Dalam kitab Talbis Iblis, Imam Ibnul Jauzi mengungkapkan sebuah kisah masyhur tentang
seorang pemuda yang ingin menebang pohon yang biasa disembah manusia. Dengan amarah
karena Allah dia mendatangi pohon tersebut.
“Aku hendak menebang pohon yang disembah manusia, karena itu perbuatan syirik
menyekutukan Allah,”
“Jika kamu tidak ikut menyembahnya, apakah mereka yang menyembah pohon itu
merugikanmu?” Setan mencoba menggoyahkan tekad pemuda itu.
Kemudian setan memberikan tawaran yang menggiurkan, ”Begini, mungkin ini yang terbaik
buatmu, kamu urungkan niatmu sebagai imbalannya dua dinar di setiap pagi di bawah
bantalmu,”
Hati pemuda itu pun goyah dan ragu dengan tawaran setan, ”Bagaimana mungkin aku
mendapatkannya?”
“Aku yang akan menyediakan untukmu setiap dirimu bangun tidur,” jawab setan
Keesokan harinya, pemuda itu memang mendapat dua dinar di bawah bantalnya selepas
bangun tidur. Namun, di pagi setelahnya, dua dinar yang dijanjikan setan itu tidak ada.
Maka, ia pun kembali bergegas dengan kemarahan memuncak ingin kembali menebang
pohon itu. Setan pun kembali datang dengan menjelma.
“Kamu pembohong!!!” Gertak setan, ”Sebenarnya kamu kemari karena uang dua dinar yang
kujanjikan padamu.”
Maka, terjadilah pergumulan hebat antara pemuda dan setan ini. Setan berhasil mencekik
pemuda itu dan menghempaskannya ke tanah, hampir-hampir ia mati karenanya.
Setan pun menyeletuk, ”Apakah kamu tidak sadar bahwa aku setan? Kedatanganmu di awal
murni karena Allah, maka aku tidak bisa mengalahkanmu. Kedatanganmu kedua kalinya
bukanlah karena Allah, melainkan karena dua dinar yang kujanjikan padamu, maka dengan
mudah aku menghempaskanmu.”
Ini adalah kisah tentang keikhlasan yang mengandung banyak hikmah. Dengan membacanya
kita bisa memahami bagaimana pentingnya sebuah keikhlasan dalam beramal. Terlebih di
saat kita sering mendapati motivasi seseorang dalam beramal karena ingin mendapatkan
keuntungan duniawi. Terlihat rajin shalat dhuha, tapi niatnya hanya ingin mendapatkan
kekayaan. Suka sedekah tapi berharap dibalas dengan harta yang lebih banyak. Sering puasa
tapi hanya ingin biar badannya langsing. Rajin tahajjud tapi hanya ingin ujiannya lulus. Dan,
biasanya setelah lulus ujian tahajjudnya pun berhenti.
Perihal tentang larangan beramal karena mengharap dunia ditegaskan langsung oleh Allah
dalam firman-Nya:
َ أُولَئِكَ الَّذِينَ لَي, َف إِلَ ْي ِه ْم أ َ ْع َمالَ ُه ْم فِي َها َو ُه ْم فِي َها ال يُ ْب َخسُون
ِ ْس لَ ُه ْم فِي
ُ َّاآلخ َرةِ إِال الن
ار ِ ِّ َم ْن َكانَ ي ُِريد ُ ْال َحيَاة َ الدُّ ْنيَا َو ِزينَتَ َها نُ َو
َاط ٌل َما كَانُوا يَ ْع َملُون ِ َص َنعُوا فِي َها َوب َ ط َما َ َو َح ِب
“Barang siapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan
kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali
neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah
apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud : 15-16)
Ketika menafsirkan ayat di atas, Ibnu katsir dalam tasirnya menukil sebuah riwayat dari Ibnu
Abbas di mana beliau berkata, “Barang siapa yang beramal saleh untuk mencari
keduniawian, seperti melakukan puasa, atau salat, atau bertahajud di malam hari, yang
semuanya itu ia kerjakan hanya semata-mata untuk mencari keduniawian, maka Allah
berfirman, ‘Aku akan memenuhi apa yang dicarinya di dunia, ini sebagai pembalasannya,
sedangkan amalnya yang ia kerjakan untuk mencari keduniawian itu digugurkan, dan dia di
akhirat nanti termasuk orang-orang yang merugi’.”
Artinya ketika seseorang beramal hanya ingin mencari keuntungan duniawi, sedangkan untuk
kepentingan akhiratnya tidak terlintas sedikit pun dalam hatinya, maka Allah mengharamkan
baginya keuntungan di akhirat kelak.
“Barang siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya
sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.” (QS.
Asy Syuraa: 20)
Sebuah riwayat dari Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
اآلخ َرةِ ِم ْن ِ الر ْفعَ ِة َوال ِدِّي ِْن َوالت َّ ْم ِكي ِْن فِي األ َ ْر
ِ ض فَ َم ْن َع ِم َل ِم ْن ُه ْم َع َم َل اآل ِخ َرةِ ِللدُّ ْنيا لَ ْم َي ُك ْن لَهُ فِي ِ ش ْر َه ِذهَ األ ُ َّمةُ بِال ِ ِّسن
ِّ ِ َاء َو ِّ ِ َب
َصيْب ِ ن
“Berilah kabar gembira pada umat ini dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan
di muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih
dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad)
Karena itu, perlu bagi kita untuk terus memperbaiki niat dalam beramal. Sekecil apapun
bentuk amalan kita, arahkan niat kita untuk mencari ridha Allah. Sebab, tak ada gunanya
amalan seseorang bila keikhlasannya belum hadir di dalam niatnya. Adanya balasan langsung
yang kita peroleh setelah melakukan amal shaleh itu merupakan bentuk kemurahan Allah
Ta’ala kepada kita. Tapi ada balasan yang lebih besar yang Allah siapkan kelak di akhirat.
Karenanya, janganlah balasan yang besar itu terhalang hanya karena kenikmatan dunia yang
secuil.