Anda di halaman 1dari 12

TUGAS TERSTRUKTUR

ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN

PATOGEN KEDELAI (Glycine max) Xanthomonas campestris pv. Phaseoli dan Cara
Pengendaliannya

Makalah ini Disusun Guna Melengkapi

Komponen Tugas Terstruktur

Mata Kuliah Organisme Pengganggu Tumbuhan

Dosen Pengampu: Prof. Ir. Loekas Soesanto, MS., Ph.D

Disusun Oleh:

Kelompok II

Tiara Marshela Dewi A1L008052

Arif Ardiawan A1L008062

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2009

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Kedelai (Glycine max (L.) Merr. ) merupakan salah satu jenis kacang sumber protein terpenting
di dunia. Di Amerika dan Eropa merupakan sumber minyak konsumsi (Naiola, 1986).

Kedelai tidak terdapat sebagai tumbuhan liar dialam. Diduga bahwa kedelai berasal dari
hibridisasi antara G. ussuriensis Regel yang terdapat liar di selatan Asi bagian timur, dengan G.
tomentosa Benth. yang tumbuh liar di Cina bagian selatan. Kedelai dibudidayakan di cina ejak
zaman prasejarah. Kedelai sudah lama dibudidayakan di Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali
(Semangun, 2004).

Sebagai sumber protein bagi masyarakat, kedelai sangat diusahakan oleh pemerintah untuk
mencapai derajat sewasembada kedelai. Akan tetapi produksi nasional kedelai belum cukup
untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional. Selain melakukan impor kedelai, beberapa cara
seperti intensifikasi budidaya kedelai juga dilakukan. Akan tetapi, intensifikasi tersebut
terhambat oleh munculnya hama maupun penyakit yang menyerang tanaman kedelai.

Kedelai dilihat dari berbagai segi:

1. Morfologi

a. Biji

Biji kedelai berkeping dua terbungkus kulit biji dan tidak mengandung jaringan endospermae.
Embrio terletak diantara keeping biji. Pusar biji (hilum) adalah jaringan bekas bii melekat pada
dinding buah. Pada umumnya berbentuk bulat lonjong. Besar biji dipengaruhi oleh varietas,
diukur dengan bobot 100 biji kering, berkisar antara 6-30 gram (Sumarno, 1986).

b. Kecambah

Biji kedelai yang kering akan berkecambah bila memperoleh air yang cukup. Air tanah dalam
kapasitas lapang baik untuk perkecambahan biji kedelai. Suhu optimum untuk proses
perkecambahan adalah antara 27-30oC. kecambah kedelai tergolong epigeous, yaitu keeping biji
muncul diatas tanah. Daya kecambah ulai turun terutama bila keadaan air dalam biji diatas 13%
dan disimpan didalam ruangan yang suhunya diatas 25oC, serta kelembaban nisbi ruang lebih
dari 80%. Biji kedelai yang disimpan dalam gudang tanpa pendingin hanya dapat tahan sekitar
2-5 bulan, lebih daeri itu sebagian besar biji tidak mamu tumbu lagi (Sumarno, 1986).

c. Akar

Kedelai berakar tunggang. Pada tanah gembur akar dapat tumbuh sampai kedalaman 150 cm.
paqda akar kedelai terdapat bintil akar,yang merupakan koloni dari bakteri Rhizobium
japonicum. Pada tanah yang telah mengandung bakteri rizobium, bintil akar mulai terbentuk
sekitar 15-20 hari setelah tanam. Bakteri rizobium mengikat nitrogen dari udara yang kemudian
dapat digunakan untuk pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, rizobium juga memerlukan makanan
yang berasal dari tanaman kedelai untuk pertumbuhannya (Sumarno, 1986).
d. Batang

Kedelai berbatang perdu dengan tinggi 30-100 cm. batang dapat membentuk 3-6 cabang, tetapi
bila jarak antar tanaman rapat, cabang menjadi berkurang. Jumlah polong per pohon beragam
tergantung dari varietas, kesuburan tanah, dan jarak tanam. Satu batang kedelai yang tumbuh
tersendiri pada tanah yang subur dapat menghasilkan 100-250 polong. Tetapi apabila ditanam
rapat dalam pertanaman, produksi polong per pohon tidak lebih dari 30 oplong (Sumarno, 1986).

2. Klasifikasi

Kedelai termasuk famili kacang-kacangan (leguminosae), klasifikasi secara lengkap adalah


sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Divisi : Spermatophyta

Sub Divisi : Angiospermae

Kelas : Dikotiledon

Ordo : Polypetales

Famili : Leguminosae

Sub Famili : Papilionoideae

Genus : Glycine

Spesies : Glycine max

Kedelai mempunyai susunan genom diploid (2n). dengan 20 pasang kromosom.

3. Media Tumbuh

Tanaman kedelai dapat tumbuh baik pada berbagai jenis tanah, asalkan darinase tanah cukup
baik dan air tersedia cukup selama pertumbuhan. Pada jenis tanah alluvial, regosol, grumosol,
latosol, dan andosol, kedelai dapat tumbuh dengan baik. Agar pertumbuhan kedelai optimal,
tanah perlu mengandung cukup unsure hara, bertekstur gembur, bebas gulma, serta mengandung
cukup air. Tingkat keasaman tanah (pH) 6,0-6,8 merupakan keadaan optimal bagi pertumbuhan
kedelai dan bakteri rhizobium pada bintil akar. Pada tanah dengan pH sekitar 5,5 pun kedelai
masih memberi hasil. Pemberian kapur sebanyak 2-3 ton/ha bagi tanah-tanah ber-pH di bawah
5,5 pada umumnya dapat menaikan hasil (Sumarno, 1986). Namun, saat ini, untuk
memanfaatkan tanah dengan pH rendah, dapat dilakukan dengan menanam kedelai varietas
Slamet yang tahan terhadap tanah masam.
Hubungan antara bakteri dengan tanaman, dapat bersifat epifit, artinya apabila bakteri hidup pada
filosfer, exudat, luka-luka dan bagian-bagian tanaman tanpa merugikan tanaman yang
bersangkutan. Apabila bakteri hidup di daerah perakaran (rhyzosphere) maka akan terjadi
hubungan yang bersifat sinergisme. Telah diketemukan bahwa pada daerah rizosfer terdapat
bakteri yang lebih banyak daripada di tempat lain. Hal ini akibat substansi-substansi yang
dikeluarkan oleh tanaman dapat menarik atau merangsang pertumbuhan bakteri. Bakteri
Rhizobium spp. yang hidup dalam bintil-bintil akar pada tanaman kedelai, melakukan hubungan
yang bersifat simbiosis dengan tanaman kedelai, dengan membantu mengikat nitrogen dari udara
dan mendapat karbohidrat dari tanaman. Akan tetapi, bakteri dapat pula bersifat parasit. Bahkan
parasitisme yang ditimbulkan bakteri dapat bersifat pathogen apabila menimbulkan penyakit bagi
tanaman (Sastrahidayat, 1991).

Penyebab perlu adanya pengendalian terhadap penyakit terutama kedelai terkait dengan hasil
produksi. Jika penyakit yang menyerang mengurangu baik kualitas maupun kuantitas produksi
yang menyebabkan kerugian, maka usaha pengendalian sangat perlu untuk diterapkan.

Hasil produksi kedelai nasional mengalami fluktuatif dimulai dari tahun 2004. pada tahun 2004,
produksi kedelai nasional mencapai 723.483 Kuintal dengan produktivitas 12.80 Kuintal/Ha.
Lalu mengalami kenaikan pada tahun 2005 sebesar 808.353 kuintal. Kemudian tahun 2006
mengalami penurunan menjadi 747.611 kuintal. Penurunan produksi kembali terjadi di tahun
2007 dengan besarnya produktivitas sebesar 12.91 Kuintal/Ha, dengan besarnya produksi
592.534 kuintal. Penurunan yang terjadi cukup drastis di tahun 2007. selanjutnya produksi
kembali naik di tahun 2008 menjadi 775.710 kuintal dengan besarnya produktivitas 13.13
kuintal/Ha (Badan Pusat Statistik, 2008). Selain dari perbedann luasan areal panen, penyebab
yang mungkin terjadi terhadap penurunan hasil produksi kedelai adalah karena adanya serangan
penyakit.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai
pokok pembahasan makalah ini yaitu:

1. Bagaimana spesifikasi bakteri penyebab penyakit pustule pada tanaman kedelai?


2. Bagaimana upaya pengendalian terhadap serangan penyakit pustule pada kedelai?

II. PATOGEN

(Xanthomonas campestris pv. Phaseoli )

Pada pokok bahasan kali ini, lebih ditekankan kepada patogen tanaman kedelai yang disebabkan
oleh bakteri. Bagaimanapun, bakteri sangatlah penting dan mematikan terutama di daerah yang
beriklim basah seperti daerah tropis. Sebagian besar bakteri penyebab penyakit bagi tumbuhan
adalah berbentuk batang (rob-shaped). Kecuali bagi beberapa bakteri seperti Streptomyces
scabies yang menyebabkan penyakit scab (kudis) pada kentang. Kebanyakan dari spesies bakteri
dapat hidup sebagai saprofit, sebagian ada bersama bahan organic di tanah atau di luar tubuh
tumbuhan (Dickinson, 2003).

Pada umumnya hawar ataupun pustul bakteri disebabkan oleh bakteri Xanthomonas campestris
pv. phaseoli. Pada sebagian besar kawasan di dunia, hawar bakteri adalah penyakit seed-borne
yang menyebabkan kerugian produksi sebesar 20-60% pada kultivar rentan (Marquez. dkk,
2007).

A. Xanthomonas campestris pv. Phaseoli (bacterial pustule – bisul bakteri)

Penyakit ini biasa disebut dengan istilah bisul bakteri (bacterial pustule). Penyakit ini
termasuk salah satu penyakit penting pada kedelai di Indonesia. Penyakit tersebut tersebar luas di
seluruh Indonesia. Bahkan menurut Nyvall (1979) dalam Semangun bahwa dapat dikatakan
penyakit ini tersebar di seluruh dunia dimana kedelai berada (Semangun, 1991)

1. Gejala Yang Ditimbulkan

Bakteri ini menyerang tanaman kedelai bermula dari bagian daun. Pada kasus ini, bakteri masuk
melalui hidatoda, yang strukturnya mempunyai pori air yang berlokasi di bagian tepi daun
(Dickson, 2003). Selain melalui hidatoda, bakteri dapat masuk kedalam daun melalui stomata
atau luka, dan kemudian menyerang ruang antar sel yang menyebabkan kerusakan bertingkat (a
gradual dissolution) di lamella tengah. Untuk batang tanaman, bakteri masuk melalui tiga jalur
yaitu: melalui stomata hypokotil dan epikotil, melalui jaringan vascular daun, atau melalui
kotiledon yang terinfeksi (EPPO Quarantine Pest, 2004).

Bagian daun mula-mula terjadi bercak kecil berwarna hijau kekuningan dengan bagian tengahnya
agak menonjol. Bercak ini tidak tampak kebasah-basahan seperti kebanyakan infeksi yang
disebabkan oleh bakteri. Bercak berkembang menjadi lebih besar, dan bagian tengahnya,
terutama pada bagian bawah daun, terdapat tonjolan berwarna colat muda. Bercak yang ada
mempunyai ukuran yang bervariasi. Bercak mongering dan sering mengakibatkan sobeknya
daun(Semangun, 1991).

Penampakan penyakit pustule atau bisul pada daun kedelai yang disebabkan bakteri X.
campestris pv. phaseoli.

Gejala bisul daun sering dikacaukan dengan munculnya gejala karat daun yang disebabkan oleh
jamur Phakospora pachryhizi Syd. Perbedaanya adalah pada penyakit bisul daun, tidak terdapat
lubang yang mengeluarkan spora seperti yang terjadi pada gejala penyakit karat daun. Pada
gejala penyakit bisul, terdapat satu celah yang melewati pusat bercak (Nyvall, 1979, pada
Semangun, 1991). Pada polong varietas yang rentan penyakit ini menyebabkan terjadinya bercak
kecil berwarna coklat kemerahan.

2. Morfologi

Bakteri ini berbentuk batang dengan flagellum polar, bersifat aerobic dengan ukuran 0.4-
0.9 x 0.6-2.6 µm (EPPO Quarantine Pest, 2004). Membentuk kapsula, tidak menghasilkan spora.
Biakan yang dihasilkan memiliki warna putih kekuningan, berbentuk bundar, permukaan tepi
halus serta berlendir (Dickson (1956) pada Semangun, 1991). Hampir semuanya monotrichus,
bersifat gram negative yaitu bakteri yang tidak dapat diberi warna atau menyerap warna oleh
pewarna crystal violet (pewarna gram), menyebabkan nekrose (kematian jaringan setempat) pada
tumbuhan monokotil dan dikotil (Sastrahidayat, 1991

3. Biologi

Bakteri ini hidup dengan cara mempertahankan diri pada sisa-sisa tanaman sakit dan
pada biji. Menurut Nyvall, bakteri ini juga bertahan pada rhizofer tanaman lain, antara lain
gandum.

Infeksi pada tanaman terjadi melalui mulut kulit dan hidatoda (pori air), bakteri
selanjutnya berkembang dalam ruang antarsel. Selain itu, infeksi dapat terjadi melalui luka-luka.
Pemencaran bakteri dipengaruhi terutama oleh percikan yang ditimbulkan oleh air hujan,
terutama jika hujan disertai dengan angin keras. Selain itudapat terjadi karena adanya singgungan
antar daun, dank arena bersentuhan dengan alat-alat pertanian yang terkontaminasi pada saat
daun dalam keadaan basah (Semangun, 1991).

4. Klasifikasi

Bakteri Xanthomonas campestris pv. Phaseoli termasuk bakteri yang ada pada
(Sastrahidayat, 1991):

Divisi : Gracilicutes (Gram-negatif) (Dickson, 2003)

Kelas : Schizomycetes nagali

Ordo : Eubacteriales Buchanan (Bersel tunggal, kaku, berbentuk rantai atau merupakan
kumpulan)

Famili : Pseudomonadaceae (tidak berendospora, lurus memanjang atau merupakan spiral yang
agak melengkung, biasanya bergerak dengan flagella yang polar, biasanya gram
negatif)
Genus : Xanthomonas (biasanya monotrichus, berpigmen warna kuning, yang tidak larut dalam
air)

Spesies : Xanthomonas campetris pv. phaseoli

5. Arti Penting

Di kawasan Indonesia, penyakit ini lebih banyak terjadi pada musim hujan, dan
menyerang kebanyakan di wilayah dataran rendah. Hal tersebut terjadi karena penyakit ini akan
berkembang dengan mudah pada kondisi suasa yang lembab dan suhu yang relative tinggi,
dengan kisaran suhu optimum 30-350C (Machmud pada Semangun, 1991).

Penyakit ini dipengaruhi oleh umur tanaman. Gejala penyakit biasanya mulai tampak
pada tanaman kedelai setengah umur, lebih kurang 40 hari setelah tanam. Serangan penyakit
akan semakin parah dengan bertambahnya umur tanaman (Semangun, 1991).

Serangan penyakit juga dipengaruhi oleh kondisi fisiolgis tanaman. Pada tanaman kedelai
mengalami laju pertumbuhan vegetatif yang cukup besar pada saat periode pengisian polong.
Keadaan ini dangat berpengaruh terhadap hasil biji kering karena distribusi asimiltat tidak
seluruhnya terkonsenrasi pada pengisian polong (Widiatmoko, 2003). Konsdisi nutrisi yang
banyak pada bagian vegetasi tanamn emmpengaruhi serangan pathogen pada tanaman.

Bakteri dapat berembang biak sangat cepat. Pada kondisi yang optimal pembelahan sel-
sel bakteri terjadi sangat cepat, yaitu sekali dalam 20 menit, sehingga didalam periode 10 jam
satu sel bakteri akan menjadi satu juta sel baru (Sastrahidayat, 1991).

B. Cara Pengendalian Penyakit

Cara ataupun usaha yang dapat dilakukan untuk mengendalikan serangan pathogen kedelai
diantyaranya adalah:

1. Pengendalian dengan menanam jenis yang tahan.

Ketahanan yang dimaksud pada bahasan ini memiliki dua bentuk. Suatu tanaman mungkin saja
tahan terhadap infeksi dari suatu penyakit atau pathogen. Sebaliknya, ada kemungkinan pula
bahwa tanaman yang tahan itu dapat mengalami atau kena infeksi, tetapi tanamn tersebut dapat
mengatasi aktivitas dari patogennya, sehingga pathogen tersebut tidak dapat membiak atau
berkembang dengan bebas, dan tidak menyebabkan kerusakan yang berat atau yang
menyebabkan kerugian yang berarti (Djafaruddin, 2004).

Salah satu cara untuk memperoleh jenis tanaman yang tahan terhadap suatu penyakit,adalah
dengan: Collection, yaitu memilih individu-individu yang tahan dari suatu populasi yang rentan,
lalu membiakannya dan mengadakan pemilihan terus-menerus sampai terdapat galur-galur murni
yang tanah (pure resistant lines). Dapat pula dengan introduksi, yaitu memasukan jenis baru yang
tahan dari daerah atau Negara lain. Atau dengan mengadakan persilangan antara jenis yang tahan
dengan jenis yang rentan. Dengan menyilangkan, maka hasil persilangannya dapat diharapkan
menjadi tahan pula. Dengan harapan akan didapat jenis-jenis yang tahan serta mempunyai sifat-
sifat lain yang diinginkan pula, baik kuantitas maupun kualitas hasilnya yang baik dan haruslah
homozigot (Djafaruddin, 2004)

2. Pengendalian Dengan Cara Kultur Teknis

Pada dasarnya sistem ini dilakukan sebagai upaya memelihara tanaman dengan sebaik-baiknya.
Yang dimaksud sebaik-baiknya adalah memiliki kualitas yang baik yang ditinjau dari segi tanah,
bibit, pemeliharaan tanaman, sanitasi tanaman.

Usaha memilih lahan yang baik artinya memilih lahan yang tidak mengandung penyebab
timbulnya penyakit atau dikenal dengan istilah non-infested soil yaitu tanah yang bebas dari
infeksi. Pemilihan areal penanaman juga ditentukan dengan kondisi geografis yaitu dengan
melihat kondisi cuaca yang cocok bagi tanamn kedelai tapi tidak cocok bagi pathogen.

Pemeliharaan tanaman yang dimaksud dapat diartikan sebagai teknik penanaman yaitu dengan
metode tumpang sari ataupun dengan pergiliran tanaman (crop rotation) sistem ini bertujuan
untukmemutus siklus hidup pathogen.

Sanitasi merupakan usaha pemberswihan areal tanaman maupun tanaman itu sendiri. Dengan
adanya usaha sanitasi, maka kebersihan akan terjamin. Sanitasi dapat dilakukan dengan
menghilangkan tanaman-tanaman yang tidak dibudidaya (gulma), menghilangkan bagian
tanaman yang sudah tua, menghilangkan bagian tanaman yang sakit atau bahkan tanaman yang
terinfeksi dimusnahkan (roguing). (Djafaruddin, 2004).

3. Pengendalian Dengan Cara Hayati Biologis

Metode ini memanfaatkan musuh alami dari pathogen yang menyerang. Penggunaan agensia
hayati atau streptomisin sulfat terpadu dengan cara tanam tumpangsari untuk mengendalikan
penyakit pustul di lapangan menurunkan keparahan penyakit berturut-turut adalah 44-54% untuk
musim kemarau dan 45-49% untuk musim penghujan (Dirmawati, 2005).

Berdasarkan hasil penelitian Darmawati (2005) terdapat pengaruh nyata aplikasi agensia hayati
pada kedelai yang ternaungi oleh jagung untuk pengurangan keparahan penyakit pustul. P
fluorescens GI34 yang digunakan untuk mengendalikan penyakit pustul memproduksi hidrogen
sianida dan siderofor untuk bersaing dengan X campestris pv. glycines sedangkan B subtilis
BB01 membentuk endospora sehingga bertahan hidup di permukaan daun. Menurut Kim (1997)
di dalam Darmawati (2005) pada saat pembentukan endospora diproduksi antibiotik berupa
peptida sehingga agensia hayati menghambat pertumbuhan pathogen.

4. Pengendalian Dengan Menggunakan Zat Kimia (Pestisida)

Untuk mengendalikan serangan bakteri, dapat digunakan jenis bakterisida. namun saat ini,
langah tersebut sudah banyak terbukti menimbulkan dampak negative. Bahkan langkah inilah
yang sering dipermasalahkan dari langkah pengendalian penyakit khususnya dan gangguan pada
umumnya, kalau pendekatannya dilakukan dengan hanya satu langkah ini saja, sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli dan juga oleh FAO, bahwa ia akan m enimbulkan berbagai dampak
negative. Beberapa dampak negative dari pengendalian penmyakt dengan menggunakan bahan
kimia pestisida adalah:

a. Penyakit akan resisten atau kebal

Cepat lambatnya perkembangan penyakit tersebut menjadi resisten, antara lain


tergantyung dari besar kecilnya tekanan seleksi pestisida tersebut. Semakin sering
pestisida diaplikasikan, maka akan semakin besar tekanan seleksinya dan semakin cepat
populasi penyakit menjadi resisten terhadap pestisida tersebut.

b. Resurgensi (Timbulnya kembali penyakit tersebut)

Sebab-sebab terjadinya resurgensi, antara lain karena musuh-musuh alaminya mati,


pengaruh fisiologis pestisida tersebut terjhadap kesuburan penyakit dan tanaman inang
pathogen tersebut. Selain itu, residu yang dihasilkan pestisida tidak mampu membunuh
nympha atau spora tahan dan lain sebagainya yang semakin resisten, sehingga ini dapat
berkembang tanpa ada musuh atau saingan lainnya (Djafaruddin, 2004).

c. Timbul ledakan penyakit sekunder

Aplikasi pestisida untuk memberantasjenis penyakit tertentu, malah nerakibat munculnya


jenis penyakit penting yang lain. Ledakan pathogen sekunder ini dapat terjadi beberapa
saat setelah aplikais pestisida; pada akhir musim pertanaman atau malah pada musim
tanam berikutnya. Pathogen ini sering lebih merusak lagi daripada pathogen utama tadi.
Untuk itu dibutuhkan waktu yang cukup lama guna mengembalikan peranan musuh
alami tadi.

d. Pencemaran lingkungan hidup

Air, tanah, udara ikut pula tercemar oleh pestisida. Tergantung dari jenis pestisidanya,
maka akan dapat mengalami proses biodegradasi, dirimbakan secara biologis dalam
tanah dan air. Namun ada beberapa pestisida yang tidak dapat mengalami proses
biodegrasdasi. Jenis ini disebut pestisida yang persisten, dan dapat mengakibatkan
pembesaran biologis yang mencemari lingkungan dalam dimensi yang sangat luas
(Djafaruddin, 2004).

e. Residual Effect

Dengan aplikasi pestisida yang berlebihan, apalagi jenis pestisida yang persisten, akan
meninggalkan residu dalam tanaman dan produk pertanian. Hal tersebut dipengarusi
jenis pestisida dan tingkat residunya yang di tentukan dengan satuan ppm/kg yang dapat
berbahaya bagi konsumen.

f. Kecelakaan manusia (Hazard)


Penggunaan pestisida yang kurang hati-hati dapat mencelakakan si pemakai. Keracunan
melalui mulut atau kulit si pemakai seringhkali terjadi, sehingga membahyakan.

Masuknya pestisida kedalam tubuh manusia sama dengan ketika meracuni serangga.cara
masuknya dalam tubuh manusia dapat melalui mulut (toxisitas oval), melalui kulit
(toxisitas dermal), diinjeksikan dibawah kulit (toxisitas dermal), diinjeksikan kejaringan
otot (toxisitas intramuscular) atau melalui pernafasan (inhalasi). Apabila masuk dalam
tubuh maka akan dapat mengakibakan gejala akut dan kronik. Gejala akut akan segera
menimbulkan kesakitan atau kematian akibat terkena dosis tunggal pestisida. Ketracunan
ini biasanya terjadi pada pemakai, pekerja karena kecerobohannya sewaktu aplikasi atau
sengaja meminum pestisida (Badami, 2006).

Namun, dalam taraf perkembangan teknologi pengendalian penyakit saat ini bahkan mungkin
dimasa yang akan datang, pestisida masih diperlukan. Hanya saja perlu ada penekanan pada
aspek bagaimana pemakaiannya. Yang sangat penting adalah memilih pestisida yang jenis
pestisidanya, dosis, waktu dan cara aplikasinya secara tepat.

5. Pengendalian Dengan Metode Pengendalian Terpadu

Pada dasarnya pengendalian penyakit tanaman secara terpadu adalah mengkombinasikan


metode-metode pengendalian yang memungkinkan dengan mempertimbahngkan aspek
ekonomis dan kelestarian lingkungan. Namun, pada prinsipnya adalah sebagai berikut:

a. Menghindarkan: artinya menghindari penyakit datang dengan mangatur pola dan sistem
tanam tepat waktu dan tepat ruang.

b. Mengesampingkan Inokulum: mencegah perkembangan inokulum atau perkembangan


pathogen di suatu daerah atau areal yang tidak terinfeksi.

c. Mengendalikan: mengurangi, membuat tidak ada atau tidak aktifnya serta meniadakan
bahkan memusnahkan atau merusak inokulumpada sumbernya.

d. Memberikan proteski: mencegah dengan menghguunakan bahan ataupun vegetasi yang


dapat menghindarkan dari serangan pathogen.

e. Meningkatkan ketahanan tanaman: dengan memanipulasi sifat yang ada pada tanaman
terutama sifat pertahanan terhadap serangan pathogen melalui rekayasa genetika.

f. Penyembuhan-pengobatan: mengurangi beratnya serangan penyakit pada tanaman yang


telah terinfeksi (mengurangi/ menyembuhkan sampai pada tingkat yang tidak merugikan
lagi).

III. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan mengenai penyakit pustule pada
kedelai yang disebabkan bakteri X. campestris pv. Phaseoli, bahwa:

1. Bakteri penyebab penyakit pustule atau bisul pada kedelai disebabkan oleh Xanthomonas
campestris pv. Phaseoli. Bakteri gram negatif berbentuk batang menyerang daun kedelai
melalui hidatoda ataupun stomata. Menyerang melalui ruang antar sel (lamella tengah).
Infeksi yang terjadi dapat melalui luka-luka. Pemencaran bakteri dipengaruhi terutama oleh
percikan yang ditimbulkan oleh air hujan, terutama jika hujan disertai dengan angin keras.
Selain itudapat terjadi karena adanya singgungan antar daun, dank arena bersentuhan dengan
alat-alat pertanian yang terkontaminasi pada saat daun dalam keadaan basah. Serangan
bakteri ini mendominasi pada tanaman berumur muda yaitu sekitar 40 hari setelah tanam

2. Pengendalian tepat yang dapat dilakukan terhadap serangan penyakit pustule atau bisul pada
pada tanaman kedelai adalah dengan melakukan pengendalian secara terpadu. Pengendalian
dilakukan dengan mengkombinasikan teknik-teknik pengendalian yang ada dengan
mempertimbangkan nilai efektifitas dan efisiensi yang berdasar pada keuntungan nilai
ekonomis. Sejauh ini pengandalian yang dirasa tepat adalah dengan mengkombinasikan
system tumpangsari dengan pemberian agensia hayati berupa streptomisin sulfat yang dapat
menghambat pertumbuhan pathogen.

IV. DAFTAR PUSTAKA

Badami, Kaswan. 2006. Toksisitas Pestisida Terhadap Lingkungan Dan Efek Toksisnya
Terhadap Manusia. Embryo, jurnal ilmu-ilmu pertanian vol. 3 No. 1. Juni 2006.

Badan Pusat Statistik. 2008. Produksi tanaman Kedelai Indonesia. http://www.bps.go.id.


Diakses tanggal 20 Oktober 2009

Dickson, M. 2003. Molecular Plant Pathology. BIOS Scientific Publishers, Padstow, United
Kingdom.

Dirmawati, Suskandini Ratih. 2005. Penurunan Intensitas Penyakit Pustul Bakteri Kedelai
Melalui Strategi Cara Tanam Tumpangsari Dan Penggunaan Agensia Hayati. Jurnal
AGRIJATI edisi Desember 2005.

Djafaruddin. 2004. Dasar-Dasar Pengendalian Penyakit Tanaman. Bumi Aksara, Jakarta.

EPPO Quarantine Pest. 2004. Data Sheets on Quarantine Pest: Xanthomonas axonopodis pv.
Phaseoli.
http://www.eppo.org/QUARANTINE/bacteria/Xanthomonas_phaseoli/XANTPH_ds.
pdf. diakses tanggal 20 Oktober 2009.
Marquez, Margarita Lema. dkk. 2007. Selecting Common Bean with Genes of Different
Evolutionary Origins for Resistance to Xanthomonas campestris pv. Phaseoli.
http://crop.scijournals.org/cgi/reprint/47/4/1367.pdf. diakses tanggal 20 Oktober 2009.

Naiola, Paul. 1986. Tanaman Budidaya Indonesia, Nama Serta Manfaatnya. Yasaguna, Jakarta.

Sastrahidayat, Ika Rochdjatun. 1991. Ilmu penyakit Tumbuhan. Usaha Nasional, Surabaya.

Semangun, Haryono. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Indonesia. Cetakan ketiga.


Gadjah Mada Universuty Press, Yogyakarta.

Sumarno. 1986. Kedelai dan Cara Budidayanya. Yasaguna, Jakarta.

Widiatmoko, Teguh. Widodo. 2003. Upaya Peningkatan Produksi Varietas Slamet Melalui
Optiomalisasi Tot Dan Penghambatan Pertumbuhan Vegetatif. Agronomika Vol. 3
No. 1 Januari 2003.

Anda mungkin juga menyukai