Makalah Agama
Makalah Agama
Disusun oleh:
Kelompok 12
Kania Khalisah 190403051
Prima S. Ginting 190403064
Aisyah Hekma Chaleeda 190403068
FAKULTAS TEKNIK
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan rahmat dan karunia-
Nya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Aspek Filsafat
Islam”
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan
tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak lepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu dalam
kesempatan ini penulis menghaturkan rasa hormat dan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, penulis telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan baik
dan oleh karenanya, penulis dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima masukan,
saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................................4
1.3 Tujuan.....................................................................................................................................4
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman telah berganti dan perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju dalam
bidangnya masing-masing tak terkecuali ilmu filsafat. Pada zaman dahulu, konon ilmu ini
milik orang Kaldan, Iraq. Kemudian berpindah kepada orang Mesir selanjutnya
berpindah lagi pada orang Yunani. Beberapa kurun waktu dan setelah mengalami
penerjemahan, ilmu ini berpindah lagi kepada orang Suryani selanjutnya pada orang
Arab. Sehingga sekarang muncullah apa yang disebut filsafat islam. Ilmu ini tetap
diajarkan karena para filosof (orang yang menguasai ilmu filsafat) berpendapat bahwa
ilmu ini merupakan keutamaan, sumber segala ilmu, induk semua ilmu, sumber segala
hikmah dan sumber kecakapan manusia. Jadi, penyusunan makalah ini kami kira menjadi
penting untuk memberikan wawasan mengenai ilmu filsafat islam.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Filsafat dan Filsafat Islam ?
2. Apa perbedaan Filsafat Islam dengan Filsafat Barat?
3. Apa latar belakang munculnya Filsafat Islam serta siapa tokoh-tokoh dalam Ilmu
Filsafat Islam?
4. Apa sajakah pokok-pokok masalah yang dibahas Filsafat Islam?
5. Bagaimana kita menyikapi perbedaan pendapat para filosof Islam dan apa
manfaatnya bagi kehidupan?
C. Tujuan Penulisan
1. untuk mengetahui pengertian Filsafat dan Filsafat Islam
2. untuk mengetahui perbedaan Filsafat Islam dengan Filsafat Barat
3. untuk mengetahui latar belakang munculnya Filsafat Islam serta siapa tokoh-
tokoh dalam Ilmu Filsafat Islam
4. untuk mengetahui pokok-pokok masalah yang dibahas Filsafat Islam
5. untuk mengetahui sikap kita menyikapi perbedaan pendapat para filosof Islam dan
manfaatnya bagi kehidupan
4
BAB II
FILSAFAT ISLAM
Filsafat adalah pandangan yang menyuluruh dan sistematis, dikatakan begitu karena
filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus
sampai dibalik pengetahuan itu sendiri. Dikatakan sistematis karena filsafat menggunakan 2
metode berfikir secara sadar, teliti, teratur, serta sesuai dengan hukum-hukum yang ada.
Adapun filsafat Islam adalah pemikiran-pemikiran filsafat yang memberikan kontribusi pada
Islam dan sebaliknya Islam menggunakan filsafat untuk memperkuat prinsip-prinsip agama.
Salah satu prinsip dalam filsafat adalah berpikir radikal, yang berujung pada pengakuan
5
bahwa alam ini disebabkan oleh suatu zat yang tidak tergantung siapapun. Dalam bahasa
agama zat tersebut adalah Tuhan.
6
C. Latar Belakang Lahirnya Filsafat Islam, dan Tokoh-tokohnya
Sejarah filsafat Islam tidak dapat dilepaskan dari filsafat Yunani. Filsafat Yunani
dikembangkan oleh Alexander Agung yang sering juga dikenal Iskandar Zulkarnain.
Alexander Agung adalah Raja Macedonia yang juga merupakan murid dari Aristoteles. Cita-
cita Alexander ingin menguasai Mesir karena Mesir dianggap tempat yang strategis untuk
mengembangkan kekuasaan dan peradaban. Ternyata keinginannya terwujud, sehingga dia
tidak hanya menguasai Mesir, tetapi juga Syiria dan sebagian India.
Alexander mencoba memperkenalkan filsafat dan budaya Yunani di daerah jajahannya
dengan cara menganjurkan para prajurit dan intelektual Yunani untuk mengawini penduduk
setempat sehingga mereka betah hidup di tempat yang dikuasai. Transformasi inilah yang
menjadi cikal bakal perkembangan filsafat dan peradaban Yunani di luar wilayah Yunani.
Karena itu, tidak heran wilayah yang dikuasainya lebih maju dibandingkan dengan Yunani
sendiri. Peradaban Yunani lebih berkembang di Mesir, Syiria dan Yudinsapur. Perkembangan
peradaban filsafat Yunani di luar Yunani disebut Hellenisme.
Hellenisme memiliki pengaruh masuknya filsafat dalam Islam. Sebab, ketika Islam
berhasil menaklukan Mesir, Syiria dan Baghdad, wilayah tersebut sudah maju oleh peradaban
Yunani. Pada masa al-Ma’mun, Harun al-Rasyid dan al-Amin berusaha mengembangkan
tradisi tersebut dengan memberikan dorongan dan intensif yang cukup besar bagi
perkembangan filsafat dan ilmu. Jadi dapat dikatakan bahwa perhatian khalifah yang begitu
besar bagi perkembangan ilmu dan filsafat merupakan salah satu faktor peradaban Islam maju
dan dapat dibanggakan. Disamping itu, ayat-ayat Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk
selalu memaksimalkan daya akalnya. Perjumpaan tradisi Islam dengan tradisi-tradisi yang
sudah maju merupakan faktor lain yang cukup dominan dalam memberikan kontribusi positif
bagi kemajuan ilmu dan filsafat di dunia Islam. Kemajuan Islam relatif mudah diraih karena
bibit kemajuan sudah berkembang di wilayah tersebut. Begitu juga filosof dan ilmuwan
7
merupakan genus atau species. Sesuai paham dalam Islam, Tuhan bagi Al-Kindi adalah
pencipta dan bukan penggerak pertama sebagaimana pendapat Aristoteles.
2. AL-RAZI
Seorang rasionalis yang hanya percaya pada kekuatan akal dan tidak percaya pada wahyu
dan perlunya Nabi-nabi. Ia berkeyakinan bahwa akal manusia kuat untuk mengetahui
yang baik dan yang buruk, untuk tahu pada Tuhan dan mengatur hidup manusia di dunia
ini.
3. AL-FARABI
Berkeyakinan bahwa falsafat tak boleh dibocorkan dan sampai ke tangan orang awam.
Oleh karena itu, para filosof harus menuliskan pendapat-pendapat dalam gaya bahasa
yang gelap agar jangan diketahui oleh sembarang orang. Ia mengatakan bahwa agama dan
falsafat tidak bertentangan, keduanya sama-sama membawa kepada kebenaran.
4. IBN THUFAIL
Menurutnya, filsafat dan agama adalah selaras, bahkan merupakan gambaran dari hakikat
yang satu. Yang dimaksudkan agama di sini adalah batin dan syari’at. Dia juga menyadari
adanya perbedaan tingkat akal antara sesama manusia.
5. IBN RUSYD
Sebagai filsuf besar, juga memikirkan, membahas dan memecahkan masalah-masalah
yang pernah dipikirkan oleh filsuf-filsuf sebelumnya. Ia tidak menerima begitu saja
pikiran-pikiran mereka, tetapi mereka menerima yang setuju dan menolak yang
sebaliknya.
6. NASHIRUDDIN THUSI
Filsafat pertama meliputi alam semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam
semesta. Termasuk dalam hal ini pengetahuan tentang ketunggalan dan kemajemukan,
kepastian dan kemungkinan, esensi dan eksistensi, kekekalan dan ketidakkekalan. Bagi
dia Tuhan tidak perlu dibuktikan secara logis. Eksistensi Tuhan harus diterima dan
dianggap sebagai postulat, bukannya dibuktikan. Mustahil bagi manusia yang terbatas
untuk memahami Tuhan di dalam keseluruhan-Nya, termasuk membuktikan eksistensi-
Nya.
8
7. SUHRAWARDI AL-MAQTUL
Menggunakan istilah atau lambang yang berbeda dari biasanya dipahami orang banyak.
Seperti barzah, tidak berkaitan dengan persoalan kematian. Namun istilah tersebut adalah
ungkapan pemisah antara dunia cahaya dengan dunia kegelapan. Timur dan Barat tidak
berhubungan dengan letak geografisnya, tetapi berlandaskan pada penglihatan horizontal
yang memanjang dari Timur ke Barat. Jadi, makna Timur diartikan sebagai Dunia Cahaya
atau Dunia Malaikat yang bebas dari kegelapan dan materi, sedangkan Barat adalah
Dunia Kegelapan dan Materi. Barat Tengah adalah langit-langit yang menampakkan
pembauran antara cahaya dengan sedikit kegelapan. Timur yang sebaliknya adalah apa
yang berada dibalik langit yang kelihatan, dan apa yang di atasnya, maka batas antara
Timur dan Barat bukanlah falak bulan seperti dalam filsafat Aristotelian, tetapi ia adalah
langit bintang-bintang tetap, atau penggerak yang tidak bergerak.
8. MULLA SHADRA
Menurutnya, filsafat dibedakan menjadi dua pembagian utama yaitu :
1) Bersifat teoritis, yang mengacu kepada pengetahuan tentang segala sesuatu
sebagaimana adanya. Perwujudannya tercermin dalam dunia akal, termasuk jiwa
didalamnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Al-Farabi dan Ibn Sina.
2) Bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian kesempurnaan-kesempurnaan yang
cocok bagi jiwa. Perwujudannya adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia juga
meyakini adanya titik temu antara filsafat dan agama sebagai kesatuan kebenaran
yang dapat dibuktikan melalui mata rantai historis yang berkesinambungan dari
Adam sampai Ibrahim, orang-orang Yunani, para sufi Islam dan para filsuf.
1. Emanasi
Emanasi adalah teori yang dikemukakan oleh Plotinus, yang terkenal dengan
sebutan aliran Neo-Platinisme. Prinsip teori emanasi adalah penjelasan tentang
munculnya yang banyak dari yang satu atau terjadinya alam dari sumber yang pertama.
Dalam bahasa agama sering dinamakan dengan penciptaan, yakni bagaimana Tuhan
menciptakan alam ini. Proses ini merupakan proses otomatis tanpa kehendak, bagaikan
munculnya panas dari api dan cahaya dari matahari. Persoalan tentang terciptanya alam
9
merupakan persoalan parenial yang sampai saat ini belum terpecahkan secara baik. Al-
Farabi, Filosof muslim yang terkenal menguraikan teori emanasi secara lebih rinci. Al-
Farabi menggunakan teori emanasi, yang dalam bahasa arab disebut nazhariyat Al-faidh
(teori limpahan). Karena sesuatu kalau sudah sempurna akan melimpah, bagaikan gelas
jika terus diisi dengan air akan melimpah. Begitu juga Tuhan yang maha sempurna akan
melimpah dari dirinya kesempurnaan juga.
2. Jiwa/ruh
Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan dalam bahasa
inggris soul atau spirit adalah unsur immateri dalam diri manusia. Jiwa tidak dapat
dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya karena tanpa salah satu dari keduanya,
seseorang tidak dapat dikatakan manusia. Kendati jiwa adalah unsur pokok dalam diri
manusia, persoalan hakikat jiwa, hubungan jiwa dengan badan dan keabadian jiwa tidak
mudah dipecahkan. Karena itu, tidak heran para ahli agama, filosof, sufi, dan psikolog
sampai sekarang masih terus berusaha mengkaji dan mendalami tentang eksistensi jiwa.
Dalam kitab-kitab suci agama pun, ungkapan jiwa termasuk bahasan yang penting karena
terkait dengan kepercayaan pokok, yaitu percaya akan hari akhirat, yang didalamnya
terkandung makna keabadian jiwa.
Dalam Al-Qur’an, jiwa diungkapkan denga kata nafs atau ruh, yang artinya tidak
selalu sama karena nafs sendiri tidak satu artinya, ada yang berarti jiwa, hati, dan jenis.
Sedangkan ruh yang berarti jiwa, malaikat jibril, dan wahyu. Kendati terdapat persamaan
arti antara nafs dan ruh, dalam mu’jam Al-wasith, ruh dan nafs dibedakan. Ruh adalah
yang menghidupkan nafs dan esensi ruh lebih halus daripada nafs. Pengertian ini
tampaknya diperkuat oleh M. Quraish Shihab, yang mengatakan bahwa nafs dalam Al-
Qur’an menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang
membedakannya dengan orang lain. Dia mengutip pendapat Abdul Karim Al-Khatib,
salah seorang ulama islam kontemporer, yang cenderung memahami jiwa sebagai suatu
hasil perpaduan antara jasmani dan ruhani manusia, perpaduan yang kemudian
menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan, serta dikenal
dan dibedakan dengan manusia lainnya. Sedangkan Ibn Katsir berpendapat bahwa nafs
dan ruh adalah sama, yaitu zat yang halus menjalar didalam tubuh, seperti mengalirnya
air dalam akar pohon-pohonan.
10
Ibnu Miskawih, filosof etika, berpendapat bahwa jiwa adalah substansi sederhana,
tidak dapat diindera, jiwa bukanlah tubuh, bukan juga bagian dari tubuh, dan bukan pula
materi. Jiwa itu satu dan lebih luas dari pada materi karena jiwa dapat menerima sesuatu
yang berlawanan pada saat yang bersamaan, seperti warna putih dan hitam, sedangkan
tubuh tidak dapat menerima kedua warna itu bersamaan. Jiwa juga tidak dapat diukur
dengan ukuran panjang atau lebar sebagaimana mengukur benda karena jiwa tidak akan
berubah lebih panjang atau lebih lebar.
Ibnu Sina meyakini benar bahwa jiwa adalah unsur yang berbeda dari tubuh dan
memiliki karakter spesifik. Untuk mejelaskan perbedaan tersebut dan sekaligus
memperkuat adanya jiwa. Ibn Sina mengemukakan empat argumen, yaitu:
1) Argumen psiko fisik, yaitu setiap benda harus tunduk pada hukum alam, contohnya
batu harus jatuh kebawah dan tidak bergerak, tetapi ternyata manusia adalah benda
yang bisa bergerak. Gerak manusia ini tentu tidak digerakkan oleh tubuh itu sendiri,
tetapi ada unsur luar yang menggerakkannya, yang disebut jiwa.
2) Aku dan fenomena psikologis, yaitu ketika seseorang mengatakan aku mau tidur,
maka yang dimaksudnya bukan kakinya bergerak dan matanya tertutup, tetapi yang
dimaksud aku adalah keseluruhan dirinya yang satu dan itu adalah jiwa.
3) Argumen kontinuitas, yaitu pengetahuan seseorang selalu sambung-menyambung
dari yang dulu , sekarang, dan yang akan datang tanpa terputus. Seseorang dapat
mengingat masa lalu, dan berada pada saat ini, kemudian dapat memprediksi masa
yang akan datang, yang semua itu menunjukkan adanya aktivitas yang dilakukan
oleh unsur selain badan, yang disebut jiwa.
4) Argumen manusia terbang, yaitu diandaikan ada seseorang yang lahir dengan
kesempurnaan akal dan tubuh kemudian ditutup matanya, sehingga tidak dapat
melihat kemudian diterbangkan di udara kosong tanpa bersentuhan dengan benda
apapun, maka dapat dikatakan bahwa jiwa itu ada karena dia dapat mengkhayalkan
adanya kaki dan tangan. Jelas bahwa khayalannya tentang kaki dan tangan bukan
berasal dari indera, tetapi unsur yang lain, yaitu jiwa.
Ibnu Sina meyakini bahwa jiwa akan kekal setelah mati karena jiwa manusia
berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya. Jiwa tidak akan mati ketika kematian
tubuh karena jiwa adalah unsur yang sama sekali berbeda dengan tubuh dan tidak
mungkin jiwa tergantung pada tubuh. Hubungan antara tubuh dan jiwa bukanlah
11
hubungan yang kausal dan keharusan, tetapi bagaikan hubungan tuan dan hamba, yaitu
tuan tidak terpengaruh dengan perubahan yang menimpa hambanya. Karena itu, jiwa
tidak terpengaruh oleh perubahan yang terjadi pada badan karena tidak hanya mendapat
balasan didunia saja, tetapi nanti pada hidup kedua di akhirat. Jika jiwa manusia telah
mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka dia akan mengalami
kesenangan untuk selamanya, dan jika dia berpisah dengan badan dengan keadaan yang
tidak sempurna, karena waktu bersatu dengan tubuh dipengaruhi hawa nafsu, maka ia
akan hidup dalam keadaan menyesal untuk selamanya.
3. Akal
Permasalahan akal merupakan bagian yang menjadi pembahasan tidak saja dalam
filsafat islam, tetapi juga dalam teologi dan bahkan hampir di semua aspek dalam bidang
keilmuan islam. Dalam fiqih umpamanya, akal merupakan bagian yang amat pokok
untuk berijtihad karena setelah Al-Qur’an dan hadits, akal lah yang berperan menentukan
suatu hukum. Hadits nabi juga menegaskan bahwa jika ditemukan penyelesaian suatu
persoalan dalam Al-qur’an dan hadits, maka hendaklah berijtihad dengan akal. Karena
itu, wajar kemudian akal merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembahasan
bagian keilmuan dalam islam.
Peranan akal dalam teologi mu’tadzilah amat besar jika dibandingkan dengan
Asy-Ariyah. Bagi mu’tadzilah manusia sudah harus melakukan kebaikan dan
meninggakan keburukan kendati belum diutus rasul karena Tuhan memberi daya akal
kepada manusia untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Menurut Al-Kindi, akal terbagi atas empat: pertama akal yang selalu bertindak;
kedua, akal yang secara potensial berada dalam ruh; ketiga, akal yang berubah di dalam
ruh dari daya menjadi aktual; dan keempat, akal yang kita sebut akal kedua. 5
Akal menurut Al-Razi merupakan limpahan dari Tuhan. Akal diciptakan oleh
Tuhan untuk menyadarkan jiwa yang terlena dalam fisik manusia, bahwa tubuh itu
bukanlah tempat yang sebenarnya, serta bukan tempat kebahagiaan dan tempat abadi.
Kesenangan dan kebahagian yang sebenarnya adalah melepaskan diri dari materi dengan
jalan berfilsafat.
4. Teori kenabian
Kenabian merupakan salah satu pembahasan yang dibicarakan oleh para filosof Islam
karena persoalan ini terkait erat dengan pelimpahan dari Akal Aktif (Jibril) kepada para
12
nabi dan filosof. Jika para nabi mendapatkan wahyu dari jibril, maka filosofpun6 dapat
berhubungan dengan jibril yang dalam istilahnya disebut Akal Aktif. Persoalan
berikutnya adalah jika nabi dan filosof sama-sama dapat berhubungan dengan Jibril, apa
perbedaan nabi dan filosof. Dalam kata lain apakah kedudukan nabi dan filosof sama atau
berbeda. Kalau sama di mana letak persamaannya jika berbeda dimana letak
perbedaannya.
Dalam beberapa hal nabi dan filosof sama, yakni dapat berhubungan dengan
Jibril, baik ketika bangun maupun ketika tidur. Sedangkan filosof hanya dapat
berhubungan dengan Jibril hanya ketika tidur saja. Di samping itu, nabi berhubungan
dengan perantara hidayah, sedangkan filosof lewat perantara akal mustafad. Persoalan
inilah yang kemudian dibicarakan oleh para filosof-filosof muslim.
Menurut Al-Farabi, dasar setiap agama langit adalah wahyu dan inspirasi.
Seorang nabi adalah seseorang yang dianugerahi kesempatan untuk dapat langsung
berkomunikasi dengan Tuhan dan diberi kemampuan untuk menyatakan kehendak-Nya.
Islam, sebagaimana agama-agama langit lainnya, mempunyai Tuhan sebagai penguasa.
Al-Qur’an mengatakan: “ Ia tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan Tuhan Yang
Maha Kuasa telah mengajarnya.” (QS. 53: 4-5).
Al-Razi adalah seorang tokoh filsafat yang kontroversial yang mengikuti aliran
rasionalis murni. Oleh karena itu, ia berpandangan manusia tidak membutuhkan adanya
nabi yang tugasnya mengatur kehidupan manusia agar teratur. Manusia bisa teratur dalam
menata kehidupannya dengan adanya akal yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia
sebagai karunia yang terbesar. Jadi, menurutnya hanya dengan akal-lah manusia dapat
hidup teratur tanpa nabi sekalipun.
Adapun menurut Al-Thusi, manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan
kelak akan dibangkitkan kembali tubuhnya. Setelah menetapkan kebebasan berkehendak
dan kebangkitan kembali tubuh, Al-Thusi lalu menetapkan perlunya kenabian dan
kepemimpinan spiritual. Pertentangan minat serta kebebasan individu mengakibatkan
tercerai-berainya kehidupan sosial, dan ini memerlukan aturan suci dari Tuhan untuk
13
sangat diperlukan manusia, termasuk dalam hal kepemimpinan spiritual untuk
melanjutkan aturan suci yang ditetapkan para nabi.
5. Eskatologi
Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman setelah iman kepada
Tuhan. Jika seseorang tidak mengimani kebangkitan di hari akhirat, maka dia berhak di
cap kafir. Al-Ghazali, yang terkenal dengan julukan hujjatul Islam. Mencap filosof kafir
karena filosof mengimani kebangkitan ruhani dan menolak kebangkitan jasmani.
Persoalannya adalah apakah benar filosof itu kafir sebagimana dituduhkan Al-Ghazali.
Kalau benar apakah kafir mereka sama dengan kafir musyrik. Persoalan inilah yang
kemudian mendapat reaksi cukup keras dari Ibn Rusyd, sehingga menulis buku khusus,
yang berjudul Tahafut Al-Tahafut untuk menjawab tuduhan Al-Ghazali tersebut.
Persoalannya kemudian adalah bagaimana sebenarnya posisi Al-Ghazali yang
menggugat para filosof dan bagaimana juga posisi Ibn Rusyd dalam menjawab tuduhan
Al-Ghazali tersebut. Bentuk perdebatan dengan argument masing-masing inilah yang
cukup menarik untuk dikaji dan didalami karena kedua tokoh ini cukup memiliki
pengaruh besar dalam pola pemikiran umat Islam sampai sekarang. Karena itu, ini tidak
bertujuan untuk menilai mana yang benar dan salah, tetapi untuk menjelaskan secara
proporsional dan objektif suatu perdebatan yang berkualitas. Penilaian diserahkan kepada
pembaca mana yang dianggapnya benar atau salah.
14
7. Alam antara Qadim dan Baharu
Perbincangan mengenai penciptaan alam dan sifat alam merupakan salah satu hal
yang krusial, dalam teologi Islam maupun dalam filsafat Islam. Sebab jika alam qadim
sedangkan Tuhan juga qadim, maka tentu ada 2 yang qadim. Dua yang qadim
bertentangan dengan ajaran dasar Islam yang menegaskan bahwa hanya Tuhan satu-
satunya zat yang qadim, selain Tuhan adalah baharu dan ciptaan-Nya. Perdebatan inilah
yang muncul di kalangan filosof karena mereka di tuduh memprakarsai alam qadim.
Apakah benar alam qaim menurut filosof atau tidak bahkan mereka yang menuduh filosof
mengatakan alam qadim salah memahami pandangan filosof.
Menurut Al-Kindi, Tuhan menciptakan alam dari tidak ada karenanya alam adalah
baharu. Penciptaan alam adalah proses dari yang tertinggi sampai yang terendah. Akal
adalah yang tertinggi dan materi adalah yang terendah. Namun, dalam pemikiran Al-
Kindi tidak jelas apakah dia menganut teori emanasi tentang penciptaan atau tidak karena
tidak ada tulisannya yang terperinci tentang itu.
8. Pengetahuan Tuhan
Salah satu persoalan yang diperdebatkan kalangan teolog da filosof adalah
mengenai pengetahuan Tuhan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, seperti
apakah Tuhan mengetahui semut hitam berjalan di malam gelap diatas batu hitam.
Persoalannya adalah jika Tuhan mengetahui hal-hal yang terperinci, maka Tuhan amat
sangat sibuk dan apa gunanya Tuhan mengetahui semua itu. Jika Tuhan tidak mengetahui
tentu di samping terkesan Dia tidak mengetahui, juga tidak sesuai dengan ayat Al-Qur’an
yang menjelaskan Tuhan Maha Mengetahui.
Persoalan inilah yang diperdebatkan secara panjang lebar antara teolog dan
filosof. Abu Barakat Al-Bagdadi berkomentar tentang persoalan tersebut, “Para pemikir
kontemporer dan tradisional berbeda pendapat tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-
hal yang terperinci. Sebagian mereka berpendapat bahwa Tuhan tidak mengetahui selain
zat dan sifat-Nya. Adapun sebagian yang lain mengatakan bahwa Tuhan mengetahui zat
dan juga semua makhluk-Nya dalam berbagai keadaan, baik yang sekarang maupun yang
akan datang. Sisanya berpendapat bahwa Tuhan mengetahui zat sifat-sifat global, dan
wujud yang abadi lewat zat-Nya. Bagi pendapat yang terakhir ini Tuhan tidak mengetahui
hal-hal yang terperinci dan berbagai perubahan di jagad raya. 9
15
9. Hukum kausalitas
Teori kausalitas adalah salah satu sumbangan terbesar filsafat pada ilmu. Ilmu
menjadikan teori kausalitas sebagai dasar pijakannya. Ilmu kesehatan umpamanya, harus
taat azaz pada hukum sebab akibat. Kalau obat tertentu tidak memberi kepastian
penyembuhan bagi penyakit tertentu, maka akan kacau sistem pengobatan. Karena itu,
obat harus mencapai tingkat kepastian sebagai penyembuh suatu penyakit. Peristiwa-
peristiwa di alam juga tidak terlepas dari hukum sebab akibat, seperti api membakar dan
air membasahi.
Teori kausalitas sudah dikembangkan sejak zaman Yunani. Aristoteles
mempertegas keberadaan teori kausalitas dengan menguraikan bahwa ada empat macam
sebab, yaitu sebab materi, bentuk, efisisen, dan tujuan. Keempat jenis sebab tersebut
saling terkait dan bersatu. Sebab materi dan bentuk ada dalam benda itu sendiri,
sedangkan sebab efisien dan tujuan berada di luar benda. Keempat sebab berlaku, baik
bagi kejadian alam maupun bagi kejadian yang disebabkan oleh manusia. Aristoteles
bermaksud bahwa dengan penjelasan ini ia memberikan daftar komplit yang memuat.
16
E. Menyikapi perbedaan pendapat filsafat Islam dan manfaatnya
Banyak sekali ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi yang melarang perpecahan (iftiraq) dan
perselisihan (ikhtilaf), namun apabila kita mencermati, akan tampak oleh kita bahwa yang
dimaksud adalah berbeda pendapat dalam masalah-masalah prinsip atau Ushul yang
berdampak kepada perpecahan. Adapun berbeda pendapat dalam masalah-masalah cabang
agama atau Furu’, maka hal ini tidaklah tercela dan tidak boleh sampai berdampak atau
berujung pada perpecahan, karena para sahabat juga berbeda pendapat akan tetapi mereka
tetap bersaudara dan saling menghormati satu dengan yang lain tanpa saling menghujat atau
melecehkan dan menjatuhkan.
Yang menarik, dalam mengemukakan berbagai pendapatnya, ulama-ulama Islam,
terutama yang diakui secara luas keilmuannya, mampu menunjukkan kedewasaan sikap,
toleransi, dan objektivitas yang tinggi. Mereka tetap mendudukkan pendapat mereka di bawah
Al Quran dan Hadits, tidak memaksakan pendapat, dan selalu siap menerima kebenaran dari
siapapun datangnya. Dapat dikatakan, mereka telah menganut prinsip relativitas pengetahuan
manusia. Sebab, kebenaran mutlak hanya milik Allah. Mereka tidak pernah memposisikan
pendapat mereka sebagai yang paling absah sehingga wajib untuk diikuti, dan menolak
pendapat lain sehingga menganggapnya sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama.
“Pendapatku benar, tapi memiliki kemungkinan untuk salah. Sedangkan pendapat orang lain
salah, tapi memiliki kemungkinan untuk benar.” Demikian ungkapan yang sangat populer
dari Imam Syafi’i.
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian mengenai Filsafat Islam diatas, dapat disimpulkan bahwa;
1. Filsafat berasal dari kata Yunani yaitu philos (keinginan) dan Sophia (kebenaran)
jadi, filsafat adalah cinta kepada ilmu pengetahuan atau kebenaran, suka kepada
hikmah dan kebijaksanaan. Adapun filsafat Islam adalah pemikiran-pemikiran
filsafat yang memberikan kontribusi pada Islam dan sebaliknya Islam
menggunakan filsafat untuk memperkuat prinsip-prinsip agama.
2. Filsafat Barat adalah hasil pemikiran radikal oleh para filosof Barat sejak abad
pertengahan sampai abad modern. Sedangkan Filsafat Islam adalah berpikir
bebas, radikal dan berada pada taraf makna yang mempunyai sifat, corak dan
karakter yang menyelamatkan dan kedamaian hati.
3. Filsafat Islam berawal dari filsafat Yunani yang telah dipelajari sebelumnya oleh
bangsa taklukan Islam seperti Mesir, Baghdad dan Syiria yang kemudian
diteruskan secara intensif oleh para Khalifah. Tokoh-tokoh filsafat Islam yaitu :
AlKindi, Ibnu Rusyd, Al Razi, Ibn Thufail, Al Farabi, Suhrawardi Al Maqtul,
Mulla Shadra, Nashiruddin Thussi, dll.
4. Pokok-pokok yang dibahas dalam filsafat Islam yaitu ;
a. Prinsip teori emanasi adalah penjelasan tentang munculnya yang banyak dari
yang satu atau terjadinya alam dari sumber yang pertama.
b. Jiwa dalam bahasa arab disebut dengan nafs atau ruh, sedangkan dalam
bahasa inggris soul atau spirit adalah unsur immateri dalam diri manusia. Jiwa
tidak dapat dipisahkan dari tubuh, begitu juga sebaliknya karena tanpa salah
satu dari keduanya, seseorang tidak dapat dikatakan manusia.
c. Akal, merupakan bagian yang amat pokok karena digunakan untuk berijtihad
dan membantu manusia agar tidak terlena oleh materi.
d. Filosof berkomunikasi melalui mimpi sedangkan nabi diberi kemampuan
untuk berkomunikasi secara langsung maupun dalam mimpi. Dan kenabian
menjadi penting karena jika manusia hanya menggunakan akal maka akan
terjadi kerusakan dan karena itu perlu adanya suatu petunjuk suci dari-Nya.
18
e. Eskatologi = Iman pada hari akhirat dalam Islam merupakan rukun iman
setelah iman kepada Tuhan.
f. Kebaikan dan kejahatan,
g. Alam, antara qodim dan baru, menurut alKindi, alam itu baru. Penciptaan
alam dimulai dari yang tertinggi hingga yang terendah.
h. Pengetahuan Tuhan.
i. Hukum kausalitas(sebab-akibat)
j. Ruang dan waktu.
5. Sikap kita dalam menyikapi perbedaan pendapat yaitu saling bertoleransi dalam
masalah cabang agama sedangkan dalam masalah ushul hendaknya kita saling
mengingatkan.
B. Saran
Kami selaku penulis memohon kepada para pembaca agar memberikan kritik dan saran atas
makalah kami karena pasti kami tidak akan lepas dari kekeliruan-kekeliruan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Rangkuti, Ramlan Yusuf. 2008. Pendidikan Islam Pada Perguruan Tinggi Umum. Medan.
Nata, Abuddin. 2001. Ilmu kalam, Filsafat, dan Tasawuf. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
20