Anda di halaman 1dari 9

ARSITEKTUR SEBAGAI MEDIA TRANSFORMASI BUDAYA

LOKAL DALAM PENGEMBANGAN POTENSI EKONOMI


MASYARAKAT

Agus S. Ekomadyo
Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung
Jalan Ganeca 10 Bandung 40132
agus_ekomadyo@yahoo.co.id

Abstrak

Di mana peran budaya lokal dalam globalisasi? Pandangan utopia tentang budaya lokal tidak lagi
memadai, ketika banyak fakta menunjukkan budaya lokal bisa ditransformasikan menjadi kekuatan
ekonomi berskala global melalui aneka strategi keunikan dan diferensiasi. Nusantara mempunyai
warisan budaya lokal yang sangat kaya, namun masih perlu upaya transformasi agar menjadi
kekuatan ekonomi berskala global. Artikel ini merupakan kertas kerja pemikiran tentang peran
arsitektur sebagai media transformasi budaya lokal dalam pengembangan potensi ekonomi
masyarakat. Melalui kajian pada beberapa kasus, yaitu kawasan wisata Floating Market dan Imah
Seniman di Bandung, festival cahaya Tumbilo Tohe di Gorontalo, budaya seni dekoratif di Kampung
Taman Yogyakarta, dan Kampung Batik Trusmi di Cirebon, ditelaah bagaimana arsitektur menjadi
media transformasi budaya lokal dalam proses konsumsi dan produksi yang terjadi. Ada tiga peran
penting arsitektur dalam transformasi ini, yaitu kreativitas transformasi arsitektur dalam reproduksi
budaya lokal, penciptaan tempat (place-making) untuk konsumsi budaya lokal, dan penyampaian
pesan keluhuran budaya lokal lewat arsitektur. Gagasan ini bermuara pada peran arsitektur dalam
membangun modal budaya (cultural capital) agar nilai-nilai budaya Nusantara bisa menjadi
komponen daya saing bangsa dalam globalisasi.

Kata kunci: transformasi budaya lokal, ekonomi masyarakat, kreativitas transformasi, penciptaan
tempat, pesan keluhuran budaya, modal budaya (cultural capital)

1 Pendahuluan: Budaya Lokal, Arsitektur, dan Daya Saing Masyarakat


Dalam dinamika masyarakat yang semakin mengglobal, muncul paradoks menguatnya
perhatian pada potensi-potensi lokal. Paradoks ini muncul sebagai kelanjutan dari kritik
posmodernism yang merayakan keragaman terhadap modernisme yang cenderung menyeragamkan
masyarakat. Budaya lokal merupakan sumber terhadap keragaman tersebut. Nilai-nilai lokalitas (local
wisdom) mulai diangkat dan dikembangkan kontribusinya terhadap globalisasi, sehingga mulai
berkembang konsep-konsep glo-cal (perpaduan antara yang global dan yang lokal). Dalam konteks
globalisasi, nilai-nilai dari budaya lokal tidak sekadar hadir berhenti pada sebuah utopia yang tinggi,
tetapi sebagai suatu tradisi yang berlangsung secara berkelanjutan dalam kehidupan keseharian
(AlSayyad, 2004:26). Budaya lokal terkait dengan daya tahan (survivality) masyarakat suatu tempat
dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang ada. Ketika kondisi masyarakat mulai terhubungkan
secara global, nilai-nilai budaya lokal bisa menjadi sumber pengetahuan suatu masyarakat dalam
mengembangkan relasinya dengan masyarakat global.
Artikel ini merupakan kertas kerja pemikiran tentang budaya lokal sebagai sumber daya
saing suatu masyarakat dalam konteks globalisasi. Pemikiran ini didasarkan pada premis bahwa ada
dua cara untuk bisa bertahan hidup (to survive) dan mendapatkan pengakuan (to exist) dalam
percaturan global: meleburkan diri dalam dalam standar-standar global atau mendalamkan diri pada
kekuatan lokal untuk menarik perhatian masyarakat global. Pilihan kedua dipilih oleh penulis dengan
pertimbangan kekayaan ragam budaya lokal Nusantara yang dapat dikembangkan. Di sini, arsitektur
ditempatkan sebagai media transformasi budaya lokal dalam pengembangan potensi masyarakat,
terutama secara ekonomi. Kertas kerja ini disusun melalui serangkaian kegiatan perkuliahan tentang
Budaya Lokal dan Perancangan Arsitektur di Institut Teknologi Bandung Landasan teoretis disajikan
dalam kegiatan tatap muka yang kemudian digunakan untuk menjelaskan pada berbagai kasus yang
menjadi tugas mahasiswa. Beberapa tugas menarik disajikan sebagai kasus bagaimana arsitektur
menjadi media transformasi budaya lokal dalam pengembangan potensi ekonomi masyarakat.

2 Landasan Teoretis untuk Transformasi Budaya Lokal melalui Desain Arsitektur


Dimana letak budaya lokal Nusantara dalam globalisasi? Untuk menjawab pertanyaan
tersebut, disajikan terlebih dahulu fakta hubungan antar masyarakat dalam globalisasi, dan bagaimana
budaya suatu masyarakat mempengaruhi masyarakat yang lainnya. Dalam globalisasi, pada
kenyataannya hubungan antara suatu masyarakat dengan masyarakat lain tidaklah selalu simetris:
budaya masyarakat yang kuat cenderung menguasai yang lebih lemah. Fenomena ini di satu sisi
menimbulkan ketidakpercayaan diri suatu masyarakat terhadap budaya lokalnya ketika berhadapan
dengan dominasi budaya-budaya mancanegara. Inferioritas ini ditengarai pada (sebagian besar)
masyarakat Nusantara, termasuk dalam tradisi arsitekturnya, yang cenderung lebih berorientasi pada
budaya mancanegara daripada budaya lokal yang dipunyainya (Prijotomo, 2007:B1-7).
Di sisi lain, globalisasi juga menyimpan fenomena produksi dan konsumsi budaya lokal
secara masif. Globalisasi ternyata mendorong aktivitas pariwisata secara signifikan. Budaya lokal
menjadi sumber untuk menciptakan keunikan tertentu dari sebuah atraksi wisata. Sebagai contoh,
atraksi-atraksi utama di Disneyland bersumber dari budaya setempat dari para pendiri perusahaan ini
yang kemudian diproduksi sedemikian rupa sehingga bisa dikonsumsi secara global. Pariwisata adalah
cara transformasi budaya lokal untuk bisa bernilai secara ekonomi (AlSayyad, 2001: 1-32).
Dengan perspektif produksi dan konsumsi di masyarakat, budaya lokal tidak sekadar dilihat
sebagai kearifan lokal, tetapi “kecerdasan lokal”. Di sini, budaya dilihat sebagai sumber untuk
produksi, untuk kemudian ditransformasikan agar bisa dikonsumsi secara lebih luas. Di sini dikenal
juga istilah “cerlang budaya”: melihat budaya sebagai sumber inspirasi untuk hidup (Ardhika, 2012),
atau “kecerdikan lokal”: melihat budaya lokal sebagai cara suatu masyarakat dalam mengatasi
persoalan-persoalan setempat (Murtinugroho, 2013). Kecerdasan, kecerdikan, dan kecerlangan budaya
lokal terlihat pada arsitektur vernakular yang telah teruji oleh waktu (Saliya, 2005).
Agar bisa kemanfaatan yang lebih luas, perlu ada upaya transformasi terhadap suatu
kecerdasan lokal. Transformasi adalah suatu perubahan dari satu kondisi (bentuk awal) ke kondisi
yang lain (bentuk akhir), dimana perubahan tersebut dapat terjadi secara terus menerus atau berulang
kali (Pratiwi, 2009). Transformasi ini terkait dengan keberlanjutan suatu budaya, bagaimana suatu
nilai-nilai bisa teruji oleh ruang dan waktu.
Dalam upaya transformasi inilah, pengetahuan desain bisa berperan penting. Desain dilihat
sebagai sebuah disiplin yang memperhatikan “kecocokan” (appropriateness) sebagai hasil akhir
(Cross, 1982:222). Dalam transformasi budaya lokal, desain arsitektur berperan dalam menafsir
budaya lokal dari suatu tempat dan massa ke dalam bentuk-bentuk baru yang lebih cocok dengan
masa kini. Di sini ada beberapa teori yang digunakan dalam kajian transformasi budaya lokal melalui
desain arsitektur, yaitu teori “kreativitas transformasi”, “penciptaan tempat (place-making)”, dan
“arsitektur sebagai penyampai pesan”.
Teori kreativitas transformasi melihat proses kreatif dari perancangan arsitektur yang melihat
proses perubahan bentuk secara berangsur-angsur. Teori ini diadopsi dari teori saluran transformasi
(channels of transformation) dari proses kreativitas yang tidak kasat mata (intangible channels of
creativity) dari Antoniades (1992). Ada tiga saluran/ cara dalam kreativitas transformasi: 1) cara
tradisional, berupa perubahan bentuk yang dilakukan secara berangsur-angsur melalui penyesuaian
diri terhadap faktor eksternal, 2) cara meminjam (borrowing) dengan meminjam unsur-unsur atau
komponen-komponen dari benda-benda sekitar yang kemudian dipelajari dan diinterpretasikan, dan 3)
cara dekomposisi/ dekonstruksi, dengan mengambil keseluruhan bagian untuk mendapatkan cara baru
dalam memadukan elemen-elemen pembentuknya yang kemudian dikembangkan kemungkinan-
kemungkinan baru untuk menemukan keteraturan baru dalam sebuah komposisi yang berbeda
(Antoniades, 1992:67-79). Dalam transformasi budaya lokal, teori kreativitas transformasi digunakan
untuk melihat proses kreatif dalam penciptaan bentuk-bentuk arsitektural yang baru sebagai hasil
interpretasi terhadap budaya lokal.
Teori-teori penciptaan tempat (place-making) digunakan untuk bisa menjelaskan makna pada
ruang-ruang yang tercipta oleh arsitektur. Pendekatan fenomenologi pada place-making dapat
digunakan untuk mengeksplorasi lebih dalam aspek subjektif emosional hubungan manusia dan
tempat. Di sini dikenal konsep “genius loci” yang menjelaskan adanya ruh pada suatu tempat yang
memberikan daya hidup bagi masyarakat untuk hidup dan bermukim, dan bersifat unik dari satu
tempat ke tempat lain. (Sudradjat, 2012: 3, Norberg-Schultz, 1991:5-8). Pendekatan konstruksi sosial
pada penciptaan tempat melihat tempat sebagai fenomena konstruksi sosial. Penciptaan tempat dilihat
sebagai sebuah rajutan sosial yang dikonstruksi pada kehidupan sehari-hari (Sudradjat, 2012: 3,
Dovey, 2010: 6,13). Dalam transformasi budaya lokal, teori-teori penciptaan tempat digunakan untuk
menjelaskan makna-makna budaya lokal yang muncul akibat relasi manusia dengan suatu tempat
arsitektural tertentu, baik secara emosional maupun sosial.
Teori arsitektur sebagai penyampai pesan diturunkan dari kajian-kajian arsitektur sebagai
model komunikasi dan semiotika arsitektur. Sebagai model komunikasi, arsitektur dilihat sebagai
media yang menjadikan terjadinya kontak antara adresser (asal) dan adressee (tujuan), yang
didalamnya terjadi proses penguraian (decoding) terhadap pesan dan penafsiran (encoding) dalam
membentuk persepsi (Jencks, 1978; Ekomadyo, 1999). Pendekatan semiotika melihat arsitektur dalam
sebuah sistem tanda (sign) yang terdiri atas unsur yang menandakan (signifier) dan unsur yang
ditandakan (signified) dengan merujuk pada referensi tertentu (referent) yang telah dikenal
sebelumnya (Sudradjat 1992, Ekomadyo, 1999). Pendekatan ini melihat transformasi arsitektur
sebagai media untuk membaca nilai-nilai luhur suatu budaya.

3 Beberapa Kasus Transformasi Budaya Lokal melalui Desain Arsitektur


Kasus-kasus transformasi budaya lokal dalam arsitektur yang disajikan pada artikel ini
berasal dari makalah-makalah dari matakuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur yang
diselenggarakan pada Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung tahun 2013 lalu.
Budaya lokal yang diangkat merupakan budaya Nusantara, mulai dari Nias, Sumatra Barat,
Palembang, Bandung, Cirebon, Kuningan, Ciamis, Yogyakarta, Palu, Gorontalo, hingga Sangihe.
Total ada 16 makalah yang ditulis, dengan komposisi 9 makalah ditulis dari perspektif penduduk asli
(native) dan sisanya sebagai pengamat.
Dalam artikel ini disajikan lima tugas terbaik yang dianggap bisa mewakili fenomena
transformasi budaya lokal melalui arsitektur, dan mempunyai dampak dalam pengembangan potensi
ekonomi masyarakat. Selain karena kriteria umum penulisan makalah seperti kelengkapan data dan
kejelasan penuturan, pemilihan tugas juga didasarkan pada penggunaan teori-teori untuk menjelaskan
kasus. Kasus-kasus tersebut adalah Floating Market dan Imah Seniman di Bandung, festival Tumbilo
Tohe di Gorontalo, Kampung Taman di Yogyakarta, dan Kampung Batik Trusmi di Cirebon.

3.1 Floating Market dan Imah Seniman di Bandung


Floating Market dan Imah Seniman adalah fasilitas wisata yang berada di kawasan Lembang,
Bandung. Keduanya menggunakan kekuatan alam setempat, yaitu sumber air berupa situ/ danau dan
sungai, sebagai elemen utama daya tarik wisata. Budaya lokal Sunda disajikan melalui sajian kuliner,
produk-produk pertanian, kerajinan, dan arsitektur. Perpaduan alam dan budaya lokal menciptakan
suasana yang khas di kawasan wisata ini (Satwikasari, 2013; Susanti, 2013; lihat gambar 1 dan 2).
Kedua fasilitas wisata ini merupakan upaya mentransformasikan arsitektur lokal (Sunda)
dalam fasilitas wisata. Karena pertimbangannya adalah wisata, maka bentuk-bentuk hasil transformasi
lebih mempertimbangkan aspek komersial. Lokalitas dihadirkan lebih banyak dalam wujud visual,
karena dianggap paling mudah dipahami oleh konsumen. Bahkan budaya-budaya non-lokal banyak
digunakan dalam desain arsitektur selama masih bisa diterima oleh konsumen.
Gambar 1 Fasilitas Wisata Floating Maket di Lembang Bandung (sumber: Satwikasari, 2013)

Gambar 2 Fasilitas Wisata Imah Seniman di Lembang Bandung (sumber: Susanti, 2013)

3.2 Festival Tumbilo Tohe di Gorontalo


Tumbilo Tohe adalah sebuah perayaan memasang cahaya yang dilakukan oleh masyarakat
Gorontalo pada 3 malam terakhir pada bulan Ramadhan. Perayaan yang dimulai sejak abad ke-15 ini
awalnya dimaksudkan untuk memberikan penerangan kepada masyarakat yang akan membayar zakat
fitrah pada malam hari. Awalnya, media penerangan yang digunakan adalah seludang kelapa yang
dibakar, kemudian media penerangan berkembang dengan menggunakan damar, batok kelapa yang
diisi dengan minyak kelapa, lampu botol dengan minyak tanah, dan kini mulai banyak menggunakan
lampu listrik. Kini Tumbilo Tohe berkembang menjadi berbagai atraksi: perlombaan cahaya antar
kelurahan, atraksi cahaya pada sungai dan jembatan, bahkan sempat mencatatkan rekor melalui 5 juta
lampu yang menyemarakkan festival ini (Djafar, 2013, lihat gambar 3).
Berawal dari sebuah tradisi masyarakat berlatar belakang agama, Tumbilo Tohe kini telah
bertransformasi menjadi festival berskala kota yang banyak melibatkan warga. Festival ini
memberikan makna dan identitas yang kuat bagi Gorontalo. Di beberapa tempat, festival ini mampu
menjadi atraksi wisata yang menggerakkan aktivitas ekonomi lainnya, misalnya usaha penyewaan
perahu menyusuri sungai yang banyak dihiasi cahaya lampu. Tumbilo Tohe menjadi media untuk
mengantarkan nilai-nilai luhur budaya Gorontalo pada masa kini, yaitu semangat untuk tetap
menyemarakkan ibadah puasa Ramadhan hingga akhir, sebagai simbol agar cahaya kehidupan terus
dinyalakan sepanjang kehidupan (Djafar, 2013).
Gambar 3 Festival Tumbilo Tohe di Gorontalo (sumber: Djafar, 2013)

3.3 Kampung Taman di Yogyakarta


Kampung Taman merupakan kawasan permukiman yang berada di sekitar situs Taman Sari
di Yogyakarta. Awalnya, perkampungan ini mulai terbentuk ketika para Abdi Dalem diperbolehkan
tinggal di kawasan Taman Sari yang tidak lagi digunakan oleh Kraton karena mengalami kerusakan
akibat bencana gempa tektonik tahun 1867. Kampung ini kemudian berkembang menjadi tempat
produksi batik dipicu oleh kebutuhan batik dari Kraton, dan hingga tahun 1970-an hampir seluruh
rumah memproduksi batik. Namun karena kalah bersaing dengan tempat produksi lainnya, sempat
terjadi penurunan peran Kampung Taman sebagai kampung batik di Yogyakarta. Kekuatan sebagai
kampung Batik kembali menguat seiring perkembangan wisata di kawasan Kraton dan Taman Sari, di
mana warga menjadikan seni batik menjadi komoditas wisata.
Kampung Taman menyajikan pengalaman ruang yang kaya oleh seni-seni dekoratif yang
dibuat oleh warga kampung ini. Karakter Kampung Taman sebagai kampung batik terlihat dari
banyaknya ruang-ruang produksi, ruang pajang (showroom) untuk pakaian dan lukisan batik, serta
hiasan-hiasan mural bertema batik pada ruang-ruang publik. Tempat-tempat yang tercipta di Kampung
Taman merepresentasikan perkembangan budaya dekoratif masyarakat mulai dari produksi untuk
kebutuhan lokal hingga berkembang menjadi komoditas wisata (Hadianto, 2013; lihat gambar 4).
Gambar 4 Budaya Seni Dekoratif di Kampung Taman Yogyakarta (sumber: Hadianto, 2013)

3.4 Kampung Batik Trusmi di Cirebon

Kampung Trusmi merupakan kawasan produksi batik yang ada di Cirebon. Awalnya, budaya
membatik dibangun oleh Ki Buyut Trusmi, pendiri kampung ini, sebagai murid Sunan Gunung Jati
yang menyiarkan Islam di Cirebon lewat kerajinan membatik. Awalnya batik produksi Trusmi
dikonsumsi oleh kalangan Kraton, namun kemudian berkembang meluas hingga nasional dan
mancanegara. Kini kawasan ini menjadi salah satu tujuan wisata belanja di Cirebon (Santri 2013).
Morfologi kampung batik Trusmi ditandai Makam Ki Buyut Trusmi sebagai pusat kawasan
dan ruang pajang batik yang tersebar di sepanjang jalan utama kampung ini. Wujud arsitektur
menunjukkan pengaruh budaya yang ada sepanjang sejarah dan perkembangan kampung ini: budaya
Sunda, budaya Islam-Jawa (yang juga dipengaruhi oleh Hindu), budaya Tiongkok, budaya Kolonial
Belanda, dan budaya Modern (lihat gambar 5). Rajutan budaya di Kampung Trusmi ini juga terlihat
dari berbagai motif kain batik yang diproduksi di kampung ini (lihat gambar 6).

Gambar 5 Aneka Langgam Arsitektur di Kampung Batik Trusmi Cirebon (sumber: Santri, 2013)
Gambar 6 Aneka Motif Batik Cirebon (sumber: Santri, 2013)

4 Peran Arsitektur dalam Transformasi Budaya Lokal untuk Pengembangan Ekonomi


Masyarakat

Dari kasus-kasus yang disajikan, dicoba dipetakan peran arsitektur dalam transformasi
budaya lokal, khususnya untuk pengembangan ekonomi masyarakat. Aspek ekonomi dilihat dari
proses produksi dan konsumsi yang berlangsung. Tiga pendekatan teoretis: kreativitas transformasi,
penciptaan tempat, dan penyampaian pesan budaya, digunakan untuk melihat arsitektur sebagai media
produksi dan konsumsi budaya lokal.

4.1 Kreativitas Transformasi Arsitektur dalam Reproduksi Budaya Lokal

Kreativitas dalam arsitektur terkait dengan penciptaan bentuk-bentuk baru. Kaitannya dengan
transformasi budaya lokal dalam pengembangan ekonomi masyarakat adalah bagaimana arsitektur
menyajikan bentuk baru dari suatu produk budaya lokal agar bernilai ekonomi. Kreativitas berperan
dalam reproduksi budaya lokal ke dalam bentuk-bentuk yang dibutuhkan oleh konsumen.
Pendekatan kreativitas transformasi arsitektur dalam reproduksi budaya lokal bisa digunakan
untuk menjelaskan kasus Floating Market dan Imah Seniman di Lembang, Bandung. Budaya lokal
yang direproduksi yaitu budaya Sunda, yang dihadirkan kembali dalam sebuah fasilitas wisata.
Budaya Sunda yang banyak direproduksi adalah budaya kedekatan manusia dengan alam, yang
ditransformasikan dengan penciptaan suasana yang menyatu dengan alam melalui pengolahan sumber
air (situ, sungai) dan pertanian. Strategi transformasi yang banyak digunakan adalah strategi
“borrowing”, yaitu meminjam suasana pedesaan khas masyarakat Sunda.

4.2 Penciptaan Tempat (Place-Making) untuk Konsumsi Budaya Lokal

Dalam perspektif ekonomi, konsep “tempat” (place) dilihat sebagai ruang yang diciptakan
agar makna-makna dari budaya lokal bisa dikonsumsi oleh pengguna. Dengan konsep tempat, maka
konsumen akan bisa mendapatkan suasana tertentu, membangun kaitan emosional, dan akhirnya
mempelajari nilai-nilai yang terkandung dalam suatu budaya lokal tertentu. Penciptaan tempat
menjadi kontribusi penting dari arsitektur agar nilai-nilai budaya lokal bisa dinikmati oleh konsumen.
Pendekatan fenomenologi dalam penciptaan tempat bisa digunakan untuk menjelaskan kasus
Festival Tumbilo Tohe di Gorontalo. Lewat festival cahaya, maka ruang-ruang di kota Gorontalo
mempunyai suasana tertentu yang khas. Suasana yang khas ini bahkan bisa menciptakan atraksi-
atraksi wisata tertentu, yang kemudian bisa bernilai ekonomi. Melalui aneka tempat yang tercipta pada
festival Tumbilo Tohe, makna cahaya dalam tradisi religi masyarakat Gorontalo bisa terus dinikmati
oleh masyarakat dan berlanjut dari masa lalu hingga kini.
Pendekatan konstruksi sosial dalam penciptaan tempat bisa digunakan untuk menjelaskan
kasus budaya seni dekoratif pada Kampung Taman Yogyakarta. Tempat-tempat yang tercipta melalui
budaya seni dekoratif dapat dilihat dan dinikmati pada ruang-ruang produksi batik, ruang pajang
pakaian dan lukisan batik, serta mural-mural bertema batik di ruang-ruang publik. Melalui tempat-
tempat ini, makna yang tersaji adalah budaya seni dekoratif dari masyarakat setempat yang terbangun
sebagai cara masyarakat untuk bertahan hidup, memenuhi kebutuhan lokal, hingga membangun
eksistensinya ketika mampu menjadi kawasan tujuan wisata.

4.3 Penyampaian Pesan Keluhuran Budaya Lokal lewat Arsitektur

Dalam konteks penyampaian pesan keluhuran budaya, arsitektur dilihat sebagai bahasa/
mode komunikasi. Arsitektur dilihat sebagai penyampai pesan keluhuran budaya dalam proses
konsumsi dan produksi yang berlangsung di dalamnya. Ketika arsitektur menjadi media untuk suatu
aktivitas ekonomi, di sini pula arsitektur berperan sebagai media penyampai nilai-nilai budaya.
Pendekatan arsitektur sebagai penyampai pesan budaya bisa digunakan untuk menjelaskan
kasus Kampung Batik Trusmi di Cirebon. Keberadaannya sebagai salah satu kluster produksi batik
mendorong kawasan ini menjadi tujuan wisata belanja. Dalam aktivitas wisata ini, Kampung Trusmi
menjadi tempat yang menyajikan aneka ragam langgam arsitektur yang berlatar belakang aneka
budaya pula. Aneka ragam latar belakang budaya ini juga bisa dilihat oleh wisatawan dari motif-motif
batik yang dijajakan. Lewat arsitektur dan motif kain batik, wisatawan bisa melihat rajutan budaya
yang ada di Kampung Trusmi, yang juga merepresentasikan keunikan budaya masyarakat Cirebon.

5 Kesimpulan

Gagasan yang disajikan pada artikel ini bermuara pada konsep modal kultural (cultural
capital). Artinya, bagaimana menjadikan kekayaan budaya Nusantara agar menjadi kapital untuk
membangun masyarakat. Dalam konteks globalisasi, modal kultural ini berpotensi menjadi komponen
daya saing masyarakat, misalnya melalui strategi diferensiasi. Melalui konsep modal budaya, ekonomi
menjadi pintu masuk (entry-point), dengan keluhuran budaya sebagai misi utama dalam membangun
berbagai gagasan pembangunan masyarakat, termasuk dalam wilayah arsitektur.
Tulisan ini menawarkan sebuah pemikiran untuk transformasi budaya lokal Nusantara
melalui arsitektur, dengan pendekatan ekonomi masyarakat sebagai pintu masuk. Tiga pengetahuan
arsitektur, yaitu kreativitas transformasi, penciptaan tempat, dan penyampaian pesan digunakan untuk
menjelaskan peran arsitektur sebagai media produksi dan konsumsi budaya lokal Nusantara. Melalui
arsitektur, budaya lokal bisa ditransformasikan agar mempunyai nilai ekonomi, sehingga akan
menjadi bagian keseharian masyarakat masa kini, dan lambat laun akan membentuk kekuatan kapital
untuk daya saing masyarakat. Dengan perspektif produksi dan konsumsi, pemikiran ini diharapkan
memberikan kontribusi untuk menciptakan kebutuhan akan pengetahuan budaya lokal Nusantara.
Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat dalam bidang akademis tentang budaya lokal
dalam perancangan arsitektur. Adanya pengetahuan yang sistematis, antara lain melalui teori-teori
aplikatif, akan memudahkan mahasiswa dalam memahami dan menjelaskan fenomena budaya lokal
dalam arsitektur. Diharapkan mahasiswa akan lebih terpacu untuk mentransformasikan budaya lokal
Nusantara dalam karya-karya perancangan mereka.

6 Ucapan Terima Kasih


Ucapan terima kasih diberikan kepada mahasiswa peserta mata kuliah Budaya Lokal dan
Perancangan Arsitektur semester I tahun 2013/2014 pada Program Magister Arsitektur ITB, terutama
untuk Anggana Fitri Satwikasari, Ardina Susanti, Abdi Gunawan Djafar, Nur Fitra Hadianto, dan
Tyas Santri, atas kasus-kasus yang disajikan. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, atas dukungan dana
penelitian yang dilakukan penulis yang bertajuk “Percepatan dan Perluasan Pembangunan Simpul
Ekonomi Lokal Berbasis Pariwisata Budaya” yang menjadi salah satu dasar penulisan artikel ini.

Daftar Pustaka
AlSayyad, N. (Ed). 2004. The End of Tradition?. London: Routledge
AlSayyad, N. (Ed). 2001. Consuming Tradition, Manufacturing Heritage: Global Norms and Urban
Forms in the Age of Tourism. New York: Routledge
Antoniades, A.C. 1992. Poetics of Architecture: Theory of Design. New York: Van Nostrand
Reinhold.
Ardhika, I G. 2012. “Cerlang Budaya: Kekayaan Budaya Nusantara”. Tulisan tidak dipublikasikan.
Cross, N. 1982. Designerly Ways of Knowing, Design Studies Vol.3 No.4 October 1982
Djafar, A.G. 2013. Tumbilo Tohe - Festival Cahaya Di Gorontalo. Makalah Mata Kuliah Budaya
Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Dovey, K. 2010. Becoming Places: Urbanism/ Architecture/ Identity/ Power. London: Routledge
Ekomadyo, A.S. 1999. Pendekatan Semiotika Dalam Kajian Terhadap Arsitektur Tradisional Di
Indonesia; Kasus : Sengkalan Memet dalam Arsitektur Jawa. Prosiding Seminar Nasional
Naskah Arsitektur Nusantara: Jelajah Penalaran Arsitektural. Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya
Hadianto, N.F. 2013. Budaya Seni Dekoratif yang Muncul pada Kampung Taman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program
Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung
Jencks, C. 1978. The Language of Post-modern Architecture. London: Academy Editions.
Murtinugroho, A. 2013. Arsitektur Nusantara Kontemporer di Ujung Pandang Sains Lingkungan
Binaan. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 Universitas Hassanuddin Gowa.
Norberg schultz, C. 1991. Genius Loci: Towards a Phenomenology of Architecture. New York:
Rizzoli,
Pratiwi, W.D. 2009. Desain dalam Konteks Transformasi. Bahan Kuliah. www.ar.itb.ac.id/wdp
Prijotomo, J. 2007. Adakah Kepekaan Budaya dalam Pendidikan Arsitektur di Indonesia?. Prosiding
Challenges and Experiences in Developing Architectural Education in Asia. Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta
Saliya, Y. 2005. Pragmatik Estetiko-Religius dalam Arsitektur Vernakular di Bali. Disertasi Doktoral.
Institut Teknologi Bandung
Santri, T. 2013. Rajutan Budaya Dalam Arsitektur dan Motif Batik Trusmi Cirebon. Makalah Mata
Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut
Teknologi Bandung
Satwikasari, A.F. 2013. Wujud Konsep Kreativitas Pengusaha dalam Transformasi Budaya dan
Arsitektur di Situ Umar. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam Perancangan Arsitektur.
Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.
Sudrajat I. 2012. Conceptualizing a Framework for Research on Place in Indonesia. Proceedings
International Seminar on Place Making and Identity: Rethinking Urban Approaches to Built
Environment (PlacId). Universitas Pembangunan Jaya Jakarta.
Sudradjat, I. 1992. Perkembangan Semiotik dalam Arsitektur: Sebuah Tinjauan Kritis. Prosiding
Seminar Semiotika. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya dan Lingkaran
Peminat Semiotik.
Susanti, A. 2013. Proses Penerapan Lokalitas Kampung Tradisional Pada Fasilitas Pariwisata; Studi
Kasus : Imah Seniman, Lembang, Jawa Barat. Makalah Mata Kuliah Budaya Lokal dalam
Perancangan Arsitektur. Program Magister Arsitektur Institut Teknologi Bandung.

Anda mungkin juga menyukai