Anda di halaman 1dari 10

PENYAKIT TANAMAN PERKEBUNAN

1. Hemileia vastatrix ( Karat Daun )

Klasifikasi :
Kingdom : Fungi
Divisi : Basidiomycota
Kelas : Pucciniomycetes
Ordo : Pucciniales
Genus : Hemileia
Spesies : H. vastatrix
Bioekologi :
Perkembangan penyakit tanaman ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu patogen,
inang dan tanaman. Di daerah tropis, Hemileia vastatrix bertahan sebagai uredospora (spora
jamur karat), uredium (badan buah penghasil uredospora), dan miselium (kumpulan hifa
jamur karat) pada daun sakit untuk melanjutkan infeksi pada tanaman. Dari beberapa struktur
jamur tersebut, uredospora paling berperan dalam perkembangan penyakit karat daun.
Uredospora jamur Hemileia vastatrix berwarna orange, panjang 25-35 μm dan lebar 12-28
μm, berbentuk seperti ginjal dan berduri pada bagian yang cembung. Tingkat kerusakan
tanaman kopi pada perkebunan rakyat di Indonesia yang mencapai 58% yang
mengindikasikan lingkungan pertanaman kopi mendukung perkembangan penyakit karat
daun (Rosmahani et al, 2003).
Jamur membentuk spora dalam jumlah banyak kemudian terjadi penetrasi ke dalam
jaringan daun. Infeksi terjadi melalui permukaan bawah daun. Perkecambahan spora
memerlukan air. Lama waktu perkecambahan tergantung dari suhu. Pada suhu optimum 21-
15o diperlukan waktu 1-3 jam untuk berkecambah. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan patogen yaitu , air berperan dalam penyebaran penyakit, angin berperan dalam
penyebaran spora,umur daun menentukan kerentanan terhadap penyakit, dan pohon atau
cabang yang berbuah lebat lebih rentan.
Gejala :
Gejala penyakit karat daun dapat dilihat pada permukaan atas dan bawah daun,
ditandai dengan bercak kuning-jingga seperti serbuk (powder). Daun yang terinfeksi timbul
bercak kuning, kemudian berubah menjadi cokelat. Jika diamati pada bagian bawah daun
tampak bercak yang awalnya berwarna kuning muda, selanjutnya berubah menjadi kuning
tua, pada bagian tersebut akan terlihat jelas tepung yang berwarna oranye atau jingga. Tepung
tersebut adalah uredospora jamur H. vastatrix. Gejala lanjut pada daun tampak bercak cokelat
saling bergabung, menjadi lebih besar, kemudian mengering, dan gugur. Pada serangan berat
mengakibatkan hampir seluruh daun gugur sehingga tanaman akan kelihatan gundul (Harni
dkk, 2015)
Tanaman inang : kopi.
Pengendalian :
Menurut Harni (2015) pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara:
• Penggunaan varietas tahan. Beberapa klon kopi yang tahan terhadap penyakit karat daun
sudah ditemukan di antaranya S795 dan USDA762.
• Kultur teknis meliputi: penyiangan, pemupukan, pemangkasan, dan pengelolaan naungan.
Pengendalian dengan kultur teknis jika dilakukan dengan benar dapat menurunkan intensitas
serangan karat daun.
• Fungisida nabati yang sudah dimanfaatkan untuk mengendalikan penyakit karat daun
adalah ekstrak biji mahoni dengan konsentrasi 0,1–0,2% efektif menekan penyakit karat
daun.
• Fungisida kimia yang digunakan untuk pengendalian karat daun biasanya berbahan aktif
tembaga, seperti tembaga oksida, tembaga khlorida, tembaga hidroksida, atau tembaga sulfat
yang dibuat bubur bordo. Tembaga efektif dalam mengendalikan karat daun kopi, namun
aplikasinya lebih baik sebelum terjadinya infeksi pada daun atau disebut dengan tindakan
preventif. Dampak penggunaan fungisida ini jika berlebihan maka akan terakumulasi di
dalam tanah, dapat meracuni tanaman dan organisme lain pada lingkungan tersebut.
Fungisida berbahan aktif tembaga (kontak), misalnya Nordox, Kocide, Cupravit, Dhitane
diaplikasikan dengan konsentrasi 0,3%, interval 2 minggu, sedangkan fungisida berbahan
aktif triadimefon (sistemik), yaitu Bayleton, Anvil, Tilt dapat diaplikasikan dengan
konsentrasi 0,1%, satu/dua kali aplikasi.
• Penggunaan agens hayati Verticillium
2. Upasia salmonicolor /Corticium salmonicolor (Jamur Upas)

Klasifikasi :
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Basidiomycetes
Ordo : Stereales
Famili : Corticiaceae
Genus : Corticium
Spesies : Corticium salmonicolor
Bioekologi :
Morfologi pertumbuhan patogen pada tanaman mengalami 4 stadia, yakni stadium
membenang, stadium membintil, stadium kortisium, dan stadium nekator. Stadium
membenang merupakan perkembangan awal patogen yakni pada permukaan ranting atau
cabang tanaman terlihat benang-benang halus. Perkembangan selanjutnya pada permukaan
ranting atau cabang tanaman terlihat adanya bintil-bintil putih. Lapisan miselium yang tipis
berwarna merah jambu merupakan ciri stadium kortisium. Perkembangan selanjutnya adalah
stadium nekator, yaitu terbentuk bintil merah pada kayu yang umumnya telah mati karena
serangan cendawan ini. Bintil-bintil tersebut merupakan tubuh buah cendawan. Kelembaban
dan kurangnya cahaya yang mengenai bagian tanaman mendorong perkembangan cendawan
ini (Defitri, 2016).
Gejala :
Gejala khas serangan jamur upas adalah cabang atau ranting yang terserang layu
mendadak. Serangan dapat terjadi pada cabang yang di bawah, tengah, maupun di ujung
pohon, bahkan dapat terjadi pada batang . Gejala awal dimulai jamur ini membentuk stadium
sarang laba-laba, berupa lapisan hifa tipis, berbentuk seperti jala berwarna putih. Pada
stadium ini jamur belum masuk ke dalam kulit, sebelum mengadakan penetrasi ke dalam
jaringan terlebih dahulu jamur membentuk gumpalan-gumpalan hifa yang sering dibentuk
pada lentisel. Stadium ini disebut stadium bongkol semu. Di bagian sisi bawah cabang atau
sisi cabang yang ternaung, jamur membentuk kerak berwarna merah jambu yang merupakan
stadium kortisium yang terdiri atas lapisan hienium. Terakhir stadium nekator berupa bintil-
bintil kecil berwarna orange kemerahan pada kayu yang umumnya telah mati karena serangan
jamur ini. Serangan pada buah bermula nekrosis dari pangkal buah disekitar tangkai,
kemudian meluas keseluruh permukaan dan mencapai endosperma(Harni dkk,2015).
Tanaman inang : Karet, coklat, kopi, teh, dan cengkeh
Pengendalian:
Menurut Semangun (1990) pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara:
a. mengurangi kelembaban kebun dengan memangkas pohon pelindung atau dengan
mengurangi ranting-ranting kopi yang tidak produktif.
b. membersihkan sumber infeksi yang ada di sekitar areal perkebunan kopi.
c. jika penyakit belum meluas, bagian-bagian daun sakit digunting, daun yang gugur
dikumpulkan dan dibakar atau dibenamkan.
d. Menggunakan agens hayati Pseudomonas sp.
e. pemberian fungisida yang tepat untuk sasaran jamur tersebut.
3. Exobasidium vexans ( Cacar daun teh )

Klasifikasi :
Kingdom : Fungi
Filum : Basidiomycota
Kelas : Exobasidioomycetes
Subkelas : Exobasidiomycetidae
Ordo : Exobasidiales
Genus : Exobasidium
Spesies : E. vexans
Tanaman inang : Tanaman teh
Gejala serangan :
Pada umumnya serangan penyakit cacar daun teh terjadi pada peko (pucuk daun
pertama, ke-2, dan ke-3). Gejala awal, cacar tampak seperti bercak kecil hijau pucat tembus
cahaya pada daun muda, kemudian bercak melebar dengan pusat tidak berwarna dibatasi oleh
cincin berwarna hijau, lebih hijau dari sekelilingnya dan menonjol ke bawah. Bercak berubah
warna menjadi putih dan mengandung spora. Gejala serangan lanjut, pusat berwarna coklat
tua, mati dan daun berlubang (Widiastuti,2017).
Bioekologi :
Bagian morfologi cendawan yang akan keluar menembus lapisan epidermis adalah
basidium yang kemudian akan menghasilkan basidiospora. Miselium cendawan tidak
ditemukan saat pengamatan. Cendawan memiliki miselium yang bersifat interseluler dengan
diameter kurang lebih 1-1,5 µm. Rata-rata ukuran diameter basidium adalah sebesar 2,913
µm Basidium membentuk 2-4 basidiospora yang semula bersel 1, tetapi biasanya menjadi
bersel 2 sebelum dihamburkan. Rata-rata panjang basidiospora saat pengamatan adalah
sebesar 9,301 µm, dan lebar sebesar 2,423 µm. Spora yang terlepas dari strigma mempunyai
ukuran 13-27 x 4,3-6,5 µm
Menurut Cheragian (2016) batas waktu pertumbuhan setiap fase cendawan E. vexans
adalah sebagai berikut: (1) sporulasi sampai perkecambahan membutuhkan waktu 2 jam
sampai 5 hari, (2) proses perkecambahan menuju tahap infeksi selama 2 sampai 9 hari, (3)
dari awal infeksi sampai terlihat bercak tembus cahaya selama 3 sampai 10 hari,(4) gejala
bercak tembus cahaya sampai keluarnya basidium dari epidermis selama 6 sampai 9 hari.
Total waktu yang dibutuhkan cendawan untuk menyelesaikan satu siklus hidup adalah selama
11 sampai 28 hari

Pengendalian :
Pengendalian yang dapat dilakukan menurut Astuti dan Fajar (2013) yaitu :
 Penggunaan klon tahan
Klon GMB 1-11 tahan terhadap penyakit cacar daun teh dan berpotensi hasil
tinggi, terutama untuk peremajaan/penanaman di areal baru.
 Pemetikan dengan daur petik pendek (7-8 hari)
Pemetikan dengan daur petik pendek dapat mengurangi intensitas serangan E.
vexans karena setelah 9 hari, infeksi jamur E. vexans sudah dapat menghasilkan spora.
Diusahakan agar semua pucuk yang bergejala juga dipetik, sehingga secara kumulatif
dapat memberikan hasil pucuk yang lebih banyak.
 Pemberian mulsa atau serasah pada kebun teh mempunyai manfaat yaitu:
 Meningkatkan keanekaragaman hayati di atas permukaan tanah.
 Meningkatkan kadar bahan organik tanah sehingga tanaman dapat tumbuh
dengan baik dan lebih tahan terhadap kekeringan.
 Menekan pertumbuhan gulma.
 Penanaman dan pengelolaan pohon pelindung
 Pemangkasan pohon pelindung pada ketinggian 8-10 m di atas permukaan
tanah bertujuan agar sinar matahari yang masuk ke dalam pertanaman teh akan
lebih banyak dan membunuh spora jamur vexans secara langsung.
 Waktu pemangkasan dilakukan pada awal musim penghujan.
 Hasil pangkasan pohon pelindung digunakan sebagai mulsa, dihamparkan di
atas permukaan tanah untuk menambah bahan organik sehingga akan
mengaktifkan mikroorganisme tanah.
 Budidaya tanaman yang baik, antara lain:
 Pemupukan K2O ditambah 10-20% dari dosis normal untuk meningkatkan
ketahanan tanaman.
 Memangkas atau memusnahkan bagian-bagian tanaman yang terserang.
 Menggunakan pestisida nabati dari tanaman rumput pahit, mindi, bandotan, suren,
nimba, biji sirsak, akar tuba dengan dosis 10 kg bahan baku/h
 Penggunaan agens hayati Trichoderma sp.
4. Ganoderma (busuk pangkal batang )

Klasifikasi :
Kingdom : Fungi
Filum : Basidomycota
Kelas : Homobasidioycetes
Ordo : Polyporales
Famili : Ganodermataceae
Tanaman inang : Kelapa sawit dan sengon ( Elis, 2012)
Gejala serangan :
Gejala serangan penyakit pada daun kecambah dan bibit terjadi setelah munculnya
tubuh buah pada bulan pertama, sebagian besar kecambah dan bibit menunjukkan
pertumbuhan tubuh buah G. Boninense pada pangkal batang yang diikuti dengan nekrosis
(kematian jaringan) pada pertulangan daun akibat kurangnya unsur hara yang diangkut dari
akar menuju daun, sehingga proses fotosintesis, sintesis klorofil, transfer asimilat terganggu,
dan dapat menyebabkan kematian pada kecambah dan bibit. Susanto et al. (2013)
menyatakan bahwa gejala visual penyakit busuk pangkal batang muncul pertama kali pada
tiga bulan setelah inokulasi Ganoderma. Sebagian besar bibit kelapa sawit menunjukkan
pertumbuhan tubuh buah Ganoderma. yang muncul pada pangkal batang yang diikuti dengan
nekrosis pada daun dan kematian bibit kelapa sawit. Keadaan jaringan tanaman, khususnya
pada daun yang kekurangan klorofil akan menyebabkan klorosis yaitu daun berwarna kuning
pucat hingga kecoklatan, hal ini merupakan petunjuk terjadinya kekurangan hara pada daun
atau serangan penyakit yang dialami oleh tanaman (Nurbaiti et al. 2012). Sehingga
mempengaruhi ketersediaan unsur N dan Mg yang berperan penting dalam sintesis klorofil
(Syafi 2008).
Bioekologi :
Ganoderma sp tergolong kelas Basidiomycetes. Jamur patogen membentuk tubuh
buah pada pangkal batang tanaman inang. Fungi akar merah ini menular melalui kontak akar
tanaman sehat dengan akar tanaman sakit atau mati. Pada daerah dengan kelembaban
tinggidan pH tanah antara 6,0 – 7,0 pertumbuhanfungi ini lebih baik dibandingkan pada tanah
dengan pH 4,0 – 5,5. Terbentuknya tubuh buah menunjukkan tingkat keparahan penyakit
akar merah / busuk pangkal batang pada sawit. Mula mula tubuh buah berbentuk bongkol
kecil berwarna putih. Selanjutnya tubuh buah berkembang membentuk kipas tebal. Tubuh
buah tumbuh berdekatan saling menutupi dan bersambungan.Permukaan tubuh buah
berwarna cokat muda hingga coklat tua, saat masih muda mengkilat . Lapisan bawah tubuh
buah merupakan lapisan pori tempat terbentuk basidium dan basidiospora.
Biakan Ganoderma boninense berkembang dengan baik pada suhu 27 – 30 o C dan pH 3,5 –
5,0 dengan media selektif.
Pengendalian :
Pengendalian yang dapat dilakukan menurut Susanto (2002) yaitu :
 Strategi pengendalian penyakit BPB Ganoderma yang paling menjanjikan yaitu
dengan menerapkan pengendalian terpadu yang merupakan kombinasi dari
pengendalian hayati
 Pembuatan parit isolasi tanaman terinfeksi, berukuran 4 m × 4 m dengan lebar dan
kedalaman parit berturutturut 40 cm dan 60 cm. Pembuatan parit isolasi bertujuan
untuk mencegah terjadinya kontak akar sehingga penularan BPB dapat ditekan.
Berdasarkan penelitian Chung (2011) parit isolasi berukuran minimal 2 m × 2 m
dilaporkan mampu mencegah penularan penyakit BPB hingga 14 tahun.
 Sanitasi tanaman terinfeksi dilakukan melalui pemusnahan sumber inokulum dengan
cara membongkar tanah memusnahkan tunggul-tunggul dan akar tanaman terinfeksi
serta membakarnya. Sanitasi sumber inokulum ini dapat meminimalkan kontak antara
akar sehat dan sisa-sisa akar terinfeksi yang merupakan salah satu mekanisme utama
penyebaran Ganoderma di lapangan
 Menanam varietas tahan, contohnya varietas D x P 540 NG
 Penggunaan agens hayati Trichoderma sp.
 Pemberian mikoriza untuk meningkatkan pertahanan tanaman terhadap serangan
penyakit BPB pada pembibitan kelapa sawit
DAFTAR PUSTAKA
Astuti Y dan Fajar H. 2013. Buku Pedoman Pengenalan dan Pengendalian Organisme
Pengganggu Tumbuhan (OPT) Tanaman Teh, Pala dan Cengkeh. Direktorat
Perlindungan Perkebunan. Direktorat Jenderal Perkebunan. Jakarta.
Chung GF. 2011. Management of Ganoderma diseases in oil palm plantations. Planter.
87(1022):325–339.
Defitri, Yuza. 2016. Pengamatan Beberapa Penyakit yang Menyerang Tanaman Kopi (Coffea
sp) di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Betara Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Jurnal
Media Pertanian 1 (2): 78-84
Elis Nina. 2012. Uji Patogenitas Ganoderma Terhadap Bibit Sengon. FK IPB. Bogor
Nurbaiti, Yulia AE, Sitorus J. 2012. Respon pertumbuhan bibit kelapa sawit (Elaeis
guineensis Jacq.) pada medium gambut dengan berbagai periode penggenangan.
Jurnal Agroteknologi Tropika. 1(1):14-17.
Semangun H. 1988. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia.
Yogyakarta(ID): UGM Pr
Semangun, H. 1990. Penyakit Tanaman Kebun di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Susanto, A. 2002. Kajian pengendalian hayati Ganoderma boninense Pat. penyebab penyakit
busuk pangkal batang kelapa sawit. Disertasi IPB, Bogor
Susanto A, Sudharto P, Daisy T. 2002. Hiperparasitisme beberapa agens biokontrol terhadap
G. boninense penyebab penyakit busuk pangkal batang kelapa sawit. Jurnal
Fitopatology Indonesia. 9(2):39-46.
Syafi S. 2008. Respons Morfologis dan Fisiologis Bibit Berbagai Genotipe Jarak Pagar
(Jatropha curcas L.) terhadap Cekaman Kekeringan [Tesis]. IPB. Bogor

Anda mungkin juga menyukai