Anda di halaman 1dari 31

TUGAS PSIKOLOGI PERKEMBANGAN

CARIYONO, M.Si

DISUSUN OLEH

AULIA SAFITRI

PGMI 1
1. PERKEMBANGAN BAHASA PADA ANAK

Perkembangan bahasa anak dimulai sejak saat ia dilahirkan. Meski pada waktu itu si
Kecil belum dapat mengutarakan kata-kata, melalui tangisan, ekspresi wajah, dan
gerakkan, ia berusaha menjalin komunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.

Setelah melewati fase bayi, perkembangan bahasa anak usia dini berlangsung
semakin pesat. Mam pun akan melihat betapa menakjubkan peningkatan kemampuan si
Kecil dalam berbahasa maupun berkomunikasi. Secara umum, perkembangan bahasa
anak dibagi menjadi dua tahap, yaitu:

1. Tahap pralinguistik

Tahap ini berlangsung pada fase bayi. Si Kecil berusaha melakukan komunikasi dengan
Mam dan orang-orang di sekitarnya dengan cara menangis, menjerit, dan tertawa.
Kemampuan ini akan meningkat dengan bentuk komunikasi yang lebih verbal, yaitu ia
mulai dapat mengoceh meski kata-kata yang ia ingin ucapkan masih belum jelas.

2. Tahap linguistik

Ini adalah fase si Kecil belajar berbicara. Pada tahap ini, anak sudah dapat mengucapkan
kata-kata dengan baik seperti orang dewasa. Ia juga sudah dapat merangkai banyak
kata dalam satu kalimat.

Periode kritis perkembangan kemampuan berbahasa anak terjadi pada tahap usia dini,
yakni sejak ia lahir sampai berusia 6 tahun. Berikut perkembangan bahasa anak usia
dini berdasarkan tahapan usia:

0-12 bulan

Si Kecil sudah dapat merespons suara, menunjukkan ketertarikan sosial terhadap wajah
dan orang, babbling (mengulang konsonan/vokal), memahami perintah verbal, dan
mampu menunjuk ke arah yang diinginkan. Umumnya, bayi mulai dapat berucap usia
10-16 bulan, setelah sebelumnya ia banyak mengoceh. Biasanya, kata-kata yang
pertama kali diucapkan si Kecil adalah nama atau panggilan orang-orang di sekitarnya.

1-2 tahun

Si Kecil sudah bisa memproduksi dan memahami kata-kata tunggal, mampu menunjuk
bagian-bagian tubuh, dan perbendaharaan katanya meningkat pesat. Si Kecil mulai
memahami makna di balik pernyataan maupun instruksi sederhana seperti “lempar
bola”, “ambil mainan”, dan “tepuk tangan”. Menurut para ahli, rata-rata bayi mengalami
“ledakan bahasa” di usia 19-20 bulan. Pada saat ini, anak bisa mempelajari kata-kata
baru hingga sembilan kata per hari.

2-3 tahun

Si Kecil mampu memahami percakapan yang familiar (misalnya oleh keluarga), mampu
melakukan percakapan melalui tanya-jawab, dan mampu bertanya “kenapa”. Ia juga
sudah mampu mengucapkan kalimat yang terdiri atas dua kata atau lebih, seperti “ndak
mau”, “tan pue” (makan kue), “patu” (apa itu), meski pengucapannya belum sempurna.

3-4 tahun

Seiring meningkatnya keterampilan si Kecil dalam bersosialisasi, kemampuan


berbicaranya pun semakin membaik. Pemahaman kosakatanya semakin luas. Ia telah
mampu memahami konsep-konsep warna, bentuk, ukuran, peristiwa, rasa, tekstur, dan
bau.

Pada usia ini, si Kecil senang berkomunikasi dengan teman atau anak lain seusianya. Ia
juga memiliki rasa ingin tahu yang besar, sehingga sering mengajukan berbagai
pertanyaan, seperti “Apa ini?”, “Kenapa begini?”, “Dari mana datangnya ini?”, dan lain-
lain.

4-5 tahun

Kemampuan bicara anak usia 4-5 tahun hampir sama dengan orang dewasa. Pada usia
ini, si Kecil sudah bisa membedakan kata kerja dan kata ganti, seperti makan, minum,
mandi, dan tidak mau. Hal yang mungkin juga menakjubkan bagi Mam, si Kecil kini
sudah bisa memberikan kritik, mengajukan banyak pertanyaan, bahkan menyuruh atau
memberi tahu.

5-6 tahun

Pada usia ini, perkembangan bahasa anak sudah sangat kompleks. Ia sudah bisa
memahami bahwa bahasa bukan sekadar ucapan, tetapi mengandung makna yang lebih
luas. Melalui bahasa, si Kecil dapat menyatakan pendapatnya; mengekspresikan
keinginan, penolakan, dan kekagumannya; berinteraksi dengan teman-teman
sebayanya, dan berimajinasi.

Mam perlu mengetahui bahwa kemampuan berbahasa si Kecil dapat menjadi salah satu
indikator perkembangan keseluruhan anak. Melalui kemampuan berbahasa si Kecil,
Mam dapat mendeteksi keterlambatan ataupun kelainan pada sistem lain, seperti
kemampuan kognitif, sensorimotor, psikologis, emosi, dan lingkungan di sekitar anak.
Dalam hal ini, deteksi dini sangatlah penting agar intervensi atau penatalaksanaan
stimulasi dapat segera dilakukan.
Bila Mam mencurigai si Kecil mengalami keterlambatan berbicara, misalnya karena ia
terlalu sering diam atau jarang mengoceh, segeralah berkonsultasi dengan dokter.
Terlambat bicara juga bisa menjadi tanda dari beberapa kondisi, seperti gangguan
pendengaran, autisme, keterbelakangan mental, bilingual, dan gangguan perkembangan
multisistem.

6-12 tahun

Anak-anak pada usia sekolah dasar merupakan masa perkembangan pesatnya


kemampuan mengenal dan menguasai perbendaharaan kata (vocabulary). Pada awal
usia anak, anak sudah menguasai sekitar 2.500 kata dan pada masa akhir, usia11-12
tahun telah dapat menguasai sekitar 50.000 kata. Dengan dikuasainya keterampilan
membaca dan berkomunikasi dengan orang lain, anak sudah gemar membaca atau
mendengarkan cerita yang bersifat kritis (tentang petualagan, riwayat para pahlawan,
dsb). Pada masa ini tingkat berfikir anak sudah lebih maju, dia banyak menanyakan soal
waktu dan sebab akibat. Oleh karena itu, kata tanya yang dipergunakan yang semula
hanya “apa”, sekarang sudah diikuti dengan pertanyaan ”dimana”, “darimana”,
“kemana”, ”mengapa”, dan “bagaimana”. Terdapat faktor penting yang mempengaruhi
perkembangan bahasa, yaitu sebagai proses jadi matang, dengan perkatan lain anak itu
menjadi matang (organ-organ suara/bicara sudah berfungsi) untuk berkata-kata dan
proses belajar, yang berarti bahwa anak yang telah matang untuk berbicara lalu
mempelajari bahasa orang lain dengan meniru ucapa/kata- kata yang didengarnya. Di
sekolah, diberikan pelajaran bahasa untuk menambah pembendaharaan katanya,
dengan dibekali pelajaran bahasa ini, diharapkan peserta didik dapat mempergunakan
bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dengan orang lain, menyatakan isi hatinya,
memahami keterampilan informasi yang diterimanya, berfikir (menyatakan pendapat),
mengembangkan kepribadiannya, seprti menyatakan sikap
2. PERKEMBANGAN EMOSI PADA ANAK

Setiap individu tentunya memiliki perasaan emosi masing-masing. Namun sebenarnya,


emosi tersebut tak hanya dirasakan oleh orang-orang dewasa saja, namun juga bisa
dirasakan oleh anak-anak sekalipun. Bahkan sebenarnya, anak-anak merasakan
emosional yang lebih dibandingkan orang-orang dewasa.

Hal ini dikarenakan mereka belum mampu untuk mengendalikan emosi mereka
tersebut. Perkembangan emosi pada anak biasanya akan mengikuti perkembangan dari
usia kronologisnya. Itu berarti menandakan bahwa perkembangan emosi anak akan
selalu berkembang sesuai dengan pertambahan usianya, dari mulai bayi, remaja, hingga
beranjak dewasa. (baca juga: Cara Membentuk Karakter Anak Usia Dini)
Selain itu, dalam tahap perkembangan emosi anak juga sangat dipengaruhi oleh banyak
faktor yang terkait dengan lingkungannya. Namun terkadang faktor gen/keturunan juga
dapat berpengaruh di dalam perkembangan emosi anak. Nah berikut ini beberapa tahap
perkembangan emosi anak yang perlu anda ketahui. (baca juga: Fobia Sosial)

1. Usia 0-2 Tahun

Awal dari Tahap Perkembangan Emosi Anak dimulai saat ia baru lahir. Pada usia ini,
biasanya anda dapat merangsang anak untuk mendapatkan pengalaman yang
menyenangkan mereka akan tumbuh menjadi individu yang penuh percaya diri. Namun
bila anak mengalami kepercayaan diri yang kurang, maka akan timbul perasaan penuh
curiga dalam diri mereka. Karena belum dapat mengendalikan emosi mereka dengan
benar, maka anak akan cenderung untuk berbuat sesuka hati mereka.

Pada fase bayi, mereka akan membutuhkan belajar banyak hal dan mengetahui
lingkungannya dengan familiar. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, perlakuan yang di
dapat pada usia ini akan memiliki peran penting dalam pembentukan rasa percaya diri
mereka. (baca juga: Psikologi Diagnostik)
Pada minggu 3-4 usia anak, mereka akan mulai menunjukkan senyumnya ketika merasa
nyaman berada di lingkungannya. Dan di minggu ke-8, mereka akan selalu tersenyum
pada orang-orang disekitarnya. Pada bulan ke-4 hingga ke-8. anak akan mulai belajar
untuk mengekspresikan emosi di dalam diri mereka seperti marah, takut, gembira,
hingga takut. (Baca juga: Ciri-ciri Pubertas)
Pada usia 12-15 bulan, anak akan merasakan ketergantungan yang semakin besar pada
orang-orang yang merawatnya. Mereka akan merasa tidak nyaman bila ada orang asing
yang menghampirinya. Pada usia mencapai 2 tahun, anak mulai pandai meniru reaksi
emosi yang diperlihatkan oleh orang-orang di sekitarnya.

2. Usia 2-3 Tahun

Pada usia ini, anak sudah mulai mampu menguasai kegiatan-kegiatan yang melemaskan
dan meregangkan otot-otot pada tubuh mereka, sehingga anak-anak sudah mampu
menguasai anggota pada tubuh mereja. Pada usia ini, lingkungan akan sangat berperan
dalam memberi kepercayaan pada anak.

Pada fase usia ini, anak akan mulai mencari aturan-aturan serta batasan yang ada di
dalam lingkungannya. Mereka akan mulai melihat akibat dari perilaku yang dibuatnya,
mereka akan mulai membedakan mana hal yang salah dan mana hal yang benar. (Baca
juga: Psikologi Diagnostik)
Meskipun pada usia ini anak belum mampu menggunakan kata-kata sebagai bentuk
ekspresi emosi nya, namun mereka akan menggunakan ekspresi wajah untuk
memperlihatkan emosi dan perasaan di dalam diri mereka. (baca juga: Kepribadian
Ambivert)
Peran orang tua akan sangat membantu anak untuk dapat mengekspresikan emosi
mekeka dengan bahasa verbal. Sebagai orang tua, anda hanya perlu menerjemahkan
mimik serta ekspresi wajah dengan menggunakan bahasa verbal. (Baca juga: Kognitif,
Afektif, dan Psikomotorik)

3. Usia 4-5 Tahun

Pada usia ini lah dimana fase Initiative vs Guilt mulai muncul pada anak. Anak akan
mulai menunjukkan rasa ingin lepas dari ikatan orang tua, mereka ingin dapat bergerak
dengan bebas dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Keinginan mereka yang
lepas dari orang tua inilah yang membuat munculnya rasa inisiatif dalam diri mereka,
namun juga menimbulkan rasa bersalah. (baca juga: Persepsi Psikologi)
Pada usia ini, merupakan fase bermain bagi anak-anak. Tentunya pada fase ini, anak-
anak memiliki naluri untuk berinisatif melakukan sesuatu hal, inilah yang akan
membuat anak belajar mengenai arti ditanggapi dengan baik atau diabaikan (ditolak
atau diterima). Bila mereka mendapatkan sambutan yang baik, maka anak dapat belajar
beberapa hal:
 Mampu berimajinasi serta mengembangkan ketrampilan diri melalui aktif dalam
bermain.

 Dapat bekerja sama dengan teman. (baca juga: Hakikat Manusia dalam Prespektif
Psikologi)
 Memiliki kemampuan menjadi pemimpin (dalam permainan).

Namun bila inisiatif yang mereka miliki mengalami penolakan, maka hal ini akan
membuat anak merasa takut sehingga selalu bergantung pada kelompok dan tidak
berani mengeluarkan pendapatnya.

4. Usia 6 Tahun

Pada usia ini, emosi anak akan semakin matang. Anak akan semakin mudah mengerti
hal-hal apa saja yang bisa mereka dapatkan dari emosi yang mereka miliki. Emosi anak-
anak pada usia ini akan mudah sekali berubah. Bisa saja yang tadinya bahagia menjadi
sedih hanya dalam beberapa waktu saja. Kondisi ini sangat mudah ditemukan pada
anak di suia 6 tahun. (Baca juga: Kecerdasan Emosional dalam Psikologi)
Selain itu, di fase usia ini anak juga sudah dapat menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan yang dapat membantu menyiapkan diri untuk memasuki tahap
kedewasaan. Tentunya diperlukan ketrampilan tertentu pada diri anak-anak. Bila anak
mampu menguasai sebuah ketrampilan, maka tentunya hal ini akan menimbulkan rasa
berhasil dalam diri anak.

Namun sebaliknya, jika anak tak mampu menguasai sebuah ketrampilan, maka akan
membuat anak menjadi rendah diri. (baca juga: Teori Belajar Dalam Psikologi)
5. Usia 7-8 Tahun

Semakin beranjaknya usia anak, tentunya membuat emosi anak akan semakin matang
dan tentunya mulai pandai dalam mengendalikan diri. Fokus dan perhatian mereka
mulai pada hal-hal yang bersifat eksternal. Anak juga sudah mulai memahami hal apa
yang mereka inginkan. Tentunya hal ini membuat kebanyakan orang tua akan merasa
pusing dengan beragam keinginan anak-anak mereka yang selalu ingin dituruti. (baca
juga: Teori Psikoanalisis Klasik)
Kestabilan emosi anak akan semakin membaik sehingga mulai muncul rasa empati pada
orang lainnya. Pada tahapan ini, anak juga mulai mengenali rasa malu serta bangga.
Anak pun mulai dapat menverbalisasikan emosi yang mereka alami. Semakin
bertambahnya usia, mereka akan menyadari perasaan diri mereka serta orang lain di
sekitarnya. (baca juga: Konsep Diri Dalam Psikologi)
6. Usia 8-12 Tahun

Pada fase usia ini, tahap perkembangan akan banyak berada di sekolah. Anak-anak akan
belajar bagaimana beradaptasi dengan kelompok dan mulai mengembangkan tiga
ketrampilan sosial:

 Bagaimana mematuhi aturan-aturan yang berkaitan dengan pertemanan, misalnya saja


ketika mengingatkan teman yang terlambat, berpartisipasi pada tugas kelompok, dan
lainnya.

 Belajar mengenai bermain dengan aturan dan struktur tertentu.

 Belajar mengenai mata pelajaran yang ada di sekolah serta mampu mendisiplinkan diri
untuk mempelajari materi-materi tersebut. (baca juga: Psikologi Keluarga)
Bila perkembangan emosi anak dapat berkembang dengan baik, maka anak-anak akan
merasa aman dan percaya pada lingkungannya. Mereka akan memiliki rasa kompetisi
yang unggul di dalam lingkungannya. Sebaliknya, bila perkembangan tak berjalan baik
maka anak akan muncul keraguan dalam diri anak. Mereka akan merasa malu, bersalah,
hingga menjadi pribadi inferior (kalah). (baca juga: Psikologi Olahraga)
Pada usia 9-10 tahun, anak mulai dapat mengatur ekspresi emosi serta merespon
distress emosional pada orang lain. Seperti mengontrol emosi-emosi negatif, anak akan
mulai belajar mengenai hal yang membuatnya merasakan hal-hal tersebut sehingga
dapat beradaptasi dan mengontrolnya. (baca juga: Teori Cinta Stenberg)
Pada fase usia 11-12 tahun, anak akan mulai memahami mengenai norma-norma yang
ada di lingkungannya. Mereka akan mulai beradaptasi dan tidak sekaku ketika masa
kanak-kanak. Selain itu, mereka akan mulai paham bila penilai baik dan buruk dapat
dibuah sesuai keadaan dan situasi yang ada.
3. Perkembangan Sosial Pada Anak

Bayi

Usia 0-3 bulan


Dalam beberapa hari setelah lahir ke dunia, interaksi pertama bayi kemungkinan besar
adalah melakukan kontak mata dengan Anda, berceracau, dan membuat ekspresi muka
tertentu. Dalam jangka waktu dua bulan, si kecil akan mulai menunjukkan senyum
pertamanya dan mencoba menirukan mimik muka yang Bunda tunjukkan. Nah jadi jika
ingin ia menunjukkan ekspresi bahagia maka sering-seringlah tersenyum agar ia juga
cepat meniru!

Usia 3-6 bulan


Pada usia ini, bayi Anda sudah dapat mengenali dan merespon ketika namanya
dipanggil. Ia pun juga merasa senang saat harus berinteraksi dengan orang baru. Ketika
diharuskan untuk berpisah sebentar dengan orang-orang yang ia sayangi, bayi pun
perlahan memahami konsep tersebut.

Beberapa bayi cenderung lebih memiliki jiwa sosial dibanding yang lainnya. Ada yang
mudah sekali tersenyum pada orang asing, ada juga yang hanya terpaku memandang
wajah orang tanpa tersenyum. Apabila bayi Bunda menunjukkan sedikit sekali
ketertarikan terhadap orang lain, maka jangan buru-buru cemas atau memaksanya
untuk lebih banyak bergaul dengan anak tetangga.

Kemungkinan besar si kecil hanya kurang pengalaman mengenai interaksi sosial di luar
hubungannya dengan Bunda dan suami. Pelan-pelan, kenalkanlah ia dengan orang-
orang lain mulai dari sahabat, tante, hingga teman-teman sebayanya.

Usia 6-9 bulan


Bayi Anda mulai menunjukkan rasa enggan berpisah dan cemas apabila harus
berjauhan dengan Bunda. Pasalnya, ia lebih memilih dekat dengan wajah-wajah yang
familiar dan menunjukkan rasa aman. Pada usia ini, bayi suka sekali apabila diajak main
cilukba, jadi sesekali lakukan permainan ini ketika ia mulai terlihat bosan. Bayi usia 6-9
bulan juga mulai tertarik dengan tingkah laku bayi lain. Ia menunjukkan rasa
penasarannya dengan cara menatap, menarik, hingga menggelundung ke arah teman
sebayanya.
Usia 10-12 bulan
Bayi Anda mulai merasa senang dengan kehadiran anak lain di taman bermain, namun
ia belum berani mengajak anak lain bermain bersama. Bayi lebih suka melihat apa yang
dilakukan oleh bayi lainnya sembari berusaha menirukan apa yang dilihatnya.
Sayangnya, rasa enggan berpisah dengan Bunda pun perlahan semakin meningkat dan
membuatnya semakin cemas apabila harus berhadapan dengan orang asing.

Nah, untuk meningkatkan kemampuan berinteraksi sosial anak, Anda dapat


mendaftarkannya ke playgroup atau mengajaknya ke pertemuan Ibu dan anak di kota
Bunda. Berkumpul dengan teman sebaya perlahan akan mengajarinya cara
berkomunikasi dengan orang lain sejak dini.

Batita

Usia 13-18 bulan


Kini bayi sudah mulai menunjukkan tanda-tanda mampu berbicara yang tentunya
penting bagi perkembangan kemampuan sosialnya. Meski begitu, ia masih merasa
nyaman dengan parallel play atau sekedar melihat anak lain bermain lantas meniru apa
yang anak lain lakukan. Pada usia ini pula, kesabaran Bunda mau tidak mau harus diuji.
Sebab, bayi sedang dalam puncak-puncaknya merasa mudah cemas dan ketakutan saat
harus berpisah dengan Anda.

Usia 19-24 bulan


Sang buah hati mulai bisa menunjukkan perhatiannya melalui pelukan dan ciuman.
Meksi begitu, ada juga bayi yang lebih memilih cuddle sebagai kegiatan favoritnya. Pada
usia ini, bayi akan cepat merasa tertarik dengan sesuatu namun cepat pula menarik diri.
Bahkan, ada bayi yang mulai menunjukkan tanda-tanda kemarahan seiring berjalannya
waktu. Ia mungkin akan merasa malu saat harus berinteraksi dengan orang dewasa
yang tak ia kenal.

Bayi juga akan mulai ikut serta dalam permainan atau kegiatan bayi lainnya, namun
maklumi saja ya Bun kalau si kecil maish belum terbiasa untuk berbagi. Kemungkinan
besar, ketika mainannya dirampas, ia akan menjerit atau menangis histeris. Jadi,
tunggui anak ketika sedang bermain agar dapat cepat-cepat menenangkan sang buah
hati apabila barangnya diusik.
Usia 2-3 tahun
Ketika sudah mulai memahami konsep berinteraksi, maka anak pun mulai
menunjukkan ketertarikanya kepada satu atau dua teman sebaya favoritnya. Bahkan,
jangan terkejut apabila anak menunjukkan tanda-tanda memiliki teman khayalan.
Selain itu, anak pun mulai menunjukkan rasa penasaran akan perasaan karakter-
karakter dari dongeng yang Anda bacakan.

Perlahan, anak juga akan mulai belajar tentang konsep berbagi dan bersabar, meski
perkembangannya tidak terlalu signifikan. Beberapa anak juga menjadi lebih agresif
dari waktu ke waktu dan suka memukul, menjambak, atau menggigit orang lain demi
melindungi daerah kekuasaannya serta barang-barang yang ia anggap berharga.

Keagresifan anak tersebut jangan diartikan bahwa si kecil ini nakal ya, Bun. Sebab,
amarahnya bisa jadi timbul dari rasa frustasi karena ketidakmampuannya
mengungkapkan apa yang ia mau atau rasakan melalui kata-kata.

Tak hanya itu saja, menginjak usia 3 tahun, anak juga mulai belajar mengenali dan
merasakan emosi orang lain. Walaupun, tentunya belum bisa dibilang bahwa ia mampu
berempati atau menempatkan diri di kondisi orang lain layaknya orang dewasa. Anak
Anda hanya baru dapat membaca emosi orang lain, misalnya ia akan ikut menangis
ketika melihat Bunda menangis.

Si kecil juga sangat senang dengan kehadiran orang dewasa di sekelilingnya, terlebih
berada di antara wajah-wajah familiar yang ia sayangi. Jangan ragu untuk meminta
bantuan ahli apabila anak menunjukkan perilaku marah atau agresif tak terkendali yang
tidak sesuai dengan perkembangan normal anak seusianya. Terlebih apabila sikap
agresif dan mudah marah si kecil sampai mempengaruhi aktivitas hariannya, maka
Bunda sebaiknya mencari pertolongan dokter.
Preschooler

Usia 3-4 tahun


Sang buah hati akan menunjukkan rasa percaya diri serta kemandirian yang lebih baik
dari sebelumnya. Namun, tak berarti ia sudah tidak lagi membutuhkan perhatian dan
perlindungan Bunda. Sesekali ia akan bersikap manja dan cari perhatian. Namun, di lain
waktu, anak juga ingin terlihat mandiri di depan Anda.

Ia mulai memahami konsep hubungan sosial dan mekanisme kerjanya dengan cara
mengamati apa yang terjadi di sekitarnya. Observasi tersebut membuat sang buah hati
belajar lebih cepat. Oleh karena itu, Bunda sebaiknya membuka jalan agar anak bertemu
dengan orang-orang baru terutama yang sebaya dengan si kecil agar ia semakin banyak
belajar hal baru.

Pada usia ini, anak sudah merasa nyaman bermain dengan orang lain maupun
sendirian. Sesekali ia akan terliat pertengkaran, namun hal tersebut wajar saja. Si kecil
pun sudah mulai nyaman dengan permainan yang terstruktur seperti board games
maupun bermain dalam grup. Kemampuan berbagi dan bersabar juga akan perlahan
meningkat.

Usia 5-12 tahun


A. PENGEMBANGAN DIRI

Perkembangan kognitif selama usia pertengahan ini, termasuk masa anak yang
memungkinkan untuk mengembangkan konsep diri mereka dengan lebih kompleks dan
mencapai pemahaman serta kontrol emosi diri.

1. Pengembangan Konsep Diri: Sistem Representasi

Sistem Representasi ini dalam istilah neo-Piagetin, tahap ketiga dari pengembangan
definisi diri dikarakteristikkan dengan perluasan, keseimbangan, dan penilaian
beragam aspek dari diri.

Anak pada masa akan mengetahui perubahan gambar pada dirinya artinya konsep diri
mulai berkembang. Pada saat ini penilaian terhadap diri sendiri menjadi lebih penting,
realistis dan seimbang anak usia ini menyadari bahwa dia bisa menjadi pintar di mata
pelajaran tertentu dan bodoh pada pelajaran tertentu. Dia dapat membandingkan
dirinya yang nyata dengan dirinya yang idealserta dapat menilai sebera baik dia
menukur standar sosialnya dibandingkan dengan yang lain. Semua perubahan tersebut
memeberikan konstribusi pada perkembangan harga dirinya, penilaiannya mengenal
nilai dirinya secara keseluruhan.

2. Harga Diri

Menurut Erikson (1982), faktor utama yang menentukan harga diri adalah pandangan
anak-anak terhadap kapasitas nya untuk kerja produktif. Tahap keempat dari
perkembangan psikososial adalah pada industry v inferiority (kera keras lawan harga
diri) yakni anak harus belajar menghasilkan ketrampilan-ketrampilan yang dibutuhkan
di budaya mereka atau menghadapi perasaan rendah diri.

Kebaikan yang mengikuti hasil keputusan yang baik pada tingkat ini. Pandangan diri
terhadap kemampuan untuk menguasai ketrampila dan menyelesaikan tugas.

Orang tua dalam hal ini sangat berpengaruh, yakni meyakinkan seorang anak terhadap
kompetensi. Dalam studi longitudinal sebanyak 514 anak dari keluarga anak kelas
menengah di Amerika serikat orang tua meyakini akan kompetensi yang dimiliki sang
anak pada bidang matematika dan olahraga berasosiasi dengan sangat kuat dengan
keyakinan anak (Fredricks & Eccles, 2002).

3. Perkembangan Emosional Dan Perilaku Prososial

Pada anak usia ini dapat dengan mudah mengenali dan lebih sadar terhadap apa yang
dimilikinya, dan perasaan individu lain. Mereka dapat mengatur dan mengontrol
dengan baik emosi dan dapat merespon emosi distres pada orang lain.

Diusia 7-8 tahun anak secara khusus peka terhadap perasaan malu dan bangga dan
mereka memilki pandangan yang jelas tentang perbedaan antara rasa bersalah dan
malu (Harris, Olthof, Meerum, Terwogt Hardman, 1987; Olthof, Schouten, Kuiper,
Stegge, & Jennekens-Schinkel, 2000).

Di pertengahan masa anak-anak mulai menyadari aturan-aturan budaya mereka


tentang ekspres yang diterima (Cole dkk, 2002) dimasa ini anak belajar tentang apa
yang membuat mereka marah, malu, takut dan sedih. Anak juga mempelajari bagaimana
orang lain mengekspresikan emosi tersebut seta mereka belajar berlaku sesuai budaya.

Regulasi diri melibatkan usaha penuh mengontrol emosi, atensi, dan perilaku. Anak
dengan usaha kontrol yang rendah cenderung gampang emosi dan frustasi ketika di
cegah melakukan hal-hal yang mereka lakukan. Sebaliknya, anak dengan usaha yang
tinggi dapat dengan mudah meredam dorongan yang menunjukkan emosi negatif pada
waktu yang tidak tepat. Semua itu dipenagruhi oleh temperamen yang dimillki seorang
anak (Eisenberg, dkk, 2004).

Anak cenderung lebih berempati dan cenderung lebih bisa berperilaku prososial di
pertengahan masa anak ini. Simpati empati memeperlihatkan “program” dalam otak
normal sama dengan orang ewasa. Semua itu dihubungkan dengan pengaktifan
prefontal pada anak berusia 6 tahun (Light dkk., 2009). Studi terbaru menyatakan
tentang aktivitas otak anak pada usia 7-12 tahun ini menemukan bagian otak yang aktif
ketika ditunjukkan gambar orang yang kesakitan (Decety, Akitsuki, & Lahey, 2009).

Anak-anak yang mempunyai harga diri tinggi cenderung menjadi lebih ingin menjadi
relawan untuk orang lain. Sedangkan anak yang memiliki perilaku prososial
cdenderung bertindak sesuai dengan situasi sosial, membebaskan diri dai emosi-emosi
negatif dan mengatasi masalah secara konstruktif (Eisenberg, Fabers & Murphy, 1996).

B. ANAK DALAM KELUARGA

Anak pada usia lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk berkunjung dan
bersosialisasi dengan sebayanya dari pada ketika mereka lebih muda.

1. Suasana Keluarga

Untuk memahami dalam keluarga, kita perlu melihat lingkungan keluarga yang
merupakan atmosfer dan struktur. Hal ini berasal dari suasana dalam rumah. Faktor
konstribusi lainnya adalah bagaimana orang tua mengatasi apa yang dibutuhkan anak
usia sekolah dan kemampuan untuk membuat keputusan mereka sendiri. Maka aspek
lain yang juga memengaruhi ialah situasi ekonomi keluarga mereka. Hal ini berdampak
pada beberapa masalah orang tua yakni:
a. Pekerjaan Orang Tua

Hubungan pekerjaan orang tua pada kesejahteraan anak kebanyakan faktornya dari
pekerjaan seorang ibu. Pekerjaan ibu akan mengganggu perkembanga psikososialnya
seorang anak juga dikerenakan dari beberapa faktor. Diantaranya ialah:

- Faktor usia anak

- Jenis kelamin

- Temperamen dan kepribadian pada anak

Bagaimana pekerjaaan seorang akan berpengaruh pada anak-anak nya karena


bergantung pada seberapa banyak orang tua atau ibu tersebut dapat memberikan
waktu dan energinya untuk mengawasi dan mengasuh anaknya. Faktanya saat ini
banyak orang tua yang menitipkan anaknya pada pengasuhan luar atau kerabat
dekatnya dari pada meninggalkan pekerjaan demi sang anak. Namun tidak dapat
dipungkiri lagi masalah ekonomi lah yang membuat seperti itu.

b. Kemiskinan dan pengasuhan

Kemiskinan dapat membahayakan perkembangan anak melalui dampak dari kondisi


ekonomi orang tua dan gaya pengasuhan yang diberikan oleh keluarga.

Orang tua yang hidup dalam kemiskinan menjadi cemas, depresi, dan mudah
tersinggung serta akhirnya kurang menunjukkan kasih sayang dan responsif pada anak.

2. Struktur Keluarga

Keluarga yang tidak stabil mungkin lebih membahayakan bagi anak dibandingkan tipe
keluarga tertentu tempat mereka hidup. Dalam sebuah studi dengan menggunakan
sampel nasional, anak yang berusia 4-14 tahun, yang memilki pengalaman beberapa
kali dalam keluarga peralihan (contohnya, pindah rumah, orang tua yang bercerai)
cenderung lebih memiliki masalah perilaku dan terjebak dalam kenakalan perilaku
daripada anak dalam keluarga yang stabil (Fomby & Cherlin, 2007).
a. Ketika orang tua bercerai

Menyesuaikan diri pada perceraian sangat membuat stres pada anak. Pertama tentang
stres pernikahan kemudian perpisahan orang tua dengan kepergian salah satu orang
tua, biasaya ayah. Anak bisa jadi tidak sepenuhnya memahami permasalahan apa yang
terjadi.

Standar keluarga menjadi turun, dan jika orang tua pergi, hubungan anak dengan orang
tua asuh akan membuat derita (Kelly & Emery,2003).

Hak asuh, kunjungan dan pengasuhan bersama anak mnjadi lebih baik setelah
perceraian jika orang tua memiliki hak asuh hangat, penuh dukungan, otoritatif,
mengawasi aktivitas anak, dan memilki harapan seseuai usia.

Hak asuh bersama, pengasuhan dibagi untuk kedua orang tua, bisa menjadi untung
ketika orang tua dapat bekerja sama. Dan kenyataannya, anak dalam pengasuhan
bersama memiliki penyesuaian yang baik sama seperti anak dari keluarga yang tidak
bercerai. memiliki harga diri yang tinggi serta hubungan keluarga yang jauh lebih baik
dari pada pengasuhan seorang diri.

b. Tinggal dalam keluarga dengan salah satu orang tua

Anak dalam keluarga orang tua tunggal melakukan semua hal dengan baik, namun
cenderung tidak lancar dalam urusan sosial dan pendidikan dibidang kelompoknya
yang tinggal dengan orang tua (Amato, 2005).

c. Tinggal dengan keluarga tanpa pernikahan

Keluarga tanpa pernikahan memiliki cara-cara yang sama dengan keluarga yang
menikah, tapi orang tua cenderung lebih memilki banyak kekurangan (Mather, 2010).
Secara tradisional mereka cenderung kurang pemasukan dan pendidikan, hubungan
keluarga yang sangat kurang, dan lebih banyak memiliki masalah kesehatan mental.

d. Tinggal dengan keluarga tiri


Penyesuaian dengan orang tua tiri yang baru mungkin situasi yang penuh tekanan.
Bagaimanapun, sebuah studi telah menemukan bahwa anak laki-laki yang sering kali
terlibat dalam masalah dibandingkan anak perempuan untuk penyesuaian diri setelah
perceraian dan tinggal dengan ibu tunggal.

e. Tinggal dengan keluarga gay tau lesbian

Anak yang tinggal dengan keluarga yang seperti ini dalam hal fisik, emosional,
penyeuaian, kecerdasan, kepekaan diri, penilaian moral dan sosial, serta fungsi-fungsi
seksual tidak ditemukan kekhawatiran apapun (APA, 2004b). Tidak ada perbedaan
yang konsisten antara orang tua homoseksual dan heteroseksual dalam kesehatan
emosi atau kemampuan pengasuhan, serta sikap. Dan kalaupun ada perbedaaan,
mereka cenderung menyukai orang tua gay atau lesbian Brewaeys, Ponjaert, Van Hall, &
Golombok, 1997).

3. Hubungan Dengan Saudara kandung

Hal ini terjadi pada anak usia 7 dan 9 tahun. Hubungan saudara kandung dapat menjadi
laboratorium untuk revolusi konflik. Saudara kandung termotivasi untuk baikan
kembali setelah bertengkar.

Saudara kandung akan memengaruhi satu sama lain, tidak hanya secara langsung
melalui interaksi tapi juga, secara tidak langsung. Yakni melalui dampak hubugan
mereka masing-masing dengan orang tua.
4. Perkembangan kognitif pada anak

, masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang penting dalam
kehidupan setiap manusia. Pada periode ini, anak belajar menguasai keahlian tertentu
dan menghadapi tugas-tugas baru. Oleh karena itu, Mam perlu memperhatikan betul
berbagai proses perkembangan yang berlangsung dalam hidup si Kecil pada periode ini;
mulai dari perkembangan kognitif anak, motorik, sensorik, fisik, bahasa, dan
emosionalnya.

Kognitif dapat diartikan sebagai kemampuan untuk mengerti sesuatu. Perkembangan


kognitif mengacu kepada kemampuan yang dimiliki seorang anak untuk memahami
sesuatu. Salah satu tokoh psikologi yang mengemukakan teori tentang
tahapan perkembangan kognitif (cognitive theory) manusia adalah Jean Piaget.
Menurut Piaget, anak-anak memiliki cara berpikir berbeda dari orang dewasa. Piaget
membagi tahapan perkembangan kognitif anak usia dini dalam empat tahap.

Tahap sensorimotor (0-24 bulan)

Setiap bayi lahir dengan refleks bawaan dan dorongan untuk mengeksplorasi dunianya.
Oleh karena itu, pada masa ini, kemampuan bayi terbatas pada gerak refleks dan panca
inderanya. Berbagai gerak refleks tersebut kemudian berkembang menjadi kebiasaan-
kebiasaan. Pada tahap perkembangan kognitif awal ini, si Kecil belum dapat
mempertimbangkan kebutuhan, keinginan, atau kepentingan orang lain, sehingga ia
dianggap “egosentris”.

Pada usia 18 bulan, si Kecil juga sudah mampu menciptakan simbol-simbol dalam suatu
benda serta fungsi beberapa benda yang tak asing baginya. Si Kecil pun kini mampu
melihat hubungan antarperistiwa dan mengenali mana orang asing dan mana orang
terdekatnya.

Tahap praoperasional (2-7 tahun)

Pada masa ini, anak mulai dapat menerima rangsangan, meski masih sangat terbatas. Si
Kecil pun sudah masuk ke dalam lingkungan sosial. Ciri tahapan ini adalah anak mulai
bisa menggunakan operasi mental yang jarang dan secara logika kurang memadai.
Si Kecil juga masih tergolong “egosentris” karena hanya mampu mempertimbangkan
sesuatu dari sudut pandang diri sendiri dan kesulitan melihat dari sudut pandang orang
lain. Ia sudah dapat mengklasifikasikan objek menggunakan satu ciri, seperti
mengumpulkan semua benda berwarna merah, walaupun bentuknya berbeda-beda.

Tahap operasional konkret (7-11 tahun)

Pada masa ini, anak sudah mampu melakukan pengurutan dan klasifikasi terhadap
objek maupun situasi tertentu. Kemampuan mengingat dan berpikir secara logis si
Kecil pun makin meningkat. Ia mampu memahami konsep sebab-akibat secara rasional
dan sistematis sehingga si Kecil mulai bisa belajar matematika dan membaca. Pada
tahapan ini pula sifat “egosentris” si Kecil menghilang secara perlahan. Ia kini sudah
mampu melihat suatu masalah atau kejadian dari sudut pandang orang lain.

Tahap operasional formal (mulai umur 11 tahun)

Pada masa ini, anak sudah mampu berpikir secara abstrak dan menguasai penalaran. Ia
dapat menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Ia dapat memahami konsep
yang bersifat abstrak seperti cinta dan nilai. Si Kecil juga bisa melihat kenyataan tidak
selalu hitam dan putih, tetapi juga ada “gradasi abu-abu” di antaranya. Kemampuan ini
penting, Mam, karena akan membantunya melewati masa peralihan dari masa remaja
menuju fase dewasa atau dunia nyata.

Faktor Penunjang Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini

Ada dua faktor utama yang dapat menunjang perkembangan kognitif anak usia dini:

1. Hereditas/Keturunan

Faktor ini turut menentukan perkembangan intelektual seorang anak. Dengan kata lain,
seorang anak membawa kemungkinan memiliki kemampuan berpikir
yang similar dengan orang tuanya, apakah itu normal, di atas normal, atau di bawah
normal. Namun, potensi tersebut tidak akan berkembang bila tidak ada lingkungan yang
dapat memberinya kesempatan untuk berkembang.

2. Lingkungan
Banyak studi maupun penelitian yang mendukung faktor lingkungan memengaruhi
tingkat kognitif atau intelegensi seseorang. Faktor lingkungan yang paling berperan
dalam menunjang perkembangan kognitif anak adalah keluarga dan sekolah.

 Keluarga
Hubungan sehat antara orang tua dan anak (penuh perhatian dan kasih sayang dari
orang tua) memfasilitasi perkembangan kognitif anak. Sebaliknya, hubungan
yang tidak sehat bisa membuat anak mengalami kesulitan atau kelambatan dalam
perkembangan kognitifnya.
 Sekolah
Sekolah adalah lembaga formal yang diberi tanggung jawab untuk meningkatkan
perkembangan anak, termasuk perkembangan berpikir anak. Karena itu, tenaga
pengajar atau guru di sekolah memiliki peranan sangat penting dalam
menunjang perkembangan kognitif si Kecil.

Selain kedua faktor tersebut, perkembangan kognitif anak juga turut dipengaruhi usia,
jenis kelamin, ras, budaya, dan asupan nutrisi. Ya, asupan nutrisi yang tepat dan
memadai dapat berperan penting dalam mendukung proses belajar si Kecil. Kombinasi
nutrisi dan stimulasi tepat akan membentuk struktur otak anak. Tanpa dukungan
nutrisi yang tepat, si kecil tidak akan dapat menyerap stimulasi secara optimal.

5. PERKEMBANGAN MOTORIK HALUS DAN KASAR ANAK


USIA 1-3 TAHUN
Agar si kecil bisa mencapai dan melewati perkembangannya dengan normal, perlu
diberikan stimulasi yang tepat sesuai usianya.

Idealnya, perkembangan motorik kasar dan halus si kecil akan diamati setiap
berkunjung ke dokter spesialis anak dengan melakukan beberapa tes; apakah anak
sudah bisa melakukan suatu gerakan A, misal. Dengan begitu, ketika ada keterlambatan,
dokter langsung dapat mengintervensi dan memberi saran pada orang tua.

Tes yang umum dilakukan untuk memantau perkembangan motorik adalah tes Denver.
Tes ini membagi perkembangan anak jadi empat, yaitu perkembangan personal sosial,
perkembangan bahasa, serta perkembangan motorik kasar dan motorik halus adaptif.
Perkembangan bayi akan diamati setiap 1 bulan sekali. Sedangkan balita, atau tepatnya
setelah anak menginjak usia 2 tahun ke atas, cukup 3 bulan sekali.
Tes Denver ini, terang Ika Widiawati, lulusan Fakultas Psikologi UI, semacam checklist
untuk mempermudah pemantauan akan perkembangan anak. Apakah anak sesuai
dengan perkembangan usianya saat itu atau tidak. “Kalau misalnya anak terlambat, kita
harus tahu pasti, bagian mana yang terlambat. Apakah perkembangan motorik halus,
motorik kasar, bahasa atau personal sosialnya.” Bila sudah diketahui, misal, “O, anak ini
hanya perkembangan motoriknya saja yang terganggu, yang lain sesuai.” Maka
terapinya akan ditekankan ke situ.

Namun, jangan buru-buru menganggap si kecil mengalami kelainan, karena siapa tahu
yang jadi penyebab justru kurangnya stimulasi. Itu sebab, bila terjadi keterlambatan,
kita harus tahu persis penyebabnya. “Tak heran seorang psikolog akan bertanya
bagaimana pola pengasuhan orang tua terhadap anaknya. Bukan tak mungkin orang tua
yang overprotective akan membuat anak sulit berkembang. Kalau ini masalahnya, jelas
orang tuanya yang perlu diterapi. Harus di beri penjelasan tentang dan cara-cara
melakukan stimulasi pada anak.”

Tapi kalau semua perkembangan anak terlambat, dari perkembangan bahasa, personal
sosial, motorik kasar dan halusnya, maka anak dinyatakan mengalami retardasi mental
/keterbelakangan mental. Misal, anak usia 3 tahun namun kemampuan motorik halus,
kasar, termasuk berbahasa dan sosialnya, masih setara dengan anak usia 1 tahun 8
bulan.. Yang jelas, bila masalahnya berhubungan dengan motorik kasar, anak akan
menjalani fisioterapi. Sedangkan jika masalahnya pada motorik halus, ia akan menjalani
terapi okupasi. Untuk keterlambatan bahasa, tentu anak akan menjalani terapi wicara,
dan sebagainya.

Nah, seperti apa perkembangan motorik kasar dan halus si batita? Yuk, kita, simak
bersama di bawah ini, merunut tes Denver yang sudah dimodifikasi. Selanjutnya, amati
apakah perkembangan si kecil sudah sesuai. Jangan lupa, beri stimulus agar ia bisa
mencapai tahap-tahap perkembangan yang harus dilaluinya.

Usia 2 Tahun 9 Bulan Harus Bisa Membuat Menara Hingga 6 Kubus


Perkembangan motorik halus si kecil pun bisa diamati dengan mudah di rumah. Untuk
membantu tes motorik halus, saran Ika, sediakan beberapa peralatan seperti kertas,
mainan kubus, bola, cangkir, beberapa butir kismis dan pinsil warna. Pemilihan pinsil
warna sebaiknya dicocokkan dengan tangan si kecil yang masih mungil. Jadi, hindari
pensil yang terlalu kecil karena ia belum bisa memegangnya dengan benar. Yang baik,
pensil khusus yang dirancang bagi pemula atau krayon besar hingga enak dipegang.
* Usia 1 Tahun

Si kecil harus sudah bisa mengambil dua buah kubus, membenturkan kubus tersebut,
serta memegang sesuatu dengan ibu jari dan telunjuk (menjumput kismis, misal). Orang
tua perlu waspada ketika menginjak 1 tahun 2 bulan, anak belum dapat menaruh kubus
di dalam cangkir. Sebab, memasuki usia ini, ia sebenarnya harus sudah bisa melakukan
itu.

* Usia 1 Tahun 3 Bulan

Yang perlu dicermati bila si kecil belum bisa mencorat-coret. Normalnya, di usia ini bila
diberi kertas dan pensil, ia akan langsung tertarik untuk menorehkan coretan di atas
kertas. Walau tentu hasilnya masih amburadul dan cara memegang pensilnya pun
masih salah.

* Usia 1 Tahun 4 Bulan

Perkembangan motorik halus anak usia ini dinyatakan terlambat bila belum bisa
menjumput kismis, membenturkan dua kubus, dan menaruh kubus dalam cangkir.

* Usia 1 Tahun 5 Bulan

Dikatakan terlambat bila si kecil belum bisa melakukan apa yang dilakukan anak 1
tahun 4 bulan tadi, plus belum bisa corat-coret. “Bila ini sampai terjadi, salah satu
penyebabnya berkaitan dengan kurangnya stimulasi. Mungkin anak sering dibiarkan
saja atau terlalu sering digendong hingga ia tidak terampil. Atau bisa juga karena ada
salah satu organnya yang tak berfungsi baik.”

* Usia 1 Tahun 6 Bulan

Keterampilannya hampir sama dengan anak 1 tahun 5 bulan. Patut diperhatikan, bila
anak belum bisa membuang kismis dari jari jemarinya dan membenturkan 2 kubus.

* Usia 1 Tahun 7 Bulan

Harus sudah bisa membenturkan 2 kubus, menaruh kubus di dalam cangkir, dan
mencorat-coret. Jika belum bisa, dianggap terlambat. Hati-hati, bila ia belum bisa
membuang kismis dan membangun menara 2 kubus. Beberapa anak usia ini sudah bisa
membangun menara dari 4 kubus. “Untuk membangun menara ini tak tergantung
latihan, kok. Kalau sudah sesuai dengan usianya, anak akan bisa dengan sendirinya dan
akan senang melakukannya.”
Bila Ibu-Bapak ingin menguji si kecil, bilang saja, “Yuk, kita buat menara Monas. Nih,
seperti begini!” Setelah diberi contoh, kita rubuhkan kembali, lalu minta ia untuk
membuatnya sendiri.

* Usia 1 Tahun 10 Bulan

Hingga usia ini, perkembangan motorik halusnya tak berbeda jauh dengan sebelumnya.
“Ketika menginjak usia 1 tahun 11 bulan, beberapa anak sudah dapat membuat menara
6 kubus sampai 8 kubus. Bahkan, ada yang bisa meniru membuat garis vertikal. Bila kita
contohkan menarik garis, maka anak akan meniru membuatnya, tapi kalau belum bisa
pun masih dianggap normal.”

* Usia 2 Tahun 3 Bulan

Jangan lupa, mulai usia 2 tahun, perkembangan anak dilihat setiap 3 bulan sekali. Ketika
usia 2 tahun hingga 2 tahun 3 bulan, perkembangan motorik halusnya dianggap
terlambat bila ia belum dapat membuang kismis dan menyusun menara dari 4 buah
kubus.

* Usia 2 Tahun 6 Bulan

Beberapa anak usia 2 tahun 6 bulan sudah dapat menggoyang ibu jari. Biasanya anak
tak mau langsung melakukan bila hanya diminta begitu saja. ‘Ayo, Dek, goyangkan ibu
jarinya.’ Jadi bisa dicoba dengan memintanya untuk menirukan, ‘Ayo, Dek, bilang oke,
seperi begini!’ sambil kita mengacungkan jempol lalu digerak-gerakkan. Bisa juga
dengan lagu yang berkaitan dengan ibu jari.

* Usia 2 Tahun 9 Bulan

Anak sudah harus bisa membuat menara sampai 6 kubus. Bahkan, rata-rata anak sudah
bisa 8 kubus.

* Usia 3 Tahun

Ketika usia 3 tahun perlu diperhatikan bila anak belum bisa membuat garis vertikal.
Beberapa anak sudah bisa menunjuk garis vertikal yang lebih panjang bila kita
gambarkan.

Usia 1 Tahun 2 Bulan Sudah Bisa Berjalan

Perkembangan motorik kasar si kecil bisa diamati dengan melihat keterampilannya


sehari-hari. Misal, usia 1 tahun si kecil harus sudah bisa berdiri selama 2 detik, bangkit
untuk duduk dan bangkit untuk berdiri. Pada usia 1 tahun 2 bulan, kemampuan tadi
harus sudah ditambah dengan mampu berdiri sendiri.

Normalnya, jelas Ika, di usia 1 tahun 2 bulan, anak harusnya sudah bisa berjalan. “Jika
belum bisa, sebetulnya lebih disebabkan ada kecemasan. Misal, anak ketakutan karena
ada trauma pernah jatuh atau karena ibunya yang takut melepaskan hingga anak tak
terlatih.” Sarannya, ketika anak berjalan, cukup berikan ujung jari kita padanya. Dengan
demikian, anak lebih percaya diri, begitu pun orang tua, jadi, bila di usia 1 tahun 3 bulan
dan 1 tahun 4 bulan, si kecil belum bisa berjalan dengan baik, maka perkembangan
motorik kasarnya dianggap terlambat. Begitu pun bila ia belum bisa berdiri kembali
dari posisi membungkuk. Beberapa anak usia ini malah bisa berjalan mundur, berlari
dan naik tangga.

Bahkan, yang terampil bisa menendang bola di usia 15 bulan, lo. Kemampuan ini, bilang
Ika, bisa saja menunjukan bakat atau keterampilan anak yang lebih advance dari anak
lainnya. “Bukankah anak ada yang terampil dan ada yang clumsy? Jadi, apa yang
dikerjakan anak clumsy selalu saja ada yang salah, misal, jatuh kalau berjalan atau
berlari. Anak seperti ini biasanya sedari kecil perkembangan motoriknya mengalami
keterlambatan sedikit. Intinya, mereka sebenarnya bisa tapi tidak terampil. Di sinilah
peran orang tua untuk memberi stimulasi.”

BERJALAN MUNDUR

Berikutnya, perkembangan anak usia 1 tahun 5 bulan hampir sama dengan anak usia 1
tahun 6 bulan, yaitu anak harus sudah bisa berjalan dengan baik dan berjalan mundur.
Yang patut diwaspadai berbeda, di usia 1 tahun 5 bulan, bila si kecil belum dapat berlari
masih dianggap normal. Namun ketika menginjak 1 tahun 6 bulan masih juga belum
bisa berlari, maka perkembangannya dinyatakan terlambat. Soalnya, 75-90 persen anak
usia itu sudah bisa berlari. Lain hal bila belum bisa berjalan naik tangga atau
menendang bola overhead, masih dianggap normal

Kemampuan anak 1 tahun 7 bulan masih mirip dengan usia 1 tahun 6 bulan. Anak harus
sudah berjalan mundur, berjalan dengan baik, dan dapat berdiri kembali dari posisi
membungkuk. Bila semua itu belum bisa, maka perkembangannya terlambat. Juga hati-
hati kalau anak belum bisa berlari dan berjalan menaiki tangga di usia 1 tahun 8 bulan
karena 95 persen anak sudah bisa.
Menurut Ika, ketidakmampuan ini sering berkaitan dengan pola asuh yang terlalu
overprotective dari orang tua. Misal, karena bentuk tangga yang curam membuat orang
tua melarang si kecil naik-turun tangga. Belum lagi kerapnya orang tua melarang
dengan cara menakut-nakuti, “Awas, lo, Dek, kalau naik tangga, Adek nanti bisa jatuh !”
Akhirnya anak tak punya keberanian hingga ia pun tak punya pengalaman dan
keterampilan untuk berjalan menaiki tangga. “Sebaiknya beri kesempatan pada anak.
Tentu dengan cara mendampinginya. Kalau tidak, kapan anak terampil?”
Selanjutnya, di usia 1 tahun 9 bulan, perkembangan anak dinyatakan terlambat bila
belum dapat lari, berjalan dengan baik dan berjalan mundur. “Biasanya orang tua jarang
menyuruh anak untuk berjalan mundur. Tapi untuk mengetahui perkembangannya,
coba lakukan tes itu sekarang juga,” bilang Ika.

Perkembangan anak hingga usia 1 tahun 10 bulan dan 2 tahun belum berbeda jauh
dengan sebelumnya. Hanya di usia ini, bila anak belum bisa berjalan menaiki tangga,
sudah dianggap telat. Jadi ketika di mal, bilang Ika, anak 1 tahun 10 bulan sebenarnya
sudah bisa naik tangga sendiri. “Tapi yang dimaksud bukan tangga berjalan, lo.”

Yang patut diwaspadai, bila anak usia ini, terutama anak laki-laki, belum bisa
menendang bola. Tapi jangan khawatir bila ia belum bisa melompat atau melempar bola
overhead karena masih dianggap normal.

NAIK TANGGA

Setelah menginjak usia 2 tahun, Denver melihat perkembangan anak tiap 3 bulan sekali.
Dari usia 2 tahun, 2 tahun 3 bulan hingga usia 2 tahun 6 bulan, anak mestinya sudah
bisa menendang bola ke depan, naik tangga dan berlari. Orang tua perlu waspada bila
anak belum bisa melompat ke atas dan melempar bola overhead. Beberapa anak malah
bisa melompat lebar dan berdiri di atas satu kaki selama satu detik.

Itu sebab, jika di usia 2 tahun 9 bulan, si kecil belum bisa berjalan naik tangga,
melompat ke atas dan belum bisa melempar bola overhead, maka perkembangan
motorik kasarnya dikatakan terlambat. Tak demikian halnya bila ia belum bisa
melompat lebar dan berdiri di kaki satu selama 3 detik, masih dalam batas normal, kok!
Beberapa anak akan bisa melakukan, bila diminta berdiri di atas satu kaki selama 3
detik. Bilang saja, “Ayo, Dek, berdiri kayak bangau!”

Nah, perkembangan anak ini hampir sama saja dengan anak usia 3 tahun. Hanya hati-
hati kalau ia belum bisa berdiri di atas satu kaki selama 1 detik.

PERKEMBANGAN MOTORIK ANAK USIA 5-12 TAHUN


Perkembangan motorik pada usia ini menjadi lebih halus dan lebih terkoordinasi
dibandingkan dengan masa bayi. Anak – anak terlihat lebih cepat dalam berlari dan
pandai meloncat serta mampu menjaga keseimbangan badannya. Untuk memperhalus
ketrampilan – ketrampilan motorik, anak – anak terus melakukan berbagai aktivitas
fisik yang terkadang bersifat informal dalam bentuk permainan. Disamping itu, anak –
anak juga melibatkan diri dalam aktivitas permainan olahraga yang bersifat formal,
seperti senam, berenang, dll.

Beberapa perkembangan motorik (kasar maupun halus) selama periode ini, antara lain :

a). Anak Usia 5 Tahun

– Mampu melompat dan menari

– Menggambarkan orang yang terdiri dari kepala, lengan dan badan

– Dapat menghitung jari – jarinya

– Mendengar dan mengulang hal – hal penting dan mampu bercerita

– Mempunyai minat terhadap kata-kata baru beserta artinya

– Memprotes bila dilarang apa yang menjadi keinginannya

– Mampu membedakan besar dan kecil

b). Anak Usia 6 Tahun

– Ketangkasan meningkat

– Melompat tali

– Bermain sepeda

– Mengetahui kanan dan kiri

– Mungkin bertindak menentang dan tidak sopan

– Mampu menguraikan objek-objek dengan gambar

c). Anak Usia 7 Tahun

– Mulai membaca dengan lancar

– Cemas terhadap kegagalan


– Peningkatan minat pada bidang spiritual

– Kadang Malu atau sedih

d). Anak Usia 8 – 9 Tahun

– Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat

– Mampu menggunakan peralatan rumah tangga

– Ketrampilan lebih individual

– Ingin terlibat dalam sesuatu

– Menyukai kelompok dan mode

– Mencari teman secara aktif.

e). Anak Usia 10 – 12 Tahun

– Perubahan sifat berkaitan dengan berubahnya postur tubuh yang berhubungan


dengan pubertas mulai tampak

– Mampu melakukan aktivitas rumah tangga, seperti mencuci, menjemur pakaian


sendiri , dll.

– Adanya keinginan anak unuk menyenangkan dan membantu orang lain

– Mulai tertarik dengan lawan jenis.

C. STIMULASI 4 MOTORIK KASAR

Motorik kasar merupakan area terbesar perkembangan di usia batita. Diawali dengan
kemampuan berjalan, lantas lari, lompat dan lempar. Nah, modal dasar untuk
perkembangan ini ada 3 (yang berkaitan dengan sensori utama), yaitu keseimbangan,
rasa sendi (propioceptif) dan raba (taktil). Untuk melatihnya yang jelas lakukan sedini
mungkin saat semua perkembangan sensorinya terpenuhi. Berkaitan dengan ini,
orangtua harus bijak melihat kesiapan anak. Misal, anak 12 bulan yang sudah bisa
berjalan bisa distimulasi untuk perkembangan berikutnya yaitu lari, lompat, dan
lempar. Sebaliknya, bila fase berjalan belum dilalui anak dengan baik, tentu tahapan
perkembangan berikutnya pun belum bisa diajarkan. Lantaran itulah, penting bagi kita
untuk mengetahui tahap-tahap perkembangan per usia anak. Cara ini juga
memungkinkan kita mendeteksi gangguan yang siapa tahu dialami si kecil.
Stimulasi dilakukan sambil bermain, misalnya mengajak anak berlari berkeliling meja
makan sambil berpura-pura menjadi kucing yang dikejar anjing kecil. Begitu pula ketika
mau mandi, ajak anak berlari atau melompat-lompat ke arah kamar mandi. Kemudian
minta ia membuka kancing bajunya, dan menaruh baju kotornya dengan melemparnya
ke arah keranjang cucian. Kegiatan-kegiatan itu saja sudah menstimulasi beberapa
motorik kasar si kecil.

STIMULASI 4 MOTORIK KASAR

1. Jalan

Sebelum orangtua memberikan stimulasi pada anak, pastikan anak sudah melalui
perkembangan sebelumnya, seperti duduk, merangkak, dan berdiri. Pada kemampuan
motorik kasar ini, yang harus distimulasi adalah kemampuan berdiri, berjalan ke depan,
berjalan ke belakang, berjalan berjingkat, melompat/meloncat, berlari, berdiri satu kaki,
menendang bola, dan lainnya. Berjalan seharusnya dikuasai saat anak berusia 1 tahun
sementara berdiri dengan satu kaki dikuasai saat anak 2 tahun.

Untuk berjalan, perkembangan yang harus dikuatkan adalah keseimbangan dalam hal
berdiri. Ini berarti, si kecil tak hanya dituntut sekadar berdiri, namun juga berdiri dalam
waktu yang lebih lama (ini berkaitan dengan lamanya otot bekerja, dalam hal ini otot
kaki).

Bila perkembangan jalan tidak dikembangkan dengan baik, anak akan mengalami
gangguan keseimbangan. Si kecil jadi cenderung kurang pede dan ia pun selalu
menghindari aktivitas yang melibatkan keseimbangan seperti main ayunan, seluncuran,
dan lainnya. Sebaliknya, anak lebih memilih aktivitas pasif seperti membaca buku, main
playstation, dan sebagainya.

Stimulasi:

Orangtua berdiri berjarak dengan anak sambil memegang mainan yang menarik.
Gunakan karpet bergambar atau tempelkan gambar-gambar yang menarik di lantai.
Minta anak untuk menginjak karpet/lantai. Misalnya, “Ayo Dek, injak gambar gajahnya!”

Mainan seperti mobil-mobilan atau troli yang bisa didorong-dorong juga bisa
membantu anak belajar berjalan.

2. Lari
Perkembangan lari akan memengaruhi perkembangan lompat dan lempar serta
kemampuan konsentrasi anak kelak, Pada tugas perkembangan ini, dibutuhkan
keseimbangan tubuh, kecepatan gerakan kaki, ketepatan 4 pola kaki-(heel
strike/bertumpu pada tumit, toe off/telapak kaki mengangkat kemudian kaki bertumpu
pada ujung-ujung jari kaki, swing/kaki berayun dan landing/setelah mengayun kaki
menapak pada alas)dan motor planning (perencanaan gerak).

Lalu apa hubungan perkembangan lari dengan kemampuan konsentrasi? Begini, pada
perencanaan gerak (salah satu syarat tugas perkembangan lari) dibutuhkan
kemampuan otak untuk membuat perencanaan dan dilaksanakan oleh motorik dalam
bentuk gerak yang terkoordinasi. Nah, kemampuan perencanaan gerak tingkat tinggi
(seperti lari) akan memacu otak melatih konsentrasi.

Jika perkembangan lari tidak dikembangkan dengan baik, anak akan bermasalah dalam
keseimbangannya, seperti mudah capek dalam beraktivitas fisik, sulit berkonsentrasi,
cenderung menghindari tugas-tugas yang melibatkan konsentrasi dan aktivitas yang
melibatkan kemampuan mental seperti memasang pasel, tak mau mendengarkan saat
guru bercerita (anak justru asyik ke mana-mana), dan lainnya.

Stimulasi

Stimulasi lari bisa dimulai ketika anak berada pada fase jalan, sekitar usia 12 bulan ke
atas. Aktivitasnya bisa berupa menendang bola, main sepeda (mulai roda 4 sampai
bertahap ke roda 3 dan kemudian roda 2) serta naik turun tangga.

3. Lompat

Kemampuan dasar yang harus dimiliki anak adalah keseimbangan yang baik,
kemampuan koordinasi motorik dan motor planning (perencanaan gerak). Contoh, saat
anak ingin melompati sebuah tali, ia harus sudah punya rencana apakah akan mendarat
dengan satu kaki atau dua kaki. Kalaupun satu kaki, kaki mana yang akan digunakan.

Jika anak tidak adekuat dalam perkembangan melompat, biasanya akan menghadapi
kesulitan dalam sebuah perencanaan tugas yang terorganisasi (tugas-tugas yang
membutuhkan kemampuan motor planning).

Stimulasi:

Lompat di tempat atau di trampolin. Jangan lompat-lompat di tempat tidur karena


meski melatih motorik namun “mengacaukan” kognitif. Dalam arti, mengajarkan
perilaku atau mindset yang tidak baik pada anak. Karena seharusnya tempat tidur
bukan tempat untuk melompat atau bermain.

Lompatan berjarak (gambarlah lingkaran-lingkaran dari kapur atau gunakan lingkaran


holahop yang diatur sedemikian rupa letaknya). Minta anak untuk melompati lingkaran-
lingkaran tersebut, gradasikan tingkat kesulitan dengan memperlebar jarak dan
menggunakan kaki dua lalu satu secara bergantian.

4. Lempar

Pada fase ini yang berperan adalah sensori keseimbangan, rasa sendi (proprioseptif),
serta visual. Peran yang paling utama adalah proprioseptif, bagaimana sendi merasakan
suatu gerakan atau aktivitas. Umpama, pada saat anak melempar bola, seberapa kuat
atau lemah lemparannya, supaya bola masuk ke dalam keranjang atau sasaran yang
dituju.

Jika kemampuan melempar tidak dikembangkan dengan baik, anak akan bermasalah
dengan aktivitas yang melibatkan gerak ekstrimitas atas (bahu, lengan bawah, tangan
dan jari-jari tangan). Seperti, dalam hal menulis. Tulisannya akan tampak terlalu
menekan sehingga ada beberapa anak yang tulisannya tembus kertas, atau malahan
terlalu kurang menekan (tipis) atau antarhurufnya jarang-jarang (berjarak). Dalam
permainan yang membutuhkan ketepatan sasaran pun, anak tidak mahir. Umpama,
permainan dartboard. Aktivitas motorik halus lainnya juga terganggu semisal pakai
kancing baju, menali sepatu, makan sendiri, meronce, main pasel, menyisir rambut,
melempar sasaran, dan lain-lain. Intinya, stimulasi pada perkembangan ini yang tidak
optimal berindikasi pada keterampilan motorik halus yang bermasalah.

Gangguan lain berkaitan dengan koordinasi, rasa sendi dan motor planning yang
bermasalah. Contoh, ketika bola dilempar ke arah anak, ada dua kemungkinan respons
anak, yaitu tangan menangkap terlambat sementara bola sudah sampai. Atau tangan
melakukan gerak menangkap terlebih dahulu sementara bola belum sampai.
Seharusnya, respons tangkap anak sesuai dengan stimulus datangnya bola dan anak
bisa memprediksinya. Bila ada gangguan berarti anak bermasalah dalam sensori
integrasinya. Sensori integrasi adalah mengintegrasikan gerak berdasarkan
kemampuan dasar sensori anak. Tentunya ini dapat diatasi dengan terapi yang
mengintegrasikan sensori-sensorinya.

Anda mungkin juga menyukai