Arsitektur Sebagai Media Transformasi Budaya Lokal Dalam Pengembangan Potensi Ekonomi Masyarakat
Arsitektur Sebagai Media Transformasi Budaya Lokal Dalam Pengembangan Potensi Ekonomi Masyarakat
Agus S. Ekomadyo
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganeca 10 Bandung 40132
agus_ekomadyo@yahoo.co.id
Abstrak
Di mana peran budaya lokal dalam globalisasi? Pandangan utopia tentang budaya lokal tidak lagi
memadai, ketika banyak fakta menunjukkan budaya lokal bisa ditransformasikan menjadi kekuatan
ekonomi berskala global melalui aneka strategi keunikan dan diferensiasi. Nusantara mempunyai
warisan budaya lokal yang sangat kaya, namun masih perlu upaya transformasi agar menjadi
kekuatan ekonomi berskala global. Artikel ini merupakan kertas kerja pemikiran tentang peran
arsitektur sebagai media transformasi budaya lokal dalam pengembangan potensi ekonomi
masyarakat. Melalui kajian pada beberapa kasus, yaitu kawasan wisata Floating Market dan Imah
Seniman di Bandung, festival cahaya Tumbilo Tohe di Gorontalo, budaya seni dekoratif di Kampung
Taman Yogyakarta, dan Kampung Batik Trusmi di Cirebon, ditelaah bagaimana arsitektur menjadi
media transformasi budaya lokal dalam proses konsumsi dan produksi yang terjadi. Ada tiga peran
penting arsitektur dalam transformasi ini, yaitu kreativitas transformasi arsitektur dalam reproduksi
budaya lokal, penciptaan tempat (place-making) untuk konsumsi budaya lokal, dan penyampaian
pesan keluhuran budaya lokal lewat arsitektur. Gagasan ini bermuara pada peran arsitektur dalam
membangun modal budaya (cultural capital) agar nilai-nilai budaya Nusantara bisa menjadi
komponen daya saing bangsa dalam globalisasi.
Kata kunci: transformasi budaya lokal, ekonomi masyarakat, kreativitas transformasi, penciptaan
tempat, pesan keluhuran budaya, modal budaya (cultural capital)
Gambar 2 Fasilitas Wisata Imah Seniman di Lembang Bandung (sumber: Susanti, 2013)
Kampung Trusmi merupakan kawasan produksi batik yang ada di Cirebon. Awalnya, budaya
membatik dibangun oleh Ki Buyut Trusmi, pendiri kampung ini, sebagai murid Sunan Gunung Jati
yang menyiarkan Islam di Cirebon lewat kerajinan membatik. Awalnya batik produksi Trusmi
dikonsumsi oleh kalangan Kraton, namun kemudian berkembang meluas hingga nasional dan
mancanegara. Kini kawasan ini menjadi salah satu tujuan wisata belanja di Cirebon (Santri 2013).
Morfologi kampung batik Trusmi ditandai Makam Ki Buyut Trusmi sebagai pusat kawasan
dan ruang pajang batik yang tersebar di sepanjang jalan utama kampung ini. Wujud arsitektur
menunjukkan pengaruh budaya yang ada sepanjang sejarah dan perkembangan kampung ini: budaya
Sunda, budaya Islam-Jawa (yang juga dipengaruhi oleh Hindu), budaya Tiongkok, budaya Kolonial
Belanda, dan budaya Modern (lihat gambar 5). Rajutan budaya di Kampung Trusmi ini juga terlihat
dari berbagai motif kain batik yang diproduksi di kampung ini (lihat gambar 6).
Gambar 5 Aneka Langgam Arsitektur di Kampung Batik Trusmi Cirebon (sumber: Santri, 2013)
Gambar 6 Aneka Motif Batik Cirebon (sumber: Santri, 2013)
Dari kasus-kasus yang disajikan, dicoba dipetakan peran arsitektur dalam transformasi
budaya lokal, khususnya untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Aspek ekonomi dilihat dari
proses produksi dan konsumsi yang berlangsung. Tiga pendekatan teoretis: kreativitas transformasi,
penciptaan tempat, dan penyampaian pesan budaya, digunakan untuk melihat arsitektur sebagai media
produksi dan konsumsi budaya lokal.
Kreativitas dalam arsitektur terkait dengan penciptaan bentuk-bentuk baru. Kaitannya dengan
transformasi budaya lokal dalam pengembangan ekonomi masyarakat adalah bagaimana arsitektur
menyajikan bentuk baru dari suatu produk budaya lokal agar bernilai ekonomi. Kreativitas berperan
dalam reproduksi budaya lokal ke dalam bentuk-bentuk yang dibutuhkan oleh konsumen.
Pendekatan kreativitas transformasi arsitektur dalam reproduksi budaya lokal bisa digunakan
untuk menjelaskan kasus Floating Market dan Imah Seniman di Lembang, Bandung. Budaya lokal
yang direproduksi yaitu budaya Sunda, yang dihadirkan kembali dalam sebuah fasilitas wisata.
Budaya Sunda yang banyak direproduksi adalah budaya kedekatan manusia dengan alam, yang
ditransformasikan dengan penciptaan suasana yang menyatu dengan alam melalui pengolahan sumber
air (situ, sungai) dan pertanian. Strategi transformasi yang banyak digunakan adalah strategi
“borrowing”, yaitu meminjam suasana pedesaan khas masyarakat Sunda.
Dalam perspektif ekonomi, konsep “tempat” (place) dilihat sebagai ruang yang diciptakan
agar makna-makna dari budaya lokal bisa dikonsumsi oleh pengguna. Dengan konsep tempat, maka
konsumen akan bisa mendapatkan suasana tertentu, membangun kaitan emosional, dan akhirnya
mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam suatu budaya lokal tertentu. Penciptaan tempat
menjadi kontribusi penting dari arsitektur agar nilai-nilai budaya lokal bisa dinikmati oleh konsumen.
Pendekatan fenomenologi dalam penciptaan tempat bisa digunakan untuk menjelaskan kasus
Festival Tumbilo Tohe di Gorontalo. Lewat festival cahaya, maka ruang-ruang di kota Gorontalo
mempunyai suasana tertentu yang khas. Suasana yang khas ini bahkan bisa menciptakan atraksi-
atraksi wisata tertentu, yang kemudian bisa bernilai ekonomi. Melalui aneka tempat yang tercipta pada
festival Tumbilo Tohe, makna cahaya dalam tradisi religi masyarakat Gorontalo bisa terus dinikmati
oleh masyarakat dan berlanjut dari masa lalu hingga kini.
Pendekatan konstruksi sosial dalam penciptaan tempat bisa digunakan untuk menjelaskan
kasus budaya seni dekoratif pada Kampung Taman Yogyakarta. Tempat-tempat yang tercipta melalui
budaya seni dekoratif dapat dilihat dan dinikmati pada ruang-ruang produksi batik, ruang pajang
pakaian dan lukisan batik, serta mural-mural bertema batik di ruang-ruang publik. Melalui tempat-
tempat ini, makna yang tersaji adalah budaya seni dekoratif dari masyarakat setempat yang terbangun
sebagai cara masyarakat untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan lokal, hingga membangun
eksistensinya ketika mampu menjadi kawasan tujuan wisata.
Dalam konteks penyampaian pesan keluhuran budaya, arsitektur dilihat sebagai bahasa/
mode komunikasi. Arsitektur dilihat sebagai penyampai pesan keluhuran budaya dalam proses
konsumsi dan produksi yang berlangsung di dalamnya. Ketika arsitektur menjadi media untuk suatu
aktivitas ekonomi, di sini pula arsitektur berperan sebagai media penyampai nilai-nilai budaya.
Pendekatan arsitektur sebagai penyampai pesan budaya bisa digunakan untuk menjelaskan
kasus Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Keberadaannya sebagai salah satu kluster produksi batik
mendorong kawasan ini menjadi tujuan wisata belanja. Dalam aktivitas wisata ini, Kampung Trusmi
menjadi tempat yang menyajikan aneka ragam langgam arsitektur yang berlatar belakang aneka
budaya pula. Aneka ragam latar belakang budaya ini juga bisa dilihat oleh wisatawan dari motif-motif
batik yang dijajakan. Lewat arsitektur dan motif kain batik, wisatawan bisa melihat rajutan budaya
yang ada di Kampung Trusmi, yang juga merepresentasikan keunikan budaya masyarakat Cirebon.
5 Kesimpulan
Gagasan yang disajikan pada artikel ini bermuara pada konsep modal kultural (cultural
capital). Artinya, bagaimana menjadikan kekayaan budaya Nusantara agar menjadi kapital untuk
membangun masyarakat. Dalam konteks globalisasi, modal kultural ini berpotensi menjadi komponen
daya saing masyarakat, misalnya melalui strategi diferensiasi. Melalui konsep modal budaya, ekonomi
menjadi pintu masuk (entry-point), dengan keluhuran budaya sebagai misi utama dalam membangun
berbagai gagasan pembangunan masyarakat, termasuk dalam wilayah arsitektur.
Tulisan ini menawarkan sebuah pemikiran untuk transformasi budaya lokal Nusantara
melalui arsitektur, dengan pendekatan ekonomi masyarakat sebagai pintu masuk. Tiga pengetahuan
arsitektur, yaitu kreativitas transformasi, penciptaan tempat, dan penyampaian pesan digunakan untuk
menjelaskan peran arsitektur sebagai media produksi dan konsumsi budaya lokal Nusantara. Melalui
arsitektur, budaya lokal bisa ditransformasikan agar mempunyai nilai ekonomi, sehingga akan
menjadi bagian keseharian masyarakat masa kini, dan lambat laun akan membentuk kekuatan kapital
untuk daya saing masyarakat. Dengan perspektif produksi dan konsumsi, pemikiran ini diharapkan
memberikan kontribusi untuk menciptakan kebutuhan akan pengetahuan budaya lokal Nusantara.
Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat dalam bidang akademis tentang budaya lokal
dalam perancangan arsitektur. Adanya pengetahuan yang sistematis, antara lain melalui teori-teori
aplikatif, akan memudahkan mahasiswa dalam memahami dan menjelaskan fenomena budaya lokal
dalam arsitektur. Diharapkan mahasiswa akan lebih terpacu untuk mentransformasikan budaya lokal
Nusantara dalam karya-karya perancangan mereka.
Daftar Pustaka
AlSayyad, N. (Ed). 2004. The End of Tradition?. London: Routledge
AlSayyad, N. (Ed). 2001. Consuming Tradition, Manufacturing Heritage: Global Norms and Urban
Forms in the Age of Tourism. New York: Routledge
Antoniades, A.C. 1992. Poetics of Architecture: Theory of Design. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Ardhika, I G. 2012. “Cerlang Budaya: Kekayaan Budaya Nusantara”. Tulisan tidak dipublikasikan.
Cross, N. 1982. Designerly Ways of Knowing, Design Studies Vol.3 No.4 October 1982
Djafar, A.G. 2013. Tumbilo Tohe - Festival Cahaya Di Gorontalo. Makalah Mata Kuliah Budaya
Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Dovey, K. 2010. Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. London: Routledge
Ekomadyo, A.S. 1999. Pendekatan Semiotika Dalam Kajian Terhadap Arsitektur Tradisional Di
Indonesia; Kasus : Sengkalan Memet dalam Arsitektur Jawa. Prosiding Seminar Nasional
Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Arsitektural. Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya
Hadianto, N.F. 2013. Budaya Seni Dekoratif yang Muncul pada Kampung Taman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program
Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Jencks, C. 1978. The Language of Post-modern Architecture. London: Academy Editions.
Murtinugroho, A. 2013. Arsitektur Nusantara Kontemporer di Ujung Pandang Sains Lingkungan
Binaan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 Universitas Hassanuddin Gowa.
Norberg schultz, C. 1991. Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York:
Rizzoli,
Pratiwi, W.D. 2009. Desain dalam Konteks Transformasi. Bahan Kuliah. www.ar.itb.ac.id/wdp
Prijotomo, J. 2007. Adakah Kepekaan Budaya dalam Pendidikan Arsitektur di Indonesia?. Prosiding
Challenges and Experiences in Developing Architectural Education in Asia. Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
Saliya, Y. 2005. Pragmatik Estetiko-Religius dalam Arsitektur Vernakular di Bali. Disertasi Doktoral.
Institut Teknologi Bandung
Santri, T. 2013. Rajutan Budaya Dalam Arsitektur dan Motif Batik Trusmi Cirebon. Makalah Mata
Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut
Teknologi Bandung
Satwikasari, A.F. 2013. Wujud Konsep Kreativitas Pengusaha dalam Transformasi Budaya dan
Arsitektur di Situ Umar. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur.
Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
Sudrajat I. 2012. Conceptualizing a Framework for Research on Place in Indonesia. Proceedings
International Seminar on Place Making and Identity: Rethinking Urban Approaches to Built
Environment (PlacId). Universitas Pembangunan Jaya Jakarta.
Sudradjat, I. 1992. Perkembangan Semiotik dalam Arsitektur: Sebuah Tinjauan Kritis. Prosiding
Seminar Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya dan Lingkaran
Peminat Semiotik.
Susanti, A. 2013. Proses Penerapan Lokalitas Kampung Tradisional Pada Fasilitas Pariwisata; Studi
Kasus : Imah Seniman, Lembang, Jawa Barat. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam
Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.