Diterjemahkan dari:
Glomerular Filtration Rate and/or Ratio of Urine Albumin to Creatinine as Markers for Diabetic
Retinopathy: A Ten-Year Follow-Up Study
1. Pendahuluan
Nefropati diabetikum (ND) dan retinopati diabetikum (RD) merupakan komplikasi
mikrovaskular dari diabetes melitus (DM) yang memiliki faktor risiko yang sama, seperti
kontrol glikemik yang buruk serta hipertensi sistolik. Hubungan ND dan RD menjadi fokus
penelitian kami sebelumnya, dimana kami menemukan hubungan positif antara
mikroalbuminuria dan makroalbuminuria pada pasien DM tipe 1, dan makroalbuminuria
pada DM tipe 2, sebagai faktor risiko terjadinya RD.
Diagnosis RD dapat dengan mudah ditegakkan melalui pemeriksaan lesi retina. Tetapi,
lesi diabetikum pada ginjal lebih sulit dideteksi. Nefropati nondiabetikum cukup sering
terjadi pada pasien DM sehingga ND sulit untuk didiagnosis. Retinopati diabetikum
ditemukan pada pasien DM tipe 1 yang mengalami ND, sedangkan pasien DM tipe 2 dapat
mengalami ND tanpa RD.
Selain itu, didapatkan perbedaan pada acuan klinis, seperti pada KDIGO (Kidney
Diseases: Improving Global Outcomes), yang mendefinisikan gangguan ginjal kronis
sebagai keadaan dimana laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73 m2 atau adanya
lesi pada ginjal yang dapat ditunjukkan dari biopsi histologi atau dari rasio albumin/kreatinin
urin (urine albumin to creatinine ratio/UACR).
Perkiraan laju filtrasi glomerulus (estimated glomerular filtration rate/eGFR) merupakan
metode yang mempermudah kita untuk mempelajari fungsi ginjal, ditentukan oleh kadar
kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan ras. Saat ini, kita memiliki dua formula, yaitu
persamaan dari CKD-EPI (chronic kidney disease-epidemiology collaboration) dan MDRD-4
atau MDRD-IDMS (modification of diet in renal disease). Keduanya dapat membantu kita
menentukan fungsi ginjal berdasarkan pemeriksaan darah sederhana. Persamaan CKD-EPI
dianggap lebih akurat, dengan laju filtrasi glomerulus berkisar antara 60-90 ml/menit/1,73
m2 .
Seperti yang kami temukan pada penelitian sebelumnya mengenai insidensi dan faktor
risiko RD berdasarkan data yang kami kumpulkan sejak tahun 2007 dari 15.811 pasien DM
tipe 2 dari ras Kaukasia, tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan apakah ada hubungan
antara nefropati diabetikum dan retinopati diabetikum pada pasien DM tipe 2.
3. Hasil
3.1. Variasi Demografis Sampel. Dalam penelitian selama sepuluh tahun (1 Januari 2007
sampai 31 Desember 2016), sebanyak 15.811 pasien DM tipe 2 menjalani penapisan
(Tabel 1), dan merepresentasikan 85,33% total pasien DM tipe 2 yang terdaftar (18.528)
di area pusat pelayanan kesehatan kami, dengan rerata follow up sebanyak 3,45 ± 1,12
kali selama sepuluh tahun.
Jumlah sampel laki-laki lebih banyak (56,13%) daripada perempuan,
menggambarkan prevalensi diabetes pada populasi secara keseluruhan. Rerata usia saat
penelitian adalah 63,91 ± 11,85 tahun dan rerata durasi DM adalah 8,36 ± 6,64 tahun.
Rerata kadar HbA1c adalah 7,41 ± 1,45% (3,9-15,8). Dengan mengeksklusi perbedaan
usia, ditemukan laki-laki lebih banyak mengalami DM dengan p <0,001.
Rerata usia pasien mengalami RD adalah 63,91 ± 11,85 tahun, rerata usia pasien
dengan STDR adalah 64,05 ± 12,27 tahun, dan rerata usia pasien dengan EMD adalah
64,36 ± 12,84 tahun.
3.2. Insidensi Retinopati Diabetikum. Sebanyak 4466 pasien DM tipe 2 mengalami RD
(28,24%) dengan rerata insidensi tahunan sebesar 8.21 ± 0,60% (7,06%-8.92%) (Tabel
2). STDR pada DM tipe 2 ditemukan pada 1451 pasien (9,17%) dengan insidensi
tahunan sebesar 2,65 ± 0,14% (2,48%-2,88%). EMD pada pasien DM tipe 2 ditemukan
pada 1214 pasien (7,67%) dengan insidensi tahunan sebesar 2,21 ±0,18% (2%-2,49%).
3.3. Insidensi Nefropati. Sebanyak 3767 pasien (23,82%) dengan DM tipe 2 memiliki UACR
> 30 mg/g dengan rerata insidensi tahunan sebesar 7,02 ± 0,05% (6,97%-7,09%) (Tabel
2). Sebanyak 3173 pasien memiliki eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2 (20,06%) dengan
insidensi tahunan sebesar 5,89 ± 0,12% (5,70%-6,13%). Sebanyak 36 pasien (0,22%)
mengalami gagal ginjal yang didefinisikan sebagai UACR ≥ 300 mg/g dan eGFR < 30
ml/menit/1,73 m2, dengan insidensi tahunan sebesar 0,06 ± 0,01% (0,04%-0,08%).
3.4. Analisis Statistik Retinopati Diabetikum. Pada akhir penelitian, seluruh pasien DM tipe 2
yang mengunjungi unit kami menjalani pemeriksaan fundus. Kami tidak menemukan
pasien baru yang mengalami RD pada saat melakukan pemeriksaan. Maka kami
mengkonfirmasi bahwa tidak ada pasien yang tidak terdiagnosis selama proses
penapisan. Dalam analisis univariat (Tabel 3) seluruh variabel ditemukan signifikan.
Saat kami mengaplikasikan analisis regresi proporsi Cox Tabel 4), variabel yang
dievaluasi menggunakan analisis univariat berubah signifikansinya; sehingga, pada
asumsi pertama, usia saat ini, terapi insulin, hipertensi arterial, dan kadar HbA1c tetap
signifikan. Penambahan fungsi ginjal ke dalam perhitungan analisis mengubah
signifikasinya variabel. Nilai eGFR signifikan pada asumsi kedua (p = 0,002, HR 1,854),
tetapi pada asumsi ketiga signifikansinya berkurang (p = 0,05, HR 1,123). Pada asumsi
keempat dimana gagal ginjal diinklusikan, nilai eGFR dan UACR sama-sama signifikan.
3.5. Analisis Statistik Retinopati Diabetikum Berat. Tabel 5 menggambarkan data deskriptif
dari berbagai faktor risiko dan signfikansinya. Pada STDR, usia saat ini, durasi DM,
kadar HbA1c, UACR, dan eGFR ditemukan signifikan berdasarkan hasil uji T Student
atau analisis one-way Anova, tetapi kadar kreatinin ditemukan tidak signifikan. Pada
analisis EMD, seluruh faktor risiko yang sudah disebutkan di atas ditemukan signifikan
terhadap kejadian EMD.
(Tabel 1)
(Tabel 2)
(Tabel 3)
(Tabel 4)
(Tabel 5)
Tabel 6 menggambarkan signfikansi berbagai variabel dalam analisis Cox. Pada
pasien STDR, seluruh faktor risiko ditemukan signifikan pada asumsi pertama,
berdasarkan rasio hazard ditemukan rasio HbA1c, UACR, dan hipertensi arterial
merupakan faktor risiko utama. Pada asumsi 2 analisis STDR, kami mengganti eGFR <
60 ml/menit/1,73 m2 dan UACR ≥ 30 mg/g dengan gagal ginjal, yang didefinisikan
sebagai UACR ≥ 300 mg/g dan eGFR < 30 ml/menit/1,73 m2, yang merupakan faktor
risiko penting dengan rasio hazard sebesar 3,174; hampir sama dengan rasio hazard
HbA1c sebesar 3,230.
Analisis EMD juga menunjukkan bahwa seluruh faktor risiko ditemukan
signifikan pada asumsi pertama, dan HbA1c, hipertensi arterial, dan UACR memiliki
nilai rasio hazard yang paling tinggi. Substitusi eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2 dan UACR
≥ 30 mg/g dengan gagal ginjal menjadi faktor risiko utama EMD dengan rasio hazard
sebesar 3,190; hampir sama dengan rasio hazard HbA1c sebesar 3,194.
3.6. Analisis Survival. Dalam paragraph ini, kami membandingkan penelitian survival
menggunakan grafik Kaplan-Meier dan asumsi proporsi hazard Cox. Dalam Gambar 1
dan 2, kami menggambarkan akumulasi risiko terjadinya RD pada masing-masing
kategori penelitian.
Gambar 1 menggunakan grafik Kaplan-Meier untuk mengevaluasi hubungan
antara diagnosis gagal ginjal yang ditentukan berdasarkan eGFR dan UACR dengan
masing-masing tipe RD. Menggunakan fungsi risiko plot, ditemukan bahwa UACR ≥
300 mg/g dan durasi DM secara signifikan meningkatkan akumulasi risiko RD, STDR,
dan EMD. Diagnosis gagal ginjal dengan indikator eGFR < 30 ml/menit/1,73 m2 tidak
dapat digunakan untuk menentukan peningkatan risiko STDR dan EMD, dan hanya
ditemukan signifikan pada populasi pasien RD.
Gambar 2 menunjukkan risiko akumulasi RD menggunakan asumsi proporsi
hazard Cox. Pada puncak gambar, kami mengamati adanya peningkatan akumulasi
risiko terjadinya RD, STDR, dan EMD pada pasien dengan gagal ginjal yang
menggunakan indikator UACR ≥ 300 mg/g sebagai metode diagnosis. Di bawahnya,
kami mengamati bahwa diagnosis gagal ginjal menggunakan eGFR < 30 ml/menit/1,73
m2 tidak berperan signfikan dalam terjadinya ketiga tipe RD. Hal ini berbeda dengan
hasil kurva Kaplan-Meier dimana terdapat peningkatan risiko akumulatif RD. Pada
analisis survival Cox, setelah variabel risiko lain dimasukkan (usia, jenis kelamin,
hipertensi arterial, dan HbA1c) ke dalam perhitungan, efeknya menghilang dan menjadi
tidak signifikan.
(Tabel 6)
4. Pembahasan
Penelitian ini harus dipahami dengan mengingat penelitian sebelumnya yang dilakukan
terhadap populasi yang sama. Insidensi RD setelah sepuluh tahun adalah 28,24% dengan
rerata insidensi tahunan sebesar 8,21 ± 0,60% (7,06%-8,92%), serupa dengan data publikasi
sebelumnya. Insidensi tahunan STDR adalah 2,65 ± 0,14% (2,48%-2,88%), dan EMD
memiliki insidensi tahunan sebesar 2,21 ± 0,18% (2%-2,49%), keduanya serupa dengan
insidensi yang dipublikasikan The Scottish National Diabetic Retinopathy Screening
Programme. Suatu temuan yang menarik dalam penelitian kami adalah setelah sepuluh tahun
STDR terjadi pada 1451 pasien (9,17%) dan EMD terjadi pada 1214 pasien (7,67%), tetapi
hanya 237 (16,33%) pasien mengalami STDR tanpa EMD. Kita harus mempertimbangkan
bahwa STDR mungkin terjadi akibat EMD atau iskemia retina akibat RD berat. Akibat
perbedaan insidensi antara pasien STDR dan EMD, kedua kelompok ini memiliki faktor
risiko dan data statistik yang serupa.
Untuk diagnosis ND menggunakan UACR ≥ 30 mg/g, terdapat 23,82% pasien yang
mengalami ND di akhir penelitian, dengan rerata insidensi tahunan sebesar 7,02 ± 0,05%
(6,97%-7,09%). Sebaliknya, untuk diagnosis ND menggunakan eGFR < 60 ml/menit/1,73
m2, terdapat 20,06% pasien yang mengalami ND di akhir penelitian dengan rerata insidensi
tahunan sebesar 5,89 ± 0,12% (5,70%-6,13%). Perbedaan ini dapat disebabkan oleh laju
filtrasi glomerulus yang meningkat pada awal gagal ginjal diabetikum dan kemudian
menurun hingga tahap nefropati yang paling lanjut.
Analisis statistik menunjukkan bahwa filtrasi glomerulus merupakan faktor risiko penting
terjadinya RD dan dapat menjadi faktor prediktif komplikasi RD berat, seperti oleh STDR
dan EMD. Tetapi, apabila UACR dimasukkan sebagai faktor risiko ke dalam analisis survival
Cox, signifikansi eGFR menjadi berkurang; maka, pada perkembangan terjadinya RD, HR
berkurang dari 1,854 menjadi 1,223, dengan perubahan signifikansi dari p = 0,002 menjadi p
= 0.04. Gambar 1 dan 2 dengan jelas mengilustrasikan efek ini. Pada saat kami menggunakan
kurva Kaplan-Meier, eGFR merupakan risiko yang signifikan, tetapi setelah variabel lain
(usia, jenis kelamin, hipertensi arterial, dan HbA1c) dimasukkan ke dalam persamaan analisis
survival Cox, efek eGFR menghilang dan UACR menjadi satu-satunya faktor risiko efektif.
Oleh karena itu kami menyimpulkan bahwa UACR memiliki hubungan yang lebih kuat
dengan kejadian RD.
Analisis STDR dan EMG juga menunjukkan bahwa UACR merupakan faktor risiko yang
lebih signifikan daripada eGFR, sekalipun eGFR merupakan faktor risiko penting dengan
besar HR yang hampir sama dengan variabel lain, seperti hipertensi arterial atau terapi
insulin.
Kami dapat menjelaskan mengapa UACR menjadi faktor risiko yang lebih signfikan
daripada eGFR dalam dua cara. Pertama, perubahan eGFR terjadi sebelum peningkatan
UACR, dimana terjadi peningkatan rasio filtrasi pada tahap awal DM dan baru menurun pada
tahap lanjut, menunjukkan adanya penurunan fungsi ginjal. Kedua, arteriosklerosis, yang
sering terjadi bersamaan dengan DM, dapat menurunkan laju filtrasi glomerulus pada pasien
dengan normoalbuminuria. Kedua mekanisme ini dapat menjadi faktor perancu hasil
perhitungan statistik.
Signifikansi UACR pada DM tipe 2 lebih tinggi daripada DM tipe 1, seperti yang kami
temui pada penelitian sebelumnya terhadap pasien DM tipe 1, dapat dijelaskan oleh
perbedaan metodologi yang digunakan.
Dalam penelitian sebelumnya, kami menemukan bahwa mikroalbuminuria merupakan
faktor risiko RD dengan signifikansi yang rendah pada DM tipe 2, tetapi pada penelitian
yang sama kami menemukan bahwa albuminuria ≥ 300 mg/g merupakan faktor risiko yang
signifikan terhadap terjadinya RD. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan metodologi dan
desain penelitian, dimana penelitian sebelumnya merupakan penelitian potong lintang dan
bukan penelitian prospektif selama sepuluh tahun seperti penelitian ini. Pada penelitian
sebelumnya, kami mendefinisikan mikroalbuminuria sebagai adanya albumin sebesar 30-200
mg/g di dalam urin, dan pada penelitian ini, kami mendefinisikan nefropati sebagai UACR >
30 mg/g, yang mencakup pasien dengan mikro dan makroalbuminuria.
(Gambar 1)
Hasil penelitian kami dapat dibandingkan dengan penelitian serupa lainnya. Man dkk,
dalam suatu serial kasus 263 pasien Kaukasia, menemukan adanya hubungan antara
gangguan fungsi ginjal, yang diukur menggunakan persamaan CKD-EPI, dengan RD berat,
tetapi tidak dengan EMD. Tetapi, seperti yang disampaikan penulis penelitian tersebut, hal
itu mungkin disebabkan oleh jumlah penderita EMD yang kecil sehingga dapat
mempengaruhi signifikansi hasil penelitian. Pada penelitian kami, terdapat lebih banyak
pasien penderita EMD (1214 pasien), sehignga dapat membantu meningkatkan
signfikansinya.
Wu dkk menemukan bahwa eGFR ≤ 99,4 ml/menit/1,73 m2 memiliki hubungan yang
signifikan dengan RD pada suatu penelitian kasus kontrol di sebuah rumah sakit. Kami
mengambil eGFR < 60 ml/menit/1,73 m2 sebagai batas patologis, karena laju filtrasi
glomerulus meningkat pada awal gangguan ginjal dan dapat mempengaruhi hasil.
Penelitian yang memiliki hasil serupa dengan kami dilakukan oleh Rodriguez-Poncelas
dkk, yang melakukan penelitian potong lintang pada 28.344 pasien. Mereka menunjukkan
bahwa prevalensi RD meningkat pada pasien yang memiliki UACR ≥ 300 mg/g dengan odds
ratio sebesar 2,0; serta ditemukan hubungan positif antara penurunan eGFR dan STDR.
Penelitian kami juga menemukan bahwa UACR merupakan faktor risiko yang lebih
signifikan daripada eGFR.
Penelitian lain menggunakan MDRD-4 atau MDRD-IDMS untuk menentukan eGFR.
Lopez dkk, dalam sebuah penelitian potong lintang, menggunakan rumus MDRD-4. Hasil
penelitian tersebut serupa dengan penelitian kami dimana terdapat signfikansi sebesar p <
0,001, OD = 2.0 dan interval kepercayaan 95% = 1,6 -2,4 dalam sebuah serial klinis 14,266
pasien. MDRD hanya dapat digunakan sebagai alternatif persamaan CKD-EPI karena
beberapa publikasi memperkirakan bahwa CKD-EPI lebih akurat dalam mengestimasi eGFR.
Kekuatan penelitian kami adalah program penapisan itu sendiri, dimana terdapat 85,33%
dari seluruh populasi pasien DM tipe 2 di area pusat pelayanan kesehatan kami, sehingga
menghasilkan kekuatan data yang besar.
Keterbatasan penelitian kami adalah kami menggunakan persamaan CKD-EPI
menggunakan data kreatinin. Meskipun pengukuran kadar kreatinin dilakukan di
laboratorium yang sama dan menggunakan sistem data terintegrasi, tetap ada kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam pengukuran atau pendataan. Selain itu, pasien dengan STDR
dan/atau EMD, mungkin saja pergi ke rumah sakit dan melewatkan program penapisan,
sehingga mempengaruhi analisis statistik.
(Gambar 2)
5. Kesimpulan
Kami menyimpulkan bahwa UACR memiliki hubungan yang lebih kuat dengan retinopati
diabetikum daripada eGFR. Dari data yang kami peroleh, kami menganjurkan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahui hubungan laju filtrasi glomerulus sebagai faktor risiko
retinopati diabetikum pada pasien DM tipe 2.