Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PSIKOLINGUISTIK

Tentang

Bahasa, berfikir dan berbahasa

Bahasa dalam kajian internal dan ekstenal

Disusun Oleh

Kelompok 2 A

Mia Nofriana 17129057

Nurjanah 17129065

Mairani Antika 17129351

Nilma Syafitri Rahmi 17129157

Feren Sefiyanti 17129209

Seksi 17 BB 05

Dosen Pengampu

Dr. Taufina,M.Pd

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah menjadikan
manusia sebagai makhluk sempurna yang dilengkapi dengan akal pikiran, supaya
manusia mampu memanfaatkannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemudian
shalawat beserta salam penulis sampaikan kepada Nabi Muhammad SAW selaku
utusan Allah SWT yang bertugas untuk menyampaikan risalah-Nya sebagai
petunjuk dan peringatan untuk manusia.

Penulisan makalah ini menjadi suatu bahan bagi penulis untuk memenuhi salah
satu tugas mata kuliah Psikolinguistik. Secara khusus akan membahas mengenai
“Hakikat bahasa, berfikir, dan berbahasa serta bahasa dalam kajian internal dan
eksternal”. Penulis telah berusaha maksimal untuk membuat makalah ini, walaupun
masih ada beberapa kekurangan. Pada kesempatan ini, penulis tidak lupa
menyampaikan rasa terima kasih kepada pihak yang telah berkontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian makalah ini terutama kepada:

1. Dr. Taufina., M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan


arahan dalam proses perkuliahan.
2. Teman-teman dalam kelompok yang sudah bekerja keras mengerjakan tugas
ini serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis mengharapkan kritik dan saran demi kemajuan penulis dimasa


mendatang. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak,
baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung.

Akhir kata, semoga Allah SWT selalu memberikan kekuatan dan memberkahi
semua amal baik yang telah kita perbuat. Amin.

Padang, 15 Februari 2020

Tim Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR ............................................................................. i


DAFTAR ISI ......................................................................................... ii

I PENDAHULUAN
a. Latar Belakang ........................................................................... 1
b. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
c. Tujuan Penulisan ........................................................................ 1
II PEMBAHASAN
A. Hakikat bahasa, berpikir, dan berbahasa .................................... 2
B. Bahasa dalam kajian Internal ...................................................... 14
C. Bahasa dalam kajian eksternal…… ............................................ 26

III PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 28
B. Saran ........................................................................................... 29

DAFTAR RUJUKAN ……………………………………………. ..... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kegiatan bahasa atau berbahasa merupakan suatu hal yang sering manusia
lakukan dalam kehidupannya sehari-hari yang takkan dapat terpisahkan sama
sekali. Seperti dalam hal berpikir atau mengungkapkan pikiran, ide, atau gagasan.
Hal ini merupakan contph penerapan bahasa yang dilakukan manusia dalam
kehidupannya.
Manusia saat akan mengungkapkan bahasa atau berbahasa ia akan berpikir
hal apa itu dan akan diproses hingga ia dapat mengungkapkan keinginannya. Maka
dalam hal ini bahasa atau berbahasa dan berpikir, terdapat keterkaitan antara satu
dengan yang lainnya. Untuk lebih jelasnya penulis akan menjabarkannya dalam
makalah yang telah penulis buat.

B. Rumusan Permasalahan
1. Bagaimana hakikat bahasa, berpikir, dan berbahasa?
2. Bagaimana bahasa dalam kajian internal?
3. Bagaimana bahasa dalam kajian eksternal?

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan hakikat bahasa, berpikir, dan berbahasa.
2. Untuk mendeskripsikan bahasa dalam kajian internal.
3. Untuk mendeskripsikan bahasa dalam kajian eksternal.

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Bahasa, Berpikir dan Bebahasa
1. Hakikat Bahasa

Bahasa memainkan peran penting dalam bagaimana kita berpikir tentang


makna, yang abstrak sekalipun. Bahasa adalah sesuatu yang terstruktur
sedemikian rupa hingga memungkinkan kita mengutarakan hal yang abstrak.
Disiplin ilmu linguistic, bersama dengan psikologi, filsafat dan ilmu computer
membentuk suatu subdisiplin dalam ilmu kognitif. Kalimat dalam sebuah
bahasa adalah alat bagaimana kita dapat mengekspresikan proses berpikir
abstrak. Telaah tentang kalimat merupakan fondasi atau batu loncatan untuk
memahami bagaimana orang berkomunikasi dan berinteraksi satu sama lain
(Hidayat, 2018).

Menurut Djardjowidjojo (2012:283) bahasa adalah sebuah sistem simbol


lisan yang arbitrer yang dipakai oleh anggota suatu masyarakat bahasa untuk
berkomunikasi dan berinteraksi antar sesamanya, berlandaskan pada budaya
yang mereka miliki bersama. Sejalan dengan pendapat tersebut Chaer
(2010:2003) menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem artinya bahasa itu
dibentuk oleh sejumlah komponen yang berpola secara tetap dan dapat
dikaidahkan.

Menurut Amri (2015:2) bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan


sesama manusia dalam berinteraksi melalui pertukaran simbol-simbol
linguistik baik verbal maupun nonverbal. Bahasa sebagai media komunikasi
agar lebih mudah dipahami oleh pihak lain karena dapat mentransmisikan
informasi dengan menggunakan simbol-simbol bahasa.

Berdasarkan pengertian tentang bahasa tersebut dapat diuraikan


pengertian bahasa menjadi beberapa poin yang mengacu pada makna bahasa,
yakni:

2
a. Bahasa adalah sebuah sistem dalam artian bahwa bahasa itu bukanlah
sejumlah unsur yang terkumpul secaratak beraturan unsure bahasa diatur
seperti pola-pola yang berulang yang membentuk suatu makna. Sifat tersebut
dapat dijabarkan lebih jauh lagi dengan mengatakan bahwa itu sistemis dan
sistematis.
b. Bahasa merupakan system tanda dan sistem bunyi. Tanda adalah halatau
benda yang mewakili sesuatu atau hal yang menimbulkan reaksi yang sama
bila orang menanggapi apa yang diwakilinya tersebut.
c. Bahasa bersifat produktif dan unik, produktif disini berartibahwa bahasa
sebagai suatu system dari unsur- unsur yang jumlahnya terbatas tetapi dapat
dipakai secara tidak terbatas oleh pemakainya.
d. Bahasa bersifat universal. Hal tersebut dikarenakan adanya persamaan sifat-
sifat bahasa
e. Bahasa merupakan sarana untuk komunikasi dan bekerjasama. Bahasa
merupakan sarana berkomunikasi antar manusia, tanpa bahasa tiada
komunikasi dan sebagai sarana komunikasi makasegala yang berkaitan
dengan komunikasi tidak lepas dari bahasa. Dengan kemampuan kebahasaan
akan terbentang luas cakrawala berfikir manusia dan tiada batas dunia
baginya.
f. Bahasa adalah alat untuk mengidentifikasikan dirinya dalam suatu kelompok
sosial. Bagi kelompok sosial bahasa tidak hanya sekedar merupakan sistem
tanda melainkan sebagai lambang identitas sosial dan bahasa merupakan ciri
pembeda yang paling menonjol, karena dengan bahasa tiap kelompok sosial
merasa dirinya sebagai kesatuan yang berbeda dari kelompok yang lain,
misalnya: bahasa hindi dan urdu sebenarnya merupakan suatu bahasa tetapi
oleh pemakainya dianggap dua bahasa yang menandai dua kelompok yang
berbeda.

3
2. Hakikat Pikiran
Pikiran berasal dari kata dasar pikir. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia pikir artinya akal budi ; ingatan; angan-angan; kata dalam hati; kira,
kemudian mendapat sufiks –an menjadi kata pikiran. Berpikir adalah aktivitas
mental manusia. Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab
akibat, menganalisinya dari hal-hal yang khusus atau atau kita menganalisisnya
dari hal-hal yang khusus ke yang umum. Berpikir berarti merangkai konsep-
konsep. Kridalaksana (dalam Aditawarman,2019:23) Pikiran adalah proses
pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain representasi utama.
Proses berpikir dilalui dengan tiga langkah yaitu:
a. Pembentukan pikiran. Pada pembentukan inilah manusia menganalisis ciri-
ciri dari sejumlah objek.
b. Pembentukan pendapat. Pada pembentukan pendapat ini seseorang
meletakkan hubungan antara dua buah pengertian atau lebih yang dinyatakan
dalam bentuk bahasa yang disebut kalimat. Pembentukan pendapat
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu pendapat positif (pendapat yang
mengiakan sesuatu), pendapat negatif (pendapat yang tidak menyetujui
sesuatu) dan pendapat modalitas (pendapat yang memungkinkan sesuatu).
c. Penarikan kesimpulan. Penarikan kesimpulan meliputi: kesimpulan induktif,
deduktif, dan analogis (perbandingan).

3. Hubungan Bahasa dengan Pikiran


Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha untuk
memperoleh kebenaran. Karena itu pikiran merupakan suatu proses. Dalam
proses tersebut haruslah diperhatikan kebenaran untuk dapat berpikir logis.
Kebenaran ini hanya menyatakan serta mengandalkan adanya jalan, cara, teknik
serta hukum-hukum yang perlu diikuti. Semua itu dirumuskan dalam logika.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang hubungan bahasa dan
berpikir, di antaranya (Chaer, 2003: 51):

4
a. Teori Wihelm van Humboldt
Sarjana Jerman abad ke-15 menekankan adanya ketergantungan
pemikiran manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya
suatu masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-
anggota masyarakat itu sendiri tiada dapat menyimpang dari garis-garis yang
telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus
mempelajari dulu satu bahasa lain itu. Maka dengan demikian dia akan
menganut cara berpikir dan juga budaya masyarakat lain.
Mengenai bahasa itu sendiri, Wilhelm van Humboldt berpendapat
bahwa substansi bahasa terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa
bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum
terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh laut formdan pikiran-pikiran dibentuk
oleh ideenform atau innereform. Jadi bahasa menurut Wilhelm van
Humboldt merupakan sintesa dari bunyi (lautform) dan pikiran (ideenform).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa bunyi bahasa
merupakan bentuk luar, sedang pikiran adalah bentuk dalam. Bentuk luar
bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam bahasa berada
dalam otak. Kedua bentuk inilah yang membelenggu manusia, dan
menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain Wilhelm Van Humboldt
berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam otak
dan pemikiran penutur bahasa itu sendiri.

b. Teori Sapir-Whorf Edward Sapir (1884-1939)


Linguis Amerika memiliki pendapat yang hampir sama dengan Van
Humboldt. Sapir mengatakan bahwa manusia hidup di dunia ini di bawah
belas kasih bahasanya yang telah menjadi alat pengantar dalam kehidupan
bermasyarakat. Menurutnya, telah menjadi fakta bahwa kehidupan suatu
masyarakat “didirikan” di atas tabiat-tabiat dan sifat-sifat bahasa itu. Karena
itulah tidak ada dua bahasa yang sama sehingga bisa mewakili satu

5
masyarakat yang sama. Setiap Bahasa satu masyarakat telah mendirikan satu
dunia tersendiri untuk penutur bahasa itu. Jadi, berapa banyak manusia yang
hidup di dunia ini sama dengan banyaknya jumlah bahasa yang ada di dunia
ini. Dengan demikian, Sapir menegaskan bahwa apa yang kita dengar, kita
lihat, kita alami dan kita perbuat saat ini adalah disebabkan oleh sifat-
sifat/tabiat-tabiat bahasa yang ada terlebih dahulu.
Menurut Benjamin Lee Worf (1897-1941), murid Sapir, sistem tata
bahasa bukan hanya alat untuk menyuarakan ide-ide, tetapi juga sebagai
pembentuk ide-ide itu, program kegiatan mental dan penentu struktur mental
seseorang. Dengan kata lain, bahasalah yang menentukan jalan pikiran
seseorang. Sesudah meneliti bahasa Hopi, salah satu bahasa Indian di
California Amerika Serikat, dengan mendalam Whorf mengajukan satu
hipotesa yang lazim disebut Hipotesa Whorf (atau Hipotesa Sapir-Whorf)
mengenai relativitas bahasa.
Menurut hipotesa ini, bahasa-bahasa yang berbeda membongkar alam
ini dengan cara yang berbeda, sehingga terciptalah konsep relativitas sistem-
sistem konsep yang tergantung kepada bahasa yang beragam itu. Tata bahasa
itu bukan alat untuk mengeluarkan ide-ide, tetapi merupakan pembentuk ide-
ide itu. Tata bahasalah yang menentukan jalan pikiran seseorang.
Berdasarkan hipotesis Sapir-Whorf itu dapatlah dikatakan bahwa pandangan
hidup bangsa-bangsa di Asia (Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, dan
lain-lain) adalah sama karena bahasa-bahasa mereka memiliki struktur
bahasa yang sama. Sedangkan pandangan hidup bangsa-bangsa lain seperti
China, Jepang, Amerika, Eropa, Afrika, Perancis, Brazil adalah berlainan
karena struktur bahasanya berlainan.
Untuk menjelaskan hal itu Whorf membandingkan kebudayaan Hopi
dan kebudayaan Eropa. Kebudayaan Hopi diorganisasi oleh peristiwa-
peristiwa (event), sedangkan kebudayaan Eropa diorganisasi oleh ruang
(space) dan waktu (time). Menurut kebudayaan Hopi kalau satu bibit
ditanam maka bibit itu akan tumbuh, jarak waktu dan tempat tumbuhnya

6
tidaklah penting, yang penting adalah peristiwa menanamnya dan
tumbuhnya bibit itu, sedangkan menurut kebudayaan Eropa jangka wakatu
itulah yang penting. Menurut Whorf, inilah bukti bahwa bahasa mereka telah
menggariskan realitas hidup dengan cara yang berlainan (Chaer, 2003: 51).

c. Teori Jean Piaget


Untuk menentukan apakah bahasa terkait dengan pikiran, Piaget
berpendapat bahwa ada dua macam modus pikiran, yaitu pikiran terarah
(directed) atau pikiran intelegen (Intelegent) dan pikiran tak terarah atau
autistik (autistic) (Dardjowidjojo, 2012). Piaget yang mengembangkan teori
pertumbuhan kognisi menyatakan jika seorang anak bisa menggolong-
golongkan sekumpulan benda dengan cara yang berlainan, sebelum
menggunakan kata- kata yang serupa dengan benda tersebut, maka
perkembangan kognisi dapat diterangkan telah terjadi sebelum dia dapat
berbahasa. Menurut teori ini mempelajari segala sesuatu mengenai dunia
adalah melalui tindakan-tindakan dan perilakunya dan setelah itu melalui
bahasa. Perilaku kanak-kanak itu merupakan manipulasi dunia pada satu
waktu dan tempat tertentu dan bahasa merupakan alat untuk memberikan
kemampuan kepada kanak-kanak untuk beranjak ke arah yang lebih jauh dari
waktu dan tempat tertentu.
Mengenai Hubungan Bahasa dengan kegiatan intelek (berpikir), Piaget
menemukan dua hal penting, yaitu:
1) Sumber kegiatan intelek tidak terdapat dalam bahasa tetapi dalam periode
sensomotorik, yaitu satu sistem skema yang dikembangkan secara penuh
dan membuat lebih dahulu gambaran-gambaran dari aspek-aspek struktur
dan bentuk-bentuk dasar penyimpanan dan oprasi pemakaian kembali.
2) Pembentukan pikiran yang tepat dikemukakan dan terbentuk terjadi
bersamaan dengan waktu pemerolehan bahasa. Keduanya milik proses
yang lebih umum, yaitu konstitusi fungsi lambang pada umumnya. Awal
terjadinya fungsi lambang ini ditandai oleh bermacam-macam perilaku

7
yang terjadi serentak perkembangannya. Piaget juga menegaskan bahwa
kegiatan intelek (berpikir) sebenarnya adalah aksi atau perilaku yang
telah dinuranikan dalam kegiatan-kegiatan sensomotorik termasuk juga
perilaku bahasa (Chaer, 2003: 55).

d. Teori L.S Vgotsky


Berpendapat bahwa adanya satu tahap perkembangan bahasa adalah
sebelum adanya pikiran dan adanya satu tahap perkembangan pikiran adalah
sebelum adanya bahasa. Kemudian kedua garis perkembangan ini saling
bertemu, maka terjadilah secara serentak pikiran berbahasa dan bahasa
berpikir. Dengan kata lain, pikiran dan bahasa pada tahap permulaan
berkembang secara terpisah dan tidak saling mempengaruhi. Begitulah
kanak-kanak berpikir dengan menggunakan bahasa dan berbahasa dengan
menggunakan pikiran.
Menurutnya pikiran berbahasa (verbal thought) berkembang melalui
beberapa tahap. Mula-mula kanak-kanak harus mengucapkan kata-kata
untuk dipahami kemudian bergerak ke arah kemampuan mengerti atau
berpikir tanpa mengucapkan kata-kata itu, lalu ia bisa memisahkan kata-kata
yang berarti dan yang tidak berarti. Selanjutnya Vgotsky menjelaskan
hubungan antara pikiran dan bahasa bukanlah suatu benda, melainkan
merupakan suatu proses, satu gerak yang terus menerus dari pikiran ke kata
(bahasa) dan dari kata ke pikiran.
Menurutnya juga dalam mengkaji gerak pikiran ini kita harus mengkaji
dua bagian ucapan yaitu ucapan dalam mempunyai arti yang merupakan
aspek semantik ucapan, dan ucapan luar yang merupakan aspek fonetik
(bunyi ucapan). Penyatuan dua bagian atau aspek ini, sangat rumit dan
kompleks. Dalam perkembangan bahasa kedua bahagian ini masing-masing
bergerak bebas. Oleh karena itu, kita harus membedakan antara aspek
fonetik dan aspek semantik. Keduanya bergerak dalam arah yang
bertentangan dan perkembangan keduanya sudah terjadi pada waktu dan

8
dengan cara yang sama. Namun, bukan berarti keduanya tidak saling
bergantung. Satu pikiran kanak-kanak pada mulanya merupakan satu
keseluruhan yang tidak samar dan harus mencari ekspresinya dalam bentuk
satu kata. Setelah pikiran kana-kanak itu mulai terarah dan meningkat, maka
dia mulai kurang cenderung untuk menyampaikan pikiran itu yang mulai
membentuk satu kalimat lengkap.
Sebaliknya, ucapan bergerak dari satu keseluruhan kalimat lengkap,
hal ini menolong pikiran kanak-kanak untuk bergerak dari satu keseluruhan
kepada bagian-bagian yang bermakna. Pikiran dan kata menurut Vgotsky
tidak dipotong dari satu pola. Struktur ucapan tidak hanya mencerminkan
tetapi juga mengubahnya setelah pikiran beerubah menjadi ucapan. Karena
itulah kata-kata tidak dapat dipakai oleh pikiran seperti memakai baju yang
sudah siap. Pikiran tidak hanya mencari ekspresinya dalam ucapan tetapi
juga mendapatkan realitas dan bentuknya dalam ucapan itu.

e. Teori Noam Chomsky


Mengenai hubungan berbahasa dan berpikir Noam Chomsky
mengajukan kembali teori klasik yang disebut hipotesis nurani. Sebenarnya,
teori ini tidak secara langsung membicarakan gabungan bahasa dengan
berpikir, tetapi kita dapat menarik kesimpulan mengenai hal ini, karena
Chomsky sendiri menegaskan bahwa pengkajian bahasa membukakan
perspektif yang baik dalam pengkajian proses mental manusia. Hipotesis
nurani mengatakan bahwa struktur bahasa-bahasa dalam adalah nurani.
Artinya, rumus-rumus itu dibawa sejak lahir. Pada waktu seorang kanak-
kanak mulai mempelajari bahasa ibu dia telah dilengkapi sejak lahir dengan
satu peralatan konsep, yaitu dengan struktur bahasa dalam yang bersifat
universal. Peralatan konsep ini tidak ada hubungannya dengan belajar atau
pembelajaran.

9
Menurut Chomsky bahasa-bahasa yang ada di dunia ini adalah sama
karena didasari oleh satu sistem yang universal, hanyalah pada tingkat
dalamnya saja yang disebut struktur dalam (deep structure). Pada tingkat luar
(surface structure) bahasa-bahasa itu berbeda-beda. Pada tingkat dalam,
bahasa-bahasa itu terdapat rumus-rumus tata bahasa yang mengatur proses-
proses untuk memungkinkan aspek-aspek kreatif bahasa bekerja. Chomsky
mengistilahkan dengan dengan inti prooses generative bahasa (aspek kreatif)
terdapat pada tingkat dalam ini. Inti proses generative inilah yang merupakan
alat semantik untuk menciptakan kalimat-kalimat baru yang tidak terbatas
jumlahnya. Hipotesis ini juga berpendapat bahwa struktur-struktur dalam
bahasa adalah sama. Struktur dalam setiap bahasa bersifat otonom dan
karena itu tidak ada hubungannya dengan sistem kognisi (pemikiran dan
kecerdasan).

f. Teori Eric Lenneberrg


Berkenaan dengan masalah hubungan berbahasa dan berpikir, Eric
Lenneberrg mengajukan teori yang disebut teori kemampuan bahasa khusus.
Menurutnya, banyak bukti yang menunjukkan bahwa manusia menerima
warisan biologis asli berupa kemampuan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa khusus untuk manusia dan yang tidak ada
hubungannya dengan kecerdasan dan pemikiran. Kanak-kanak menurutnya
telah mempunyai biologi utnuk berbahasa pada waktu mereka masih berada
pada tingkat kemampuan berpikir yang rendah, kemampuan bercakap, dan
memahami kalimat yang mempunayi korelasi rendah dengan IQ manusia.
Penelitian yang dilakukan oleh Lenneberrg telah menunjukkan bahwa
bahasa-bahasa berkembang dengan cara yang sama pada kanak-kanak yang
cacat mental dan kanak-kanak yang normal. Umpamanya kanak-kanak yang
mempunyai IQ hanya 50 ketika berusia 12 tahun dan lebih kurah 30 ketika
berumur 20 tahun juga mampu menguasai bahasa dengan baik, kecuali
sesekali terjadi kesalahucapan dan kesalahan tata bahasa. Menurutnya,

10
adanya cacat kecerdasan yang parah tidak berarti akan terjadi pula kerusakan
bahasa. Sebaliknya adanya kerusakan bahasa tidak berarti akan
menimbulkan kemampuan kognitif yang rendah. Bukti bahwa manusia telah
dipersiapkan secara biologis adalah sebagai berikut:
1) Kemampuan berbahasa sangat erat hubungannya dengan bagian-bagian
anatomi dan fonologi manusia, seperti bagian-bagian otak tertentu yang
mendasari bahasa.
2) Jadwal perkembangan bahasa yang sama berlaku bagi semua kanak-
kanak normal. Semua kanak-kanak bisa dikatakan mengikuti strategi dan
waktu pemerolehan bahasa yang sama, yaitu lebih dahulu menguasai
prinsip-prinsip pembagian dan pola persepsi.
3) Perkembangan bahasa tidak dapat dihambat meskipun pad kanak-kanak
yang mempunyai cacat tertentu seperti buta, tuli atau memiliki orang tua
pekak sejak lahir. Namun, bahasa kanak-kanak ini dapat berkembang
dengan hanya sedikit keterlambatan.
4) Bahasa tidak dapat diajarkan pada makhluk lain.
5) Setiap bahasa didasarkan pada prinsip semantik, sintaksis dan fonologi.

g. Teori Brunner
Berkenaan dengan masalah hubungan bahasa dan berpikir, Brunner
memperkenalkan teori yang disebutnya teori instrumentalisme. Menurut
teori ini, bahasa adalah alat pada manusia untuk mengembangkan dan
menyempurnakan pemikiran itu. Dengan kata lain, bahasa dapat membantu
pemikiran manusia supaya dapat berpikir lebih sistematis. Brunner
berpendapat bahwa berbahasa dan berpikir berkembang dari sumber yang
sama. Oleh karena itu, keduanya mempunyai bentuk yang sangat serupa dan
saling membantu. Dalam bidang pendidikan, implikasi teori Brunner ini
sangat besar.
Chaer (2003: 59-60) menurut teori ini bahasa sebagai alat untuk
berpikir harus berhubungan langsung dengan perilaku atau aksi serta dengan

11
struktur pada tingkat permulaan. Lalu pada peringkat selanjutnya bahasa ini
harus berkembang kearah suatu bentuk yang melibatkan keekplisitan yang
besar dan ketidak ketergantungan pada konteks, sehingga pikiran-pikiran
atau kalimat-kalimat dapat ditafsirkan atau dipahami tanpa pengetahuan
situasi sewaktu kalimat itu diucapkan, atau tanpa mengetahui situasi yang
mendasari maksud dan tujuan si penutur. Dengan bahasa sebagai alat kita
dapat melakukan aksi kearah yang lebih jauh lagi sebelum aksi itu terjauh.
Dengan cara yang sama pikiran juga berguna untuk membantu terjadinya
aksi karena pikiran juga dapat membantu peta-peta kognitif mengarah
kepada sesuatu yang akan ditempuh untuk mencari tujuan.
Jadi, pada mulanya berbahasa dan berpikir muncul secara bersamaan
untuk mengatur aksi manusia. Selanjutnya keduanya saling membantu.
Dalam hal ini pikiran memakai elemen hubungan-hubungan yang dapat
digabungkan untuk membimbing aksi yang sebenarnya, sedangkan bahasa
menyediakan representasi produser-produser untuk melaksanakan aksi-aksi
itu. Di samping adanya dua kecakapan yang melibatkan bahasa, yaitu
kecakapan linguistik dan kecakapan komunikasi, teori Bruner ini juga
memperkenalkan adanya kecakapan analisis yang dimiliki oleh setiapa
manusia yang berbahasa. Kecakapan analisis inilah yang memungkinkan
tercapainya peringkat abstrak yang berbeda-beda. Misalnya, yang
memungkinkan seorang anak beranjak lebih jauh dari apa yang ada di
hadapannya. Kecakapan analisis jugalah yang memungkinkan seseorang
untuk mengalihkan perhatian dari yang satu kepada yang lainnya.

12
B. Bahasa dalam Kajian Internal

Sebagai alat komunikasi dan alat interaksi yang hanya dimiliki oleh
manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara
internal, artinya, pengkajian terhadap bahasa hanya dilakukan pada struktur intern
bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, struktur morfologisnya atau struktur
sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan menghasilkan perian-perian
(penjelasan-penjelasan) bahasa itu saja tanpa adanya kaitan dengan masalah lain
di luar bahasa. Kajian internal dilakukan dengan teori dan prosedur yang ada dalam
disiplin ilmu linguistik saja.

1. Fonologi
a. Pengertian fonologi
Secara etimologis fonologi berasal dari dua kata Yunani yaitu phone
yang berarti “bunyi” dan logos yang berarti “ilmu”. Maka pengertian harfiah
fonologi adalah “ilmu bunyi”. Fonologi merupakan bagian dari ilmu bahasa
yang mengkaji bunyi. Objek kajian fonologi yang pertama adalah bunyi
bahasa (fon) yang disebut tata bunyi (fonetik) dan yang kedua mengkaji fonem
yang disebut tata fonem (fonemik). Kedudukan fonologi dalam studi linguistik
adalah sebagai tataran awal yang menjadi syarat mutlak untuk dapat
menguasai dengan baik tataran-tataran berikutnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fonologi adalah cabang
ilmu bahasa (linguistik) yang mengkaji bunyi-bunyi bahasa, proses
terbentuknya dan perubahannya.

b. Fonetik dan Fonemik


Bunyi bahasa dibedakan menjadi dua yaitu, bunyi-bunyi yang tidak
membedakan makna yang disebut dengan fon dan dikenal dengan sebutan
fonetik. Dan bunyi-bunyi yang membedakan makna yang disebut dengan
fonem atau fonemik.
1) Fonetik

13
Chaer (2003:235) mendefinisikan bahwa fonetik adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah
bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau
tidak. Menurut Muaffaq (2012:75) fonetik adalah ilmu yang mengkaji
bunyi bahasa, yang mencakup produksi, tranmisi, dan presepsi
terhadapnya, tanpa memperhatikan fungsinya sebagai pembeda makna.
Berdasarkan definisi yang dikemukakan para ahli di atas secara
umum dapat dikatakan bahwa fonetik adalah bidang linguistik yang
mempelajari bunyi bahasa baik itu prosesi terbentuknya, dan bagaimana
bunyi diterima oleh telinga pendengar, tanpa memperhatikan apakah bunyi
tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Chaer
(2003:237) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi
tiga jenis fonetik, yaitu:
a) Fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi,
mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja
dalam menghasilkan bunyi bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu
diklasifikasikan.
b) Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau
fenomena alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya,
aplitudonya, dan intensitasnya alam.
c) Fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan
bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia
lingusitik adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan
dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau
diucapkan manusia.
2) Fonemik
Menurut Chaer (2003:250-252) fonemik adalah cabang studi
fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi
bunyi tersebut sebagai pembeda makna.Menurut Ahmad Muaffaq bahwa

14
fonemik adalah cabang studi fonologi yang menyelidiki dan mempelajari
bunyi ujaran/bahasa atau sistem fonem suatu bahasa dalam fungsinya
sebagai pembeda arti.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Istilah fonemik dapat
didefinisikan sebagai satuan bahasa terkecil yang bersifat fungsional,
artinya satuan fonem memiliki fungsi untuk membedakan makna.

2. Morfologi
a. Pengertian Morfologi
Chalik (2011:225) mengatakan bahwa secara etimologi kata morfologi
berasal dari kata morf yang berarti bentuk dan kata logi yang berarti ilmu. Jadi,
secara harfiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk. Di dalam kajian
linguistik, morfologi berarti cabang ilmu bahasa yang mengkaji seluk-beluk
bentuk kata dan perubahannya serta dampak dari perubahan itu terhadap arti
(makna). Pada kamus linguistik pengertian morfologi adalah bidang linguistik
yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya atau bagian dari
struktur bahasa yang mencakup kata dan bagian-bagian kata yaitu morfem.
Berbagai pengertian morfologi tersebut dapat definisikan arti morfologi
yaitu sebagai bagian dari ilmu bahasa yang mempelajari seluk-beluk kata
meliputi pembentukan atau perubahannya, yang mencakup kata dan bagian-
bagian kata atau morfem. Kajian morfologi merupakn kajian lanjutan setelah
fonologi. Kajian morfologi dapat dilakukan setelah memahami fonologi
dengan baik. Fonologi adalah kajian bahasa dari bentuk kata. (Suhardi, 2013)
Dengan kata lain, morfologi membahas pembentukan kata. Morfologi
juga dijelaskan sebagai bidang linguistik yang mempelajari morfem dan
kombinasinya. Satuan bahasa dalam tataran morfologi berupa bentuk-bentuk
kebahasaan terkcil yang lazim disebut morf dan abstraknya disebut morfem.
Konsep morf dan morfem mirip dengan konsep fondan fonem. Perbedaannya
adalah bahwa fondan fonem dalam lingkup bunyi sedangkan morf dan morfem
dalam lingkup bentuk kata.

15
b. Objek Kajian Morfologi
Objek kajian morfologi adalah satuan-satuan morfologi, proses-proses
morfologi, dan alat-alat dalam proses morfologi itu. Satuan morfologi adalah
morfem (akar atau afiks) dan kata. Proses morfologi melibatkan komponen,
antara lain: komponen dasar atau bentuk dasar, alat pembentuk (afiks,
duplikasi, komposisi), dan makna gramatika (Chaer, 2003).
1) Satuan morfologi
Satuan morfologi berupa morfem (bebas dan afiks) dan kata. Morfem
adalah satuan gramatikal terkecil yang bermakna, dapat berupa akar
(dasar) dan dapat berupa afiks. Bedanya, akar dapat menjadi dasar dalam
pembentukan kata, sedangkan afiks tidak dapat, akar memiliki makna
leksikal sedangkan afiks hanya menjadi penyebab terjadinya makna
gramatikal. Contoh satuan morfologi yang berupa morfem dasar yaitu
pasah. Adapun contoh morfem yang berupa afiks yaitu N-, di-, na-, dll.
Kata adalah satuan gramatikal yang terjadi sebagai hasil dari proses
morfologis. Apabila dalam tataran morfologi, kata merupakan satuan
terbesar, akan tetapi dalam tataran sintaksis merupakan satuan terkecil.
Berdasarkan jenisnya, morfem terbagi dalam dua jenis yaitu morfem
bebas dan morfem terikat.
a) Morfem Bebas
Morfem bebas adalah morfem yang tanpa keterkaitannya dengan
morfem lain dapat langsung digunakan dalam pertuturan.Morfem bebas
disebut juga dengan morfem akar, yaitu morfem yang menjadi bentuk
dasar dalam pembentukan kata. Disebut bentuk dasar karena belum
mengalami perubahan secara morfemis.
b) Morfem Terikat
Morfem terikat adalah morfem yang harus terlebih dahulu
bergabung dengan morfem lain untuk dapat digunakan dalam
pertuturan. Morfem ikat disebut juga morfem afiks. Berdasarkan

16
pengertian tersebut maka morfem terikat karena morfem ini tidak
memiliki kemampuan secara leksikal, akan tetapi merupakan penyebab
terjadinya makna gramatikal. Contoh morfem ikat yang berupa afiks,
yaitu: N-, di-, -na, -ake, dan lain-lain. Penjelasan mengenai jenis morfem
tersebut sejalan dengan pendapat Verhaar (2009) yang menyatakan
bahwa morfem bebas secara morfemis adalah bentuk yang dapat berdiri
sendiri, artinya tidak membutuhkan bentuk lain yang digabung maupun
dipisah dalam tuturan. Morfem tersebut telah memiliki makna leksikal.
Berbeda dengan morfem ikat, morfem ini tidak dapat berdiri sendiri dan
hanya dapat meleburkan diri pada morfem lain.

2) Proses Morfologi
Proses morfologi dikenal juga dengan sebutan proses morfemis atau
proses gramatikal. Pengertian dari proses morfologi adalah pembentukan
katadengan afiks.Artinya, pembentukan kata dari sebuah bentuk dasar
melalui pembubuhan afiks (dalam proses afiksasi), pengulangan atau
reduplikasi, penggabungan atau proses komposisi, serta pemendekan atau
proses akronimisasi.
a) Proses afiksasi
Proses afiksasi (affixation) disebut juga dengan proses
pengimbuhan. Proses pengimbuhan terbagi menjadi beberapa jenis, hal
ini bergantung pada letak atau di mana posisi afiks tersebut digabung
dengan kata yang dilekatinya. Kata dibentuk dengan mengimbuhkan
awalan (prefiks), sisipan (infiks), akhiran (sufiks), atau gabungan dari
imbuhan-imbuhan itu pada kata dasarnya (konfiks).
b) Proses reduplikasi (pengulangan)
Pengulangan atau redupliksai adalah pengulangan satuan
gramatik, baik seluruh, maupun sebagian, baik variasi fonem maupun
tidak, hasil pengulangan itu merupakan kata ulang, sedangkan satuan

17
yang diulang merupakan bentuk dasar. Misalnya, rumah – rumah dari
bentuk dasar rumah.

3. Sintaksis
a. Pengeritan Sintaksis
Kata sintaksis berasal dari bahasa Yunani, yaitu sun yang berarti
“dengan” dan kata tattein yang berarti “menempatkan”. Jadi, secara etimologi
berarti: menempatkan bersama-sama kata-kata menjadi kelompok kata atau
kalimat. Manaf (2009) menjelaskan bahwa sintaksis adalah cabang linguistik
yang membahas struktur internal kalimat. Struktur internal kalimat yang
dibahas adalah frasa, klausa, dan kalimat. Chalik (2011) mendefinisikan
bahwa sintaksis adalah bagian dari tata bahasa yang mengkaji struktur frasa
dan kalimat.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan
bahwa sintaksis merupakan bagian dari ilmu bahasa yang didalamnya
mengkaji tentang kata dan kelompok kata yang membentuk frasa, klausa, dan
kalimat.

b. Ruang Lingkup Kajian Sintaksis


1) Frase
Frasa adalah suatu kelompok kata yang terdiri atas dua kata atau lebih
yang membentuk suatu kesatuan yang tidak melampui batas subjek dan
batas predikat. Frase terdiri dari dua kata atau lebih yang membentuk suatu
kesatuan dan dalam pembentukan ini tidak terdapat ciri-ciri klausa dan juga
tidak melampui batas subjek dan batas predikat.
Frase adalah suatu komponen yang berstruktur, yang dapat
membentuk klausa dan kalimat.Frase adalah gabungan dua kata atau lebih
yang bersifat nonpredikatif atau lazim juga disebut gabungan kata yang
mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat (chaer 2003).
Perhatikan contoh-contoh berikut. Satuan bahasa bayi sehat, pisang

18
goreng, baru datang, dan sedang membaca adalah frasa karena satuan
bahasa itu tidak membentuk hubungan subjek dan predikat (Widjono
,2007)
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa frasa merupakan gabungan atau rangkaian kata
yang tidak mempunyai batas subjek dan predikat, yang biasanya rangkaian
kata tersebut mempunyai satu makna yang tidak bisa dipisahkan.

2) Klausa
Klausa adalah sebuah konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa
kata yang mengandung unsur predikatif. Klausa berpotensi menjadi
kalimat. Manaf (2009) menjelaskan bahwa yang membedakan klausa dan
kalimat adalah intonasi final di akhir satuan bahasa itu. Kalimat diakhiri
dengan intonasi final, sedangkan klausa tidak diakhiri intonasi final.
Intonasi final itu dapat berupa intonasi berita, tanya, perintah, dan kagum.
Klausa adalah satuan gramatikal yang setidak-tidaknya terdiri atas
subjek dan predikat. Klausa berpotensi menjadi kalimat. Klausa dapat
dibedakan berdasarkan distribusi satuannya dan berdasarkan fungsinya.
Pada umumnya klausa, baik tunggal maupun jamak, berpotensi menjadi
kalimat. Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtunan kata-kata
berkonstruksi predikatif artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen
berupa kata atau frase, yang berfungsi sebagai predikat, dan yang lain
berfungsi sebagai subjek, objek, dan sebagai keterangan. Fungsi yang
bersifat wajib pada konstruksi ini adalah subjek dan predikat sedangkan
yang lain tidak wajib.
3) Kalimat
Kalimat adalah tuturan yang mempunyai arti penuh dan turunnya
suara menjadi ciri sebagai batas keseluruhannya. Jadi, kalimat adalah
tuturan yang diakhiri dengan intonasi final.Kalimat adalah suatu bentuk
linguistik yang terdiri atas komponen kata-kata, frase, atau klausa. Jika

19
dilihat dari fungsinya, unsur-unsur kalimat berupa subjek, predikat, objek,
pelengkap, dan keterangan. Menurut bentuknya, kalimat dibedakan
menjadi kalimat tunggal serta kalimat majemuk.
Manaf (2009) lebih menjelaskan dengan membedakan kalimat
menjadi bahasa lisan dan bahasa tulis. Dalam bahasa lisan, kalimat adalah
satuan bahasa yang mempunyai ciri sebagai berikut: (1) satuan bahasa yang
terbentuk atas gabungan kata dengan kata, gabungan kata dengan frasa,
atau gabungan frasa dengan frasa, yang minimal berupa sebuah klausa
bebas yang mengandung satu subjek dan prediket, (2) satuan bahasa itu
didahului oleh suatu kesenyapan awal, diselingi atau tidak diselingi oleh
kesenyapan antara dan diakhiri dengan kesenyapan akhir yang berupa
intonasi final, yaitu intonasi berita, tanya, intonasi perintah, dan intonasi
kagum.
c. Fungsi Sintaksis
Yang dimaksud fungsi sintaksis tersebut adalah subjek (S), predikat (P),
objek (O), pelengkap (Pel), dan keterangan (K). realisasinya dalam sebuah
kalimat, kelima fungsi tersebut tidak selalu hadir bersama-sama. Terkadang
sebuah kalimat hanya terdiri atas fungsi S dan P, S-P-O, S-P-Pel, S-P-K, S-P-
OK, atau S-P-Pel-K. akan tetapi bila dilihat dari sifat kehadiranya dalam
sebuah kalimat, kelima fungsi dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu
fungsi yang wajib hadir dan fungsi yag tidak wajib hadir. Yang termasuk
fungsi wajib hadir adalah subjek, predikat, objek, dan pelengkap, sedangkan
yang termasuk kedalam fungsi yang tidak wajib hadir adalah keterangan.

4. Semantik
Semantik adalah bagian dari struktur bahasa yang berhubungan dengan
makna ungkapan dan dengan struktur makna suatu wicara. Definisi lain semantik
adalah ilmu yang berkaitan dengan makna atau arti kata (Suhardi, 2013).
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaer (2009) yang menyatakan bahwa dalam
semantik yang dibicarakan adalah hubungan antara kata dengan konsep atau

20
makna dari kata tersebut, serta benda atau hal-hal yang dirujuk oleh makna itu
yang berada diluar bahasa. Makna dari sebuah kata, ungkapan atau wacana
ditentukan oleh konteks yang ada.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa semantic
adalah ilmu yang menelaah lambang-lambang atau tanda-tanda yang menyatakan
makna, hubungan makna yang satu dengan yang lain, serta hubungan antara kata
dengan konsep atau makna dari kata tersebut.
Makna kata merupakan bidang kajian yang dibahas dalam ilmu semantik.
Semantik berkedudukan sebagai salah satu cabang ilmu linguistik yang
mempelajari tentang makna suatu kata dalam bahasa. Makna adalah maksud
pembicaraan, pengaruh satuan bahasa dalam pemahaman persepsi, serta perilaku
manusia atau kelompok. (Suhardi, 2013).
Adapun Jenis-jenis makna, yakni sebagai berikut:
a. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Dalam bukunya, Chaer (2009) mengungkapkan bahwa ‘leksikal’ adalah
bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina ‘leksikon’ (vokabuler,
kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah ‘leksem’, yaitu
satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan
kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan
kata.
Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang
bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh sebab itu dapat
disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan
referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna
yang sungguh-sungguh ada dalam kehidupan kita.
Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan
makna gramatikal. Jika makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau
kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal adalah makna
yang hadir sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses

21
afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh karena makna
sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering tergantung pada
konteks kalimat atau konteks situasi. Maka makna gramatikal itu sering juga
disebut ‘makna kontekstual’ atau ‘makna situasional’. Selain itu bisa juga
disebut ‘makna struktural’ karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu
selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial


Perbedaan antara makna referensial dan makna nonreferensial diketahui
dari ada atau tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai
referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata
tersebut disebut sebagai kata bermakna referensial. Namun, jika kata-kata
tersebut tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna
nonreferensial. Sebagai contoh, kita dapat menyebut ‘pensil’ dan ‘penggaris’
memiliki makna referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis
peralatan tulis. Sebaliknya kata ‘karena’ dan ‘dan’ tidak mempunyai referen,
oleh sebab itu dapat digolongkan dalam kata yang bermakna nonreferensial.
Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas
lainnya tidak mempunyai referen, maka banyak orang mengambil kesimpulan
bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya
memiliki fungsi atau tugas. Lalu, karena hanya memiliki fungsi atau tugas lalu
dinamailah kata-kata tersebut dengan nama ‘kata fungsi’ atau ‘kata tugas’.
c. Makna Denotatif dan Makna Konotatif
Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan makna denotatif
dan makna konotatif adalah mengenai ada atau tidaknya ‘nilai rasa’. Setiap
kata itu (terutama yang disebut kata penuh) mempunyai makna denotatif,
tetapi tidak setiap kata itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut
memiliki makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’, baik positif
maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak memiliki nilai rasa, maka
dikatakan tidak memiliki konotasi.

22
Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna referensial karena
makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan
hasil observasi menurut pengelihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-
informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka denotasi sering disebut
sebagai ‘makna sebenarnya’. Sedangkan makna konotatif memiliki
keunikannya sendiri. Makna konotasi sebuah bahasa dapat berbeda dari satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan
pandangan hidup, dan normanorma penilain kelompok masyarakat tesebut.
Misalkan saja kata ‘babi’. Kata tersebut memiliki konotasi negatif bagi
komunitas-komunitas agama yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam
lingkungan masyarakat yang lain kata ini tidak memiiki konotasi negatif.Oleh
sebab itu, makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu.
d. Makna Kata dan Makna Istilah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ‘kata’ adalah unsur bahasa
yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan
perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbicara. Sedangkan
‘istilah’ adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.
Melihat hal ini, tentunya harus sangat dibedakan mengenai makna kata dan
makna istilah.
Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah didasarkan pada
ketepatan makna itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus.
Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan
secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam
penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, katakata itu
digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat. Makna
sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai
faktor dalam kehidupan, dapat menjadi berifat umum. Makna kata itu baru

23
menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat maka kata itu
menjadi umum dan kabur.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah
memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah
itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan
tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti.
Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk
menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Di
luar bidang tertentu, istilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata
dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang lebih
terbatas.
e. Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada
atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan
makna yang lain. Secara garis besar tokoh semantik, Leech membedakan
makna menjadi makna asosiatif dan makna konseptual. Makna konseptual
adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan
referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh
sebab itu, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial,
makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah
makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu
dengan keadaan di luar bahasa.
f. Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Ada dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu: idiom
penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya
secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna.
Contonya pada idiom ‘membanting tulang’, ‘menjual gigi’, dan ‘meja hijau’.
Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang masih memiliki makna
leksikalnya sendiri, misalnya ‘daftar hitam’ dan ‘koran kuning’.

24
C. Bahasa Dalam Kajian Eksternal
Menurut Setiady (2006:72) kajian secara eksternal berkaitan dengan
hubungan bahasa dengan faktor-faktor lain diluar bahasa tersebut seperti faktor
sosial, psikologi, lingkungan dan sebagainya.
Sedangkan menurut Gani (2018:63) kajian secara eksternal adalah
pengkajian yang dilakukan terhadap struktur yang berada di luar bahasa tersebut,
misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik dan neurolinguistik.

1. Sosiolinguistik
Sosiolinguistik menurut Chaer dan Agustina (dalam Evizariza, 2017:81)
adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu
sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-
faktor sosial di dalam suatu masyarakat tutur.
2. Psikolinguistik
Munurut Hasan (2018:6) psikolinguistik adalah ilmu yang membahas
tentang seluk beluk bahasa, hubungan antara bahasa dan otak serta proses
pemerolehan bahasa dan struktur kaedah bahasa tersebut.
Sedangkan menurut Mutopas (2019:116) psikolinguistik adalah ilmu
yang mempelajari perilaku berbahasa. Perilaku yang tampak dalam berbahasa
adalah perilaku manusia ketika atau yang dibaca sehingga menjadi sesuatu
yang dimilikinya atau memproses sesuatu yang akan diucapkan atau
ditulisnya.
Jadi, dapat disimpulkan Psikolinguistik adalah disiplin ilmu kombinasi
antara psikoligi dan linguistik yang diorientasikan untuk mengkaji proses
psikologis yang terjadi pada orang yang berbahasa.
3. Neurolinguistik
Menurut Ahlsen (2006:3) neurolinguistik mengkaji hubungan bahasa
dan komunikasi pada aspek lain fungsi otak, dengan kata lain mengekplorasi
proses otak untuk produksi bahasa dan komunikasi. Kajian ini melibatkan

25
usaha untuk mengkombinasikan teori neurologis/neurofisiologis (struktur
otak dan fungsinya) dengan teori linguistik (struktur bahasa dan fungsinya).
Sedangkan menurut Fernandez and Cairns (2011:81) memaparkan
neurolinguistik merupakan kajian representasi bahasa di otak dan penemuan
afasia merupakan kelahiran kajian interdisipliner ini.

26
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Bahasa memainkan peran penting dalam bagaimana kita berpikir tentang makna,
yang abstrak sekalipun. Bahasa adalah sesuatu yang terstruktur sedemikian rupa
hingga memungkinkan kita mengutarakan hal yang abstrak. Pikiran adalah
proses pengolahan stimulus yang berlangsung dalam domain representasi utama.
Dalam proses berpikir kita merangkai-rangkaikan sebab akibat, menganalisinya
dari hal-hal yang khusus atau atau kita menganalisisnya dari hal-hal yang khusus
ke yang umum. Berpikir berarti merangkai konsep-konsep. Hubungan Bahasa
dengan Pikiran Pikiran manusia pada hakikatnya selalu mencari dan berusaha
untuk memperoleh kebenaran. Karena Dalam proses tersebut haruslah
diperhatikan kebenaran untuk dapat berpikir logis. Kebenaran ini hanya
menyatakan serta mengandalkan adanya jalan, cara, teknik serta hukum-hukum
yang perlu diikuti.
2. Bahasa dalam Kajian internal, artinya, pengkajian terhadap bahasa hanya
dilakukan pada struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya,
struktur morfologisnya atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini akan
menghasilkan perian-perian (penjelasan-penjelasan) bahasa itu saja tanpa adanya
kaitan dengan masalah lain di luar bahasa.
3. Bahasa kajian secara eksternal adalah pengkajian yang dilakukan terhadap
struktur yang berada di luar bahasa tersebut, misalnya sosiolinguistik,
psikolinguistik dan neurolinguistik.

B. SARAN

Demikianlah makalah ini dibuat, semoga bermanfaat dan menambah


wawasan kita semu. Diharapkan setiap mahasiswa program studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar, khususnya bagi para calon guru, selalu berusaha menambah
wawasan tentang hakikat bahasa dalam pembelajaran bahasa Indonesia.

27
DAFTAR RUJUKAN

Aditawarman, dkk. 2019. Variasi Bahasa Masyarakat. Padang: Lembaga Kajian Aset
Budaya Indonesia Tonggak Tuo.
Aribowo,Luita.2018.Neurolinguistik Menerapkan Konsep dan Teori Linguistik.Jurnal
Deskripsi Bahasa Vol 01 no 01 Maret 2018
Amri, Sofian. 2015. Implementasi Pembelajaran Aktif Dalam Kurikulum. Jakarta:
Prestasi Pustakaraya.
Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Chalik, S, A. 2011. Analisis Linguistik dalam Bahasa Arab Al-Qur’an. Makassar:
Alauddin University Press.
Dardjowidjojo, dkk. 2012. Psikolinguistik Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia.
Jakarta. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Evizariza, dkk.2017.Tingkatan Ragam Bahasa Ibu Rumah Tangga dan Ibu Karir di
Daerah Rumbai Jalan Kartika Sari Kajian Sosiolinguistik. Jurnal Aksara
Public.Vol.1.No 1 Edisi Februari 2017(47-55)
Gani, S dan Arsyad, B. 2018. Kajian Teoritis Struktural Internal Bahasa (Fonologi,
Morfologi, Sintaksis, dan Semantik). Jurnal Bahasa dan Sastra Arab. Vol.07,
No.1.
Hasan. 2018. Psikolinguistik: Urgensi dan manfaatnya pada Program Studi Pendidikan
Bahasa Arab. Jurnal Al Mi’yar Vol.1. No.2.
Hidayat, Rahayu. 2018. Hakikat Ilmu Pengetahuan Budaya. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Manaf, N. 2009. Sintaksis: Teori dan Terapannya dalam Bahasa Indonesia. Padang:
Sukabina Press.
Muaffaq, N, A. 2012. Fonologi Bahasa Indonessia. Cet. I. Makassar: Alauddin
University Press.

28
Mutopas, D, dkk. 2019. Penerapan Joyfull Learning dalam Pembelajaran Bahasa
Inggris (Tinjauan Psikolinguistik). Lisan: Jurnal Bahasa Indonesia. Vol. 8.
No.2:Hal.110-118. P-ISSN: 201874306.
Suhardi. 2013. Pengantar Linguistik Umum. Jokjakarta: Ar-Ruzz Media.
Setiyadi, A,C. 2006. Bahasa, Berbahasa, Sistem Bahasa dan Stuktur Bahasa. Jurnal At-

Ta’dib, Vol.4. No. 2, 167-189.

Verhaar. 2004. Asas-asas Linguistik Umum. Yokyakrta: Gadjah Mada University


Press.
Widjono,Hs.2007.Bahasa Indonesia Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di
Perguruan Tinggi (Rev).Jakarta:Grasindo.

29

Anda mungkin juga menyukai