nonpulsatil. Yang paling sering adalah nyeri bilateral, akan tetapi lokasinya dapat bervariasi

(biasanya frontal dan temporal, terkadang occipital dan parietal juga). Secara klasik rasa nyeri yang

terjadi digambarkan dengan pola “hatband”. Gejala-gejala lain yang berhubungan, secara umum

tidak ada tapi fotofobia dan fonofobia ringan pernah dilaporkan. Disabilitas yang diakibatkan

tension-type headache sangat sedikit jika dibandingkan dengan migrain, dan aktifitas fisik rutin

tidak memperberat rasa nyeri. Palpasi pada otot pericranial atau sevikal dapat menunjukkan bagian

lunak atau nodul yang terlokalisasi pada beberapa pasien. Tension-type headache diklasifikasikan

sebagai episodik (teratur atau tidak) atau kronis berdasarkan frekuensi dan lama serangan.

2.3.4 Penatalaksanaan
14
Sebagian besar penderita tension-type headache mengobati dirinya sendiri dengan

pengobatan over-the-counter dan tidak memeriksakan diri ke dokter. Saat pengobatan farmakologi

dan non farmakologi berkembang, analgesik yang simpel dan NSAID adalah terapi akut yang

utama.

1. Terapi non farmakologi

Terapi psikofisiologik dan terapi fisik talah dipakai dalam penanganan tension- type

headache. Terapi psikofisiologik dapat terdiri dari penenangan diri dan konseling, penanganan stres,

latihan relaksasi, dan biofeedback. Latihan relaksasi dan latihan biofeedback (sendiri maupun

kombinasi) dapat menghasilkan penurunan aktivitas nyeri sebanyak 50%. Fakta terapi-terapi fisik

yang mendukang, seperti heat atau cold packs, ultrasound, stimulus saraf elektrik, peregangan,

lahraga, pijatan, akupuntur, manipulasi, instruksi ergonomik, dan injeksi triger point atau blok saraf

oksipital, adalah tidak konsisten. Akan tetapi, pasien dapat beruntung dari terapi yang dipilih (cth

pijatan) selama episode akut tension-type headache.

2. Terapi farmakologi

Analgesik simpel (sendiri atau kombinasi dengan kafein) dan NSAID efektif untuk terapi

akut ringan sampai sedang. Asetaminofen, aspirin, ibuprofen, naproxen, ketoprofen, indometasin,

dan ketorolak telah menunjukkan efikasi pada kontrol plasebo dan studi perbandingan. Kegagalan

obat-obatan over-the-counter memerlukan terapi obat yang diresepkan. NSAID dosis tinggi dan

kombinasi aspirin atau asetaminofen dengan butalbital atau kodein merupakan pilihan yang efektif.

Penggunaan kombinasi butalbital dan kodein harus dihindarkan karena kemungkinan dapat terjadi

potensial tinggi dalam penggunaan yang berlebihan dan ketergangtungan. Seperti pada migrain,

medikasi akut harus diberikan untuk tension-type headache episodik tidak lebih dari 2 hari per

minggu untuk mencegah berkembangnya tension-type headache kronis. Tidak terdapat bukti yang

mensupport efikasi dari muscle relaxant (cth. Cyclobenzaprin, baclofen, dan methocarbamal) pada

penanganan tension-type headache episodik. Terapi preventif harus dipertimbangkan jika frekuensi

nyeri (lebih dari 2 minggu), durasi (lebih dari 3-4 jam), atau tingkat beratnya nyeri terjadi akibat
15
medikasi yang berlebihan dan disabilitas substansial. Prinsip terapi preventif pada untuk tension-

type headache sama dengan prinsip terapi pada migrain. TCA sering diresepkan sebagai profilaksis,

tetapi obat lain juga dapat digunakan setelah dipertimbangkannya kondisi medis komorbid dan sisi

efek sampingnya. Suntikan toxin botulinum ke dalam otot-otot pericranial telah menunjukkan

efikasi sebagai profilaksis tension-type headache kronis pada dua penelitian kontrol plasebo.

2.4 Cluster Headache

Cluster headache merupakan kelainan nyeri kepala yang paling berat, dengan ciri khas

serangan yang berat, nyeri kepala unilateral yang terjadi selama berminggu-minggu atau berbulan-

bulan (cluster periods) yang dipisahkan oleh periode remisi selama berbulan-bulan atau bertahun-

tahun (Deborah S.King and Katherine C.Herndon,Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach,

2005). Disebut juga Reader`s syndrom, histamin cephalgia, dan sphenopalatine neuralgia. Cluster

headache adalah nyeri kepala yang khas dan sindrom vaskular yang dapat disembuhkan. Yang

paling sering adalah tipe episodik dengan karakteristik satu sampai tiga kali serangan singkat nyeri

peri orbital per hari dalam 4-8 minggu, kemudian diikuti interval bebas nyeri rata-rata 1 tahun (Neil

H. Raskin, Harrison`s Principles of Internal Medicine, 2005). Tipe kronik, yang dimulai beberapa

tahun setelah pola episodik muncul, dengan karakteristik tidak adanya periode remisi. Masing-

masing tipe dapat berubah menjadi tipe lainnya.

2.4.1 Epidemiologi

Cluster headache dapat terjadi secara episodik atau kronik. Cluster headache termasuk jarang

terjadi diantara kelainan nyeri kepala primer lainnya, dengan prevalensi sekitar 0,4% pada pria dan

0,08% pada wanita. Tidak seperti migrain, penderita pria 4-7 kali lebih sering dbandingkan wanita.

Onset dapat terjadi pada semua umur tapi paling sering terjadi pada akhir 20 tahunan. Bukti terakhir

memperkirakan bahwa predisposisi genetik bisa terdapat pada sebuah keluarga.

2.4.2 Patofisiologi

Etiologi dan mekanisme patofisologi cluster headache tidak sepenuhnya dipahami. Sama

seperti migrain, nyeri kepala serangan cluster diperkirakan melibatkan aktivasi saraf
16
trigeminovaskular yang melepaskan neuropeptida vasoaktif dan mengakibatkan inflamasi

neurogenik steril. Adanya ciri khas lokasi nyeri kepala adalah implikasi sinus kavernosa sebagai

tempat proses inflamasi. Triger serangan cluster headache menyebabkan sistem trigeminovaskular

mengeluarkan mediator-mediator yang mengakibatkan rasa nyeri. Walau demikian mekanisme yang

mengaktivasi sistem trigeminovaskuler masih belum dipahami. Periodisitas dan regularitas serangan

bisa merupakan implikasi disfungsi hipotalamik dan menyebabkan perubahan ritme sirkadian pada

patogenesis cluster headache. Selama masa serangan cluster headache menunjukkan perubahan-

perubahan yang menginduksi hipotalamus pada kortisol, prolaktin, testosteron, hormon

pertumbuhan, -endorfin, dan melatonin. Studi neuroimaging menunjukkan bahwa selama serangan

cluster headache akut terdapat aktivasi area grisea hipotalamus ipsilateral. Area tersebut mungkin

merupakan ”driver” serangan cluster. Karena sistem serotonergik yang memodulasi aktivitas pada

hipotalamus dan saraf trigeminovaskular, 5-HT mungkin berperan pada patofisiologi cluster

headache. Hubungan cluster headache dengan hipoksia altitude tinggi, REM sleep, dan terapi

vasodilator, juga terapi inhalasi oksigen untuk abrtif serangan cluster, diperkirakan bahwa

hipoksemia mungkin berperan pada cluster headache.

2.4.3 Manifestasi klinis

Masa serangan terjadi berkelompok-kelompok selama 2minggu sampai 3 bulan pada

sebagian besar pasien, diikuti interval bebas nyeri yang panjang. Periode remisi kira-kira 2 tahun

tetapi rentang waktu yang pernah dilaporkan antara 2 bulan sampai 20 tahun. Sekitar 10% pasien

memiliki gejala-gejala kronis tanpa periode remisi. Serangan cluster headache terjadi pada malam

hari pada lebih dari 50% pasien. Serangan terjadi secara mendadak , dan mencapai puncak dengan

sangat cepat yang berlangsung selama 15-180 menit. Aura tidak terdapat pada cluster headache.

Nyeri yang terjadi sangat menyakitkan dan menusuk akan tetapi tidak berdenyut dan sering terjadi

unilateral pada orbita, supraorbital, dan temporal. Nyeri kepala ini berhubungan sistem otonom

konsisten dengan paresis sistem simpati dan parasimpatik yang overdrive. Pola ini diketahui dari sisi

nyeri dan termasuk injeksi konjungtiva, lakrimasi, dan hidung tersumbat atau rinorhea. Selama
17
periode sakit, serangan yang terjadi bisa sekali sehari sampai delapan kali sehari. Jika pasien

migrain berusaha mencari tempat yang sunyi dan gelap, pasien cluster headache umumnya bergerak

kesana kemari saat serangan terjadi dan dapat membenturkan kepala mereka ke benda-benda untuk

menghilangkan rasa sakit. Pasien pria biasanya memiliki riwayat perokok berat dan peminum

alkohol. Kriteria diagnostik untuk cluster headache terdapat pada sistem klasifikasi IHS.

2.4.4 Penatalaksanaan

Sama seperti pengobatan migrain, terapi cluster headache juga terbagi menjadi terapi abortif

dan terapi profilaksis. Terpai abortif untuk mengatasi serangan akut. Terapi profilaksis ditujukan

untuk memperpendek masa serangan cluster episodik, juga untuk mengurangi frekuensi dan

beratnya serangan baik pada cluster headache episodik maupun kronis. Terapi profilaktik dimulai

sejak dini pada periode cluster dan diberikan setiap hari sampai pasien bebas headache paling

lambat 2 minggu. Kemudian pengobatan diturunkan perlahan-lahan dan dapat dimulai lagi pada

periode serangan selanjutnya. Pasien cluster headache kronik membutuhkan pengobatan profilaksis

dalam jangka waktu panjang.

2.4.4.1 Terapi abortif

 Oksigen

Standar terapi cluster headache akut adalah inhalasi oksigen 100% dengan masker fasial 7-

10L/menit untuk 10-15 menit. Pemberian ulang mungkin dibutuhkan karena adanya rekurensi

karena pada beberapa pasien oksigen lebih untuk menghambat daripada menghentikan. Tidak ada

efek samping yang dapat terjadi.

 Derivat ergotamin

Dihidroergotamin iv dan im efektif menurunkan serangan akut cluster headache.Onset efek

terjadi dalam waktu 10 menit pada pemberian intravena. Pemberian intramuskular efektif dalam 30

menit. Pemberian dihidroergotamin iv berulang-ulang selama 3-7 hari dapat memcah siklus

frekuensi serangan cluster headache dengan efek samping minimal. Ergotamin tartrat juga efektif

menurunkan serangan cluster headache jika diberikan secara sublingual dan rektal, tapi
18
farmakokinetik preparat ini biasanya membatasi kemampuan klinisnya.

 Triptan

Sumatriptan subkutan dan intranasal dipertimbangkan aman dan efektif untuk cluster

headache akut. Sumatriptan telah digunakan selama setahun tanpa adanya laporan takifilaksis dan

toksisitas. Pemberian secara oral digunakan terbatas karena onset of action yang lama, akan tetapi

zolmitriptan oral efektif pada pasien cluster headache episodik dangan 69% pasien yang mengalami

penurunan rasa sakit dalam waktu 30 menit.

2.4.4.2 Terapi profilaksis

 Verapamil

Verapamil sebagai calcium channel blocker digunakan untuk pencegahan cluster headache,

efektif pada sekitar 70% pasien. Efek dari verapamil terlihat setelah penggunaan satu minggu. Dosii

efektif biasanya antara 240-360 mg/hari untuk serangan episodik, tapi dosis yang lebih tinggi

dibutuhkan untuk mengontrol cluster headache kronik.

 Lithium

Lithium karbonat efektif untuk serangan cluster headache episodik dan kronik, dimana efek

terapi terlihat pada minggu pertama terapi. Respon positif terlihat sampai 78% pasien cluster

headache dan sampai 63% pasien cluster headache kronis. Dosis yang biasa digunakan 600-900

mg/hari yang diberikan dalam dosis terbagi. Takifilaksis pada terapi lithium telah dilaporkan

kadang-kadang pada terapi yang diperpanjang. Kadar lithium plasma optimum untuk mencegah

cluster headache belum diketahui, akan tetapi efikasi telah dilaporkan relatif pada konsentrasi serum

rendah (0,3-0,8 mEQ/L)

Efek samping awal ringan dan termasuk tremor, lethargy, nausea, diare, dan abdominal

discomfort.

 Ergotamin

Ergotamin memiliki efektifitas yang sama seperti terapi abortif jika digunakan sebagai

profilaksis. Dosis tidur 2mg biasanya efektif untuk mencegah serangan nyeri nokturnal. Dosis
19
ergotamin harian 1-2 mg atau kombinasi dengan verapamil atau lithium efektif sebagai profilaksis

nyeri kepala pada pasien yang sulit disembuhkan oleh obat- obatan yang lain dengan resiko ergotism

yang kecil atau rebound headache.

 Methysergide

Pada pasien yang tidak respon terhadap terapi lain, methysergide 4 – 8 mg/hari dalam dosis

terbagi biasanya efektif dalam memperpendek cluster headache. Respon terhadap terapi biasanya

terjadi dalam satu minggu setelah pemberian obat pertama. Rata-rata respon pada pasien cluster

headache episodik mendekati 70%, tapi pasien cluster headache kronik kurang memberi respon.

 Corticosteroid

Corticosteroid digunakan pada cluster headache kronik yang sulit disembuhkan dengan

verapamil, lithium, ergotamine, dan methysergide atau kombinasi dari semuanya. Terapi dimulai

dengan prednisone 40 – 60 mg per hari dan diturunkan kira-kira selama tiga minggu. Kesembuhan

dapat dilihat dalam 1 sampai 2 hari dari terapi awal. Untuk menghindari komplikasi penggunaan

steroid, tidak digunakan untuk pengobatan jangka panjang. Nyeri kepala dapat kembali ketika terapi

dikurangi atau dihentikan.

 Obat-Obatan Lain

Terapi lain yang telah digunkan dalam menangani cluster headache akut termasuk lidocain

intranasal, capsaicin indranasal dan leuprolide indramuscular. Intervensi neorosurgical mungkin

dibutuhkan untuk pasiencluster headache kronik yang resistance terhadap semua terapi medis.

20
LI 1 MM Jaras Nyeri
Jaras spesifik Nyeri
 Traktus spinotalamikus Lateralis
o Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu posterius
substantia grissea medulla spinalis dan segera bercabang menjadi serabut yang naik dan yang
turun
o Sesudah memasuki satu atau dua segmen medulla spinalis membentuk tractus posterolateral
(lissaueri) , serabut ini segera bersinapsis dengan neuron orde kedua yang terletak pada
kelompok sel substantia gelatinosa cornu posterius
o Axon dari neuron orde kedua berjalan menyilang garis tengah pada comissura anterior
substantia grissea dam substantia alba kemudian naik keatas pada sisi kontra lateral sebagai
anterius. Sewaktu berjalan keatas, serabut saraf baru terus bertambah sesuai dengan
banyaknya segmen medulla spinalis, demikian rupa sehingga pada bagian atas cervical
terdapat
 Serabut sraf yang datang dari sacral terletak posterolateral
 Serabut saraf yang datang dari cervical terletak anteromedial (serebut saraf yang
menghantarkan rasa sakit terletak didepan yang menghantarkan sensasi suhu)
o Pada Medulla oblongata tractus tersebut terletak pada dataran lateral antara nucleus olivarius
inferius dengan nucleus tractus spinalis N.Trigeminus. disini ia bergabung dengan
 Tractus spinothalamicus anterius
 Tractus spinotectalis
Yang kemudian gabungan dari ketiganya disebut lemniscus spinalis
o Pada pons kemudian naik keatas dibagian belakang pons
o Pada mesencephalon kemudian lemniscus medialis berjalan pada tegmentum , lateralis dari
lemniscus medialis
o Pada diencephalon serabut saraf dari tractus spinothalamicus lateralis akan bersinapsis
dengan neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari keolompok ventral thalamus
(bagian dari nucleus lateralis thalamus), dimana disini akan terjadi penilaian kasar sensasi
sakit dan suhu dan reaksi emosi mulai timbul.
o Axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior capsula interna dan corona
radiata untuk berakhir pada gyrus postcentralis (brodmann 3 2 1) . dari sini informasi rasa
sakit dan suhu akan diteruskan ke area motorik dan area asosiasi di cortex lobus parietalis.
o Cortex cerevri gyrus psotcentralis berfungsi untuk menafsirkan suhu dan sakit sehingga akan
muncul kesadaran terkait sensasi tersbut.
o Pembagian secara fisiologis
Sewaktu memasuki medulla spinalis , sinyal rasa nyeri melewati dua jalur ke otak yaitu:
 Traktus neospinotalamikus
 Traktus neospinotalamikus berfungsi untuk menyalurkan nyeri secara cepat.
Terutama terdiri atas serabut A-Delta yang terutama dilalui oleh rasa nyeri
mekanik dan nyeri suhu akut. Serabut perifer jalur ini berakhir pada lamina I
kornu dorsalis. Dan dari sini akan merangsang neuron orde dua dari tractus
neospinotalamicus. Neuron ini akan mengirimkan sinyal ke serabut panjang
yang terletak di dekat sisi lain medulla spinalis dalam komisura anterior dan
selanjutnya berbelok naik ke otak dalam kolumna anterolateralis.

21
 Hanya sebagian kecil saja serabut neopinotalamikus berakhir di daerah
retikularis batang otak, sisaya melewati batang otak dan langsung berakir di
kompleks ventrobasal thalami.
 Nyeri cepat dapat dilokalisasi dengan mudah di dalam tubuh
 Neurotransmiter A delta umumnya adalah glutamat
 Traktus paleospinotalamikus
 Jalur ini befungsi untuk menjalarkan nyeri lambat-kronik , sebagian
serabutnya adalah tipe C, sebagian kecil A-delta. Dalam jaras ini, serabut-
serabut perifer berakhri pada lamina II dan II kornu dorsalis yang secara
bersama-sama disebut substansi gelatinosa, serabut C terletak lebih lateral dari
A-delta. Setelah itu akan berlanjut ke lamina V dan neuron-neuronnya
merangsang akson-akson panjang (yang juga menjadi penghantar nyeri cepat)
yang mula-mula melewati komisura anterior ke sisi berlawanan dari medulla
spinalis, kemudian naik ke otak melalui jaras anterolateral
 Neotransmiter nya adalah glutamat dan Substansi P, substansi P bersifat lebih
lambat dari Glutamat yang memungkinkan glutamat untuk sampai terlebih
dahulu. Yang menjelaskan suatu fenomena rasa sakit “ganda”
 Jaras paleospinotalamikus berakhir kebanyakan di
o Mucleus retikularis medula, pons dan mesensefalon
o Area tektal mesensefalon sampai kolukulus usperior dan inferior
o Daerah periakuaduktus substansia grisea yang mengelilingi aquaductus
sylvii
 Kemampuan lokalisasi rasa nyeri pada jalur lambat sangatlah buruk dan
kebanyakan hanya dapat dilokalisasi di bagian tubuh yang luas
 Formasio retikularis berfungsi untuk menimbulkan persepsio nyeri yang
disadari

Mekanisme penghantaran nyeri


Rasa nyeri merupakan suatu mekanisme perlindungan, yang dicetuskan oleh suatu kerusakan jaringan ,
yang akan memnyebabkan individu untuk bereaksi memindahkan stimulus nyeri.
Rasa nyari dapat dibagi atas
 Rasa nyeri cepat
o Rasa nyeri tertusuk, tajam, akut, dan tersetrum
 Rasa nyeri lambat
o Rasa nyeri terbakar lambat, pegal, berdenyut, mual dan kronik. Rasa nyeri ini umumnya
dikaitkan dengan kerusakan jaringan.

Reseptor nyeri
Reseptor nyeri merupakan ujung saraf bebas, terdapat tiga jenis stimulasi yang dapat merangsanganya
yaitu rangsang mekanis, suhu dan kimiawi. Pada umumnya rasa nyeri cepat diakibatkan mekanik dan suhu,
sedangkan rasa lambat diakibatkan stimulan kimia
Reseptor nyeri memiliki sedikit sekali kemampuan untuk beradaptasi , dan bahkan pada beberapa
keadaan dapat terjadi peningkatan intesitas rasa nyeri yang disebut hiperalgesia . intensitas rasa nyeri juga
berhubungan erat dengan derajat kerusakan jaringan. Ada beberapa stimulus terkait kerusakan jaringan
(bukan secara langsung, dapat timbul sebagai adanya kerusakan jaringan) yang dapat menyebabkan nyeri
 Bradikinin dari jaringan rusak yang menyebabkan pelepasan enzim proteolitik dan menyerang
langsung ujung saraf dengan membuat saraf lebih permeabel terhadap ion-ion 22
 Asam laktat yang terakumulasi sebagai akibat dari iskemia
Apapun bentuknya, pada nantinya hal tersebut akan menyebabkan perubahan permeabilitas neuron
sehingga dapat terjadi suatu potensial aksi dengan perpindahan ion-ion yang timbul.
Fisiologi nyeri melalui proses-proses berikut :
1. Proses Transduksi (Transduction)
Proses transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan
diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik (tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi
nyeri). Transduksi rasa sakit dimulai ketika ujung saraf bebas (nociceptors) dari serat C dan serat A delta neuron
aferen primer menanggapi rangsangan berbahaya. Nosiseptors terkena rangsangan berbahaya ketika kerusakan
jaringan dan inflamasi terjadi sebagai akibat dari, misalnya, trauma, pembedahan, peradangan, infeksi dan
iskemia.
Nociceptors didistribusikan pada ;
1. Struktur Somatik (kulit, otot, jaringan ikat, tulang, sendi);
2. Struktur Viseral (organ viseral seperti hati, saluran gastro-intestinal).
3. Serat C dan serat A-delta yang terkait dengan kualitas yang berbeda rasa sakit.
Ada tiga kategori rangsangan berbahaya:
1. Mekanik (tekanan, pembengkakan, abses, irisan, pertumbuhan tumor);
2. Thermal (membakar, panas);
3. Kimia (neurotransmitter rangsang, racun, iskemia, infeksi).
Penyebab stimulasi mungkin internal, seperti tekanan yang diberikan oleh tumor atau eksternal, misalnya,
terbakar. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan mediator kimia berbahaya dari sel-sel yang rusak, termasuk:
prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansi P, kalium, histamin. Mediator kimia ini mengaktifkan nosiseptor
terhadap rangsangan berbahaya. Dengan maksud memperbaiki rasa nyeri, pertukaran ion natrium dan kalium
(depolarisasi dan repolarisasi) terjadi pada membran sel. Hal ini menghasilkan suatu potensial aksi dan generasi
dari sebuah impuls nyeri.
2. Proses Transmisi ( Trasmision)
Proses tranmisi dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses transduksi.
Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron pertama, dari perifer ke
medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh traktus
sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris
di korteks serebri melalui neuron ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi
nyeri.
3. Proses Modulasi (Modulation)
Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh
tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior medula spinalis. Proses acendern ini di kontrol oleh otak.
Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki efek yang
dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan
sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbukanya pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik
endogen tersebut di atas. Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif
pada setiap orang. . Suatu jaras tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat
transmisi nyeri di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin
(Dewanto).
4. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat individu menjadi sadar akan nyeri,
maka akan terjadi reaksi yang kompleks.
a. Korteks somatosensori: Ini adalah terlibat dengan persepsi dan interpretasi dari sensasi. Ini
mengidentifikasi intensitas, jenis dan lokasi sensasi rasa sakit dan sensasi yang berkaitan
dengan pengalaman masa lalu, memori dan aktivitas kognitif. Ini mengidentifikasi sifat
stimulus sebelum memicu respons, misalnya, di mana rasa sakit itu, seberapa kuat itu dan
bagaimana rasanya.
23
b. Sistem limbik: Hal ini bertanggung jawab untuk respon emosi dan perilaku terhadap rasa
sakit misalnya, perhatian, suasana hati, dan motivasi, dan juga dengan pengolahan rasa
sakit,dan pengalaman masa lalu rasa sakit.

Reseptor Nyeri :
Aferen primer mencakup serat A-alfa dan A-beta yang besar dan bermielen serta membawa impuls yang besar
dan tidak bermielin ( tidak diperlihatkan ) serta membawa impuls yang memperantarai sentuhan, tekanan, dan
propriosepsi dan serat A-delta yang kecil bermielin dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls
nyeri. Aferen-aferen primer ini menyatu di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke zona lissauer, serat
pascaganglion simpatis adalah serat eferen dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.
Sensitasi Nosiseptor Di Daerah Cedera Jaringan
Pengaktifan langsung dengan tekanan intensif yang menyebabkan kerusakan sel. Kerusakan sel
menyebabkan dibebaskannya kalium ( K) intra sel dan sintesis prostaglandin (PgG) dan bradikinin (BK.
Prostaglandin meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri bradikinin, yaitu zat kimia penghsil nyeri yang paling
kuat.

Jalur-Jalur Nyeri :
A. Serat nyeri A-delta halus dan C, yang masing-masing membawa nyeri akut tajam dan kronik-
lambat, bersinaps di substansia gelatinosa tanduk dorsal, memotong medullaspinalis, dan naik ke otak di
cabang neospinotalamikus atau cabang paleospinotalamikus traktus spinotalamikus, yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer a-delta, bersinaps di nucleus vebtroposterolateralis (VPN) thalamus dan
melanjutkan diri secara langsung ke korteks somatosensorik girus postsentralis, tempat nyeri
dipersepsikan sebagai sensasi tajam dan berbatas tegas. Cabang paleospinotalamikus, yang terutama
diaktifkan oleh aferen perifer C, adalah suatu jalur difus yang mengirim kolateral-kolateral ke formatio
retikularis batang otak dan struktur lain, yang merupakan asal dari serat-serat lain, berjalan ke thalamus.
Serat- serat ini memengaruhi hipotalamus dan system limbic serta korteks serebrum.

B. Serat nyeri C aferen bersinaps terutama di substansia gelatinosa ( lamina I dan II) kornu dorsalis,
sedangkan serat nyeri A delta terutama bersinaps di lamina I dan V.

Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia (substansi P, bradikinin,
prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari
daerah yang terluka ke otak. Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di
sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima sinyal dari seluruh tubuh).
Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri,
dan sentuhan pertama kali dipersepsikan. Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi nyeri
dipersepsikan.
Ada beberapa skala penilaian nyeri pada pasien sekarang ini :
1. Wong-Baker Faces Pain Rating Scale:

Skala dengan enam gambar wajah dengan ekspresi yang berbeda, dimulai dari senyuman sampai menangis
karena kesakitan. Skala ini berguna pada pasien dengan gangguan komunikasi, seperti anak-anak, orang tua,
pasien yang kebingungan atau pada pasien yang tidak mengerti dengan bahasa lokal setempat.

2. Verbal Rating Scale (VRS)

Pasien ditanyakan tentang derajat nyeri yang dirasakan berdasarkan skala lima poin ; tidak nyeri, ringan,
sedang, berat dan sangat berat.
24
3. Numerical Rating Scale (NRS)

Pertama sekali dikemukakan oleh Downie dkk pada tahun 1978, dimana pasien ditanyakan tentang derajat
nyeri yang dirasakan dengan menunjukkan angka 0 – 5 atau 0 – 10, dimana angka 0 menunjukkan tidak ada
nyeri dan angka 5 atau 10 menunjukkan nyeri yang hebat.

4. Visual Analogue Scale (VAS)

Skala yang pertama sekali dikemukakan oleh Keele pada tahun 1948 yang merupakan skala dengan garis lurus
10 cm, dimana awal garis (0) penanda tidak ada nyeri dan akhir garis (10) menandakan nyeri hebat. Pasien
diminta untuk membuat tanda digaris tersebut untuk mengekspresikan nyeri yang dirasakan. Penggunaan skala
VAS lebih gampang, efisien dan lebih mudah dipahami oleh penderita dibandingkan dengan skala lainnya.
Penggunaan VAS telah direkomendasikan oleh Coll dkk karena selain telah digunakan secara luas, VAS juga
secara metodologis kualitasnya lebih baik, dimana juga penggunaannya realtif mudah, hanya dengan
menggunakan beberapa kata sehingga kosa kata tidak menjadi permasalahan. Willianson dkk juga melakukan
kajian pustaka atas tiga skala ukur nyeri dan menarik kesimpulan bahwa VAS secara statistik paling kuat
rasionya karena dapat menyajikan data dalam bentuk rasio. Nilai VAS antara 0 – 4 cm dianggap sebagai tingkat
nyeri yang rendah dan digunakan sebagai target untuk tatalaksana analgesia. Nilai VAS > 4 dianggap nyeri
sedang menuju berat sehingga pasien merasa tidak nyaman sehingga perlu diberikan obat analgesic penyelamat
(rescue
analgetic).

LI 3 MM Nyeri Somatoform
LO 3.1 Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai contohnya, nyeri,
mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang adekuat. Gejala dan keluhan somatik
adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan
pada kemampuan pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan
somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk
onset, keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang
disadari atau gangguan buatan.

LO 3.2 Etiologi
Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang. mempunyai tujuan tertentu. Pada
beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini. Selain itu, dihubungkan pula dengan
adanya penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non
dominan .
Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut.
a. Faktor-faktor Biologis
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada
gangguan somatisasi).
b. Faktor Lingkungan Sosial
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran
sakit” yang dapat diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
c. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
−Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari
situasi yang tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan
sekunder).
−Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”
25
−Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau
gangguan dismorfik tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan
keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
d. Faktor Emosi dan Kognitif
Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab
ganda yang terlibat adalah sebagai berikut:
−Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda
dari adanya penyakit serius (hipokondriasis).
−Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impuls-
impuls yang tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik
(gangguan konversi).
−Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin
merupakan suatu strategis elf-handicaping (hipokondriasis).

LO 3.3 Klasifikasi
Ada 5 gangguan somatoform yang spesifik yaitu :
1. Gangguan konversi
Merupakan bentuk perubahan yang mengakibatkan adanya perubahan fungsi fisik yang tidak dapat dilacak
secara medis. Gangguan ini muncul dalam konflik atau pengalaman traumatik yang memberikan keyakinan
akan adanya penyebab psikologis.
2. Hipokondriasis
Terpaku pada keyakinan bahwa dirinya menderita penyakit yang serius. Ketakukan akan adanya penyakit terus
ada meskipun secara medis telah diyakinkan. Sensasi atau rasa nyeri fisik biasanya sering diasosiasikan dengan
gejala penyakit kronis tertentu.
3. Gangguan somatisasi
Keluhan fisik yang muncul berulang mengenai simptom fisik yang tidak ada dasar organis yang jelas.
Gangguan ini menyebabkan seseorang untuk melakukan kunjungan medis berkali-kali atau menyebabkan
hendaya yang signifikan dalam fungsi.
4. Gangguan dismorfik tubuh
Terpaku pada kerusakan fisik yang dibayangkan atau berlebih-lebihan. Menganggap orang tidak
memperhatikannya karena kerusakan tubuh yang dimilikinya (dipersepsikannya). Gangguan ini akan membawa
seseorang pada perilaku komplusif seperti berulang-ulang berdandan, dll.
5. Gangguan nyeri
Gejala utamanya adalah adanya nyeri pada satu atau lebih tempat yang tidak sepenuhnya disebabkan oleh
kondisi medis atau neurologis nonpsikiatris, disertai oleh penderitaan emosional dan gangguan fungsional dan
gangguan memiliki hubungan sebab yang masuk akal dengan factor psikologis.

LO 3.4 Diagnosis dan Diagnosis Banding


Kriteria diagnostik untuk Gangguan Somatisasi
A. Riwayat banyak keluhan fisik yang dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama periode beberapa tahun
dan membutuhkan terapi, yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi
penting lain.

B. Tiap kriteria berikut ini harus ditemukan, dengan gejala individual yang terjadi pada sembarang waktu selama
perjalanan gangguan:

1. Empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berhubungan dengan sekurangnya empat tempat atau fungsi yang
berlainan (misalnya kepala, perut, punggung, sendi, anggota gerak, dada, rektum, selama menstruasi,
selama hubungan seksual, atau selama miksi)

2. Dua gejala gastrointestinal: riwayat sekurangnya dua gejala gastrointestinal selain nyeri (misalnya mual,
kembung, muntah selain dari selama kehamilan, diare, atau intoleransi terhadap beberapa jenis makanan)
26
3. Satu gejala seksual: riwayat sekurangnya satu gejala seksual atau reproduktif selain dari nyeri (misalnya
indiferensi seksual, disfungsi erektil atau ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi
berlebihan, muntah sepanjang kehamilan).

4. Satu gejala pseudoneurologis: riwayat sekurangnya satu gejala atau defisit yang mengarahkan pada
kondisi neurologis yang tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi seperti gangguan koordinasi atau
keseimbangan, paralisis atau kelemahan setempat, sulit menelan atau benjolan di tenggorokan, afonia,
retensi urin, halusinasi, hilangnya sensasi atau nyeri, pandangan ganda, kebutaan, ketulian, kejang; gejala
disosiatif seperti amnesia; atau hilangnya kesadaran selain pingsan).

C. Salah satu (1)atau (2):

1. Setelah penelitian yang diperlukan, tiap gejala dalam kriteria B tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh
sebuah kondisi medis umum yang dikenal atau efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera,
medikasi, obat, atau alkohol)

2. Jika terdapat kondisi medis umum, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan dan riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, atau
temuan laboratorium.

D. Gejala tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti gangguan buatan atau pura-pura).

Kriteria diagnostik untuk Gangguan Konversi


A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mengenai fungsi motorik volunter atau sensorik yang mengarahkan pada
kondisi neurologis atau kondisi medis lain.

B. Faktor psikologis dipertimbangkan berhubungan dengan gejala atau defisit karena awal atau eksaserbasi gejala
atau defisit adalah didahului oleh konflik atau stresor lain.

C. Gejala atau defisit tidak ditimbulkkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-
pura).

D. Gejala atau defisit tidak dapat, setelah penelitian yang diperlukan, dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis
umum, atau oleh efek langsung suatu zat, atau sebagai perilaku atau pengalaman yang diterima secara kultural.

E. Gejala atau defisit menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial,
pekerjaan, atau fungsi penting lain atau memerlukan pemeriksaan medis.

F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak terjadi semata-mata selama perjalanan
gangguan somatisasi, dan tidak dapat diterangkan dengan lebih baik oleh gangguan mental lain.
Sebutkan tipe gejala atau defisit:
Dengan gejata atau defisit motorik
Dengan gejala atau defisit sensorik
Dengan kejang atau konvulsi
Dengan gambaran campuran

Kriteria Diagnostik untuk Hipokondriasis


A. Pereokupasi dengan ketakutan menderita, atau ide bahwa ia menderita, suatu penyakit serius didasarkan pada
interpretasi keliru orang tersebut terhadap gejalagejala tubuh.

B. Perokupasi menetap walaupun telah dilakukan pemeriksaan medis yang tepat dan penentraman.

C. Keyakinan dalam kriteria A tidak memiliki intensitas waham (seperti gangguan delusional, tipe somatik) dan
tidakterbatas pada kekhawatiran tentang penampilan (seperti pada gangguan dismorfik tubuh). 27
D. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara kilnis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lain.

E. Lama gangguan sekurangnya 6 bulan.

F. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan kecemasan umum, gangguan obsesif-kompulsif,
gangguan panik, gangguan depresif berat, cemas perpisahan, atau gangguan somatoform lain.

Sebutkan jika: Dengan tilikan buruk: jika untuk sebagian besar waktu selama episode berakhir, orang tidak menyadari
bahwa kekhawatirannya tentang menderita penyakit serius adalah berlebihan atau tidak beralasan.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Dismorfik Tubuh


A. Preokupasi dengan bayangan cacat dalam penampilan. Jika ditemukan sedikit anomali tubuh, kekhawatiran orang
tersebut adalah berlebihan dengan nyat.

B. Preokupasi menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan,
atau fungsi penting lainnya.

C. Preokupasi tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya, ketidakpuasan dengan bentuk
dan ukuran tubuh pada anorexia nervosa).

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Nyeri


A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis merupakan pusat gambaran klinis dan cukup parah untuk memerlukan
perhatian klinis.

B. Nyeri menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lain.

C. Faktor psikologis dianggap memiliki peranan penting dalam onset, kemarahan, eksaserbasi atau bertahannnya
nyeri.

D. Gejala atau defisit tidak ditimbulkan secara sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-
pura).

E. Nyeri tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mood, kecemasan, atau gangguan psikotik dan tidak
memenuhi kriteria dispareunia.

Tuliskan seperti berikut: Gangguan nyeri berhubungan dengan faktor psikologis: faktor psikologis dianggap memiliki
peranan besar dalam onset, keparahan, eksaserbasi, dan bertahannya nyeri.
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih
Gangguan nyeri berhubungan baik dengan faktor psikologls maupun kondisi medis umum
Sebutkan jika:
Akut: durasi kurang dari 6 bulan
Kronis: durasi 6 bulan atau lebih
Catatan: yang berikut ini tidak dianggap merupakan gangguan mental dan dimasukkan untuk mempermudah diagnosis
banding.

Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak Digolongkan


A. Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)

B. Salah satu (1)atau (2)


28
1. Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang
diketahui atau oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau alkohol)

2. Jika terdapat kondisi medis umum yang berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan
yang ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, atau temuan laboratonium.

C. Gejala menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.

D. Durasi gangguan sekurangnya enam bulan.

E. Gangguan tidak dapat diterangkan lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform,
disfungsi seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan psikotik).

F. Gejala tidak ditimbulkan dengan sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)

LO 3.5 Tatalaksana
Bagan pengobatan keseluruhan
Gangguan Tujuan pengobatan Strategi dan teknik Strategi dan teknik
somatoform psikoterapi dan farmakologikal dan fisik
psikososial
1. mencegah adopsi
dari rasa sakit,
invalidasi (tidak
membenrakan
pemikiran/meyakinkan
nahwa gejala hanya
ada dlam pikiran tidak
untuk kehidupan nyata
2. meminimalisir biaya 1. pengobatan yang
dan komplikasi dengan konsisiten, ditangani
menghindari tes-tes oleh dokter yang sama
diagnosis, treatment, 2. buat jadwal regular
dan obat-obatan yang ddengan interval waktu
tidak perlu kedatangan yang
3. melakukan kontrol memadai
farmakologis terhadap 3. memfokuskan terapi 1. diberikan hanya bila
sindrom comorbid secara gradual dari indikasinya jelas
(memperparah gejala ke personal dan 2. hindari obat-obatan yang
kondisi) ke masalah sosial bersifat addiksi
Gangguan 1,2,3 1,2,3 1,2
somatisasi - anti anxietas dan
antidepressan
Gangguan 1,2,3 1,2,3 1 dan 2
somatisasi tak - obat anti anxietas dan anti
terperinci depresan (jika perlu)
hipokondriasi 1,2,3 1,2,3 2
Therapi kognitiv- Usahakan untuk
behaviour mengurangi gejala
hipokondriacal dengan
SSRI (Fluoxetine 60-80
mg/ hari)
dibandingkan dengan obat
29
lain
Gangguan 1,2,3 1,2,3 1 dan 2
nyeri menetap Jika nyeri nya akut (< Nyeri kronik : Akut : acetaminophen dan
6 bulan), tambahkan pertimbangkan terapi NSAIDS (tidak dicampur)
obt simptomatik untuk fisik dan pekerjaan, atau sebagai yambahan pda
gejala yang timbul serta terapi kognitif- opioid
Jika nyeri bersifat behavioural Kronik : Trisiklik anti
kronik (>6 bulan ), depresan, acetaminophen
fokus pada dan NSAID
pertahankan fungsi Pertimbangkan
dan motilitas tubuh akupunnktur
daripada fokus pada
penyembuhan nyeri
Gangguan 1,2,3 Akut : yakinkan, sugesti 1 dan 2
konversi pasien untuk Pertimbangkan
mengurangi gejala narcoanalisis (sedative
Pertimbangkan hipnotic)
narcoanalisis (sedativ
hipnotis), hipnoterapi,
behavioural terapi
Kronik : 1,2, dan 3
Eksplorasi lebih lanjut
mengenai konflik yang
bersifat unterpersonal
pada pasien
Gangguan 1,2,3 1,2,3 2
dismorfik Khususnya Terapi kognitif- Usahakan untuk
tubuh menghindari behavioural mengurangi gejala
pembedahan hipokondriacal dengan
SSRI (Fluoxetine 60-80
mg/ hari)
dibandingkan dengan obat
lain
(Sumber dari DSM IV)
Terapi kognitif-behavioural, untuk mengurangi pemikiran atau sifat pesimis pada pasien. Teknik behavioral, terapis
bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform, membantu orang tersebut belajar dalam
menangani stress atau kecemasan dengan cara yang lebih adaptif. Terapi kognitif, terapis menantang keyakinan klien yang
terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dengan cara meyemangati mereka untuk mengevaluasi keyakinan mereka
dengan bukti yang jelas.
Gangguan somatisasi ditatalaksana dengan ikatan terapeutik, perjanjian teratur, dan intervensi krisis.
Penatalaksanaan untuk gangguan konversi adalah sugesti dan persuasi dengan berbagai teknik. Strategi penatalaksanaan
pada hipokondriasis meliputi pencatatan gejala, tinjauan psikososial, dan psikoterapi.
Gangguan dismorfik tubuh diterapi dengan ikatan terapeutik, penatalaksanaan stres, psikoterapi, dan pemberian
antidepresan.
Terapi pada gangguan nyeri mencakup ikatan terapeutik, menentukan kembali tujuan terapi, dan pemberian antidepresan.

LO 3.6 Pencegahan
Pertama, mulai berolah raga dengan baik dan teratur serta menjaga pola makan dengan asupan gizi yang
seimbang. Hal ini berguna untuk menjaga metabolism tubuh. Sehingga menjadi prima.
Kedua, Apabila gangguan serangan cemas akan rasa sakit menyerang, katakan pada diri anda stop, lalu lakukan
relaksi dengan cara mengatur aliran nafas anda.
Ketiga, Lakukan lah medical check up 1 tahun 1 kali, secara rutin. Dengan harapan dapat mengetahui kondisi
fisikyang sebenarnya (membuat anda tenang), dan melakukan langkah pencegahan jika ditemukan penyakit
dalam diri.
Self talk “Tubuh saya sehat, dan saya baik-baik saja”. (katakan pada diri anda, setiap hari saat anda bercermin
30
setiap saat, dan katakan juga “indahnya hari ini, saya bersyukur karena tuhan masih mengijinkan saya
menikmati setiap karuniaNya”

LO 3.7 Prognosis
Prognosis pada gangguan somatoform sangat bervariasi, tergantung umur pasien dan sifat gangguannya (kronik
atau episodik). Umumnya, gangguan somatoform prognosisnya baik, dapatditangani secara sempurna. Sangat
sedikit sekali yang mengalami eksarsebasi, dapat bervariasidari mild-severe dan kronis. Pengobatan yang lebih
awal dan menjadikan prognosis menjadilebih baik. Secara independen tidak meningkatkan risiko kematian.
Kematian lebih disebabkankarena upaya bunuh diri. (Kaplan, 1999)

LI 4 MM Prinsip Keluarga Sakinah, Mawaddah, Warahmah


Sakinah mawaddah warahmah.
Kata “Sakinah”. Sakinah merupakan pondasi dari bangunan rumah tangga yang sangat penting. Tanpanya,
tiada mawaddah dan warahmah. Sakinah itu meliputi kejujuran, pondasi iman dan taqwa kepada Allah SWT.
Dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa suatu saat, akan banyak orang yang saling berkasih sayang di dunia,
tetapi di akhirat kelak mereka akan bermusuhan, menyalahkan dan saling melempar tanggung jawab. Kecuali
orang-orang yang berkasih sayang dilandasi dengan cinta kepada Allah SWT. Kata adalah mawaddah.
Mawaddah itu berupa kasih sayang. Setiap mahluk Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai
manusia. Dalam konteks pernikahan, contoh mawaddah itu berupa “kejutan” suami untuk istrinya, begitu pun
sebaliknya. Misalnya suatu waktu si suami bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah, menyiapkan sarapan
untuk anak-anaknya. Dan ketika si istri bangun, hal tersebut merupakan kejutan yang luar biasa.
Kata terakhir adalah warahmah. Warahmah ini hubungannya dengan kewajiban. Kewajiban seorang suami
menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik, dan memberikan contoh yang baik. Kewajiban seorang istri untuk
mena’ati suaminya. Intinya warahmah ini kaitannya dengan segala kewajiban.
Cara membina keluarga sakinah mawadah warahmah
Menciptakan keluarga bahagia sakinah mawaddah adalah merupakan bagian dari tujuan adanya pernikahan
dalam Islam. Selain daripada hal tersebut tujuan manfaat pernikahan adalah merupakan bagian dari mengikuti
sunnah Rasulullah SAW yang merupakan panutan kita dalam kehidupan dunia maupun akhirat.
Yang dimaksud dengan pengertian keluarga adalah merupakan kelompok paling kecil di dalam sebuah
masyarakat,sekurang kurangnya dianggotai oleh suami dan istri atau ibu bapak dan anak-anak. Dan ini adalah
asas pembentukan sebuah masyarakat. Fungsi keluarga adalah sebagai fungsi reproduktif, fungsi ekonomi,
protektif, edukatif, rekreatif.
Keluarga sakinah dalam kaidah Bahasa Indonesia sakinah mempunyai arti kedamaian, ketentraman,
ketenangan, kebahagiaan. Jadi keluarga sakinah mengandung makna keluarga yang diliputi rasa damai,
tentram. Dan merupakan kondisi yang sangat ideal dalam sebuah kehidupan keluarga yang terbentuk
berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah.
Tujuan pernikahan dalam Islam telah Allah terangkan dalam Al-Qur,an yaitu dalam surat (QS.Ar-Ruum
[30]:21) yang artinya :"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu
rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang
berfikir."
Cara membina keluarga bahagia sakinah mawadah warahmah dalam naungan Islam yaitu diantaranya :
1. Rumah Tangga Dibangun Dan Didirikan Berlandaskan Al-Qur'an Dan Sunnah Nabi.

Asas serta niat awal ketika merintis sebuah keluarga dalam bentuk pernikahan yang syah baik dalam agama
maupun sah di dalam aturan negara dalam rangka pembentukan sebuah keluarga sakinah ialah rumah tangga
yang dibina atas landasan taqwa, berpandukan Al-Quran dan Sunnah dan bukannya atas dasar cinta semata-
mata.
2. Membentuk Rumah Tangga Untuk Menciptakan Kasih Sayang (Mawaddah Warahmah).

Ini adalah merupakan cara membina keluarga bahagia dan sakinah selanjutnya. Tanpa adanya 'al-mawaddah'
serta 'al-Rahmah', maka sebuah masyarakat tidak akan dapat hidup dengan tenang dan aman terutamanya dalam
31
lingkup kecil sebuah keluarga. Dua hal ini merupakan pilar penting yang diperlukan karena sifat kasih sayang
yang wujud dalam sebuah rumah tangga dapat melahirkan sebuah masyarakat yang bahagia, saling
menghormati, saling mempercayai dan saling tolong-menolong dalam kebaikan. Tanpa kasih sayang, sebuah
perkawinan akan hancur, kebahagiaan hanya akan menjadi impian semua saja. Dan ini adalah termasuk ciri
kriteria keluarga bahagia sakinah mawaddah.
3. Bersyukur Telah Dikaruniai Pasangan Hidup.

Mensyukuri nikmat Allah adalah merupakan kewajiban bagi tiap hamba-hambaNya. Karena tidak sedikit
manusia yang sampai akhir hayatnya tidak mempunyai pasangan hidup. Mensyukuri ini juga artinya kita siap
dengan kelebihan dan kekurangan pasangan hidup kita. Apapun itu. Karena pada umumnya ketika berkenalan
dulu kita hanya mengenal akan kebaikan-kebaikan dari pasangan kita. Setelah kita mengarungi bahtera rumah
tangga lambat laun kita juga akan mengetahui kekurangan pada istri atau suami kita. Tetapi italh rumah tangga,
saling melengkapi satu sama lain dan menutupi kekurangan satu sama lain.

4. Memilih Kriteria Suami atau Istri Yang Tepat.

Ini dilakukan sebelum masa pernikahan dimulai. Agar terciptanya keluarga yang sakinah, maka dalam
menentukan kriteria suami maupun istri haruslah tepat. Diantara kriteria tersebut misalnya beragama islam dan
shaleh maupun shalehah, berasal dari keturunan dan keluarga yang kita percayai yang baik-baik, mempunyai
akhlak mulia, sopan santun dan bertutur kata yang baik. Ini juga yang harus dilakukan dalam rangka untuk
sebagai cara menciptakan keluarga sakinah mawaddah warahmah pertama kalinya.

5. Menjalankan Kewajiban dan Hak Sebagai Suami Dan Istri Dengan Baik.

Dala Islam telah banyak diajarkan bagaimana hak seorang istri, kewajiban seorang istri. Apa saja yang menjadi
bagian dari sebuah kewajiban seorang suami, apa hak-hak suami dalam rumah tangga. Bila kesemuanya bisa
dijalankan dengan baik maka hal ini bisa menjadi jalan untuk menciptakan keluarga harmonis dalam sebuah
lingkungan masyarakat

32

Anda mungkin juga menyukai