Anda di halaman 1dari 33

PROFIL LEUKOSIT KAMBING PERANAKAN ETAWAH

SETELAH VAKSINASI IRADIASI Streptococcus agalactiae


UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS

KUKUH SYIROTOL ICHSAN

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Berjudul Profil Leukosit Kambing
Peranakan Etawah setelah Vaksinasi Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk
Pencegahan Mastitis Subklinis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir karya tulis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Januari 2015

Kukuh Syirotol Ichsan


NIM B04100087
ABSTRAK
KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah
setelah Vaksinasi Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis
Subklinis. Dibimbing oleh SRI ESTUNINGSIH dan BOKY JEANNE TUASIKAL.

Kambing Peranakan Etawah (PE) merupakan kambing yang dipelihara untuk


memenuhi kebutuhan susu dan daging. Sebagai ternak penghasil susu, kambing PE
juga rentan terhadap mastitis subklinis. Di peternakan sapi perah Pulau Jawa,
mastitis subklinis biasanya disebabkan oleh Streptococcus agalactiae. Banyak
metode yang dikembangkan untuk mencegah mastitis subklinis antara lain
meningkatkan higiene sanitasi, teat dipping, dan vaksinasi. Tujuan penelitian ini
adalah mengidentifikasi keefektifan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yang
disebabkan oleh S. agalactiae melalui pengamatan profil leukosit. Kambing yang
digunakan adalah kambing sehat dengan usia kebuntingan empat sampai lima bulan
yang divaksin dua sampai tiga kali dengan interval 2 minggu. Volume vaksin yang
digunakan adalah 2 mL yang mengandung 108 cfu/mL S. agalactiae. Sampel darah
yang digunakan diambil satu minggu setelah vaksinasi. Sampel darah yang
diperoleh dibuat menjadi preparat ulas darah yang diwarnai dengan Giemsa dan
diamati profil leukosit (nilai relatif dan jumlah) di bawah mikroskop. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pada posvaksinasi I nilai relatif dan jumlah limfosit
dari kambing perlakuan lebih tinggi dari kontrol dan berbeda nyata pada
(73.67±2.05% dan 5230±87 sel/µL) begitupun pada posvaksinasi III (66.00±4.08%
dan 5676±1520 sel/µL). Hal ini menunjukkan telah terbentuk imun sekunder
terhadap S. agalctiae penyebab mastitis subklinis.

Kata kunci: kambing Peranakan Etawah (PE), profil leukosit, Streptococcus


agalactiae, vaksin iradiasi.

ABSTRACT

KUKUH SYIROTOL ICHSAN. Leucocytes Profile of Etawah Cross Breed Goat


as a Response to Irradiated Vaccine Streptococcus agalactiae to Prevent Subclinical
Mastitis Supervised by SRI ESTUNINGSIH and BOKY JEANNE TUASIKAL.

Etawah cross breed goat was domesticated to fulfill human need on meat and
milk. As a dairy milk producer etawah cross breed goat is susceptible to subclinical
mastitis. Subclinical mastitis is often caused by Streptococcus agalactiae. Several
methods had been developed to prevent subclinical mastitis, i.e., promoting
sanitation and higiene, teat dipping, and vaccination. The objective of this reseach
was to identify the efectiveness of irradiated vaccine S. agalactiae to prevent
subclinical mastitis caused by S. agalactiae through observation of leucocytes
profile. This research used pregnant healthy goats with four until five months
gestation that were vaccinated three times with interval of 2 weeks. The vaccine
volume used was 2 mL and contain 108 cfu/mL S. agalactiae administerated by
subcutaneous route. The blood samples of 9 pregnant Etawah cross breed goats (5
vaccinated goats and 4 control goats) were taken out every one week post
vaccinated. Samples were prepared to be blood smear preparation and stained with
Giemsa and examined on leucocytes profile (relative value and total value). This
study showed that limphocytes from treated etawah cross breed goats were higher
than control. Relative and total value of lymphocytes in prevactination were
significantly different (P<0.05) (73.67±2.05% and 5230±87 cell/µL) also
postvactination 3rd (66.00±4.08% and 5676±1520 cell/µL). The study concluded
that the secondary immune response from vaccination program already formed to
prevent subclinical mastitis in etawah cross breed goat caused by S. agalactiae.

Keywords: etawah cross breed goat, irradiation vaccine, leucocytes profile,


Streptococcus agalactiae.
PROFIL LEUKOSIT KAMBING PERANAKAN ETAWAH
SETELAH VAKSINASI IRADIASI Streptococcus agalactiae
UNTUK PENCEGAHAN MASTITIS SUBKLINIS

KUKUH SYIROTOL ICHSAN

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan

DEPARTEMEN KLINIK REPRODUKSI DAN PATOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas segala
rahmat-Nya maka karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam
penelitian ini ialah Profil Leukosit Kambing Peranakan Etawah setelah Vaksinasi
Iradiasi Streptococcus agalactiae untuk Pencegahan Mastitis Subklinis.
Dengan segala syukur dan berbahagia, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada Ibu Dr Drh Sri Estuningsih, MSi APVet dan Dr Drh Boky Jeanne
Tuasikal, MSi selaku pembimbing yang selalu mengarahkan penulis dengan penuh
kesabaran sehingga tulisan ini dapat terselesaikan. Demikian pula ucapan terima
kasih kepada Bapak Drh Candra yang membantu dan membimbing dalam
pengambilan sampel di lapang. Orang tua dan keluarga yang selalu memberi
dukungan dan nasihat selama penulis melalui jenjang sarjana. Ibu Dr Drh Eva
Harlina sebagai dosen pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu
untuk berbagi keluh kesah selama jenjang sarjana. Ibu Dr Drh Anita Esfandiari,
MSi selaku dosen penilai dalam seminar skripsi. Bapak Dr med vet Drh Denny
Widaya Lukman, MSi dan Dr Drh I Ketut Murdite Adyane, MSi, PAVet sebagai
dosen penguji skripsi. Sahabat-sahabat terbaik Acromion FKH 47 Mohammad
Zaenal Abidin Mursyid, Intan Pandini Restu Mukti, Hidayati, Fitri Aprian Harjo,
Novan Eko Kurniawan, Denny Putra Romadhon, Fahmi Khairi, Tri Handoko
Lasrianto, Mariska Ramdhianti, Rahmad Arsy, Tri Apriyadi Hidayat, I Nengah
Donny Artika, Fredi Praja Himawan, Eling Purwanto, Irene Soteriani Uren, Risti
Laily, dan teman-teman lain yang selalu memberikan semangat.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Januari 2015

Kukuh Syirotol Ichsan


DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii


DAFTAR GAMBAR xiii
DAFTAR LAMPIRAN xiii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Kambing Peranakan Etawah 2
Mastitis 3
Streptococcus agalactiae 4
Vaksin Iradiasi Sinar Gamma 4
Leukosit 5
METODE 7
Waktu dan Tempat Penelitian 7
Bahan dan Alat 8
Prosedur Analisis Data 10
HASIL DAN PEMBAHASAN 10
SIMPULAN DAN SARAN 16
Simpulan 16
Saran 16
DAFTAR PUSTAKA 16
Riwayat Hidup 19
DAFTAR TABEL

1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi 3


2 Jadwal pengambilan darah dan vaksinasi iradiasi S. agalactiae
9
kambing PE perlakuan dan pengambilan darah kambing kontrol
3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan
10
vaksinasi iradiasi S. agalactiae dan kontrol
4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi
11
iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol
5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi
12
iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol
6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi
13
iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol
7 Hasil pengamatan eosinofil kambing PE perlakuan vaksinasi
15
iradiasi S. agalactiae dan kambing PE kontrol

DAFTAR GAMBAR

1 Kambing PE jantan 2
2 Kambing PE betina 3
3 Ambing mastitis pada kambing PE 4
4 Neutrofil 5
5 Eosinofil 6
6 Basofil 6
7 Limfosit 7
8 Monosit 7
9 Pengambilan darah dari Vena jugularis 11
10 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan 12
11 Morfologi monosit kambing PE perlakuan 13
12 Morfologi limfosit kambing PE perlakuan 14
13 Morfologi eosinofil kambing PE perlakuan 15
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kambing peranakan etawah (PE) adalah salah satu jenis kambing yang dapat
dimanfaatkan daging dan susunya. Kambing PE merupakan persilangan antara
kambing kacang dengan Kambing Etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Produksi
susu kambing PE berkisar 1.5–3.5 L per ekor per hari. Karakteristiknya berwarna
putih, globul lemak kecil, protein lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E,
B kompleks yang tinggi, dan proporsi asam lemak rantai pendek dalam jumlah yang
relatif tinggi sehingga mudah dicerna (Ceballos et al. 2009).
Mastitis subklinis pada sapi perah di Pulau Jawa sering disebabkan oleh
Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus (Sugiri dan Anri 2010).
Seperti halnya sapi perah, kambing PE juga rentan terhadap kejadian mastitis.
Mastitis dapat terjadi karena sanitasi kandang yang buruk atau pemerahan yang
tidak higienis. Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu
sekitar 10–25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan
biaya pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu
ditolak di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan
mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al.
(2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS
mencapai jumlah 1x106 sel/mL. Berdasarkan JSS dalam susu, maka kejadian
mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50% (Sanchez et al. 2007).
Mastitis dapat dicegah melalui penerapan manajemen pemeliharaan yang
baik, pemerahan yang baik dan higienis, melakukan teat dipping, dan penggunaan
antibiotik. Pencegahan juga dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari
bakteri penyebab mastitis tersebut (Lindahl et al. 2005). Saat ini sedang
dikembangkan vaksin untuk mencegah mastitis subklinis yakni vaksin iradiasi
menggunakan sinar gamma. Radiasi adalah emisi (pancaran) dan perambatan
energi melalui materi atau ruang dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau
partikel. Sedangkan iradiasi merupakan istilah yang digunakan untuk aplikasi
radiasi (BATAN 2008). Vaksin iradiasi mampu melemahkan agen patogen tanpa
menghilangkan daya imunogeniknya dan mampu meningkatkan kekebalan pada
hewan coba (Smith 1992). Sebelumnya pernah dikembangkan vaksin dengan
iradisasi yakni Venezuelan equine ensephalitis, Lysteria monocytogenes, dan
influenza (Tuasikal et al. 2012).

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah disebutkan, rumusan masalah yang


mendasari penelitian ini adalah:
1. Apakah vaksin iradiasi S. agalactiae dapat menjadi solusi untuk mencegah
mastitis subklinis pada kambing PE?
2. Apakah dosis yang digunakan efektif untuk membentuk antibodi terhadap S.
agalactiae pada kambing PE?
2

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan profil leukosit (nilai total leukosit
diferensiasi jenis leukosit, dan jumlah masing-masing jenis leukosit) kambing PE
setelah vaksinasi iradiasi Streptococcus agalactiae untuk pencegahan mastitis
subklinis.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan pengetahuan tentang profil leukosit


sebagai respon terhadap vaksin iradiasi S. agalctiae pada kambing PE dan
mengetahui keefektifan vaksin tersebut.

TINJAUAN PUSTAKA

Kambing Peranakan Etawah

Kambing peranakan etawah (PE) merupakan persilangan kambing kacang


dan kambing etawah (Sudono dan Abdulgani 2002). Kambing jantan berbadan
besar, tinggi gumba 90–127 cm, bobot dapat mencapai 91 kg sedangkan betina
tinggi gumbanya dapat mencapai 92 cm serta memiliki berat tubuh di bawah jantan
±63 kg, dan kambing jantan maupun betina memiliki telinga panjang 18–30 cm.
Masa kebuntingan antara 150–154 hari, dewasa kelamin usia empat bulan
(Kartinaty dan Gufroni 2010). Kambing PE dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mammalia
Ordo : Artiodactyla
Famili : Bovidae
Subfamili : Caprinae
Genus : Capra
Spesies : Capra aegagrus
Subspecies : Capra aegagrus hircus

Gambar 1 Kambing PE jantan (Sutama 2011)


3

Gambar 2 Kambing PE betina (Sutama 2011)

Produksi susu kambing PE 1.5–3.5 L per ekor/ hari. Globul lemak lebih kecil,
protein lebih lunak, kandungan kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks yang
tinggi. Susu kambing perah dapat dikonsumsi oleh orang yang alergi susu sapi
(Blakely dan Bade 1991).

Tabel 1 Perbandingan komposisi susu kambing dan susu sapi


Bahan
Total
Padat
Air Lemak Protein Laktosa Mineral Bahan
Hewan Tanpa
(%) (%) (%) (%) (%) Padat
Lemak
(%)
(%)
Kambing 87.0 4.25 3.52 4.27 0.86 8.75 13.00
Sapi 87.2 3.70 3.50 4.90 0.70 9.10 12.80
Sumber: Blakely dan Bade (1991).

Mastitis

Mastitis merupakan penyakit yang banyak dialami oleh ternak penghasil susu.
Mastitis dibedakan menjadi dua yakni mastitis klinis dan subklinis. Gejala dari
mastitis klinis adalah ambing menjadi panas, bengkak, mengeras, dan dihasilkan
susu yang yang mengandung darah. Penyebab mastitis subklinis pada sapi di pulau
Jawa sering disebabkan oleh Streptococcus agalactiae atau Staphylococcus aureus
(Sugiri dan Anri 2010). Kejadian mastitis klinis pada kambing perah sebesar 25.5%
terjadi setelah melahirkan atau 40 hari pasca melahirkan (Mc Dougall et al. 2002).
Mastitis pada kambing mengakibatkan penurunan produksi susu sekitar 10–
25%, kematian anak karena tidak mendapatkan kolostrum, peningkatan biaya
pengobatan, meningkatnya jumlah hewan yang harus dikeluarkan, dan susu ditolak
di pasaran karena jumlah sel somatik (JSS) lebih tinggi dari normal dan
mengandung patogen (Leitner et al. 2004). Hasil penelitian Mc Dougall et al.
(2002) menyatakan bahwa kambing penderita mastitis subklinis apabila JSS
mencapai jumlah 1x106 sel/mL dan tidak menunjukkan gejala klinis. Berdasarkan
JSS dalam susu, maka kejadian mastitis subklinis pada kambing berkisar 9–50%
(Sanchez et al. 2007).
Pencegahan penyebaran mastitis dapat dilakukan dengan penerapan
manajemen pemeliharaan yang baik, pemerahan yang higienis, melakukan teat
dipping dengan menggunakan Sodium hipoklorat setelah pemerahan, dan
4

pemeriksaan jumlah sel somatik pada periode laktasi normal. Pencegahan juga
dapat dilakukan dengan vaksin yang berasal dari bakteri penyebab mastitis tersebut,
misalnya S. agalactiae (Lindahl 2005).

Gambar 3 Ambing mastitis pada kambing PE (Suwito dan Indrajulianto 2013)

Streptococcus agalactiae

Menurut Lehmann and Neumann (1896) S. agalactiae diklasifikasikan


sebagai berikut:
Kingdom : Bacteria
Filum : Firmicutes
Kelas : Bacilli
Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Genus : Streptococcus
Spesies : Streptococcus agalactiae
Karakteristik Streptococcus agalactiae adalah diplococcal, gram positif,
nonmotil, tidak membentuk spora, memproduksi kapsul polisakarida, dan mampu
bertahan pada temperatur tinggi. Bakteri ini dikelompokkan dalam grup B
Streptococcus (GBS), yang merupakan satu dari empat beta-hemolityc streptococci.
Faktor virulensi S. agalactiae berasal dari produk ekstraseluler yakni kapsul
polisakarida, protein permukaan, dan protein yang disekresikannya. Komponen
lainnya adalah hemaglutinin yang berperan sebagai adhesin (Wahyuni et al. 2006).
Kemampuan menempel pada permukaan epitel mamae, lebih penting daripada
invasi hal ini menyebabkan tidak ada perubahan yang kasat mata (Wibawan et al.
1998).

Vaksin Iradiasi Sinar Gamma

Vaksin adalah suatu suspensi atau substansi mikroorganisme yang digunakan


untuk menginduksi terbentuknya sistem imun. Vaksinasi merupakan suatu usaha
meningkatkan imunitas orang atau hewan terhadap invasi mikroorganisme patogen
atau toksinnya. Jenis vaksin yang tersedia di pasaran yakni live vaccine, killed
vaccine, vaksin toksoid, vaksin rekombinan, dan vaksin DNA (Radji 2010).
Radiasi adalah emisi (pancaran) dan perambatan energi melalui materi atau
ruang dalam bentuk gelombang elektromagnetik atau partikel. Sedangkan iradiasi
merupakan istilah yang digunakan untuk aplikasi radiasi. Ada tiga jenis radiasi yang
5

ada yakni radisai partikel bermuatan (alfa, beta, proton, dan elektron), radiasi
partikel tidak bermuatan (neutron), dan radiasi gelombang elektromagnetik (sinar
X dan sinar gamma) (BATAN 2008). Sinar gamma merupakan radiasi
elektromagnetik dengan panjang gelombang pendek, dipancarkan oleh isotop
radioaktif sebagai inti bentuk tidak stabil, dan meluruh untuk mencapai bentuk
stabil. Vaksin iradisai sinar gamma merupakan vaksin yang dibuat dengan
memanfaatkan radiasi untuk melemahkan agen patogen tanpa merusak dinding
selnya, target utama adalah bagian DNA yang merupakan sumber informasi genetik
sel. Perubahan genetik sel akan berakibat pada terganggunya kinerja atau kematian
sel, sehingga antigen tetap memiliki daya imunogenik dan mampu meningkatkan
kekebalan pada hewan coba (Smith 1992). Keunggulan vaksin jenis ini adalah dapat
mengaktifkan seluruh fase sistem imun, meningkatkan respon imun terhadap
seluruh antigen, durasi imunisitas lebih panjang, biaya lebih murah, lebih cepat
menimbulkan respon imunitas, mudah dibawa ke lapangan, dapat mengurangi wild
type (Tatriana dan Sugoro 2007). Saat ini sudah ada beberapa vaksin yang dibuat
dengan metode ini yakni vaksin Venezuelan eqiune enchepahalitis, Lysteria
monocytogenes, dan vaksin influenza (Tuasikal et al. 2012).

Leukosit

Leukosit terdiri dari lima jenis yakni neutrofil, eosinofil, basofil, limfosit, dan
monosit. Jumlah leukosit normal kambing adalah 4000–13000 sel/µL (Lawhead
dan James 2007).

Neutrofil

Neutrofil berfungsi sebagai fagosit dan penghancur mikroorganisme oleh


enzim fagosom atau oleh organel peroksisom. Neutrofil dewasa memiliki inti
bergelambir 3–5, sitoplasma kelabu pucat dan mengandung butir halus. Masa hidup
neutrofil yang tidak aktif pada sistem sirkulasi sekitar 4–10 jam sedangkan yang
telah bermigrasi bertahan selama 1–2 hari (Guyton dan Hall 2006). Jumlah neutrofil
pada kambing normal adalah 1200–7200 sel/µL (Lawhead dan James 2007),
sedangkan nilai relatifnya adalah 30–48% (Latimer et al. 2003).

Gambar 6 Neutrofil (Harvey 2001)

Eosinofil
6

Eosinofil memiliki granul merah dan bergelambir dua. Eosinofil berperan


mengatur peradangan, melawan parasit, dan reaksi alergi. Eosinofil membunuh
parasit dengan melepaskan enzim hidrolitik dan lisosom, melepaskan oksigen
reaktif, serta melepaskan polipeptida bersifat larvasidal. Jumlah eosinofil normal
kambing adalah 50–650 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai
relatifnya adalah 1–8% (Latimer et al. 2003).

Gambar 7 Eosinofil (Harvey 2001)

Basofil

Basofil bersitoplasma biru gelap, dipenuhi granul dengan inti bersegmen.


Basofil jumlahnya tinggi pada keadaan alergi. Basofil melepaskan heparin ke dalam
sirkulasi darah seperti halnya sel mast. Hal ini terjadi karena antibodi yang berperan
dalam reaksi alergi (IgE) memiliki kemampuan untuk menempel pada sel mast dan
basofil, kemudian melepaskan histamin, bradikinin, serotonin, heparin, slow-
reacting substance of anaphylaxis, dan enzim lisosomal (Guyton dan Hall 2006).
Jumlah basofil normal kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007),
sedangkan nilai relatifnya adalah 0–1% (Latimer et al. 2003).

Gambar 8 Basofil (Harvei 2001)

Limfosit

Limfosit memiliki dua bentuk yakni limfosit besar dan kecil. Limfosit besar
merupakan bentuk muda dan limfosit kecil merupakan bentuk dewasa. Limfosit
banyak ditemukan pada organ limfoid yakni tonsil, limfonodus, limpa, dan timus.
Masa hidup limfosit berminggu-minggu, berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-
tahun (Guyton dan Hall 2006). Dalam sistem pertahanan limfosit dibedakan
menjadi dua yakni limfosit B dan limfosit T. Limfosit B berkembang dan dewasa
di bone marrow berperan sebagai pertahanan humoral sedangkan limfost T
7

bertindak sebagai pertahan seluler. Jumlah normal limfosit pada kambing adalah
2000–9000 sel/µL (Lawhead dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah
50–70% (Latimer et al. 2003).

Gambar 9 Limfosit (Harvei 2001)

Monosit

Monosit diproduksi oleh sumsum tulang kemudian menuju aliran darah


akhirnya menuju ke jaringan menjadi makrofag. Fungsi utama monosit dalam
sistem imun yaitu merespon adanya tanda-tanda inflamasi dengan cara bergerak
cepat (kira-kira 8–12 jam) ke tempat yang terinfeksi, membentuk protein dari suatu
komplemen, dan mengeluarkan substansi yang mempengaruhi proses peradangan
kronik (Guyton and Hall 2006). Diameter monosit 15–20 μm, inti berbentuk tapal
kuda atau oval. Jumlah normal monosit kambing adalah 0–550 sel/µL (Lawhead
dan James 2007), sedangkan nilai relatifnya adalah 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 10 Monosit (Harvey 2001)

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Vaksin dibuat di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN). Pengambilan


darah kambing dilakukan tanggal 14 November 2012 sampai 21 Maret 2013
sedangkan vaksinansi tanggal 20 November, 4 dan 21 Desember 2012 di
peternakan kambing PE Bangun Dioro Farm, Desa Cijeruk, Kabupaten Bogor.
Interval pengambilan darah satu minggu setelah vaksinasi. Pengamatan diferensiasi
leukosit tanggal 29 Agustus 2013 sampai 3 Juli 2014 di Bagian Patologi Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, sedangkan perhitungan jumlah
leukosit dilakukan di BATAN.
8

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah 9 ekor kambing PE yang sehat secara klinis
usia kurang lebih 2 tahun (5 ekor perlakuan dan 4 ekor kontrol) usia kebuntingan
empat sampai lima bulan (pemeriksaan kebuntingan dengan ultrasonografi (USG)),
obat cacing, antibiotik, vaksin iradiasi S. agalactiae, pakan kambing, pewarna
Giemsa, larutan turk, reagen California Mastitis Test (CMT), IPB 1 Mastitis Test,
alkohol 70%, minyak imersi, xylol, metanol, dan vitamin B kompleks. Alat yang
digunakan adalah tabung penampung darah dengan heparin, jarum 22 G, syringe 3
mL, USG, distrene plasticiser xylene (DPX) mountant®, counting chamber
Neubauer, cover glass, object glass, boks preparat, kapas, tisu, pipet tetes, kamera
digital, komputer, mikroskop Olympus®, kamera digital electronic eyepiece MD-
130®, dan software SPSS 16.

Persiapan Bahan

Vaksin dibuat oleh BATAN. Bahan dasar vaksin adalah bakteri S. agalactiae
8
10 cfu/mL yang diiradiasi dengan sinar gamma 112.504 krad/jam. Vaksin yang
digunakan sebanyak 2 mL/ekor secara subkutan di regio gumba (Tuasikal et al.
2012). Vaksinasi dilakukan sebanyak tiga kali pada usia kebuntingan 4 sampai 5
bulan.

Persiapan Hewan Percobaan

Jumlah kambing PE yang digunakan dalam penelitian sebanyak 9 ekor


kambing betina bunting usia empat sampai lima bulan (5 ekor perlakuan dan 4 ekor
kontrol) sebelumnya dilakukan USG, uji CMT, pretreatment menggunakan
antibiotik, obat cacing (albendazole), dan vitamin B kompleks. Penomoran
kambing perlakuan (20, 22, 35, 68, dan 69) sedangkan untuk kontrol (1, 3, 6, dan
32). Bobot kambing antara ±25.5 kg. Vaksinasi pertama dilakukan pada minggu ke-
tiga usia kebuntingan 4 bulan dan dilakukan booster dengan interval setiap 2
minggu sekali (minggu pertama dan minggu ke tiga kebuntingan 5 bulan).
Vaksinasi dihentikan jika kambing sudah melahirkan.
9

Tabel 2 Jadwal pengambilan darah dan vaksinasi iradiasi S. agalactiae kambing


PE perlakuan dan pengambilan darah kambing kontrol
Nomor Kebuntingan 4 Kebuntingan 5
Kambing Bulan Bulan Laktasi Minggu ke-
Minggu ke- Minggu ke-
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 5 6 7 8 9
20 X X
22 X X
35 X X
68 X X X
69 X X X
1
3
6
32
Keterangan : = Pengambilan darah X= Vaksinasi
Kambing no. 20 melahirkan 10 Desember 2012, no. 22 melahirkan 9 Desember 2012,
no. 35 melahirkan 18 Desember 2012, no. 68 melahirkan 30 Desember 2012, no.69
melahirkan 25 Desember 2012, Kambing kontrol (1, 3, 6, dan 32) mengalami
keguguran.

Pengambilan Sampel Darah

Pengambilan darah dilakukan dari Vena jugularis 1 minggu setelah vaksinasi.


Setelah Vena jugularis ditemukan, bagian yang akan ditusuk disucihamakan
dengan alkohol 70%. Darah yang diperoleh ditampung dalam tabung penampung
dengan antikoagulan heparin.

Gambar 11 Pengambilan darah dari Vena jugularis

Pembuatan Sediaan Ulas Darah dan Diferensiasi Leukosit

Darah diteteskan pada ujung object glass kemudian diulas dengan object
glass lain. Setelah kering dilanjutkan fiksasi selama 5 menit dalam metanol. Setelah
difiksasi, object glass direndam dalam zat warna Giemsa selama 30 menit,
10

kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan sisa zat warna lalu
dikeringkan. Selanjutnya, DPX mountant diteteskan pada preparat ulas darah
tersebut, ditutup dengan cover glass dan didiamkan sampai kering. Sediaan ulas
darah yang telah diwarnai kemudian diamati di bawah mikroskop perbesaran
obyektif 100X dan okuler 10X untuk menghitung diferensiasi leukosit hingga
jumlah total yang teramati mencapai jumlah 100. Jumlah masing-masing jenis
leukosit ditentukan dengan cara mengalikan persentase tersebut dengan jumlah total
leukosit (Eggen et al. 2001). Selama proses diferensiasi leukosit difoto
menggunakan kamera digital electronic eyepiece MD-130® yang terhubung secara
langsung dengan komputer.

Prosedur Analisis Data

Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku masing-
masing kelompok diolah dengan Microsoft Excel 2013 dilanjutkan analisis of
varriance (ANOVA) one way menggunakan SPSS 16, dan uji post hoc Duncan
untuk mengetahui perbedaan setiap perlakuan pada P<0.05 (Singgih 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah Leukosit

Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh jumlah leukosit pada Tabel 3.

Tabel 3 Hasil pengamatan jumlah leukosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi


S. agalactiae dan kambing PE kontrol
Pengambilan Jumlah Leukosit (sel/µL)
darah Kelompok Perlakuan Kelompok Kontrol
a
Prevaksinasi 8966±946 8633±879a
a
Posvaksinasi I 7100±244 7366±339a
a
Posvaksinasi II 7666±736 8466±899a
Posvaksinasi III 8600±1557a 8266±2015a
Dua minggu
9066±262a 9333±618a
posvaksinasi III
Nilai normal 4000–13000 sel/µL ( Lawhead dan James 2007)
*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).

Jumlah leukosit prevaksinasi kambing perlakuan adalah 8966±946 sel/µL


lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol yakni 8633±879 sel/µL. Hal yang
berbeda ditunjukkan pada posvaksinasi I, jumlah leukosit kambing perlakuan
mengalami penurunan dan lebih rendah dari nilai kontrol. Penurunan jumlah
leukosit kambing perlakuan terjadi karena limfosit dimobilisasi ke jaringan limfoid
untuk pembentukkan antibodi yang memerlukan waktu 3–14 hari selain itu
neutrofil dimobilisasi ke jaringan tempat penyuntikan vaksin (Lawhead dan James
2007). Peningkatan jumlah leukosit kambing perlakuan terjadi secara berturut-turut
dari posvaksinasi II, III, dan dua minggu posvaksinasi III. Hal ini terjadi karena
11

telah dilakukan booster, sehingga terbentuk imun sekunder terhadap antigen (Radji
2010). Selain itu pengambilan darah posvaksinasi III merupakan akhir kebuntingan,
yang menyebabkan terjadinya stres. Stres mengakibatkan meningkatnya kadar
kortisol sehingga jumlah neutrofil meningkat yang menyebabkan jumlah leukosit
meningkat pula. Keadaan ini disebut sebagai leukositosis kortikosteroid (Stocham
dan Scott 2008).

Neutrofil

Penyuntikan vaksin akan memicu sel-sel pertahanan tubuh yakni neutrofil


dan makrofag untuk memfagosit agen. Neutrofil merupakan leukosit yang pertama
berperan dalam melawan infeksi (Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel
4.

Tabel 4 Hasil pengamatan neutrofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S.


agalactiae dan kambing PE kontrol
Nilai Relatif (%) Jumlah Neutrofil (sel/µL)
Pengambilan
Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
Darah
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
b
Prevaksinasi 26.67±0.57 36.33±18.23b 2331±350 b
3136±948b
b
Posvaksinasi I 18.67±2.08 42.00±17.69c 1325±190 b
3094±949c
Posvaksinasi II 19.00±1.15a 32.33±7.09a 1456±228a 2737±607a
Posvaksinasi
25.67±6.02c 47.33±5.50d 2207±168c 3912±1630 d
III
Dua minggu
posvaksinasi 38.33±12.74c 34.00±12.49c 3475±1012c 3173±1033 c
III
30–48% 1200–7200 sel/µL
Nilai normal
(Latimer et al. 2003) (Lawhead dan James 2007)
*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

Nilai relatif neutrofil kambing perlakuan prevaksinasi adalah 26.67±0.57%


lebih rendah dari kontrol dan di bawah nilai normal. Namun, jumlahnya masih
dalam kisaran nilai normal (2331±350 sel/µL). Meningkatnya jumlah neutrofil
dapat dipengaruhi faktor stres saat handling (Nwiyi et al. 2000). Nilai relatif
neutrofil kambing perlakuan posvaksinasi I 18.67±2.08% lebih rendah
dibandingkan dengan prevaksinasi dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05). Hal
ini terjadi karena neutrofil banyak dimobilisasi ke jaringan tempat disuntikkan
vaksin. Neutrofil memiliki kemampuan untuk berpindah ke jaringan yang diserang
oleh mikroorganisme (Lawhead dan James 2007). Nilai relatif neutrofil kambing
perlakuan posvaksinasi II mengalami peningkatan yakni 19.00±1.15%, namun
tidak berbeada nyata dengan kontrol (P>0.05). Nilai relatif neutrofil posvaksinasi
III juga mengalami peningkatan yakni 25.67±6.02%. Hal ini dapat terjadi karena
saat itu merupakan masa akhir kebuntingan yang memicu stres. Stres
mengakibatkan tingginya kadar kortisol dalam darah sehingga jumlah leukosit
12

utamanya neutrofil meningkat melalui pelepasan neutrofil dari sumsum tulang


masuk ke dalam aliran darah dan menghambat migrasi neutrofil dari sirkulasi darah
menuju jaringan (Colville dan Bassert 2008). Nilai relatif neutrofil kambing
perlakuan kembali meningkat pada dua minggu posvaksinasi III yakni
38.33±12.74% namun masih normal.

Gambar 12 Morfologi neutrofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Monosit

Selain neutrofil, leukosit yang mampu memfagosit adalah makrofag.


Makrofag adalah monosit yang telah bermigarasi ke jaringan (Guyton dan Hall
2006). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil pengamatan monosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S.


agalactiae dan kambing PE kontrol
Nilai Relatif Monosit (%) Jumlah Monosit (sel/µL)
Pengambilan
Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
Darah
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
a a a
Prevaksinasi 8.00±3.46 4.33±1.15 717±418 373±118a
a a a
Posvaksinasi I 6.67±4.51 5.67±3.05 473±36 417±199a
a a a
Posvaksinasi II 6.00±1.73 3.33±1.15 460±173 281±94a
Posvaksinasi
7.00±0.00a 5.67±2.31a 602±90 a 468±317a
III
Dua minggu
posvaksinasi 3.67±3.05a 6.00±3.46a 332±237 a 559±343a
III
0–4% 0–550 sel/µL
Nilai normal
(Latimer et al. 2003) ( Lawhead dan James 2007)
*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)

Nilai relatif monosit kambing perlakuan prevaksinasi adalah 8.00±3.46%


lebih tinggi dari kontrol. Monosit tinggi pada keadaan peradangan, neoplastik, dan
serangan agen infesksius (leishmaniasis, histoplasmosis, dan Eehrlichiosis)
(Harvey dan John 2001). Nilai relatif monosit mengalami penurunan pada
posvaksinasi I menjadi 7.67±4.51% begitupun posvaksinasi II menjadi
6.00±1.73%, karena monosit dimobilisasi ke subkutan di daerah gumba untuk
memfagosit agen yang disuntikkan menjadi makrofag. Makrofag yang banyak
13

terkonsentari di jaringan menyebabkan jumlah monosit yang ada di sirkulasi


berkurang (Radji 2010).
Mekanisme terbentuknya antibodi pada vaksinasi diawali dengan antigen
yang disuntikkan ke jaringan. Makrofag berubah menjadi antigen presenting cell
(APC) setelah memfagosit antigen. Nilai relatif monosit kembali mengalami
kenaikan saat posvaksinasi III yakni 7.00±0.00%. Hal ini menunjukkan telah
terbentuk imun sekunder. Makrofag merupakan salah satu bentuk dari respon imun
selular, dimana aktivitas makrofag sangat dipengaruhi oleh interferon dan
interleukin yang dihasilkan oleh sel T. Umumnya antingen mikroba maupun
antigen yang terlarut disajikan oleh makrofag kepada sel T-helper, sehingga,
monosit diproduksi dalam jumlah banyak dan cepat untuk dimobilisasi ke jaringan
menjadi makrofag (Radji 2010). Nilai relatif monosit kembali mengalami
penurunan pada dua minggu posvaksinasi III yakni 3.67±3.05%, namun masih
normal 0–4% (Latimer et al. 2003).

Gambar 13 Morfologi monosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Limfosit

Limfosit merupakan leukosit yang berperan dalam pembentukan antibodi


(Radji 2010). Hasil pengamatan tertera pada Tabel 6.

Tabel 6 Hasil pengamatan limfosit kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S.


agalactiae dan kambing PE kontrol
Nilai Relatif Limfosit (%) Jumlah Limfosit (sel/µL)
Pengambilan
Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
Darah
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
b b b
Prevaksinasi 64.00±2.16 58.00±15.76 5738±411 5007±757b
Posvaksinasi I 73.67±2.05c 49.00±12.32b 5230±87c 3609±451a
Posvaksinasi
76.00±2.16d 61.6 ±6.94d 5801±427b 5221±1143b
II
Posvaksinasi
66.00±4.08b 40.33±4.02a 5676±1520b 3333±954a
III
Dua minggu
posvaksinasi 57.67±8.73a 58.33±7.84a 5228±924a 5444±1268a
III
50–70% 2000–9000 sel/µL
Nilai normal
(Latimer et al. 2003) (Lawhead dan James 2007)
*
Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05)
14

Nilai relatif limfosit pada prevaksinasi 64.00±2.16% lebih tinggi


dibandingkan dengan kontrol 58.00±15.76%. Nilai relatif limfosit meningkat pada
posvaksinasi I yakni 73.67±2.05% dan berbeda nyata dengan kontrol (p<0.05),
peningkatan nilai tersebut tidak diikuti oleh peningkatan jumlah. Jumlah limfosit
justru mengalami penurunan dari 5738±411 sel/µL menjadi 5230±87 sel/µL,
namun lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Penurunan tersebut terjadi karena
jumlah leukosit posvaksinasi I menurun dan tubuh masih dalam proses merespon
pembentukan antibodi setelah paparan antigen yang pertama, normalnya tubuh
memerlukan waktu 3–14 hari untuk mencapai puncak terbentuknya antibodi
dimana pembentukan antibodi terjadi di dalam organ-organ limfoid sekunder
(Lawhead dan James 2007).
Nilai relatif limfosit posvaksinasi II mengalami peningkatan menjadi
76.00±2.16% lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol. Hal ini menunjukan
telah terbentuk imun sekunder. Respon imun sekunder berlangsung lebih cepat
dibandingkan dengan imun primer karena adanya sel B dan sel T memori yang telah
mengenali antigen pada paparan pertama (Radji 2010). Selanjutnya, nilai relatif
limfosit menurun pada posvaksinasi III yakni 66.00±4.08%, namun lebih tinggi
dibandingkan dengan kontrol dan berebeda nyata (p<0.05), karena saat itu
merupakan akhir kebuntingan yang memicu terjadinya stres. Stres menyebabkan
peningkatan sekresi ACTH yang mengakibatkan peningkatan kortisol di dalam
darah. Efek kortisol terhadap limfosit adalah limfolisis dan limfosit diasingkan ke
dalam jaringan limfoid (Colville dan Bassert 2008). Dua minggu pos vaksinasi III,
nilai relatif limfosit menurun menjadi 57.67±8.73% namun masih normal.

Gambar 14 Morfologi limfosit kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Eosinofil
Eosinofil memiliki peran melawan infeksi parasit, mengatur peradangan
dan reaksi alergi (Lawhead dan James 2007). Hasil pengamatan tertera pada Tabel
7.
15

Tabel 7 Hasil pengamatan eosinofil kambing PE perlakuan vaksinasi iradiasi S.


agalactiae dan kambing PE kontrol
Pengambilan Nilai Relatif Eosinofil (%) Jumlah Eosinofil (sel/µL)
Darah Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok
Perlakuan Kontrol Perlakuan Kontrol
a a a
Prevaksinasi 1.33±1.15 1.33±2.31 119 ±96 114±0a
a a a
Posvaksinasi I 1.00±1.00 3.33±0.57 71±71 245±12a
a a a
Posvaksinasi II 0.67±0.58 2.67±3.05 51±47 226±274a
Posvaksinasi III 1.33±1.15a 6.67±9.86a 114±112a 551±59a
Dua minggu
0.33±0.58a 1.66±0.57a 29±53a 154±43a
posvaksinasi III
Nilai normal 1–8% 50–650 sel/µL
(Latimer et al. 2003) ( Lawhead dan James 2007)
*Huruf superskrip yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata pada taraf uji 5% (p<0.05).

Nilai relatif eosinofil dan jumlah eosinofil secara keseluruhan menunjukkan


pola yang fluktuatif dalam kisaran normal dan tidak ada perbedaan nyata antara
perlakuan dengan kontrol. Hal ini dapat menjadi indikasi bahwa vaksin tidak
memicu reaksi alergi. Eosinofil akan meningkat melebihi nilai normal pada keadaan
hipersensitif (alergi), infeksi parasit (endoparasit atau ektoparasit),
hypoadenokortism, dan eosinofilik leukimia. Eosinofil menurun pada keadaan
stres, toksimia, dan peradangan akut (Stocham dan Scott 2008).

Gambar 15 Morfologi Eosinofil kambing PE perlakuan, bar= 5 µm

Basofil

Selain eosinofil, basofil merupakan indikator reaksi alergi. Jumlah normal


basofil kambing adalah 0–120 sel/µL (Lawhead dan James 2007) sedangkan nilai
relatifnya 0–1% (Latimer et al. 2003). Pengamatan kali ini tidak ditemukan basofil
pada kambing perlakuan dan kontrol.
16

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Vaksin iradiasi S. agalactiae dapat dikatakan efektif untuk membentuk sistem


imun sekunder melalui pengamatan profil leukosit. Hal ini dapat dilihat dari nilai
relatif dan jumlah limfosit yang lebih tinggi dan berbeda nyata antara perlakuan dan
kontrol pada pengambilan darah posvaksinasi I dan posvaksinasi III. Selain itu,
vaksin iradiasi S. agalactiae tidak memicu reaksi alergi, dilihat dari rendahnya
eosinofil dan tidak ditemukan basofil pada kambing perlakuan.

Saran

Perlu dilakukan pengkajian tentang dosis optimum vaksin iradiasi S.


agalactiae, titer antibodi terhadap S. agalactiae, dan kadar kortisol darah.

DAFTAR PUSTAKA

[BATAN] Badan Tenaga Nuklir Nasional. 2008. Dasar–dasar Fisika Radiasi.


Jakarta (ID): Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Blakely J, Bade D. 1991. The Science of Animal Husbandary. New Jersey (US):
Prantice-Hall.
Ceballos LS, Morales ER, Adarve GDLT, Castro JD, Martinez LP, Sampelayo
MRS. 2009. Composition of goat and cow milk produced under similar
conditions and analyzed by identical methodology. J Food Comp Anal.
22:322–329.
Colville TP, Bassert JM. 2008. Clinical Anatomy and Physiology Laboratory
Manual for Veterinary Technicians. St. Louis (US): Elsevier.
Eggen DW, Schrijver JG, Bins M. 2001. WBC content of platelet concentrates
prepared by the buffy coat method using different processing procedures and
storage solutions. Tranfusion. 41(11): 1378–1383.
Guyton A, Hall E. 2006. Text Book of Medical Physiology 11th edition. Philadhelpia
(US): Elsevier Saunder.
Harvey, John W. 2001. Atlas of Veterinary Hematology: Blood and Bonemarrow
of Domestic Animals. Philadhelpia (US): Elsevier Saunder.
Kartinaty T, Gufroni LM. 2010. Budidaya Kambing Peranakan Etawah.
Kalimantan Barat (ID): Balai Pengkajian Tekhnologi Pertanian Kalimantan
Barat.
Kuby Thomas JK, Richard AG, Barbara AO. 2007. Immunology 6th Edition. New
York (US): W.H. Freeman.
Latimer KS, Mahaffey EA, Prasse KW. 2003. Duncan and Prasse's Veterinary
Laboratory Medicine: Clinical Pathology ed–4. Lowa state (US) Wiley-
Blackwell.
Lawhead B, James MB. 2007. Introduction to Veterinary Science. New York (US):
Thomson Delmar Learning.
17

Leitner G, Merin U, Silanikove N. 2004. Changes in milk composition as affected


by subclinical mastitis in goats. J Dairy Sci. 87:1719–1726.
Lindahl GM, Stalhammar C, T Areschoug. 2005. Surface protein of Streptococcus
agalactiae and related protein in other bacterial pathogen. Clinical
microbiologi reviews. [Internet]. [diunduh 15 Februari 2014]. Tersedia pada:
http://www.microbewiki.kenyon.edu.
Mc Dougall S, Pankey W, Delaney C, Barlow J, Patricia AM, Scruton D. 2002.
Prevalence and incidence of subclinical mastitis in goats and dairy ewes in
Vermont USA. Small Ruminant Res. 46(2):115–121.
Nwiyi TN, Egbe, Nwaosu SC, Salami. 2000. Hematological values of apparently
healthy sheep and goats as influenced by age and sex in arid zone of Nigeria.
Afr J Biomed Res. 3(2): 109–115.
Radji M. 2010. Imunologi dan Virologi. Jakarta (ID): Isfi Penerbitan.
Sanchez J, Montes P, Jimenez A, Andres S. 2007. Prevention of clinical mastitis
with barium selenate in dairy goats from a selenium deficient area. J Dairy
Sci. 90: 2350–2354.
Singgih S. 2008. Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16. Jakarta (ID): Alex Media
Komputinda.
Smith NC. 1992. Concepts and strategies for antiparasite immunoprophylaxis and
therapy. Int J Parasitol. 22: 1047–1082.
Sudono A, Abdulgani I K. 2002. Budidaya Aneka Ternak Perah. Diktat Jurusan
Ilmu Produksi Ternak. Fakultas Peternakan. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Sugiri YD, Anri A. 2010. Prevalensi Patogen Penyebab Mastitis Subklinis
(Staphylococcus aureus dan Streptococcus agalactiae) dan Patogen
Penyebab Mastitis Subklinis lainnya pada Peternak Skala Kecil dan
Menengah di Beberapa Sentra Peternakan Sapi Perah di Pulau Jawa.
Bandung (ID): Balai Pengujian dan Penyidikan Penyakit Hewan dan
Kesmavet (BP3HK).
Stocham SL, Scott MA. 2008. Fundamentals of Veterinary Clinical Pathology 2nd
edition. Lowa State (US): Blacwell.
Sutama KI. 2011. Kambing Peranakan Etawah Sumberdaya Ternak Penuh Berkah.
Bogor (ID): Balai Penelitian Ternak Ciawi Bogor.
Suwito W, Indarjulianto S. 2013. Staphylococcus aureus Penyebab Mastitis pada
Kambing Peranakan Etawah: Epidemiologi, Sifat Klinis, Patogenesis,
Diagnosis Dan Pengendalian. Wartazoa. 23(1): 1-7.
Tetriana D, Sugoro I. 2007. Aplikasi teknik nuklir dalam bidang vaksin. Buletin
Alara. 9(1): 1–4. [Internet]. [diunduh 13 Januari 2015]. Tersedia pada:
http://www.scribd.com/doc/237374931/DT-BAlara-Vol-9-1-2Des07#scribd
Tuasikal BJ, Estuningsih S, Pasaribu FH, Wibawan I W T 2012. Orientasi dosis
iradiasi Streptococcus agalactiae untuk bahan vaksin mastitis subklinis pada
sapi perah. Sci J App Isot Radiat 8(2): 83–88
Wahyuni AETH, Wibawan IWT, Pasaribu FH, Priosoeryanto BP. 2006. Distribusi
serotipe Streptococcus agalactiae penyebab mastitis subklinis pada sapi
perah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. J Vet. 7(1): 1–8
Wibawan IWT. 1998. The possibilty of using vaccine to control bovine subclinical
mastitis and human neonatal infection caused by group B Sterptococci. Media
Veteriner 5: 1–6.
18
19

RIWAYAT HIDUP
Penulis dengan nama Kukuh Syirotol Ichsan ini lahir di Rembang, 2 Juni
1992. Penulis menempuh pendidikan di SMA Negeri 1 Rembang dilanjutkan di
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI pada
tahun 2010. Penulis aktif mengikuti organisasi kemahasiswaan di dalam kampus
maupun luar kampus di antaranya menjabat sebagai ketua Organisasi Mahasiswa
Daerah Rembang di Bogor angkatan 47 (2010), anggota divisi pendidikan
Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia FKH-IPB (2012-2013), Pengurus Unit
Kegiatan Mahasiswa Taekwondo IPB (2011-2012), Wakil ketua Unit Kegiatan
Mahasiswa Taekwondo IPB (2013), Instruktur Taekwondo di SD Insan Cendekia
(2014) dan Asisten Pelatih Taekwondo Candradimuka Club (2014). Penulis juga
pernah ikut serta sebagai panitia kegiatan yang berbentuk event organizer antara
lain Wakil Ketua IPB Goes to Field dengan tema “Peran Mahasiswa Kedokteran
Hewan IPB dalam Membantu Mewujudkan Swasembada Daging 2014” di
Bondowoso (2013), Wakil Ketua IPB Goes to Field di Kabupaten Bogor dengan
tema “Manajemen Penanganan Zoonosis: Rabies di Kabupaten Bogor” (2014).
Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Ilmu Histologi veterner 1 dan 2
(2013), asisten Praktikum Embriologi (2014), dan asisten Patologi Sistemik 2
(2014).

Anda mungkin juga menyukai