Anda di halaman 1dari 16

Clinical Science Session

MASTITIS

Oleh:

Ade Kurnia 1840312652

Preseptor :

dr. Syahrial Syukur, Sp.OG

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

RSUD SUNGAI DAREH DHARMASRAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS

2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

ASI merupakan makanan alamiah terbaik yang diberikan seorang ibu

kepada bayi yang baru dilahirkan. ASI mengandung zat pelindung yang dapat

melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Pemberian ASI juga dapat

memberikan pengaruh emosional antara ibu dan bayi, sehingga akan mempererat

hubungan batin antara ibu dengan bayi yang disusuinya. Selain keuntungan di atas,

pemberian ASI dengan cara yang benar dapat memberikan hubungan yang

bermakna antara menyusui dengan proses penjarangan kehamilan.1

Menyusui merupakan salah satu komponen dari proses reproduksi yang

terdiri atas haid, konsepsi, kehamilan, menyusui, dan penyapihan. Jika semua

komponen berlangsung baik, maka proses menyusui akan berhasil. Keberhasilan

menyusui bukan sesuatu yang datang dengan sendirinya, tetapi merupakan suatu

keterampilan yang perlu diajarkan. Agar ibu berhasil menyusui perlu dilakukan

berbagai kegiatan saat antenatal, intranatal, dan postnatal.1

Data sentra laktasi Indonesia mencatat berdasarkan survei demografi dan

kesehatan Indonesia pada tahun 2007-2010, hanya sebanyak 48% ibu yang mau

memberikan ASI eksklusif. Rata-rata ibu di Indonesia memberikan ASI eksklusif

berlangsung selama 2 bulan, sementara pemberian susu formula meningkat hingga

3 kali lipat. Berdasarkan data dari Bappenas tahun 2010 didapatkan bahwa hanya

31% bayi di Indonesia yang mendapatkan ASI Eksklusif hingga usia 6 bulan.2

Mastitis merupakan suatu proses peradangan pada satu atau lebih segmen

payudara yang mungkin disertai infeksi atau tanpa infeksi. Mastitis diperkirakan

2
dapat terjadi pada 3-20% ibu yang menyusui. Tahun 2005 Word Health

Organisation (WHO) menyebutkan bahwa jumlah kasus infeksi payudara yang

terjadi pada wanita seperti kanker, tumor, mastitis, penyakit fibrokustik terus

meningkat dimana 12% diantaranya merupakan infeksi payudara berupa mastitis

pada wanita postpartum. Angka kesakitan mastitis akibat infeksi di Indonesia hanya

0,001/100.000.2

1.2 Batasan Masalah

Tulisan ini membahas tentang definisi, epidemiologi, etiologi, faktor risiko,

patofisiologi, diagnosis, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis mastitis.

1.3 Tujuan Penulisan

Tulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca dan penulis

tentang mastitis.

1.4 Metode Penulisan

Refrat ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang

merujuk dari berbagai literatur.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Epidemiologi

Mastitis adalah peradangan payudara yang biasa terjadi pada masa nifas

atau sampai 3 minggu setelah persalinan.1 Hal yang perlu diperhatikan pada kasus

mastitis adalah menurunnya produksi ASI sehingga akan menjadi alasan ibu untuk

berhenti menyusukan bayinya. Sebagian besar mastitis terjadi dalam 6 minggu

pertama setelah bayi lahir (paling sering pada minggu ke-2 dan ke-3), meskipun

mastitis juga dapat terjadi sepanjang masa menyusui.2

The American Society memperkirakan sebanyak 241.240 wanita Amerika

Serikat didiagnosa dengan mastitis, di Kanada sebanyak 24.600 orang, dan di

Australia sebanyak 14.791 orang. Di Indonesia diperkirakan wanita yang

didiagnosa mastitis berjumlah 876.665 orang. Studi terbaru menunjukkan kasus

mastitis meningkat hingga 12-35% pada ibu dengan puting susu lecet dan tidak

diobati dengan antibiotik. Mengonsumsi antibiotik pada saat puting susu

bermasalah atau lecet kemungkinan untuk mengalami mastitis hanya sekitar 5%.2q

2.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab tersering dari mastitis adalah sumbatan saluran susu atau statis

ASI serta terjadinya infeksi dapat menyebabkan mastitis, sehingga menyebabkan

pengeluaran ASI yang kurang sempurna.3

a) Statis ASI

Statis ASI terjadi jika ASI tidak dikeluarkan dengan efisien dari payudara

ibu. Hal ini terjadi jika payudara terbendung segera setelah melahirkan, atau

4
setiap saat jika bayi tidak minum ASI. Kenyutan bayi yang buruk pada

payudara, pengisapan yang tidak efektif karena frenulum bayi yang pendek,

pembatasan frekuensi atau durasi menyusui dapat menyebabkan sumbatan

pada saluran ASI. Situasi lain yang mempengaruhi predisposisi terhadap

stasis ASI, termasuk suplai ASI yang sangat berlebihan, atau menyusui

untuk kembar dua atau lebih. Berikut faktor-faktor penyebab stasis ASI:

1. Bendungan payudara

Kondisi ini sering terjadi bila bayi yang tidak disusui segera setelah

lahir. Pentingnya pengeluaran ASI yang segera pada tahap awal mastitis,

atau kongesti, untuk mencegah perkembangan penyakit dan pernbentukan

abses. Isapan bayi adalah sarana pengeluaran ASI yang efektif.

2. Frekuensi menyusui

Tahun 1952, Illingworth dan Stone menemukan bahwa dalam uji

coba dengan kontro1, bahwa insiden stasis ASI dapat dikurangi hingga

setengahnya bila bayi disusui sesering mungkin. Hubungan antara

pembatasan frekuensi dan durasi menyusui dan mastitis telah diuraikan oleh

beberapa penulis. Banyak wanita menderita mastitis bila mereka tidak

menyusui atau bila frekuensi menyusui berkurang karena bayi tidur

semalaman, sehingga waktu antar menyusui semakin lama.

3. Cara pengisapan bayi pada payudara

5
Pengisapan yang buruk menyebabkan pengeluaran ASI menjadi

tidak efisien, hal ini merupakan faktor predisposisi utama mastitis.

Penyebab nyeri dan trauma puting yang tersering adalah pengisapan yang

buruk pada payudara, kedua kondisi ini dapat terjadi bersama-sama. Selain

itu, nyeri puting akan menyebabkan ibu menghindar untuk menyusui pada

payudara yang sakit dan karena itu mencetuskan stasis ASI dan bendungan.

4. Sisi yang disukai dan pengisapan yang efisien

Banyak ibu merasa lebih mudah untuk menyusui bayinya pada satu

sisi payudara dibandingkan dengan payudara yang lain. Selain itu juga

dikatakan bahwa pengisapan yang tidak tepatdapat menyebabkan stasis ASI

dan mastitis yang lebih mungkin terjadi pada sisi payudara yang lebih sulit

untuk menyusui.
6
5. Faktor mekanis lain

- Frenulum yang pendek (tounge tie) pada bayi mengganggu pengisapan

pada payudara dan menyebabkan puting luka dan pecah-pecah. Hal ini juga

mengurangi efisiensi pengeluaran ASI dan predisposisi untuk mastitis.

- Pakaian yang ketat dan posisi tidur telungkup.

b) Infeksi

Organisme yang paling sering ditemukan pada mastitis dan abses

payudara adalah golongan koagulase-positif seperti Staphylococcus aureus,

Staphylococcus albus, Escherichia coli, dan Streptococcus .

Kolonisasi bakteri pada bayi dan payudara adalah proses normal yang

terjadi segera setelah lahir. Saluran susu ibu dan nasofaring bayi terkolonisasi

oleh berbagai organisme, beberapa di antaranya potensial bersifat patogenik,

seperti Staphylococcus aureus. Namun, kehadiran bakteri-bakteri tersebut tidak

dengan sendirinya menyebabkan mastitis. Bila ibu melakukan kontak yang erat

dengan bayinya segera setelah lahir, ibu memindahkan organisme saluran napas

dan kulit dari strainnya kepada bayinya. Organisme ini tumbuh dan membentuk

populasi pada usus, kulit, dan saluran napas bayi. Bila organisme flora komensal

terbentuk, pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Proses ini dikenal sebagai

interferensi bakterial, telah digunakan secara luas pada keadaan klinis untuk

mencegah dan mengendalikan wabah infeksi bentuk Staph.aureus yang lebih

virulen. Karena itu, dukungan untuk menyusui dan memeluk, kontak kulit dini

antara ibu dan bayinya, dan rawat gabung, merupakan cara yang paling alami

dan efisien untuk mencegah penyebaran infeksi, termasuk penyebaran

organisme yang bertanggung jawab untuk mastitis.

7
Bagaimana infeksi memasuki payudara belum diketahui. Beberapa jalur

yang diduga, yaitu melalui duktus laktiferus ke dalam lobus, dengan penyebaran

hematogen dan melalui fisura puting susu ke dalam sistem limfatik periduktal.

Frekuensi fisura puting susu telah dilaporkan meningkat dengan adanya mastitis.

2.3 Anatomi Payudara dan Patofisiologi Mastitis

2.3.1 Anatomi Payudara

Gambar 1. Anatomi Payudara Normal

Keterangan Gambar :

1. Chest wall (dinding dada)

2. Pectoralis muscles (otot pektoralis)

3. Lobules

4. Nipple surface

5. Areola

6. Duktus Lactiferus
8
7. Fatty Tissue (jaringan lemak)

8. Skin (kulit)

2.3.2 Patofisiologi Mastitis

Mastitis diawali dengan terjadinya peningkatan tekanan di dalam duktus

akibat dari stasis ASI. Bila ASI tidak segera dikeluarkan maka akan terjadi tegangan

alveoli yang berlebihan dan mengakibatkan sel epitel yang memproduksi ASI

menjadi datar dan tertekan, sehingga permeabilitas jaringan ikat meningkat.

Beberapa komponen terutama protein kekebalan tubuh dan natrium dari plasma

masuk ke dalam ASI selanjutnya ke jaringan sekitar sel sehingga memicu respons

imun.4

Stasis ASI menyebabkan munculnya respons inflamasi, dan kerusakan

jaringan, sehingga akan memudahkan terjadinya infeksi. Terdapat beberapa cara

masuknya kuman yaitu melalui duktus laktiferus ke lobus sekresi, melalui puting

yang retak atau lecet ke kelenjar limfe sekitar duktus (periduktal) atau melalui

hematogen. Pada umumnya yang dianggap porte d’entrée dari kuman penyebab

ialah puting susu yang luka atau lecet, dan kuman perkontinuitatum menjalar ke

duktulus-duktulus dan sinus. Sebagian besar yang ditemukan pada pembiakan pus

ialah Staphylococcus aureus.4

2.4 Diagnosis

2.4.1 Anamnesis :

a) Mastitis akut

Pada proses awal peradangan penderita hanya merasa nyeri setempat pada

salah satu lobus payudara dan terasa lebih berat jika bayi menyusu.

b) Mastitis kronis

9
Hampir selalu orang yang datang sudah dalam keadaan abses. Proses dari tingkat

radang ke abses berlangsung sangat cepat, dimana peradangan dari duktulus

akan menyebabkan edema dari kelenjar, sehingga ASI akhirnya terbendung, dan

air susu yang terbendung ini akan segera bercampur dengan nanah jika terinfeksi

oleh kuman.5

2.4.2 Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan tanda-tanda vital ibu yang mengalami mastitis biasanya

mengalami peningkatan suhu tubuh hingga lebih dari 380C. Payudara biasanya

berwarna kemerahan, bengkak, nyeri tekan, lecet pada putting susu, dan terdapat

nanah jika terjadi abses. Pada abses, nyeri bertambah hebat pada payudara, kulit

diatas abses mengkilat dan bayi dengan sendirinya tidak mau minum pada payudara

yang sakit, seolah-olah dia tahu bahwa ASI tersebut bercampur dengan nanah.

Tanda dan gejala lain mastitis meliputi :

a) Peningkatan suhu dari 39,5 – 400C

b) Peningkatan frekuensi nadi

c) Menggigil

d) Malaise dan sakit kepala

e) Nyeri hebat, bengkak, merah, dan keras pada area payudara

f) Peningkatan kadar natrium dalam ASI yang membuat bayi menolak menyusu

karena ASI terasa asin

g) Timbul garis-garis merah ke arah ketiak.5,6

10
2.5 Tatalaksana

Tatalaksana mastitis bertujuan untuk mencegah terjadinya infeksi dan

komplikasi lanjut. Penatalaksanaan berupa nonmedikamentosa berupa tindakan

suportif dan medikamentosa pemberian antibiotik dan pemberian analgesik.

2.5.1 Nonmedikamentosa

Intervensi dini pada mastitis berupa tindakan suportif dapat mencegah

terjadinya perburukan. Intervensi meliputi beberapa tindakan higiene dan

kenyamanan : 5,6

a) Gunakan bra yang tidak ketat

b) Biasakan mencuci tangan sebelum menyusui dan lakukan perawatan payudara

c) Kompres hangat area yang sakit

d) Masase area yang sakit saat menyusui untuk melancarkan aliran ASI. Jangan

lakukan pemijatan jika dikhawatirkan akan menyebabkan penyebaran kuman

sehingga meningkatkan risiko infeksi.

e) Meningkatkan asupan gizi

f) Edukasi ibu

Bayi sebaiknya terus menyusu kepada ibu dan jika menyusu tidak

memungkinkan karena nyeri payudara atau adanya penolakan oleh bayi pada

payudara ibu yang sakit, selalu dilakukan pemompaan secara teratur dan terus-

menerus. Pengosongan payudara dengan sering akan mencegah terjadinya statis

ASI. Tetap berikan ASI kepada bayi, terutama gunakan payudara yang sakit

sesering dan selama mungkin sehingga sumbatan tersebut lama-kelamaan akan

menghilang. Bayi masih boleh menyusu kecuali bila terjadi abses.

2.5.2 Medikamentosa 5,6

11
a) Antibiotik

Terapi antibiotik diberikan jika antara 12-24 jam tidak terjadi perbaikan. Terapi

antibiotik meliputi :

- Penicillin

- Eritromisin digunakan jika alergi terhadap penicillin.

- Terapi awal yang paling umum adalah Amoxicilin 500 mg atau 875 mg untuk

10-14 hari atau Clyndamicin 300 mg untuk 10 – 14.

Pada setiap kasus penting untuk dilakukan tindak lanjut dalam 72 jam untuk

mengevaluasi kemajuan dari terapi. Jika infeksi tidak berkurang atau tidak

hilang maka pemeriksaan kultur dari ASI harus dilakukan.

b) Analgesik

Rasa nyeri merupakan faktor penghambat dari produksi hormon oksitosin yang

berguna dalam proses pengeluaran ASI. Analgesik diberikan untuk mengurangi

rasa nyeri pada mastitis. Analgesik yang dianjurkan adalah obat anti inflamasi

seperti ibuprofen. Ibuprofen lebih efektif dalam menurunkan gejala yang

berhubungan dengan peradangan dibandingkan parasetamol atau asetaminofen.

Ibuprofen sampai dosis 1,6 gram per hari tidak terdeteksi pada ASI sehingga

direkomendasikan untuk ibu menyusui yang mengalami mastitis.

2.6 Komplikasi 5,6

a) Penghentian Menyusui Dini

Mastitis dapat menimbulkan berbagai gejala akut yang membuat seorang

ibu memutuskan untuk berhenti menyusui. Berhentinya menyusui secara

mendadak dapat meningkatkan risiko terjadinya abses. Selain itu ibu juga

khawatir kalau obat yang mereka konsumsi tidak aman untuk bayi mereka. Oleh

12
karena itu penatalaksanaan yang efektif, informasi yang jelas dan dukungan

tenaga kesehatan serta keluarga sangat diperlukan saat ini.

b) Abses

Abses merupakan komplikasi mastitis yang biasanya terjadi karena

pengobatan terlambat atau tidak adekuat. Bila terdapat daerah payudara teraba

keras, merah, dan tegang walaupun ibu telah diterapi, maka kita harus pikirkan

kemungkinan terjadinya abses. Kurang lebih 3% dari kejadian mastitis berlanjut

menjadi abses. Pemeriksaan USG payudara diperlukan untuk mengidentifikasi

adanya cairan yang terkumpul. Cairan ini dapat dikeluarkan dengan aspirasi

jarum halus yang berfungsi sebagai diagnostik. Abses yang sangat besar

terkadang memerlukan tindakan bedah. Selama tindakan ini ibu harus mendapat

antibiotik dan ASI dari sekitar abses dikultur agar antibiotik yang diberikan

sesuai dengan jenis kumannya.

Gambar 2. Abses

c) Mastitis berulang (kronis)

Mastitis berulang biasanya disebabkan karena pengobatan terlambat atau

antibiotik yang tidak adekuat. Ibu harus benar-benar beristirahat, banyak minum,

13
makanan dengan gizi berimbang, serta mengatasi stres. Pada kasus mastitis

berulang karena infeksi bakteri diberikan antibiotik dosis rendah seperti

pemberian eritromisin 500 mg sebanyak satu kali sehari selama masa menyusui.

d) Infeksi jamur

Komplikasi sekunder pada mastitis berulang adalah infeksi oleh jamur

seperti Candida albicans. Keadaan ini sering ditemukan setelah ibu mendapat

terapi antibiotik. Infeksi jamur biasanya didiagnosis berdasarkan nyeri berupa

rasa terbakar yang menjalar di sepanjang saluran ASI. Diantara waktu menyusu

permukaan payudara terasa gatal. Puting mungkin tidak nampak kelainan. Ibu

dan bayi perlu diobati. Pengobatan terbaik adalah mengoles nistatin krem yang

juga mengandung kortison ke puting dan areola setiap selesai bayi menyusu dan

bayi juga harus diberi nistatin oral pada saat yang sama.

Gambar 3. Payudara yang terinfeksi Candida

2.7 Prognosis

Pemberian antibiotik yang benar dan adekuat akan memberikan hasil yang

baik pada mastitis. Tetapi jika tidak ditatalaksana dengan cepat dapat berkembang

menjadi abses dan bisa menyebabkan kelainan bentuk dari payudara. Pencegahan
14
dengan melakukan perawatan pada payudara terutama puting susu yang lecet saat

proses laktasi sangat dianjurkan agar tidak berkembang menjadi mastitis.5,6

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawiroharjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

2. Pusdiknakes WHO, JHPIEGO, 2003. Asuhan Ante Natal.

3. Prawiroharjo , Sarwono. 2008. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan

Maternal dan Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

4. Price A Sylvia. 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit Edisi

6. Jakarta : EGC.

5. Varney, H dkk. 1997. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC.

6. Manuaba. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana

untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.

16

Anda mungkin juga menyukai