Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit Pagaralam merupakan sebuah
perusahaan manufaktur yang menghasilkan produk teh sebagai komoditi utamanya. Teh
dipilih sebagai komoditi utama dalam industri ini dikarenakan kesesuaian kondisi lahan
perkebunan dan tingkat konsumsi yang cukup tinggi di kalangan masyarakat nasional
maupun internasional. Dengan tingginya tingkat konsumsi tersebut dibutuhkan suatu
peningkatan kemampuan dalam proses produksi. Peningkatan proses produksi ini
merupakan suatu peluang yang positif untuk meningkatkan laba serta kinerja keuangan
perusahaan. Kinerja keuangan perusahaan dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu tingkat
produksi, laba, penjualan dan klasifikasi biaya produksi. Dalam hal ini penulis akan
memfokuskan untuk meninjau salah satu dari faktor tersebut yaitu klasifikasi biaya
produksi. Klasifikasi biaya yang sesuai dalam produksi merupakan hal yang penting
untuk dapat menghemat biaya sehingga dapat mencapai sasaran secara efektif ,efisien dan
ekonomis serta meningkatkan hasil dari kinerja keuangan.
Menurut William K.Carter (2009:174), tujuan penting dari sistem perhitungan dan
klasifikasi biaya adalah untuk menentukan biaya dari barang atau jasa yang dihasilkan
oleh perusahaan. Peranan manajemen dibutuhkan dalam perencanaan dan pelaksanaan
produksi agar dapat mencapai laba yang maksimal dan kinerja keuangan yang sehat.
Kinerja keuangan adalah gambaran setiap hasil ekonomi yang mampu diraih oleh
perusahaan pada periode tertentu melalui aktivitas-aktivitas perusahaan untuk
menghasilkan keuntungan secara efisien dan efektif, yang dapat diukur perkembangannya
dengan mengadakan analisis terhadap data-data keuangan yang tercermin dalam laporan
keuangan. Laporan keuangan terdiri dari lima jenis yaitu laporan posisi keuangan, laporan
laba rugi, laporan perubahan modal, laporan arus kas dan catatan atas laporan keungan.
Dalam tinjauan ini, penulis memfokuskan dalam hal klasifikasi biaya sehingga penulis
akan melihat pengaruh biaya-biaya produksi tersebut terhadap laporan laba rugi
perusahaan. Laporan laba rugi adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan
yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan
dan biaya-biaya suatu perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba atau rugi bersih.
1
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menyusun laporan kuliah kerja
lapangan ini dengan judul “Tinjauan Klasifikasi Biaya Produksi Pada Laporan Laba
Rugi Terhadap Kinerja Keuangan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit
Usaha Pagaralam .”

1.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengklasifikasian biaya dalam perhitungan laba rugi PT Perkebunan
Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pagaralam?
2. Bagaimana pengaruh laporan laba rugi terhadap kinerja keuangan PT Perkebunan
Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pagaralam?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan


1.3.1 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengklasifikasian biaya dalam perhitungan laba rugi PT
Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pagaralam.
2. Untuk mengetahui pengaruh laporan laba rugi terhadap kinerja keuangan PT
Perkebunan Nusantara VII (Persero) Unit Usaha Pagaralam
1.3.2 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi Lembaga Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang, sebagai bahan bacaan yang
bermanfaat bagi para pembaca khususnya untuk mahasiswa Jurusan Akuntansi dan
sebagai acuan bagi penulisan selanjutnya agar dapat terus dikembangkan.
2. Bagi penulis, dapat menambah wawasan serta mengembangkan ilmu pengetahuan
akuntansi khususnya yang berkaitan dengan pengklasifikasian biaya produksi pada
laporan laba rugi.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teh


Pada dasarnya, produk yang berbasis teh mempunyai spektrum industri yang sangat
luas yang mencakup teh untuk minuman yang meliputi teh kemasan (packet tea), tea bag,
instant tea , flavoured tea , teh wangi (teh melati), decafeinated tea , dan aneka minuman
siap saji ( ready to drink tea ) antara lain teh botol, teh kotak ( tetrapack tea ), canning tea
, fermented tea, fruit tea, ice tea, tea cola , dan foamy tea.
Teh untuk bahan campuran makanan antara lain dalam bentuk tea-candies, tea-
noodles, tea biscuits, tea-cake, tea-rice, tea-porridge, tea-ice-cream, dietary food dan teh
untuk keperluan industri pewarna makanan dan pengawet makanan alami. Teh untuk
industri farmasi antara lain dalam bentuk teh jamu, food supplement , cafein, catechin
(anti kanker), tea flavin , tea rubigin , vitamin (B,C,E) dan fluoride.
Teh untuk keperluan industri toiletries dan disposable under wear karena adanya sifat
anti mikroba dari teh. Kandungan fluor yang tinggi dalam teh telah mendorong
penggunaan teh untuk industri pasta gigi, dan obat kumur. Teh untuk industri kosmetik
antara lain perfume, beuty oil dari minyak biji teh, deodorant dan aneka bahan pewarna
kosmetik. Teh untuk biopestisida antar lain berupa disinfectant dan saponin dari biji teh
untuk pembasmi hama udang.
Saat ini konsumsi teh dunia masih didominasi oleh penggunaan teh sebagai produk
minuman. Dari sejumlah produk minuman teh jadi tersebut, ternyata tea bag merupakan
produk yang paling banyak dikonsumsi didunia yang diperkirakan mencapai 80% dari
total konsumsi teh untuk minuman. Produk-produk tertentu mampu menguasai pasar
tertentu, misalnya canning tea mampu menguasai 22% dari total pasar minuman Jepang.
Demikian pula ice tea yang berasal dari instant tea mampu menguasai 30% dari total teh
di Amerika Serikat.
Pasar dalam negeri Indonesia sendiri merupakan pasar yang sangat besar dan
potensial, mengingat konsumsi teh di Indonesia masih sangat rendah yaitu hanya 288
gram/kapita/tahun. Diperkirakan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan
manfaat minum teh bagi kesehatan, meningkatnya daya beli masyarakat dan adanya
berbagai promosi baik promosi generik dari FAO maupun promosi merk dari para
produsen teh maka konsumsi teh di Indonesia akan meningkat mencapai sekitar 600
3
gram/kapita/tahun. Tingkat konsumsi tersebut sama dengan tingkat konsumsi teh per
kapitan di negara-negara produsen teh lainnya seperti India, China, dan Srilangka.
Di Indonesia jenis minuman teh yang populer sehingga mampu mengalahkan pangsa
pasar dari carbonated drink adalah teh botol. Saat ini pangsa pasar teh botol mencapai
28% dari total pasar minuman di Indonesia, sementara pangsa pasar carbonated drink
adalah 27%. Pangsa pasar terbesar masih dikuasai oleh air minum mineral dalam
kemasan (42%).
Produsen sekaligus eksportir teh dunia didominasi oleh lima negara yaitu Sri Langka,
Kenya, India, China dan Indonesia. Pangsa produksi kelima negara tersebut terhadap total
produksi dunia pada tahun 1998 mencapai 76,5%, sedangkan pangsa ekspornya mencapai
80,3%. Urutan pangsa produksi mulai dari yang terbesar adalah India (29,4%), China
(22,4%), Kenya (9,9%), Sri Langka (9,5%), dan Indonesia (5,6%). Karena jumlah pada
pola konsumsi di kelima negara tersebut berbeda, urutan pangsa ekspor menjadi sebagai
berikut: Sri Lanka (21,0%), Kenya (20,8%), China (17,2%), India (16%) dan Indonesia
(5,3%).
Di Indonesia dan beberapa negara lainnya, teh merupakan minuman sehari-hari yang
banyak disukai karena kadungan kafein yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kopi.
Satu cangkir teh mengandung 45 mg kafein, sedangkan kopi mengandung 90 mg kafein.
Pengolahan teh terbesar didominasi dalam bentuk teh hitam, sisanya teh hijau, sedangkan
industri teh wangi merupakan hasil olahan teh hitam. Penggolongan daun teh diperoleh
pada tahap akhir produksi, yaitu tahap penyortiran. Ada 4 kelompok utama dalam
produksi biasa (ortodoks): Daun, Cacat, Hancur, dan Partikel halus. Kategori ini
menentukan dan menunjukkan perbedaan ukuran daun dan persentasenya. Pada setiap
kategori, yang berkualitas paling baik ditempatkan pada daftar pertama.

2.2 Deskripsi Proses Pembuatan Teh


Tahapan Pengolahan teh dimulai dari proses-proses berikut ini :
1. Proses Pengangkutan
Pada saat melakukan pengangkutan bahan baku harus memperhatikan hal-hal berikut
ini yaitu:
a) Tumpukan pucuk selama pengangkutan aerasi yang cukup’
b) Benturan mekanis diusahakan serendah mungkin.
c) Hindari adanya panas matahari yang langsung mengenai pucuk.
4
2. Proses Pelayuan
Tujuan dari proses pelayuan daun teh adalah sebagai berikut :
a) Mengurangi kadar air sampai tingkat layu tertentu.
b) Melemaskan daun sehingga pada saat digiling menjadi tidak pecah.
c) Meletakkan dasar-dasar fermentasi.

Pada saat melakukan proses pelayuan harus diperhatikan kondisi-kondisi berikut:


Prinsip Pelayuan : melewatkan udara hangat melalui daun teh sampai mencapai
derajat layu tertentu
Derajat layu : perbandingan antara berat daun layu dengan berat daun segar dalam
satuan persen. Layuan ringan : KA 57-60 % DL 40-43 %, layunan sedang:KA 54-56
% DL 44-46 % dan layunan berat : KA 50-53 % DL 47-50 %.
Menggunakan alat Withering Trough (palung pelayuan) T = ± 27°C, (beda Tbk-
Tbb) = 3-4 °C dengan laju = 30000 cfm tebal hamparan ±25 cm (±30 kg/m2).

Tanda-tanda bahwa pucuk daun telah layu adalah:

 Apabila dikepal-kepal menjadi bola.


 Apabila diraba seperti meraba sapu tangan sutera.
 Apabila diremas tidak menimbulkan bunyi patah.
 Tulang muda dapat dilenturkan tanpa patah.
 Apabila tangan ditekankan akan meninggalkan bekas.
 Aromanya tercium sedap berbeda dengan daun segar atau kurang layu

3. Proses Penggilingan

Tujuan dari proses penggilingan adalah:

a. Memecahkan dinding sel pucuk teh sehingga cairan sel bercampur dengan enzim
dan udara luar.
b. Menggulung daun agar menjadi keriting.
c. Mengecilkan ukuran daun.
d. Meletakkan dasar bagi proses fermentasi

5
Proses penggilingan dilakukan sebanyak 3-4 tahap, tergantung skema gilingannya.
Tiap tahap penggilingan diikuti dengan pengengayakan (sortasi basah). Prinsip kerja
dalam proses penggilingan adalah gerak putar silinder di atas meja untuk
menggulung, memeras, memotong. Menurut fungsinya ada tiga jenis proses
penggilingan yaitu :

1) Open Top Roller (OTR)


 Terdiri dari silinder dan meja.
 Tanpa tekanan dan menggulung
2) Press Cap Roller (PCR)
 Terdiri dari silinder dan meja
 Dengan penekanan (press)
 Menggulung dan memeras
3) Rotor Vane (RV)
 Terdiri dari silinder horisontal, poros/rotor, kipas pendorong, kipas penahan,
plat ujung dan ulir
 Memotong atau mengecilkan ukuran
 Skema Giling I : OTR ->PCR -> PCR -> RV II

PCR -> RV -> PCR III

OTR -> RV -> PCR -> PC.R

4. Proses Sortasi Basah (Pengayakan)

Tujuan dari proses sortasi basah atau pengayakan adalah untuk memisahkan bagian
yang halus (bubuk) dan bagian yang kasar (badag) sehingga diperoleh bubuk yang
seragam, supaya hasil fermentasi sempurna dan pengeringan dapat merata. Dalam
proses pengayakan ini digunakan alat pengayak yang disebut DIBN (double india
breaker natsorteedeer) dan saringan RRB (rotary roll breaker).

5. Proses Fermentasi

Proses fermentasi berlangsung sejak pucuk mengalami proses giling I dan berakhir
ketika masuk kedalam mesin pengeringan. Proses fermentasi dimulai dengan
6
mencampurkan senyawa polifenol dimana bertujuan untuk menghasilkan warna
senduhan teh kuning atau merah kecoklatan, membentuk kemantapan seduhan dan
menentukan karakter brightness dan briskness. Tujuan dilakukannya proses
fermentasi adalah untuk memperoleh aroma, rasa da warna air seduhan seperti yang
dikehendaki sebagai akibat reaksi kimia yang terjadi selama fermentasi. Dalam
melakukan proses fermentasi, ada beberapa hal yang harus diperhatikan yaitu :

a. Kondisi ruangan berada di suhu 20-28°C.


b. Suhu lapisan bubuk antara 26-28°C.
c. Kelembapan udara/RH berada di persentase 90-95%.
d. Batas waktu fermentasi antar 2-3,5 jam sejak masuk giling I.
e. Alat baki alumunium yang digunakan memiliki tebal hamparan tidak lebih dari
7cm.
f. Menyediakan oksigen yang cukup dengan aerasi.

6. Proses Pengeringan
Tujuan dilakukan proses pengeringan adalah untuk menghentikan proses fermentasi
dan memperoleh hasil akhir berupa teh kering yang tahan lama untuk disimpan,
mudah diangkut dan diperdagangkan. Prinsip dalam melakukan proses pengeringan
adalah menghembuskan udara panas melewati hamparan teh yang telah difermentasi,
udara yang paling panas bersentuhan dengan bubuk teh yang paling kering. Faktor-
faktor yang akan mempengaruhi dalam proses pengeringan adalah:
1. Suhu dan volume udara yang dihembuskan.
2. Jumlah input bubuk basah.
3. Waktu pengeringan atau kecepatan gerak tray.
4. Alat yang digunakan yaitu ECP 6 (two stage/three stage drier), Fluid bed drier
(FBD).
5. Suhu Inlet antara 93-94°C selama 20-25 menit.
6. Tebal hamparan bubuk antara 0.5-1 cm, badag 2-3 cm dengan kapasitas per jam
274-300 kg.
7. Kadar air teh kering antara 2.5-3% Case hardening (bagian luar bubuk teh sudah
kering tetapi bagian dalam masih basah).

7
7. Proses Sortasi Kering
Proses ini adalah proses pengolahan lanjutan untuk klasifikasi jenis dan mutu teh
kering. Proses ini dilakukan untuk membersihkan teh kering dari potongan serat dan
batang serta memisahkan jenis-jenis mutu teh sesuai ukuran yang dikehendaki pasar
dan apabila diperlukan harus pula memperkecil partikel teh. Alat yang digunakan
dalam proses sortasi kering ini adalah :
1. Buble tray digunakan untuk memisahkan bubuk kasar dan halus.
2. Chota digunakan untuk mengelompokkan teh berdasarkan ukuran partikel.
3. Vibro screen digunakan untuk memisahkan powdery dari bubuk teh.
4. Fibrex digunakan untuk membersihkan serabut.
5. Winnower digunakanuntuk memisahkan teh berdasarkan berat jenis.
6. Cutter digunakan untuk memotong bubuk menjadi lebih kecil.
7. Chrusher digunakan untuk memperkecil bubuk kasar.

Dalam proses sortasi ini kegagalan mungkin saja dapat terjadi dimana kegagalan
produk dapat diketahui dari permukaan teh yang tidak mengkilat, perubahan warna
hitam menjadi kelabu serta ukuran partikel tidak merata dan bayak serat, tangkai dan
debu.

8. Analisis Mutu
Proses terakhir dari pengolahan teh adalah analisa mutu dimana analisa ini akan
menentukan mutu, mengetahui dan memeriksa kesalahan-kesalahan proses
pengolahan. Pengujian dilakukan terhadap :
1. Kenampakan: warna serta keseragaman bentuk teh.
2. Sifat Seduhan: warna, rasa dan aroma.
3. Sifat ampas teh: warna ampas teh.
Penggolongan mutu teh adalah sebagai berikut :
1. Mutu I
a) BOP (Broken Orange Pekoe I/Broken Orange Pekoe): Bagian bagiannya
pendek, agak kecil, hitam terpilin, terdiri dari tulang tulang daun pendek
terutama berasal dari daun muda mengandung sedikit atau tanpa tip.
b) BOPF (Broken Orange Pekoe Fanning): Berbentuk seperti BOP, tetapi lebih
kecil.
8
c) PF (Pekoe Fanning): Berbentuk seperti BOP, tetapi berukuran lebih besar dari
fanning (campuran antara partikel pipih dan keriting).
d) Dust: Teh halus yang dalam sortasinya lolos dari ayakan 20 mesh dan
berbentuk sangat kecil.
e) BP (Broken Pekoe): Pendek lurus, terdiri dari tangkai dan tulang daun muda
yang tidak terkelupas.
f) BT (Broken Tea): Kecil, pipih, tidak terpilin dengan baik.

2. Mutu II
a) BP II (Broken Orange Pekoe II): Berbentuk seperti BP, tetapi lebih banyak
mengandung tangkai dan tulang daun tua yang terkelupas, berwarna lebih
kemerahan dibanding BP.
b) BT II (Broken Tea II): Seperti BP namun banyak mengandung serat.
c) PF II (Pekoe Fanning II): Seperti PF, lebih banyak mengandung serat.
d) Dust II: Sangat kecil dan mengandung banyak serat.
e) Dust III: Sangat kecil dan lebih banyak serat dibanding Dust II.
f) Dust IV: Ukuran yang paling kecil dan paling banyak serat.
g) Fanning II : Berukuran lebih kecil dari BOPF, campuran antara partikel pipih
dan keriting, banyak mengandung serat.

3. Off Grade
a) BM (Broken Mix): Campuran dari dua, atau tiga jenis mutu pada teh bubuk .
b) Powder: Partikelnya berebentuk seperti D III, mengandung hancuran serat,
lebih dari 75% lolos ayakan 60 mesh tetapi tertahan ayakan 80 mesh.
c) Fluff dan RMIT.

9
BAB III
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN

3.1 Sejarah Singkat PT Perkebunan Nusantara VII Unit Usaha Pagaralam


PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) adalah salah satu Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) sektor perkebunan Indonesia. Perseroan berkantor pusat di Bandar
Lampung, Provinsi Lampung, yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor
12 Tahun 1996 tanggal 14 Februari 1996 dan Akte Notaris Harun Kamil, SH No.40
tanggal 11 Maret 1996. PTPN VII (Persero) merupakan penggabungan dari PT
Perkebunan X (Persero), PT Perkebunan XXXI (Persero), Proyek Pengembangan PT
Perkebunan XI (Persero) di Kabupaten Lahat dan Proyek Pengembangan PT
Perkebunan XXIII (Persero) di Provinsi Bengkulu.
Akte Pendirian Perusahaan oleh Notaris Harun Kamil, SH tersebut telah diubah
dengan Akte Nomor 08 tanggal 11 Oktober 20 02 oleh Notaris Sri Rahayu Hadi
Prasetyo, SH, dan telah disahkan oleh Menteri Kehakiman dan HAM RI dengan Surat
Nomor C-20863 HT.01.04 tahun 2002 tanggal 25 Oktober 20 02. Akte pendirian tersebut
di atas kemudian diubah dengan Akte Nomor 34 tanggal 13 Agustus 20 08, oleh
Notaris Nur Muhammad Dipo Nusantara Pua Upa, SH, dan telah disahkan oleh
Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
55963.AH.01.02. Tahun 20 08 dan dengan adanya perubahan Pasal 11 ayat (12)
yang dituangkan dalam Akta Nomor 11 tanggal 14 September 20 09, disahkan oleh
Menteri Hukum dan Hak Azazi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
AH.01.10 -18412 tanggal 22 Oktober 20 09. Penggabungan sejumlah perkebunan ke
dalam PT Perkebunan Nusantara VII memberikan catatan sejarah tersendiri.
Sebelum bergabung menjadi PT Perkebunan Nusantara VII (Persero), PT Perkebunan X
(Persero) adalah sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang
agribisnis perkebunan dengan wilayah kerja di Provinsi Lampung dan Sumatera Selatan.
PT Perkebunan X (Persero) bermula dari sebuah perusahaan perkebunan milik
Belanda yang terletak di Sumatera Selatan dan Lampung. Melalui proses
nasionalisasi, perkebunan tersebut diambilalih oleh Pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 1957. Perusahaan ini juga telah berjalan mengikuti berbagai bentuk kebijakan

10
pemerintah di bidang reorganisasi dan restrukturisasi perusahaan sebelum akhirnya
menjadi sebuah Perseroan Terbatas pada tahun 1980.
Perjalanan sejarah PT Perkebunan XXXI (Persero) baru mulai terukir menyusul
kebijakan pemerintah dalam pengembangan industri gula di luar Jawa pada tahun 1978.
Perusahaan perkebunan ini pada awalnya merupakan proyek pengembangan PT
Perkebunan XXI - XXII (Persero) yang berkantor pusat di Surabaya. Pada tahun 1989
perusahaan ini ditetapkan menjadi badan usaha sendiri dengan nama PT Perkebunan
XXXI (Persero) dengan kantor pusat di Palembang, Sumatera Selatan. Sementara itu
Proyek Pengembangan PT Perkebunan XI (Persero) di Kabupaten Lahat, Sumatera
Selatan yang berkantor pusat di Jakarta dan Proyek Pengembangan PT Perkebunan XXIII
(Persero) Bengkulu yang berkantor pusat di Surabaya merupakan Proyek Perkebunan Inti
Rakyat sejak tahun 1980-an. Rentang kendali yang cukup jauh ini menyebabkan
rendahnya efisiensi pengelolaan proyek, selain beratnya kondisi topografi yang
mengakibatkan tingginya biaya eksploitasi proyek, yang pada gilirannya membuat
pengelolaan proyek berjalan kurang optimal.
Saat ini, wilayah kerja Perseroan meliputi 3 (tiga) Provinsi yang terdiri dari 10 Unit
Usaha di Provinsi Lampung, 14 Unit Usaha di Provinsi Sumatera Selatan, dan 3 Unit
Usaha di Provinsi Bengkulu. Sejak awal, Perseroan didirikan untuk ambil bagian
dalam melaksanakan dan menunjang kebijaksanaan dan Program Pemerintah di
bidang ekonomi dan Pembangunan Nasional pada umumnya serta sub-sektor
perkebunan pada khususnya. Ini semua bertujuan untuk menjalankan usaha di
bidang agribisnis dan agroindustri, serta optimalisasi pemanfaatan sumberdaya
Perseroan untuk menghasilkan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan
berdaya saing kuat untuk mendapatkan/mengejar keuntungan dalam rangka
meningkatkan nilai Perseroan melalui prinsip-prinsip Perseroan Terbatas.
Keberadaan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) banyak memberikan manfaat
baik langsung maupun tidak langsung, berupa pajak dan retribusi kepada Pemerintah
Pusat dan Daerah, dividen kepada Pemegang Saham, kesempatan kerja, maupun dalam
bentuk kemitraan dan bina lingkungan bagi masyarakat sekitar pabrik. Perusahaan PT
Perkebunan Nusantara VII memiliki visi menjadi perusahaan agribisnis dan agroindustri
yang tangguh, terus tumbuh dan berkembang serta berkarakter. Selain visi tersebut, PT
Perkebunan Nusantara VII juga memiliki misi antara lain:

11
1. Menjalankan usaha agribisnis perkebunan dengan komoditas karet, kelapa sawit, teh
dan tebu yang profitable.
2. Mengembangkan usaha berbasis bisnis inti yang mengarah ke integritas vertikal
secara efisien.
3. Menggunakan teknologi budidaya dan proses yang efisien dan akrab dengan
lingkungan untuk menghasilkan produk berstandar baik untuk pasar domestik maupun
internasional.
4. Memperhatikan kepentingan shareholders dan stakeholders khususnya petani,
pemasok dan mitra usaha untuk bersama-sama mewujudkan daya saing guna
menumbuhkan dan mengembangkan perusahaan.

3.2 Visi, Misi Dan Strategi Perusahaan


3.2.1 Visi
Visi Perusahaan Perseroan (Persero) PT Perkebunan Nusantara VII adalah menjadi
perusahaan agribisnis berbasis karet, kelapa sawit, teh dan tebu yang tangguh serta
berkarakter global.
3.2.2 Misi
1. Menjalankan usaha perkebunan karet, kelapa sawit, teh dan tebu dengan
menggunakan teknologi budidaya dan proses pengolahan yang efektif serta ramah
lingkungan.
2. Mengembangkan usaha industri yang terintegritas dalam bisnis inti (karet, kelapa
sawit, teh dan tebu) dengan menggunakan teknologi terbarukan.
3. Mengembangkan sumber daya manusia yang berbasis kompetensi.
4. Membangun tata kelola usaha yang efektif.
5. Memlihara keseimbangan kepentingan stakeholders untuk mewujudkan daya
saing guna menumbuh kembangkan perusahaan.
3.2.3 Strategi Perusahaan
Berdasarkan analisis kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman (SWOT analysis),
maka strategi korporasi yang tepat bagi PTPN VII adalah strategi stability. Arah,
sasaran dan strategi organisasi yang sesuai adalah yang bersifat perbaikan internal
melalui optimalisasi sumber daya.
Kebijakan dalam mengimplementasikan Grand Strategy merujuk kepada lima
kebijakan strategis, yaitu :
12
1. Optimalisasi Pengelolaan Aset Perusahaan
- Tanaman : Optimalisasi melalui pencapaian produktivitas yang optimal dan
penggalian potensi produksi.
- Pabrik : Optimalisasi kapasitas dan utilitas, peningkatan efisiensi pabrik,
menjaga konsistensi mutu produksi.
2. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya Keuangan
Optimalisasi pengelolaan keuangan diarahkan pada peningkatan IGF (Internal
Generated Fund) dan perbaikan rasio keuangan.
3. Optimalisasi Pengelolaan SDM dan Organisasi
Optimalisasi melalui implementasi budaya perusahaan, perubahan struktur
organisasi, peningkatan kompetensi dan skill SDM serta implementasi sistem
jenjang karir dan remunerasi.
4. Optimalisasi Pengembangan Perusahaan
Optimalisasi melalui pemberdayaan aset-aset strategis, pembangunan,
pengembangan dan konsolidasi pabrik, akuisisi lahan, serta pengembangan sistem.
5. Optimalisasi Hubungan Kemitraan dan Lingkungan
Optimalisasi melalui perbaikan dan peningkatan sistem kerja pengadaan bahan
baku, pengelolaan pelanggan, lingkungan masyarakat sekitar dan lingkungan
hidup.

3.3 Struktur Organisasi Dan Pembagian Tugas


3.3.1 Struktur Organisasi
Salah satu tujuan utama didirikannya sebuah pabrik adalah untuk memperoleh
keuntungan yang maksimal. Untuk mencapai tujuan tersebut harus ada sistem yang
mengatur dan mengarahkan kerja dan operasional seluruh pihak yang berkompeten
dalam segala hal yang berkenaan dengan proses dan operasi pabrik. Oleh karena itu,
harus ada wadah dan tempat yang jelas bagi pihak-pihak tersebut untuk melakukan
aktivitas yang sesuai dengan kapabilitas dan tingkat intelejensinya. Wadah yang
dimaksud di atas adalah sebuah organisasi atau lembaga proses perorganisasian ialah
upaya untuk menyeimbangkan kebutuhan pabrik akan stabilitas dan perusahaan.
Sebagai suatu Badan Umum Milik Negara, PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
memiliki suatu struktur organisasi yang merupakan bagian yang sangat penting untuk
perusahaan, sehingga nantinya masing–masing mempunyai peran dan tanggung jawab
13
yang jelas. Struktur organisasi PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) ini
berdasarkan SK Direksi No. SDM/Kpts/275/2014 Tanggal 3 November 2014.
Gambar Struktur Organisasi PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) disajikan pada
gambar 3.1 berikut ini:

Garis Lini
Garis Koordinasi

14
Sumber www.ptpn7.com

Gambar 3.1 Struktur Organisasi

3.3.2 Pembagian Tugas


Tugas dan tanggung jawab dari pembagian manajemen organisasi di PT Perkebunan
Nusantara VII antara lain:
1. Direktur Utama membawahi, antara lain:
a. Direktur Produksi
15
b. Direktur SDM/Umum
c. Direktur Keuangan
d. Direktur Pemasaran Renbang (Perencanaan dan Pengembangan)
2. Direktur Produksi membawahi, antara lain :
a. Bagian Kemitraan dan Pengadaan Bahan Baku
b. Bagian Tanaman
c. Bagian Teknik
d. Bagian Pengolahan
3. Direktur SDM/Umum membawahi, antara lain:
a. Bagian SDM
b. Bagian Umum
c. Bagian Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan
4. Direktur Keuangan membawahi, antara lain:
a. Bagian Perencanaan dan Pengendalian Anggaran
b. Bagian Akuntansi dan Keuangan
5. Direktur Pemasaran dan Renbang (Perencanaan dan Pengembangan)
membawahi, antara lain :
a. Bagian Pengadaan
b. Bagian Pemasaran
c. Bagian Penelitian dan Pengembangan
d. Sekretaris Perusahaan

3.4 Aktivitas Usaha


PTPN VII mengelola 4 (empat) segmen usaha, yakni :
1. Segmen Karet
2. Segmen Kelapa Sawit
3. Segmen Gula
4. Segmen Teh
Segmen usaha karet mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 78.615 ton, yang
berasal dari areal kebun inti sebesar 22.531 ton dan produksi pihak III sebesar 56.684 ton.
Luas areal kebun inti sampai dengan akhir tahun 2014 mencapai 10.474 ha (TM
Produktif) dan 5.427 ha (TM Non Produktif), yang didukung oleh 12 buah Pabrik Karet
Remah dengan kapasitas total mencapai 295 ton KKK per hari.
16
Segmen usaha kelapa sawit mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 201.526
ton, yang berasal dari areal kebun inti sebesar 119.768 ton dan kebun plasma sebesar
81.758 ton. Luas areal kebun inti sampai dengan akhir tahun 2014 mencapai 33.452 ha,
dan kebun plasma mencapai 23.868 ha. PTPN VII memiliki 7 buah Pabrik Kelapa Sawit
dengan kapasitas total mencapai 280 ton TBS per jam.
Segmen usaha gula mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 137.901 ton, yang
berasal dari areal kebun inti sebesar 95.950 ton dan kebun plasma sebesar 25.377 ton
(kebun Tebu Rakyat) dan 16.574 ton (kebun Tebu Rakyat Bebas). Luas areal kebun inti
sampai dengan akhir tahun 2014 mencapai 17.675 ha, dan kebun plasma mencapai 4.203
ha (kebun Tebu Rakyat) dan 3.622 Ha (kebun Tebu Rakyat Bebas). PTPN VII (Persero)
memiliki 2 (dua) buah Pabrik Gula dengan kapasitas total mencapai 12.500 Ton Cane
Day.
Segmen usaha teh mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 4.348 ton, yang
berasal dari areal kebun inti seluas 1.438 ha. PTPN VII memiliki 1 (satu) buah Pabrik
Pengolah Teh dengan kapasitas total mencapai 80 ton pucuk teh segar per hari.
PTPN VII juga memiliki satu anak perusahaan yang mengelola Peternakan Sapi (PT
Karya Nusa Tujuh), dan empat perusahaan asosiasi. Saat ini PT Karya Nusa Tujuh
mengelola3 (tiga) segmen usaha, yakni:
1. Segmen Pakan Ternak
2. Segmen Penggemukan Sapi
3. Segmen Pupuk Kompos
Segmen usaha Pakan Ternak mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 9.866,7
ton yang berasal dari Pabrik Pakan Bungamayang.
Segmen usaha Penggemukan Sapi memiliki saldo akhir jumlah ternak per 31 Desember
2014 sebanyak 454 ekor yang berasal dari 2 (dua) Peternakan di Bekri dan Bungamayang
Segmen usaha Pupuk Kompos mampu menghasilkan produksi hasil olah sebesar 2.133,2
ton yang berasal dari 2 (dua) Peternakan di Bekri dan Bungamayang.

17
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Klasifikasi Biaya dan Unsur-Unsur Harga Laporan Laba Rugi


Klasifikasi biaya sangat penting guna membuat ikhtisar yang berarti atas data biaya,
karena dengan pengklasifikasian biaya yang tepat sangat membantu pihak manajemen
dalam memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam pengambilan keputusan untuk
mencapai tujuan perusahaan. Berdasarkan data yang penulis dapatkan, pengklasifikasian
biaya produksi yang diterapkan PT Perkebunan Nusantara VII meliputi:
1. Berdasarkan fungsi :
 Biaya produksi : Biaya bahan baku, Biaya tenaga kerja langsung, Biaya overhead
pabrik.
 Biaya Non produksi : Biaya administrasi, Biaya Pemasaran, Biaya Bunga Kredit,
dll.
2. Berdasarkan tujuan pemakaian :
 Biaya langsung, contoh : Biaya Pengolahan
 Biaya tak langsung, contoh : Biaya Administrasi
3. Berdasarkan tingkah laku
 Biaya variabel
 Biaya tetap

Berikut ini unsur-unsur beban pokok penjualan teh tersebut :


1. Biaya Bahan Baku
Biaya bahan baku yang diklasifikasikan oleh PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
sebagai biaya bahan baku adalah biaya yang membentuk bagian integral dari produk
jadi dan dimasukkan secara eksplisit dalam perhitungan biaya produksi. Biaya bahan
baku yang dipakai yaitu:
 Biaya Tanaman
 Biaya Pemeliharaan Tanaman
 Biaya Panen & Angkut
 Biaya Pembelian Bahan Baku

18
2. Biaya Tenaga Kerja
Biaya tenaga kerja yang diklasifikasikan oleh PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
yaitu biaya tenaga kerja yang melakukan konvensi bahan baku langsung menjadi
produk jadi dan dapat dibebankan secara layak ke produk tertentu. Pengklasifikasian
biaya tenaga kerja PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) sebagai berikut:
a. Gaji Karyawan
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk membayar jasa seluruh
karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero)
b. Upah Buruh Produksi
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan sebagai uang pekerja buruh di
sebagian produksi teh.
c. Premi atau Tunjangan
d. Biaya Makan
Merupakan biaya yang dikeluarkan perusahaan sebagai uang makan karyawan
yang bekerja di lapangan.
e. Lembur
Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pegawai yang bekerja
lebih dari jam kerja.
f. Tranportasi Lapangan
Merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk uang tranportasi
karyawan yang bekerja dilapangan.
g. Biaya ritasi sopir
Biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk sopir truck, dengan kata lain
sebagai uang rokok.

3. Biaya Overhead Pabrik


Biaya ini merupakan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan kecuali biaya bahan
baku langsung dan biaya tenaga kerja langsung. Banyak jenis biaya yang tergolong ke
dalam biaya overhead pabrik perusahaan contohnya adalah biaya pemeliharaan mesin.
Biaya pemeliharaan yaitu biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjaga
kualitas peralatan ataupun mesin yang berhubungan dengan yang dihasilkan agar
terjaga kualitasnya. Misalnya biaya peralatan dan mesin – mesin pabrik PT
Perkebunan Nusantara VII (Persero) yang terdiri dari pemeliharaan mesin dan
19
peralatan pabrik. Pemeliharaan ini digunakan untuk menjaga kualitas mesin dan
peralatan pabrik tersebut agar masih layak dipakai lebih lama lagi tanpa mengeluarkan
dana untuk membeli yang baru. Pemeliharaan ini dihitung sebagai berikut:
Biaya pemeliharaan Mesin dan peralatan pabrik = jumlah mesin x biaya pemeliharaan
yang dikenakan.

3.4 Laporan Laba Rugi


Pencapaian kinerja keuangan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) ditinjau dari
Laporan Laba Rugi diuraikan sebagai berikut :
Tabel Laba Rugi Tahun 2012-2014 (Rp Juta)

% %
Uraian 2012 2013 2014 Description
2012-2013 2013-2014
Penjualan Bersih 4.360.371 4.616.805 4.518.243 105,88 97,87 Net Sales
Beban Pokok Penjualan (3.544.599) (3.647.647) (3.541.513) 102,91 97,09 Cost of Goods Sold
Laba Bruto 815.771 969.159 976.731 118,80 100,78 Gross Profit
Beban Penjualan (54.496) (71.612) (73.100) 131,41 102,08 Sales Expenses
Beban umum & administrasi (483.318) (537.988) (543.789) 111,31 101,08 General & Adm. Expenses
Bagian laba bersih entitas 557 1.047 (487) 187,97 (46,51) Equity in net income of
Asosiasi associated company
Pendapatan /(beban) lain-lain, 14.953 40.550 41.763 271,18 102,99 Other operating income/
Neto (expneses), net
Laba Usaha 293.467 401.155 401.117 136,70 99,99 Operating Profit
Pendapatan keuangan 3.405 6.663 5.295 195,68 79,47 Finance income
Beban keuangan (233.870) (293.251) (357.927) 125,39 122,05 Finance expenses
Laba sbl. beban pajak 63.002 114.568 48.485 181,85 42,32 Profit before Income Tax
penghasilan
Beban pajak penghasilan (8.670) (35.915) (12.583) 414,24 35,04 Income tax expenses
Laba tahun berjalan 54.333 78.653 35.901 144,76 45,64 Profit for the year
Laba yg diatribusikan kepada 54.333 78.612 35.877 144,69 45,64 Total of Comprehensive Income
Pemilik Perusahaan

Di tengah kondisi eksternal yang kurang mendukung yang antara lain ditandai dengan
belum pulihnya harga jual komoditas, PTPN VII masih mampu membukukan laba
bersih meskipun mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya. Laba bersih
Perseroan tahun 2014 mencapai Rp35,88 miliar, turun 54,36% dibandingkan tahun 2013
yang mencapai Rp78,61 miliar.
Hal yang menggembirakan adalah secara umum produksi hasil jadi dan volume
penjualan tahun 2014 meningkat bila dibandingkan dengan realisasi tahun lalu kecuali
volume penjualan karet yang berkurang terkait menurunnya produksi karet
plasma/pihak III.
20
Penjualan Bersih
Selama tahun 2014, PTPN VII berhasil membukukan penjualan bersih sebesar
Rp4.518.243 juta mengalami penurunan sebesar Rp98.562 juta atau 2,13% jika
dibandingkan realisasi tahun 2013 yang mencapai Rp4.616.805 juta. Penjualan bersih ini
berasal dari lima segmen usaha, yakni karet, kelapa sawit, teh, gula dan segmen usaha
lainnya berupa sapi dan kompos. Kontribusi masing-masing segmen terhadap penjualan
bersih adalah sebagai berikut: karet 35.03%, kelapa sawit 40.89%, teh 1.29%, gula
22.48%, dan segmen usaha lainnya 0.31%.
Tabel Kontribusi Pendapatan Per Segmen Tahun 2012-2014

0,15%
2012 2013

20,77% 21,45%
1,45% 44,94% 1,25% 48,54%

32,84%
28,61%

0,31%
2014
Karet (Rubber)
22,48% 35,03% Kelapa Sawit (Oil Palm)

1,29% Entitas Anak (Other Business)

40,89% Gula (Sugar)


Teh (Tea)

21
Beban Pokok Penjualan

Tabel Beban Pokok PenjualanTahun 2012-2014 (Rp juta)

2012 2013 2014


Usaha Segment
juta / million Komposisi juta / million Komposisi juta/million Komposisi
Karet 1.616.120 45,59 1.808.597 49 ,58 1.476.945 41,70 Rubber
Kelapa Sawit 1.155.641 32,60 1.116.280 30,61 1.370.542 38,70 Oil Palm
Teh 51.625 1,46 50.784 1,39 52.154 1,47 Tea
Gula 721.213 20,35 666.081 18,26 629.582 17,78 Sugar
Usaha Lainnya - - 5.905 0,16 12.290 0,35 Other Business
Jumlah 3.544.599 100,00 3.647.647 100,00 3.541.513 100,00 Total

Laba Bruto
Laba kotor tahun 2014mencapai Rp976,73 miliar, mengalami kenaikan dibanding
pencapaian laba bruto tahun 2013 yang sebesar Rp969,16 miliar. Kenaikan laba kotor ini
disebabkan oleh menurunnya beban pokok penjualan sebesar 2,91%.

Beban Usaha

Realisasi beban usaha tahun 2014 mencapai Rp575.614 jutamengalami kenaikan sebesar
Rp7,61 miliar atau 1,34% bila dibandingkan denganrealisasi tahun 2013. Hal ini
disebabkan oleh kenaikan beban penjualan sebesar Rp1,49 miliar atau 2,08%, terkait
naiknya biaya instalasi dan pemompaan sebesar Rp702 juta atau35,02% dan biaya
gudang sebesar Rp937 juta atau 34,86%. Bebanadministrasi dan umum meningkat
sebesar Rp5,80 miliar atau 1,08%, yang disebabkanoleh kenaikan biaya gaji, upah,
imbalan masa kerja & tunjangan lainnya sebesar Rp. 10,56 miliar atau 3,8%, kenaikan
biaya penanggulangan limbah sebesar Rp. 4,23 miliar atau 40,99%

Laba Usaha
Pencapaian laba usaha di tahun 2014 sedikit menurun dibandingkan tahun 2013, yakni
dari Rp401.155 juta di tahun 2013 menjadi Rp401.117 juta di tahun 2014. Penurunan
laba usaha ini disebabkan adanya peningkatan biaya penjualan dan biaya umum &
administrasi.

22
Pendapatan (Beban) Lain-Lain
Pada tahun 2014, pendapatan/(beban) lain-lain mengalami peningkatan, dari Rp40.549
juta di tahun 2013 menjadi Rp41.763 juta di tahun 2014. Peningkatan ini disebabkan
adanya peningkatan penjualan non-komoditi sebesar 87,22%, yakni dari Rp31.143 juta di
tahun 2013 menjadi Rp58.305 juta di tahun 2014. Sementara itu, Rugi penghapusan aset
meningkat 716,07%, yakni dari Rp1.005 juta di tahun 2013 menjadi Rp 8.198 juta.

Beban Pajak Penghasilan


Beban pajak terdiri dari pajak kini entitas anak dan pajak tangguhan.
Penghasilan/(beban) pajak penghasilan tahun 2014 PTPN VII mencapai Rp12.583 juta,
mengalami penurunan sebesar Rp23.331 atau 64.96% dibandingkan tahun 2013 yang
mencapai Rp35.915 juta. Hal ini disebabkan oleh menurunnya Laba Sebelum Beban
Pajak Penghasilan dibandingkan tahun 2013.

Laba Komprehensif
Pencapaian laba bersih setelah pajak penghasilan tahun 2014 sebesar Rp35.901 juta,
dibandingkan pencapaian tahun 2013 mengalami penurunan sebesar Rp 42.752 juta atau
54,36%. Pada tahun 2014 Perseroan membukukan laba komprehensif sebesar
Rp35.901juta, mengalami penurunan sebesar 54,36% dibandingkan laba komprehensif
tahun 2013 yang mencapai Rp78,65 miliar.
Pada tahun 2014, perolehan laba per lembar saham Perusahaan adalah sebesar Rp29 ribu,
turun sebesar Rp35 ribu/saham atau 54,36% dibandingkan dengan laba per saham tahun
2013. Laba per lembar saham menurun disebabkan penurunan laba bersih pada tahun
2014 dibandingkan dengan realisasi tahun 2013.

23
BAB IV
KESIMPULAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan peninjauan dan penjelasan diatas maka penulis dapat memperoleh
kesimpulan sebagai berikut :
1. Klasifikasi mutu teh di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) dibagi dalam 3 jenis
yaitu Mutu I, Mutu II dan off grade.
2. Klasifikasi biaya produksi di PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) diklasifikasikan
dalam 3 jenis yaitu berdasarkan fungsi (biaya bahan baku langsung, biaya tenaga kerja
langsung, biaya overhead pabrik), berdasarkan tujuan pemakaian (biaya langsung dan
biaya tak langsung) dan berdasarkan tingkah laku (biaya variabel dan biaya tetap).
3. Dalam melakukan proses produksi teh terdapat 8 departemen produksi yaitu
Departemen Pengangkutan, Departemen Pelayuan, Departemen Penggilingan,
Departemen Pengayakan, Departemen Fermentasi, Departemen Pengeringan,
Departemen Sortasi Kering dan Departemen Pemutuan.
4. Pengklasifikasian biaya akan mempengaruhi nilai dari Harga Pokok Penjualan
Produk.Hasil perhitungan dari Harga Pokok Penjualan akan mempengaruhi besarnya
laba atau rugi yang diperoleh oleh perusahaan per periode.
5. Pencapaian laba bersih untuk tahun 2009 mengalami penurunan menjadi Rp.
150.356.000, hal ini disebabkan karena hasil penjualan yang didapat pada tahun 2009
mencapai Rp 2.892.459.000, menurun sebesar 15,5% bila dibanding dengan hasil
penjualan tahun 2008.
6. Kinerja keuangan perusahaan dapat diketahui dari analisis laporan keuangan
perusahaan, salah satunya adalah laporan laba rugi perusahaan. Pada PT Perkebunan
Nusantara VII (Persero) kinerja keuangan pada tahun 2009 mengalami penurunan
seiring dengan penurunan penjualan dan peningkatan biaya penjualan perusahaan.

4.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran dari penulis adalah pengaplikasian dari
klasifikasi biaya dan kinerja keuangan PT Perkebunan Nusantara VII (Persero) sudah
baik sesuai dengan teori biaya dan akuntansi yang berlaku pada perusahaan manufaktur.

24

Anda mungkin juga menyukai