Anda di halaman 1dari 3

VAPE LEBIH AMAN?

Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam laporan Global Tobacco Epidemic 2019
menyatakan bahwa Electronic Nicotine Delivery System (ENDS) atau rokok
elektronik terbukti berbahaya bagi kesehatan dan tidak direkomendasikan sebagai
alat bantu berhenti merokok.

Meningkatnya laporan kasus penyakit paru terkait penggunaan rokok elektronik di


Amerika Serikat dan bertambahnya negara-negara yang melarang rokok
elektronik baru-baru ini membuka harapan baru tentang upaya pengendalian
produk adiktif baru tersebut. Lalu bagaimana dengan Indonesia?

Kekosongan Aturan

Selama hampir 6 tahun semenjak rokok elektronik mulai marak di pasaran,


pemerintah belum mengeluarkan aturan apa pun kecuali tentang pengenaan cukai
sebesar 57% pada 2018. Sebelumnya, pada 2010 BPOM pernah menyatakan
bahwa rokok elektronik yang beredar di pasaran adalah produk ilegal karena tidak
memiliki izin. Melalui laporan BPOM tersebut Kementerian Perdagangan
membuat draf peraturan yang isinya tentang larangan impor dan distribusi rokok
elektronik di Indonesia. Draf Peraturan tersebut tidak pernah ditandatangani
sampai terjadinya pergantian menteri pada Agustus 2015.

Pada 2017, dengan dorongan dari Kementerian Kesehatan dan BPOM,


Kementerian Perdagangan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor
86 tahun 2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektronik yang isinya
mengharuskan importir untuk mendapatkan izin dari Kementerian Kesehatan dan
BPOM sebelum memasukkan produk rokok elektronik ke Indonesia. Peraturan ini
pun tidak pernah diterapkan karena akhirnya ditunda oleh Menteri Koordinator
Bidang Ekonomi lewat surat nomor S-310/M.EKON/II/2017.

Dengan keluarnya surat penundaan tersebut, maka peredaran produk rokok


elektronik di Indonesia sampai saat ini tidak pernah diatur kecuali dengan
pengenaan cukai.

"Dibiarkan" Naik

Pemerintah dalam RPJMN 2015-2019 menargetkan penurunan prevalensi


perokok pada anak di bawah umur 18 tahun dari 7,2% pada 2013 menjadi 5,4%
pada 2019. Alih-alih terjadi penurunan, prevalensi merokok anak pada 2018 justru
semakin naik menjadi 9,1%. Kenaikan ini menjadi indikasi kurang efektifnya
upaya pengendalian rokok yang selama ini dilakukan Pemerintah.

Belum selesai dengan masalah peningkatan angka perokok anak, laporan


Riskesdas 2018 mengungkap fakta bahwa prevalensi pengguna rokok elektronik
naik hampir sepuluh kali lipat hanya dalam dua tahun, dari 1,2% pada 2016
menjadi 10,9% pada 2018.

Kosongnya regulasi dan adanya campur tangan yang tak terlihat dalam regulasi
produk ini membuat liarnya promosi produk tersebut lewat kampanye harm
reduction atau pengurangan risiko. Tercatat berbagai pihak terlibat dalam
kampanye tersebut dan beberapa di antaranya melibatkan organisasi besar di
Indonesia.

Selain dipromosikan lewat kampanye pengurangan risiko, upaya lain lewat


pemerintah juga dilakukan dengan melakukan kerja sama dengan lembaga
pemerintah seperti Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi lewat
bingkai bantuan pendidikan, pelatihan, riset dan pengembangan dari produk yang
disebut Modified Risk Tobacco Product.

Meskipun sangat kental dengan benturan kepentingan, hasil kerja sama tersebut
sangat mungkin akan dijadikan landasan dalam mendukung kebijakan produk
tembakau baru di Indonesia yang berbasis 'penelitian ilmiah'.

Pemain Lama

Awalnya pelaku industri rokok elektronik di Indonesia lebih banyak melibatkan


pelaku usaha kecil dan menengah, sampai akhirnya industri rokok besar masuk di
bisnis ini di Indonesia pada 2018.

Juul, salah satu merek rokok elektronik besar di Amerika Serikat yang juga milik
industri rokok baru saja mengumumkan investasinya di Indonesia, tepatnya pada
Juli 2019. Masuknya industri rokok dalam bisnis rokok elektronik menjadi
indikasi bahwa kampanye pengurangan risiko hanya dijadikan alasan untuk
mencapai tujuan sesungguhnya, yaitu keuntungan.

Studi yang dilakukan FAKTA pada 2019 mengungkapkan bahwa industri rokok
selain mendaftarkan merek baru seperti rokok elektronik, juga mendaftarkan
merek baru rokok konvensional dan tetap mempromosikan produk rokok di
berbagai media.
Lose-Lose Solution

Bagi pemerintah, saat ini keputusan apa pun yang akan dipilih baik itu melarang
atau mengendalikan adalah pilihan lose-lose. Memilih melarang, maka akan
berhadapan dengan industri rokok elektronik yang selama ini memang dibiarkan
menjamur dengan segala investasinya. Jika hanya dikendalikan, melihat pada
kegagalan dalam mengendalikan konsumsi rokok, maka sepertinya Indonesia
akan menerima konsekuensi beban ganda konsumsi nikotin sepanjang hayat.
Jika pertimbangan dasar dalam menentukan pilihan kebijakan selama ini adalah
pertimbangan ekonomi dan pendapatan negara, maka butuh keajaiban bagi
Indonesia untuk bisa melarang rokok elektronik. Pengenaan cukai yang sudah
berjalan seperti lampu hijau yang sudah diberikan pemerintah untuk melegalisasi
produk.

Pemerintah pada akhirnya berhasil membuat situasi di mana pilihan 'rasional' saat
ini adalah mengatur penggunaannya dan kita semua masuk dalam jebakan 'lose-
lose solution'. Seperti kata pepatah, nasi sudah menjadi bubur.

SOURCE:
1. Bigwanto Mouhamad Project Assistant Tobacco Control Policy Support
in Indonesia-South East Asia
2. DETIK.COM
3. VAPOR INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai