Anda di halaman 1dari 24

Clinical Science Session

KISTA DAN ABSES BARTOLINI

Oleh:

Ade Kurnia 1840312652

Preseptor:
dr. Syahrial Syukur, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan pada Allah karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Clinical Science Session (CSS) yang

berjudul “Kista dan Abses Bartolini.” CSS ini disusun untuk memenuhi salah satu

syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Bagian Obstetri dan Ginekologi

Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Syahrial Syukur, Sp.OG selaku

pembimbing yang telah memberikan arahan dan petujuk, dan semua pihak yang

telah membantu dalam penulisan CSS ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CSS ini masih memiliki banyak

kekurangan. Untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga

CSS ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Dharmasraya, 10 Februari 2020

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kista barhtolini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli anatomi

Belanda pada tahun 1677 bernama Casper Bartolini. Kelenjar ini merupakan

kelenjar vestibuler terbesar menyerupai kelenjar cowper (kelenjar bulbouretral)

pada laki-laki, yang letaknya tertutup dan berpasangan. Kelenjar ini berfungsi untuk

mensekresi cairan pembersih, mukus yang alkalis kedalam duktus yang bagian

dalamnya tersusun atas sel kolumner dan bagian luar tersusun atas epitel

transisional.1

Kista barhtolini adalah tersumbatnya saluran lubrikasi pada vagina atau

membesarnya muara saluran lubrikasi, yang berakibat tidak keluarnya cairan

lubrikasi yang mestinya keluar. Kista bartolini merupakan masalah yang sering

didapatkan pada wanita usia reproduksi, kebanyakan kasus terjadi pada usia 20

sampai 30 tahun dengan sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista bartolini

atau abses, sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu untuk dicermati. Hal ini

berhubungan dengan aktifitas kelenjar bartolini yang berkurang pada masa

menopause. 2,3

Kista bartolini terbentuk akibat tersumbatnya kelenjar minyak dibibir

kemaluan bagian dalam akibat adanya infeksi. Selama kista ini tidak terinfeksi oleh

virus, bakteri, jamur kista ini tidak menimbulkan masalah, pasien tidak akan merasa

sakit hanya saja akan ada rasa benjolon di labia mayoravagina(bibir bagian luar

vagina). Tapi seandainya kista ini terinfeksi maka disebut dengan abses bartolini.

3
Kelenjar Bartolini berkembang dari epithelium pada area posterior dari

vestibula. Kelenjar bartolini terletak bilateral pada sepertiga bawah labia minora

dan mempunyai saluran kelenjar bartolini panjangnya 2 cm- 2,5 cm dengan posisi

pada jam 4 dan jam 8, bermuara pada vestibula. Kelenjar tersebut biasanya hanya

berukuran sebesar kacang polong dan jarang melebihi ukuran 1 cm.2-5

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini meliputi definisi, epidemiologi, etiologi,

gambaran klinis, diagnosis, penatalaksanaan dari kista dan abses bartolini.

1.3 Metode Penulisan

Metode penulisan makalah ini adalah dengan tinjauan pustaka yang merujuk

pada berbagai literatur.

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Kelenjar Bartolini

Kelenjar bartolini atau glandula vestibularis mayor merupakan salah satu

organ genitalia eksterna pada wanita. Kelenjar bartolini berjumlah dua buah

berbentuk bundar, dan terletak posterolateral dari vestibulum arah jam 4 dan jam 8.

Saluran keluar dari kelenjar ini bermuara pada celah yang terdapat diantara labium

minus pudendi dan tepi hymen. Glandula ini homolog dengan glandula

bulbourethralis pada pria. Kelenjar ini tertekan pada waktu coitus dan

mengeluarkan sekresinya untuk membasahi atau melicinkan permukaan vagina di

bagian caudal. kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibuli, dan
1,2
dipersarafi oleh nervus pudendus dan nervushemoroidal inferior. Kelenjar

bartolini sebagian tersusun dari jaringan erektil dari bulbus,jaringan erektil dari

bulbus menjadi sensitif selama rangsangan seksual dan kelenjar ini akan mensekresi

sekret yang mukoid yang bertindak sebagai lubrikan. Drainase pada kelenjar ini

oleh saluran dengan panjang kira-kira 2-2,5 cm yang terbuka ke arah orificium

vagina sebelah lateral hymen, normalnya kelenjar bartolini tidak teraba pada

pemeriksaan palpasi.

5
Gambar 2.1 Anatomi Kelenjar Bartolini 3

Kelenjar bartolini diperdarahi oleh arteri bulbi vestibule, dipersarafi oleh

nervus pudendus dan nervushemoroidal inferior. Kelenjar bartolini sebagian

tersusun dari jaringan erektil dari bulbus, dimana jaringan ini akan menjadi sensitif

selama rangsangan seksual dan akan mensekresi sekret mukoid yang bertindak

sebagai lubrikan. Normalnya kelenjar bartolini tidak teraba pada pemeriksaan

palpasi.1

2.2 Definisi Kista dan Abses Bartolini

Kista adalah kantung yang berisi cairan atau bahan semisolid yang terbentuk

di bawah kulit atau di suatu tempat di dalam tubuh. Suatu abses terjadi bila kista

menjadi terinfeksi. Kista kelenjar Bartolini terbentuk apabila kelenjar ini menjadi

tersumbat karena berbagai alasan, seperti infeksi, peradangan atau iritasi jangka

panjang.Apabila saluran kelenjar ini mengalami infeksi maka saluran kelenjar ini

akan melekat satu sama lain dan menyebabkan timbulnya sumbatan. Cairan yang

6
dihasilkan oleh kelenjar ini kemudian terakumulasi, menyebabkan kelenjar

membengkak dan membentuk suatu kista. 4

2.3 Epidemiologi Kista dan Abses Bartolini

Kista Bartolini merupakan kista yang sering terjadi pada vulva. Dua persen

wanita mengalami kista bartolini atau abses kelenjar pada suatu saat dalam

kehidupannya. Abses umumnya hampir terjadi tiga kali lebih banyak daripada kista.

Salah satu penelitian kasus kontrol menemukan bahwa wanita berkulit putih dan

hitam yang lebih cenderung untuk mengalami kista bartolini atau abses bartolini

daripada wanita hispanik, dan bahwa perempuan dengan paritas yang tinggi

memiliki risiko terendah. Kista Bartolini, yang paling umum terjadi pada labia

majora. Involusi bertahap dari kelenjar bartolini dapat terjadi pada saat seorang

wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin menjelaskan lebih seringnya

terjadi kista bartolini dan abses selama usia reproduksi. Biopsi eksisional mungkin

diperlukan lebih dini karena massa pada wanita pascamenopause dapat berkembang

menjadi kanker. Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa eksisi pembedahan

tidak diperlukan karena rendahnya risiko kanker kelenjar Bartholin (0,114 kanker

per 100.000 wanita-tahun). Namun, jika diagnosis kanker tertunda, prognosis dapat

menjadi lebih buruk. Sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami kista Bartolini atau

abses di dalam hidup mereka. Jadi, hal ini adalah masalah yang perlu dicermati.

Kebanyakan kasus terjadi pada wanita usia reproduktif, antara 20 sampai 30 tahun.

Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau

lebih muda.4

7
2.4 Etiologi Kista dan Abses Bartolini

Pembesaran kista bartolini bisa terjadi akibat parut setelah infeksi (terutama

yang disebabkan oleh nisereria gonorea dan kadangkadang streptokok dan

stafilokok) atau trauma yang kemudian menyebabkan sumbatan pada saluran

ekskresi kelenjar Bartolini. Obstruksi distal saluran bartolini bisa mengakibatkan

retensi cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista.

Kista dapat terinfeksi, dan abses dapat berkembang dalam kelenjar. Kista Bartolini

tidak selalu harus terjadi sebelum abses kelenjar.2

Infeksi pada abses bartolini dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri,

termasuk organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia

dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti

Escherichia coli. Umumnya abses ini melibatkan lebih dari satu jenis organisme.

Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang dominan

mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum. Chlamydia

trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun, kista saluran

Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian eksklusif dari

infeksi menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah penyebab umum

kista dan abses tersebut. 2,5

8
Tabel 2.1 Bakteri Penyebab Kista dan Abses Bartolini.5

2.5 Patofisiologi dan Patogenesis Kista dan Abses Bartolini

Tersumbatnya bagian distal dari duktus Bartolini dapat menyebabkan

retensi dari sekresi, dengan akibat berupa pelebaran duktus dan pembentukan kista.

Kista tersebut dapat menjadi terinfeksi, dan abses bisa berkembang

dalam kelenjar. Kelenjar Bartholin sangat sering terinfeksi dan dapat membentuk

kista atau abses pada wanita usia reproduksi. Kista dan abses bartolini seringkali

dibedakan secara klinis.6

Kista Bartolini terbentuk ketika ostium dari duktus tersumbat,

sehingga menyebabkan distensi dari kelenjar dan tuba yang berisi cairan.

Sumbatan ini biasanya merupakan akibat sekunder dari peradangan nonspesifik

atau trauma. Kista bartolini dengan diameter 1-3 cm seringkali asimptomatik.

Sedangkan kista yang berukuran lebih besar, kadang menyebabkan nyeri dan

dispareunia. Abses Bartolini merupakan akibat dari infeksi primer dari kelenjar,

atau kista yang terinfeksi. Pasien dengan abses Bartolini umumnya mengeluhkan

nyeri vulva yang akut dan bertambah secara cepat dan progresif. Abses kelenjar

Bartolini disebakan oleh polymicrobial.2,5,6

9
Peradangan pada kista yang terbentuk akibat sumbatan duktus sekretorius

dan kelenjar Bartolini dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung hingga

bertahun-tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi kista, tidak mencapai

ukuran yang besar sehingga penderita juga tidak menyadari adanya kelainan

ini.Bila pembesaran kelenjar Bartolini terjadi pada usia pascamenopause, sebaiknya

dilakukan pemeriksaan secara saksama terkait dengan risiko tinggi terhadap

keganasan.2

10
2.6 Manifestasi Klinis Kista dan Abses Bartolini

Jika kista kelenjar Bartolini masih kecil dan belum terjadi inflamasi,

penyakit ini bisa menjadi asimptomatik. Kista biasanya nampak sebagai massa yang

menonjol secara medial dalam introitus posterior pada regio yang duktusnya

berakhir di dalam vestibula. Jika kista menjadi terinfeksi maka bisa terjadi abses

pada kelenjar. Indurasi biasa terjadi pada sekitar kelenjar, dan aktivitas seperti

berjalan, duduk atau melakukan hubungan seksual bisa menyebabkan rasa nyeri

pada vulva.

Kista duktus Bartolini dan abses glandular harus dibedakan dari massa

vulva lainnya. Karena kelenjar Bartolini biasanya mengecil saat menopause,

pertumbuhan vulva pada wanita postmenopause harus dievaluasi untuk

kemungkinan terjadinya keganasan , khususnya jika massa irregular, nodular dan

indurasi persisten.

Kista Bartolini tidak selalu menyebabkan keluhan akan tetapi kadang

dirasakan sebagai benda padat dan menimbulkan kesulitan pada waktu koitus. Jika

kista bartolini masih kecil dan tidak terinfeksi, umumnya asimtomatik. Tetapi bila

berukuran besar dapat menyebabkan rasa kurang nyaman saat berjalan atau duduk.

Tanda kista Bartolini yang tidak terinfeksi berupa penonjolan yang tidak nyeri pada

salah satu sisi vulva disertai kemerahan atau pembengkakan pada daerah vulva.

Keluhan pasien pada umumnya adalah benjolan, nyeri, dan dispareunia.

Penyakit ini cukup sering rekurens. Bartolinitis sering kali timbul pada gonorrea,

akan tetapi dapat pula mempunyai sebab lain, misalnya treptokokus. Pada

Bartolinitis akuta kelenjar membesar, merah, nyeri, dan lebih panas dari daerah

11
sekitarnya. Isinya cepat menjadi nanah yang dapat keluar melalui duktusnya, atau

jika duktusnya tersumbat, mengumpul di dalamnya dan menjadi abses yang

kadang-kadang dapat menjadi sebesar telur bebek. Jika belum menjadi abses,

keadaan bisa di atasi dengan antibiotika, jika sudah bernanah harus dikeluarkan

dengan sayatan.

Pasien dengan abses dapat memberikan gejala sebagai berikut:

• Nyeri yang akut disertai pembengkakan labial unilateral.

• Dispareunia

• Nyeri pada waktu berjalan dan duduk

• Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge

( sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)4

Gambar 2.2 Kista Bartolini

12
Gambar 2.3 Abses Kelenjar Bartolini 3

2.7 Diagnosis

2.7.1 Anamnesa

Pada anamnesa abses kelenjar bartolini biasanya ditemukan gejala klinis,

berupa :

• Benjolan

• Nyeri saat berjalan, duduk, beraktifitas fisik, atau berhubungan seksual

(dispareunia)

• Umumnya tidak disertai demam, kecuali jika terinfeksi dengan

mikroorganisme yang ditularkan melalui hubungan seksual atau ditandai

dengan adanya perabaan kelenjar limfe pada inguinal

• Pembengkakan area vulva selama 2-4 hari

• Biasanya ada sekret di vagina, kira-kira 4 sampai 5 hari pasca

pembengkakan, terutama jika infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang

ditularkan melalui hubungan seksual

13
• Nyeri yang mendadak mereda, diikuti dengan timbulnya discharge

(sangat mungkin menandakan adanya ruptur spontan dari abses)5

• Teraba massa unilateral pada labia mayor, lembut, dan berfluktuasi, atau

terkadang tegang dan keras.5

2.7.2 Pemeriksaan fisik4,6,7

Kista kelenjar Bartolini dapat didiagnosis melalui pemeriksaan fisik

khususnya dengan pemeriksaan ginekologis pelvik. Pemeriksaan fisik dengan

posisi litotomi. Hasil pemeriksaan fisik yang diperoleh dari pemeriksaan terhadap

abses bartolini adalah sebagai berikut:

• Pada inspeksi, terlihat massa unilateral di daerah labium, biasanya pada labium

minor arah jam 4 dan 8 atau posisi jam 5 atau 7 dengan daerah sekitar yang

eritema dan edema. Dalam beberapa kasus didapatkan daerah selulitis disekitar

abses

• Pada perabaan teraba massa yang lunak, berbatas tegas, berfluktuasi dan sangat

nyeri tekan dengan daerah sekitar yang eritema dan edema.

• Jika abses telah pecah secara spontan, dapat terdapat duh yang purulen

2.7.2 Pemeriksaan Penunjang

1) Pemeriksaan gram dan biakan materi purulen membantu identifikasi

bakteri patogen11

2) Pemeriksaan darah rutin untuk melihat adanya tidaknya leukositosis.

Namun apabila pasien afebris, pemeriksaan darah rutin tidak

diperlukan.12

3) Mengambil sampel sekresi dari vagina atau servix untuk mengetahui

adanya infeksi menular seksual, gonore, sifilis atau infeksi menular

14
seksual lainnya. Kultur jaringan dibutuhkan untuk mengidentifikasi

jenis bakteri penyebab infeksi Gonorrhea dan Chlamidya. Untuk kultur,

di ambil swab dari abses atau daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini

baru dapat dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak menunda

pengobatan. Dari hasil tes ini dapat diketahui apakah antibiotik perlu

diberikan.11
4) Biopsi dari massa untuk mengetahui adanya sel-sel kanker, bagi

pasien:12

a. Perimenopause, menopause atau lebih dari 40 tahun

b. Kegagalan penyembuhan dengan pengobatan yang teratur

c. Ada riwayat menderita keganasan labial

d. Kronik dan atau tidak nyeri sama sekali

2.8 Diagnosis Banding

Tabel 2.2 Diagnosis banding kistik dan lesi padat vulva

Lesion Location Characteristics

Cystic lesions

Bartolini's duct Vestibule Usually unilateral; asymptomatic if

cyst remains small

Epidermal Labia majora Benign, mobile, nontender; caused by

inclusion cyst (usually) trauma or obstruction of pilosebaceous

ducts

15
Mucous cyst of Labia minora, Soft, less than 2 cm in diameter,

the vestibule vestibule, smooth surface, superficial location;

periclitoral area solitary or multiple; usually

asymptomatic

Hidradenoma Between labia Benign, slow-growing, small nodule (2

papilliferum majora and labia mm to 3 cm); arises from apocrine

minora sweat glands

Cyst of the canal Labia majora, Soft, compressible; peritoneum

of Nuck mons pubis entrapped within round ligament; may

mimic inguinal hernia

Skene's duct cyst Adjacent to Benign, asymptomatic; if large, may

urethral meatus in cause urethral obstruction and urinary

vestibule retention

Solid lesions

Fibroma Labia majora, Firm, asymptomatic; may develop

perineal body, pedicle; may undergo myxomatous

introitus degeneration; potential for malignancy

Lipoma Labia majora, Benign, slow-growing; sessile or

clitoris pedunculated

16
2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Tindakan Operatif

Beberapa prosedur yang dapat digunakan:7,8,9

1. Insisi dan Drainase

Insisi dan drainase merupakan prosedur yang cepat dan mudah dilakukan

serta memberikan pengobatan langsung pada pasien, namun prosedur iniharus

diperhatikan karena ada kecenderungan kekambuhan kista atau abses.Ada studi

yang melaporkan, bahwa terdapat 13% kegagalan pada prosedur ini.9

2. Word Catheter

Word catheter ditemukan pertama kali pada tahun 1960-an. Merupakan

sebuah kateter kecil dengan balon yang dapat digembungkan dengan saline pada

ujung distalnya, biasanya digunakan untuk mengobati kista dan abses Bartolinii.

Panjang dari kateter karet ini adalah sekitar 1 inch dengan diameter No.10 French

Foley kateter. Balon kecil di ujung Word catheter dapat menampung sekitar 3-4 mL

larutan saline.9

Setelah persiapan steril dan pemberian anestesi lokal, dinding kista atau

abses dijepit dengan forceps kecil dan blade no.11 digunakan untuk membuat insisi

17
sepanjang 5mm pada permukaan kista atau abses.Penting untuk menjepit dinding

kista sebelum dilakukan insisi, atau bila tidak kista dapat collapse dan dapat terjadi

insisi pada tempat yang salah.Insisi harus dibuat dalam introitusexternal hingga ke

cincin hymenal pada area sekitar orifice dari duktus.Apabila insisi dibuat terlalu

besar, Word catheter dapat lepas.5,7,9

Setelah insisi dibuat, Word catheter dimasukkan, dan ujung balon

dikembangkan dengan 2 ml hingga3 ml larutan saline. Balon yang mengembang ini

membuat kateter tetap berada di dalam rongga kista atau abses. Ujung bebas dari

kateter dapat dimasukkan ke dalam vagina.Agar terjadi epitelisasi pada daerah

bekaspembedahan, Word catheter dibiarkan di tempat selama empat sampai enam

minggu, meskipun epithelialisasi mungkin terjadi lebih cepat,sekitar tiga sampai

empat minggu.Jika Kista Bartolini atau abses terlalu dalam, pemasangan

Wordcatheter tidak praktis, dan pilihan lain harus dipertimbangkan.6

Gambar 2.5 Word Catheter

18
3. Marsupialisasi6,7,9

Alternatif pengobatan selain penempatan Word catheter

adalah marsupialisasi dari kista Bartolini . Prosedur ini tidak boleh

dilakukan ketika terdapat tanda- tanda abses akut.

Gambar 2.6. Marsupialisasi Kista Bartolini (kiri)

Suatu insisi vertikal disebut pada bagian tengah kista, lalu pisahkan mukosa

sekiar; (kanan) Dinding kista dieversi dan ditempelkan pada tepi mukosa vestibular

dengan jahitan interrupted. Setelah dilakukan persiapan yang steril dan pemberian

anestesi lokal, dinding kista dijepit dengan dua hemostat kecil. Lalu dibuat

insisivertikal pada vestibular melewati bagian tengah kista dan bagian luar dari

hymenal ring.Insisi dapat dibuat sepanjang 1.5 hingga 3cm, bergantung pada

besarnya kista.

Setelah kista diinsisi, isi rongga akan keluar. Rongga ini dapat diirigasi

dengan larutan saline, dan lokulasi dapat dirusak dengan hemostat. Dinding

kista ini lalu dieversikan dan ditempelkan pada dindung vestibular mukosa

dengan jahitan interrupted menggunakan benang absorbable 2 -0.18. Kekambuhan

kista Bartolini setelah prosedur marsupialisasi adalah sekitar 5-10 %.

19
Cara:

• Disinfeksi dinding kista sampai labia dengan menggunakan betadine.

• Dilakukan lokal anastesi dengan menggunakan lidokain 1 %.

• Dibuat insisi vertikal pada kulit labium sedalam 0,5cm (insisi sampai

diantara jaringan kulit dan kista/ abses) pada sebelah lateral dan sejajar

dengan dasar selaput himen.

• Dilakukan insisi pada kista dan dinding kista dijepit dengan klem pada 4

sisi, sehingga rongga kista terbuka dan kemudian dinding kista diirigasi

dengan cairan salin.

• Dinding kista dijahit dengan kulit labium dengan atraumatik catgut. Jika

memungkinkan muara baru dibuat sebesar mungkin(masuk 2 jari tangan),

dan dalam waktu 1 minggu muara baru akan mengecil separuhnya, dan

dalam waktu 4 minggu muara baru akan mempunyai ukuran sama dengan

muara saluran kelenjar bartolini sesungguhnya.

4. Eksisi (Bartoliniectomy)9,10

Eksisi dari kelenjar Bartolini dapat dipertimbangkan pada pasien yang

tidak berespon terhadap drainase, namun prosedur ini harus dilakukan saat tidak

ada infeksi aktif. Eksisi kista bartolini karena memiliki risiko perdarahan, maka

sebaiknya dilakukan di ruang operasi dengan menggunakan anestesi umum. Pasien

ditempatkan dalam posisi dorsal lithotomy. Lalu dibuat insisi kulit berbentuk linear

yangmemanjang sesuai ukuran kista pada vestibulum dekat ujung medial labia

minora dansekitar 1 cm lateral dan parallel dari hymenal ring. Hati – hati saat

melakukan insisi kulit agar tidak mengenai dinding kista.Struktur vaskuler terbesar

yang memberi suplai pada kista terletak pada bagian posterosuperior kista. Karena

20
alasan ini, diseksi harus dimulai dari bagian bawahkista dan mengarah ke superior.

Bagian inferomedial kista dipisahkan secara tumpul dan tajam dari jaringan sekitar.

Alur diseksi harus dibuat dekat dengandinding kista untuk menghindari perdarahan

plexus vena dan vestibular bulb danuntuk menghindari trauma pada rectum.

Gambar 2.7 Diseksi Kista

Setelah diseksi pada bagian superior selesai dilakukan, vaskulariasi

utama dari kista dicari dan diklem dengan menggunakan hemostat. Lalu dipotong

dan diligasi dengan benangchromic atau benang delayed absorbable 3-0.

Gambar 2.8 Ligasi Pembuluh Darah

21
Cool packs pada saat 24 jam setelah prosedur dapat mengurangi nyeri,

pembengkakan, dan pembentukan hematoma. Setelah itu, dapat dianjurkan sitz bath

hangat 1-2 kali sehari untuk mengurangi nyeri post operasi dan kebersihan luka.

2.9.2 Pengobatan Medikamentosa10,11

Antibiotik sebagai terapi empirik untuk pengobatan penyakit menular

seksual biasanya digunakan untuk mengobati infeksi gonococcal dan chlamydia.

Idealnya, antibiotik harus segera diberikan sebelum dilakukan insisi dan drainase.

Beberapa antibiotikyang digunakan dalam pengobatan abses bartolini:

• Infeksi Neisseria gonorrhoe:

Ciprofloxacin 500 mg single dose

Ofloxacin 400 mg single dose

Cefixime 400 mg oral ( aman untuk anak dan bumil)

Cefritriaxon 200 mg i.m ( aman untuk anak dan bumil)

• Infeksi Chlamidia trachomatis:

Tetrasiklin 4 X500 mg/ hari selama 7 hari, po

Doxycyclin 2 X100 mg/ hari selama 7 hari, po

• Infeksi Escherichia coli:

Ciprofoxacin 500 mg oral single dose

Ofloxacin 400 mg oral single dose

Cefixime 400 mg single dose

• Infeksi Staphylococcus dan Streptococcus :

22
Penisilin G Prokain injeksi 1,6-1,2 juta IU im, 1-2 x hari

Ampisilin 250-500 mg/ dosis 4x/hari, po.

Amoksisillin 250-500 mg/dosi, 3x/hari po.

2.9.3 Komplikasi11

Komplikasi yang paling umum dari abses bartolini adalah kekambuhan.

• Pada beberapa kasus dilaporkan necrotizing fasciitis setelah dilakukan

drainase abses.

• Perdarahan, terutama pada pasien dengan koagulopati.

• Timbul jaringan parut.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Cunningham, F.G., MacDonald, P.C. 2014. Obstetri Williams. Ed 24 Jakarta:


EGC.
2. Prawirohardjo S. 2011. Ilmu Kandungan. Ed 3. Jakarta: Bina Pustaka Sar.
3. Omole, F., Simmons BJ., Hacker Y. 2003. Management of Bartolini’s Duct
Cyst and Gland Abscess. Morehouse School of Medicine: Georgia
4. Blumstein, A Howard. 2005. Bartolini Gland Diseases.
http://www.emedicine.com/emerg/topic54.
5. Lee Min Y., Dalpiaz A., Schwamb R., Miao Y., Waltzer W., Ali Khan. Clinical
Pathology of Bartolini’s Glands: A Review of the Literature
6. Hill Ashley, M.D. 2002. Office Management of Bartolini Gland Cyst and
Abscess. http://www.fpnotebook.com/GYN 199.htm
7. Omole,FolashadeM.D. 2003. Management of Bartolini's Duct Cyst and Gland
Abscess. http://www. Aafp.org/afp/20030701/135.html.
8. Wiknjosastro, Hanifa. 1999. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo.
9. Bunker CB, Neill SM. The Genital, Perianal and Umbilical Regions in : Burn
T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook’s Textbook of Dermatology.
Massachusetts:Blackwell Science; 2004. p.68.67
10. S Parvathi, et all. Bartolinitis caused by Streptococcus pneumoniae : Case
report and review of literature. Indian journal of pathology and microbiology.
2009. 52(2): 265-266
11. Tanaka, et all. Microbiology of Bartolini’s Gland Abscess in Japan. Journal of
Clinical Microbiology. 2005 August 43(8): 4258-4261
12. Amiruddin DM, Anggreni D, Madjid A, Bartolinitis dan Kista Bartolini in:
Amiruddin DM, ed. Penyakit Menular Seksual. Makassar: Bagian Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin;
2004. P.163-175.

24

Anda mungkin juga menyukai