PENDAHULUAN
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3. Proses Penggilingan
a. Memecahkan dinding sel pucuk teh sehingga cairan sel bercampur dengan enzim
dan udara luar.
b. Menggulung daun agar menjadi keriting.
c. Mengecilkan ukuran daun.
d. Meletakkan dasar bagi proses fermentasi
5
Proses penggilingan dilakukan sebanyak 3-4 tahap, tergantung skema gilingannya.
Tiap tahap penggilingan diikuti dengan pengengayakan (sortasi basah). Prinsip kerja
dalam proses penggilingan adalah gerak putar silinder di atas meja untuk
menggulung, memeras, memotong. Menurut fungsinya ada tiga jenis proses
penggilingan yaitu :
Tujuan dari proses sortasi basah atau pengayakan adalah untuk memisahkan bagian
yang halus (bubuk) dan bagian yang kasar (badag) sehingga diperoleh bubuk yang
seragam, supaya hasil fermentasi sempurna dan pengeringan dapat merata. Dalam
proses pengayakan ini digunakan alat pengayak yang disebut DIBN (double india
breaker natsorteedeer) dan saringan RRB (rotary roll breaker).
5. Proses Fermentasi
Proses fermentasi berlangsung sejak pucuk mengalami proses giling I dan berakhir
ketika masuk kedalam mesin pengeringan. Proses fermentasi dimulai dengan
6
mencampurkan senyawa polifenol dimana bertujuan untuk menghasilkan warna
senduhan teh kuning atau merah kecoklatan, membentuk kemantapan seduhan dan
menentukan karakter brightness dan briskness. Tujuan dilakukannya proses
fermentasi adalah untuk memperoleh aroma, rasa da warna air seduhan seperti yang
dikehendaki sebagai akibat reaksi kimia yang terjadi selama fermentasi. Dalam
melakukan proses fermentasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :
6. Proses Pengeringan
Tujuan dilakukan proses pengeringan adalah untuk menghentikan proses fermentasi
dan memperoleh hasil akhir berupa teh kering yang tahan lama untuk disimpan,
mudah diangkut dan diperdagangkan. Prinsip dalam melakukan proses pengeringan
adalah menghembuskan udara panas melewati hamparan teh yang telah difermentasi,
udara yang paling panas bersentuhan dengan bubuk teh yang paling kering. Faktor-
faktor yang akan mempengaruhi dalam proses pengeringan adalah:
1. Suhu dan volume udara yang dihembuskan.
2. Jumlah input bubuk basah.
3. Waktu pengeringan atau kecepatan gerak tray.
4. Alat yang digunakan yaitu ECP 6 (two stage/three stage drier), Fluid bed drier
(FBD).
5. Suhu Inlet antara 93-94°C selama 20-25 menit.
6. Tebal hamparan bubuk antara 0.5-1 cm, badag 2-3 cm dengan kapasitas per jam
274-300 kg.
7. Kadar air teh kering antara 2.5-3% Case hardening (bagian luar bubuk teh sudah
kering tetapi bagian dalam masih basah).
7
7. Proses Sortasi Kering
Proses ini adalah proses pengolahan lanjutan untuk klasifikasi jenis dan mutu teh
kering. Proses ini dilakukan untuk membersihkan teh kering dari potongan serat dan
batang serta memisahkan jenis-jenis mutu teh sesuai ukuran yang dikehendaki pasar
dan apabila diperlukan harus pula memperkecil partikel teh. Alat yang digunakan
dalam proses sortasi kering ini adalah :
1. Buble tray digunakan untuk memisahkan bubuk kasar dan halus.
2. Chota digunakan untuk mengelompokkan teh berdasarkan ukuran partikel.
3. Vibro screen digunakan untuk memisahkan powdery dari bubuk teh.
4. Fibrex digunakan untuk membersihkan serabut.
5. Winnower digunakanuntuk memisahkan teh berdasarkan berat jenis.
6. Cutter digunakan untuk memotong bubuk menjadi lebih kecil.
7. Chrusher digunakan untuk memperkecil bubuk kasar.
Dalam proses sortasi ini kegagalan mungkin saja dapat terjadi dimana kegagalan
produk dapat diketahui dari permukaan teh yang tidak mengkilat, perubahan warna
hitam menjadi kelabu serta ukuran partikel tidak merata dan bayak serat, tangkai dan
debu.
8. Analisis Mutu
Proses terakhir dari pengolahan teh adalah analisa mutu dimana analisa ini akan
menentukan mutu, mengetahui dan memeriksa kesalahan-kesalahan proses
pengolahan. Pengujian dilakukan terhadap :
1. Kenampakan: warna serta keseragaman bentuk teh.
2. Sifat Seduhan: warna, rasa dan aroma.
3. Sifat ampas teh: warna ampas teh.
Penggolongan mutu teh adalah sebagai berikut :
1. Mutu I
a) BOP (Broken Orange Pekoe I/Broken Orange Pekoe): Bagian bagiannya
pendek, agak kecil, hitam terpilin, terdiri dari tulang tulang daun pendek
terutama berasal dari daun muda mengandung sedikit atau tanpa tip.
b) BOPF (Broken Orange Pekoe Fanning): Berbentuk seperti BOP, tetapi lebih
kecil.
8
c) PF (Pekoe Fanning): Berbentuk seperti BOP, tetapi berukuran lebih besar dari
fanning (campuran antara partikel pipih dan keriting).
d) Dust: Teh halus yang dalam sortasinya lolos dari ayakan 20 mesh dan
berbentuk sangat kecil.
e) BP (Broken Pekoe): Pendek lurus, terdiri dari tangkai dan tulang daun muda
yang tidak terkelupas.
f) BT (Broken Tea): Kecil, pipih, tidak terpilin dengan baik.
2. Mutu II
a) BP II (Broken Orange Pekoe II): Berbentuk seperti BP, tetapi lebih banyak
mengandung tangkai dan tulang daun tua yang terkelupas, berwarna lebih
kemerahan dibanding BP.
b) BT II (Broken Tea II): Seperti BP namun banyak mengandung serat.
c) PF II (Pekoe Fanning II): Seperti PF, lebih banyak mengandung serat.
d) Dust II: Sangat kecil dan mengandung banyak serat.
e) Dust III: Sangat kecil dan lebih banyak serat dibanding Dust II.
f) Dust IV: Ukuran yang paling kecil dan paling banyak serat.
g) Fanning II : Berukuran lebih kecil dari BOPF, campuran antara partikel pipih
dan keriting, banyak mengandung serat.
3. Off Grade
a) BM (Broken Mix): Campuran dari dua, atau tiga jenis mutu pada teh bubuk .
b) Powder: Partikelnya berebentuk seperti D III, mengandung hancuran serat,
lebih dari 75% lolos ayakan 60 mesh tetapi tertahan ayakan 80 mesh.
c) Fluff dan RMIT.
9
BAB III
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
10
pemerintah di bidang reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan sebelum akhirnya
menjadi sebuah Perseroan Terbatas pada tahun 1980.
Perjalanan sejarah PT Perkebunan XXXI (Persero) baru mulai terukir menyusul
kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri gula di luar Jawa pada tahun 1978.
Perusahaan perkebunan ini pada awalnya merupakan proyek pengembangan PT
Perkebunan XXI - XXII (Persero) yang berkantor pusat di Surabaya. Pada tahun 1989
perusahaan ini ditetapkan menjadi badan usaha sendiri dengan nama PT Perkebunan
XXXI (Persero) dengan kantor pusat di Palembang, Sumatera Selatan. Sementara itu
Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI (Persero) di Kabupaten Lahat, Sumatera
Selatan yang berkantor pusat di Jakarta dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan XXIII
(Persero) Bengkulu yang berkantor pusat di Surabaya merupakan Proyek Perkebunan Inti
Rakyat sejak tahun 1980-an. Rentang kendali yang cukup jauh ini menyebabkan
rendahnya efisiensi pengelolaan proyek, selain beratnya kondisi topografi yang
mengakibatkan tingginya biaya eksploitasi proyek, yang pada gilirannya membuat
pengelolaan proyek berjalan kurang optimal.
Saat ini, wilayah kerja Perseroan meliputi 3 (tiga) Provinsi yang terdiri dari 10 Unit
Usaha di Provinsi Lampung, 14 Unit Usaha di Provinsi Sumatera Selatan, dan 3 Unit
Usaha di Provinsi Bengkulu. Sejak awal, Perseroan didirikan untuk ambil bagian
dalam melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan Program Pemerintah di
bidang ekonomi dan Pembangunan Nasional pada umumnya serta sub-sektor
perkebunan pada khususnya. Ini semua bertujuan untuk menjalankan usaha di
bidang agribisnis dan agroindustri, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
Perseroan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat untuk mendapatkan/mengejar keuntungan dalam rangka
meningkatkan nilai Perseroan melalui prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.
Keberadaan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) banyak memberikan manfaat
baik langsung maupun tidak langsung, berupa pajak dan retribusi kepada Pemerintah
Pusat dan Daerah, dividen kepada Pemegang Saham, kesempatan kerja, maupun dalam
bentuk kemitraan dan bina lingkungan bagi masyarakat sekitar pabrik. Perusahaan PT
Perkebunan Nusantara VII memiliki visi menjadi perusahaan agribisnis dan agroindustri
yang tangguh, terus tumbuh dan berkembang serta berkarakter. Selain visi tersebut, PT
Perkebunan Nusantara VII juga memiliki misi antara lain:
11
1. Menjalankan usaha agribisnis perkebunan dengan komoditas karet, kelapa sawit, teh
dan tebu yang profitable.
2. Mengembangkan usaha berbasis bisnis inti yang mengarah ke integritas vertikal
secara efisien.
3. Menggunakan teknologi budidaya dan proses yang efisien dan akrab dengan
lingkungan untuk menghasilkan produk berstandar baik untuk pasar domestik maupun
internasional.
4. Memperhatikan kepentingan shareholders dan stakeholders khususnya petani,
pemasok dan mitra usaha untuk bersama-sama mewujudkan daya saing guna
menumbuhkan dan mengembangkan perusahaan.
Garis Lini
Garis Koordinasi
14
Sumber www.ptpn7.com
17
BAB IV
PEMBAHASAN
18
2. Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja yang diklasifikasikan oleh PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
yaitu biaya tenaga kerja yang melakukan konvensi bahan baku langsung menjadi
produk jadi dan dapat dibebankan secara layak ke produk tertentu. Pengklasifikasian
biaya tenaga kerja PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) sebagai berikut:
a. Gaji Karyawan
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar jasa seluruh
karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
b. Upah Buruh Produksi
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan sebagai uang pekerja buruh di
sebagian produksi teh.
c. Premi atau Tunjangan
d. Biaya Makan
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan sebagai uang makan karyawan
yang bekerja di lapangan.
e. Lembur
Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pegawai yang bekerja
lebih dari jam kerja.
f. Tranportasi Lapangan
Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk uang tranportasi
karyawan yang bekerja dilapangan.
g. Biaya ritasi sopir
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk sopir truck, dengan kata lain
sebagai uang rokok.
% %
Uraian 2012 2013 2014 Description
2012-2013 2013-2014
Penjualan Bersih 4.360.371 4.616.805 4.518.243 105,88 97,87 Net Sales
Beban Pokok Penjualan (3.544.599) (3.647.647) (3.541.513) 102,91 97,09 Cost of Goods Sold
Laba Bruto 815.771 969.159 976.731 118,80 100,78 Gross Profit
Beban Penjualan (54.496) (71.612) (73.100) 131,41 102,08 Sales Expenses
Beban umum & administrasi (483.318) (537.988) (543.789) 111,31 101,08 General & Adm. Expenses
Bagian laba bersih entitas 557 1.047 (487) 187,97 (46,51) Equity in net income of
Asosiasi associated company
Pendapatan /(beban) lain-lain, 14.953 40.550 41.763 271,18 102,99 Other operating income/
Neto (expneses), net
Laba Usaha 293.467 401.155 401.117 136,70 99,99 Operating Profit
Pendapatan keuangan 3.405 6.663 5.295 195,68 79,47 Finance income
Beban keuangan (233.870) (293.251) (357.927) 125,39 122,05 Finance expenses
Laba sbl. beban pajak 63.002 114.568 48.485 181,85 42,32 Profit before Income Tax
penghasilan
Beban pajak penghasilan (8.670) (35.915) (12.583) 414,24 35,04 Income tax expenses
Laba tahun berjalan 54.333 78.653 35.901 144,76 45,64 Profit for the year
Laba yg diatribusikan kepada 54.333 78.612 35.877 144,69 45,64 Total of Comprehensive Income
Pemilik Perusahaan
Di tengah kondisi eksternal yang kurang mendukung yang antara lain ditandai dengan
belum pulihnya harga jual komoditas, PTPN VII masih mampu membukukan laba
bersih meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih
Perseroan tahun 2014 mencapai Rp35,88 miliar, turun 54,36% dibandingkan tahun 2013
yang mencapai Rp78,61 miliar.
Hal yang menggembirakan adalah secara umum produksi hasil jadi dan volume
penjualan tahun 2014 meningkat bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu kecuali
volume penjualan karet yang berkurang terkait menurunnya produksi karet
plasma/pihak III.
20
Penjualan Bersih
Selama tahun 2014, PTPN VII berhasil membukukan penjualan bersih sebesar
Rp4.518.243 juta mengalami penurunan sebesar Rp98.562 juta atau 2,13% jika
dibandingkan realisasi tahun 2013 yang mencapai Rp4.616.805 juta. Penjualan bersih ini
berasal dari lima segmen usaha, yakni karet, kelapa sawit, teh, gula dan segmen usaha
lainnya berupa sapi dan kompos. Kontribusi masing-masing segmen terhadap penjualan
bersih adalah sebagai berikut: karet 35.03%, kelapa sawit 40.89%, teh 1.29%, gula
22.48%, dan segmen usaha lainnya 0.31%.
Tabel Kontribusi Pendapatan Per Segmen Tahun 2012-2014
0,15%
2012 2013
20,77% 21,45%
1,45% 44,94% 1,25% 48,54%
32,84%
28,61%
0,31%
2014
Karet (Rubber)
22,48% 35,03% Kelapa Sawit (Oil Palm)
21
Beban Pokok Penjualan
Laba Bruto
Laba kotor tahun 2014mencapai Rp976,73 miliar, mengalami kenaikan dibanding
pencapaian laba bruto tahun 2013 yang sebesar Rp969,16 miliar. Kenaikan laba kotor ini
disebabkan oleh menurunnya beban pokok penjualan sebesar 2,91%.
Beban Usaha
Realisasi beban usaha tahun 2014 mencapai Rp575.614 jutamengalami kenaikan sebesar
Rp7,61 miliar atau 1,34% bila dibandingkan denganrealisasi tahun 2013. Hal ini
disebabkan oleh kenaikan beban penjualan sebesar Rp1,49 miliar atau 2,08%, terkait
naiknya biaya instalasi dan pemompaan sebesar Rp702 juta atau35,02% dan biaya
gudang sebesar Rp937 juta atau 34,86%. Bebanadministrasi dan umum meningkat
sebesar Rp5,80 miliar atau 1,08%, yang disebabkanoleh kenaikan biaya gaji, upah,
imbalan masa kerja & tunjangan lainnya sebesar Rp. 10,56 miliar atau 3,8%, kenaikan
biaya penanggulangan limbah sebesar Rp. 4,23 miliar atau 40,99%
Laba Usaha
Pencapaian laba usaha di tahun 2014 sedikit menurun dibandingkan tahun 2013, yakni
dari Rp401.155 juta di tahun 2013 menjadi Rp401.117 juta di tahun 2014. Penurunan
laba usaha ini disebabkan adanya peningkatan biaya penjualan dan biaya umum &
administrasi.
22
Pendapatan (Beban) Lain-Lain
Pada tahun 2014, pendapatan/(beban) lain-lain mengalami peningkatan, dari Rp40.549
juta di tahun 2013 menjadi Rp41.763 juta di tahun 2014. Peningkatan ini disebabkan
adanya peningkatan penjualan non-komoditi sebesar 87,22%, yakni dari Rp31.143 juta di
tahun 2013 menjadi Rp58.305 juta di tahun 2014. Sementara itu, Rugi penghapusan aset
meningkat 716,07%, yakni dari Rp1.005 juta di tahun 2013 menjadi Rp 8.198 juta.
Laba Komprehensif
Pencapaian laba bersih setelah pajak penghasilan tahun 2014 sebesar Rp35.901 juta,
dibandingkan pencapaian tahun 2013 mengalami penurunan sebesar Rp 42.752 juta atau
54,36%. Pada tahun 2014 Perseroan membukukan laba komprehensif sebesar
Rp35.901juta, mengalami penurunan sebesar 54,36% dibandingkan laba komprehensif
tahun 2013 yang mencapai Rp78,65 miliar.
Pada tahun 2014, perolehan laba per lembar saham Perusahaan adalah sebesar Rp29 ribu,
turun sebesar Rp35 ribu/saham atau 54,36% dibandingkan dengan laba per saham tahun
2013. Laba per lembar saham menurun disebabkan penurunan laba bersih pada tahun
2014 dibandingkan dengan realisasi tahun 2013.
23
BAB IV
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan peninjauan dan penjelasan diatas maka penulis dapat memperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Klasifikasi mutu teh di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dibagi dalam 3 jenis
yaitu Mutu I, Mutu II dan off grade.
2. Klasifikasi biaya produksi di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) diklasifikasikan
dalam 3 jenis yaitu berdasarkan fungsi (biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja
langsung, biaya overhead pabrik), berdasarkan tujuan pemakaian (biaya langsung dan
biaya tak langsung) dan berdasarkan tingkah laku (biaya variabel dan biaya tetap).
3. Dalam melakukan proses produksi teh terdapat 8 departemen produksi yaitu
Departemen Pengangkutan, Departemen Pelayuan, Departemen Penggilingan,
Departemen Pengayakan, Departemen Fermentasi, Departemen Pengeringan,
Departemen Sortasi Kering dan Departemen Pemutuan.
4. Pengklasifikasian biaya akan mempengaruhi nilai dari Harga Pokok Penjualan
Produk.Hasil perhitungan dari Harga Pokok Penjualan akan mempengaruhi besarnya
laba atau rugi yang diperoleh oleh perusahaan per periode.
5. Pencapaian laba bersih untuk tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp.
150.356.000, hal ini disebabkan karena hasil penjualan yang didapat pada tahun 2009
mencapai Rp 2.892.459.000, menurun sebesar 15,5% bila dibanding dengan hasil
penjualan tahun 2008.
6. Kinerja keuangan perusahaan dapat diketahui dari analisis laporan keuangan
perusahaan, salah satunya adalah laporan laba rugi perusahaan. Pada PT Perkebunan
Nusantara VII (Persero) kinerja keuangan pada tahun 2009 mengalami penurunan
seiring dengan penurunan penjualan dan peningkatan biaya penjualan perusahaan.
4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran dari penulis adalah pengaplikasian dari
klasifikasi biaya dan kinerja keuangan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) sudah
baik sesuai dengan teori biaya dan akuntansi yang berlaku pada perusahaan manufaktur.
24