Anda di halaman 1dari 24

PAPER EKOLOGI PANGAN

“ANALISIS PRODUKSI, DISTRIBUSI, DAN KONSUMSI PANGAN TERIGU


UNTUK MENCAPAI KEMANDIRIAN PANGAN DI TAHUN MENDATANG”

DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 9
IKM A 2015

1. Genduk Lintang Rusmawarda 101511133019


2. Novela Sanderina Rumaropen 101511133094
3. Ni’matul Mawaddah 101511133170

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2017
DAFTAR ISI

COVER
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………………… 3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………… 4
1.3 Tujuan……………………………………………………………………. 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Analisis Kondisi Dan Situasi Pangan Terigu Di Indonesia……………… 5
2.1.1 Produksi Pangan Terigu Di Indonesia…………………………….. 5
2.2.2 Kondisi Dan Situasi Impor Pangan Terigu Di Indonesia………… 6
2.2.3 Ketersediaan Terigu Di Indonesia…………………………………. 7
2.2 Analisis Potensi Dalam Mengatasi Permasalahan Pangan Terigu
Di Indonesia Berdasarkan Sistem Pendekatan Pangan Dan Gizi…………. 9
BAB III REKOMENDASI
3.1 Solusi Terhadap Permasalahan Pangan Terigu Di Indonesia…………….. 14
3.1.1 Upaya Peningkatan Produksi Pangan Terigu…………………………. 14
3.1.2 Upaya Penurunan Ketergantungan Impor Pangan Terigu…………….. 15
3.1.3 Upaya Menjaga Keseimbangan Produksi Dan Konsumsi
Pangan Terigu………………………………………………………….. 16
3.1.4 Upaya Meningkatkan Daya Saing Dan Nilai Tambah Produk
Pangan Terigu……………………………………………………….. 16
3.1.5 Strategi Untuk Mewujudkan Kemandirian Pangan Terigu
Dimasa Mendatang……………………………………………….. 17
BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan………………………………………………………………… 23
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. 24

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konsumsi pangan di Indonesia didominasi oleh pangan Beras. Hal ini karena
budaya masyarakat Indonesia yang sudah terbiasa dengan mengkonsumsi Beras. Oleh
karena itu diperlukan pola diversifikasi konsumsi yang dapat mengatasi permasalahan
konsumsi beras yang semakin meningkat tiap tahunnya. Salah satunya adalah dengan
mengkonsumsi Tepung Terigu sebagai hasil olahan dari biji Gandum mengingat bahwa
terigu memiliki kandungan gizi yang tidak kalah dibandingkan dengan beras. Gandum
merupakan tanaman serealia yang memiliki komposisi nutrisi lebih tinggi dibanding
tanaman serealia lain terutama protein dalam bentuk gluten, yang berperan dalam
menentukan kekenyalan makanan.
Berdasarkan data APTINDO (Asosiasi Produsen Terigu Indonesia) Tahun 2014
dihasilkan informasi bahwa pada tahun tersebut konsumsi Tepung Terigu nasional
berjumlah 2,79 Metrik Ton (MT) setara dengan 3,7 MT gandum. Jumlah tersebut tumbuh
sekitar 5,4% dibandingkan tahun 2013. Seiring dengan peningkatan konsumsi Tepung
Terigu di Indonesia mendorong produsen nasional untuk bisa memenuhi permintaan
produksi.
Pola konsumsi pangan terigu menyebar ke seluruh wilayah, baik di perkotaan
maupun pedesaan, sehingga dapat dikatakan diversifikasi pangan berbasis gandum secara
nasional sudah terjadi. Konsekuensinya, Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor
gandum terbesar di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi negara pengimpor Gandum
terbesar ke-4 di dunia, dengan volume impor 5,6 juta ton. Pada tahun 2011 Indonesia
sudah menjadi Negara pengimpor Gandum terbesar ke-2 di dunia dengan volume impor
6,2 juta ton dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 7 juta ton.
Jika Indonesia mengimpor biji Gandum dan Tepung Terigu secara terus menerus
untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional maka dapat berisiko terhadap produksi
nasional. Risiko tersebut terkait adanya kemungkinan melemahnya produksi nasional
karena harga Tepung Terigu Impor lebih murah dibandingkan dengan Tepung Terigu
lokal. Sehingga perlu diberlakukan kebijakan untuk melindungi produsen nasional.
Analisis terhadap perkembangan pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan
pokok di Indonesia menjadi sangat penting untuk dilakukan. Demikian pula analisis
kebijakan pangan pokok di Indonesia pada saat ini dan waktu mendatang dalam
3
perspektif percepatan pencapaian swasembada pangan. Hal tersebut dilakukan untuk
membangun kemandirian pangan Tepung Terigu dimasa mendatang.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Kondisi dan Situasi Pangan Terigu di Indonesia ?
2. Bagaimana Mengembangkan Potensi Pangan Terigu dalam Mengatasi Permasalahan
Pangan Terigu Melalui Sistem Pendekatan Pangan dan Gizi ?
3. Bagaimana Upaya Strategi dalam Mengatasi Permasalahan Pangan Gizi Agar
Terwujud Kemadirian Pangan Terigu Dimasa Mendatang ?
1.3 Tujuan
1. Untuk Memahami Kondisi dan Situasi Pangan Terigu di Indonesia.
2. Untuk Memahami Pengembangan Potensi Pangan Terigu dalam Mengatasi
Permasalahan Pangan Terigu Melalui Sistem Pendekatan Pangan dan Gizi.
3. Untuk Memahami Upaya Strategi dalam Mengatasi Permasalahan Pangan Gizi Agar
Terwujud Kemadirian Pangan Terigu Dimasa Mendatang.

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Analisis Kondisi dan Situasi Pangan Terigu Di Indonesia


Makanan berbasis gandum atau tepung terigu telah menjadi makanan pokok banyak
negara termasuk Indonesia. Ketersediaannya yang melimpah di pasaran dunia, proteinnya
yang tinggi, harganya yang relatif tidak mahal dan pengolahannya yang praktis mudah
telah menjadikan makanan berbasis tepung terigu merambah cepat ke berbagai Negara.
2.1.1 Produksi Pangan Terigu Di Indonesia
Berdasarkan data dari APTINDO (Asosiasi Produsen Tepung Terigu
Indonesia) jumlah industri terigu nasional yang menjadi anggota asosiasi sampai
dengan tahun 2013 adalah 21 produsen. Terpusat di Pulau Jawa seperti Jakarta,
Tangerang, Cilegon, Cibitung, Bekasi, Semarang Cilacap, Surabaya, Gresik,
Sidoarjo, serta Mojokerto. Sedangkan untuk di luar Pulau Jawa berada di Medan
dan Makassar.

Gambar 1. Peta Sentra Produksi Tepung Terigu di Indonesia


Sumber : BPS 2014
Produksi tepung terigu dalam negeri dari tahun 2010 hingga tahun 2013 selalu
mengalami peningkatan. Pada tahun 2010 produksi dalam negeri sebesar 3.316 Ton,
tahun 2011 sebesar 4.062 Ton, tahun 2012 sebesar 4.562 Ton, dan tahun 2013
sebesar 5.076 Ton.

Tabel 1 Produksi Tepung Terigu Nasional Tahun 2010-2013


Sumber : APTINDO 2014

5
Secara Nasional, berdasarkan data dari APTINDO penjualan terigu mengalami
kenaikan dari Tahun 2010 hingga 2013. Penjualan terigu Tahun 2010 sebesar
4407,2 MT (Metrik Ton), Tahun 2011 sebesar 4720,1 MT (Metrik Ton), Tahun
2012 sebesar 5142,2 MT (Metrik Ton), dan Tahun 2013 sebesar 5304,4 MT (Metrik
Ton).

Tabel 2. Data Penjualan Terigu Nasional

Dari hasil survey BPS yang dilakukan pada 131 Kabupaten/Kota di seluruh
provinsi Indonesia diperoleh informasi bahwa produsen tepung terigu menjual hasil
produksinya terbesar melalui distributor sebesar 76,82 persen, industri pengolahan
sebesar 22,52 persen, dan sisanya ke supermarket/swalayan 0,66 persen.

Gambar 2. Distribusi Terigu di Indonesia

2.1.2 Kondisi Dan Situasi Impor Pangan Terigu Di Indonesia


Survei yang dilakukan oleh BPS terkait pasokan bahan baku gandum yang
digunakan oleh produsen tepung terigu menghasilkan informasi bahwa produsen
tepung terigu mendapat pasokan bahan baku gandum dari beberapa negara
penghasil gandum seperti Australia, Canada, Amerika Serikat, India, dan Rusia.
Komoditas tepung terigu ini mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap

6
industri makanan seperti mie, biskuit, serta kegiatan usaha lainnya yang berbasis
tepung terigu. Pola distribusi perdagangan tepung terigu di Indonesia menggunakan
hampir seluruh kelembagaan dalam saluran pemasarannya.

Grafik 1. Dominasi Impor


Tabel 3. Impor Tepung Terigu Indonesia 2010-
Tepung Terigu Indonesia Tahun
2013 2013
Sumber : APTINDO 2014

Dalam kurun waktu Tahun 2010 – 2013, kondisi impor Tepung Terigu oleh
Negara Indonesia mengalami fluktuatif namun tidak signifikan. Negara Indonesia
mengimpor Tepung Terigu pada Tahun 2010 sebagian besar dari Negara Turki
sebesar 454.768 Ton, Srilanka sebesar 166.919 Ton, dan sisanya adalah negara lain
sebesar 775.534. Sedangkan pada Tahun 2013 indonesia mengimpor terbesar pada
Negara Sri Lanka, India, Turki dan Negara lain seperti Ukraina, Belgia, dan
Australia. Sehingga total impor Tepung Terigu pada Tahun 2013 sebesar 205.447
Ton.
Secara umum distribusi tepung Terigu sebagai barang konsumsi melibatkan
produsen, pedagang besar, pengecer, dan konsumen akhir dalam saluran
distribusinya. Penjualannya menggunakan seluruh kelembagaan dalam
perdagangan, hal ini menunjukkan agar pasokan tepung Terigu selalu tersedia
dimanapun dan kapanpun dibutuhkan. Para pedagang besar seperti distributor, sub
distributor, agen, dan grosir mendapatkan pasokan sebagian besar dari produsen,
sesama distributor, importir.
2.1.3 Ketersediaan Terigu Di Indonesia
Berdasarkan Data Statistik Ketahanan Pangan 2014, ketersediaan Terigu di
Indonesia selalu meningkat. Dilihat dari proyeksi kebutuhan dan realisasi
pemenuhan ketersediaan Terigu pada Tahun 2013 sampai Tahun 2015 yang selalu
terpenuhi serta relatif mengalami peningkatan.
7
Tabel 4. Proyeksi dan Pemenuhan Kebutuhan Konsumsi Penduduk Menurut Kelompok
Bahan
Pangan Tahun 2013 – 2015
Sumber : Data Statistik Ketahan Pangan 2014
Tepung terigu dilihat dari ketersediaanya terkait proyeksi dan realisasi selama
kurun tahun 2013 hingga 2014 termasuk terpenuhi.

Tabel 5. Produksi, konsumsi, dan impor


Tepung Terigu Nasional Tahun 2010-2013
Sumber : APTINDO 2014

Ketersediaan tepung terigu diindonesia dari tahun 2010-2013 selalu meningkat


sejalan dengan tingkat konsumsi nasional. Ketersediaan tepung terigu di Indonesia
disuplai oleh produksi Tepung Terigu dalam negeri dan impor Tepung Terigu dari
luar.

8
2.2 Analisis Potensi untuk Mengatasi Permasalahan Pangan Terigu Di Indonesia
Berdasarkan Sistem Pendekatan Pangan Dan Gizi
Dari waktu ke waktu terigu menjadi komoditi pangan penting di Indonesia, hal ini
disebabkan karena terigu merupakan bahan pangan alternatif yang dikonsumsi hampir
seluruh masyarakat Indonesia. Suatu barang atau jasa dianggap sebagai komoditi apabila
kedua hal tersebut selalu digunakan sehingga menjadi hal yang vital. Akan tetapi pasokan
terigu di Indonesia masih ketersediaannya bersifat langka dan terbatas. Dapat
disimpulkan bahwa ketahanan pangan komoditi terigu di Indonesia masih bermasalah,
karena beberapa ahli sepakat bahwa ketahanan pangan minimal mengandung dua unsur
pokok, yaitu ketersediaan pangan dan aksesabilitas masyarakat terhadap bahan pangan.
Serta menurut Peraturan Presiden nomor 48 tahun 2016 ketahanan pangan adalah
kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin
dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam,
bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan
budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara
berkelanjutan.Berikut merupakan permasalahan dari sistem pendekatan pangan dan gizi
dalam berbagai subsistem terigu di Indonesia:
1. Produksi
Gandum atau lebih sering dijumpai dalam bentuk tepung terigu merupakan
bahan pangan nabati sumber karbohidrat. Tanaman gandum merupakan tanaman yang
tumbuh di negara subtropis sehingga Indonesia yang merupakan negara tropis
terpaksa harus mengimpor setiap tahunnya untuk memenuhi permintaan tepung
terigu. Impor gandum oleh Indonesia telah dilakukan pada masa orde baru yang pada
awalnya bertujuan untuk diversifikasi pangan selain konsumsi terhadap beras yang
merupakan bahan pangan sumber karbohidrat utama bagi Indonesia. Kebijakan
diversifikasi pangan untuk memperkenalkan gandum sebagai bahan pangan alternatif
menjadi awal bencana yang tidak disadari pada waktu itu. Ketergantungan yang
kronis terhadap gandum telah menguras devisa negara setiap tahunnya, padahal
gandum sampai saat ini belum dapat dibudidayakan secara komersial di Indonesia.
Meski menurut Aptindo kedepannya prospek Indonesia bisa menjadi pusat
produksi tepung terigu untuk Asia Timur karena pada tahun 2016 nilainya
diperkirakan bisa mencapai US$ 1 miliar dan ekspor terigu dan produk berbasis terigu
tahun lalu mencapai US$ 600 juta. Serta jumlah ekspor produk tersebut akan
mencapai US$ 1 miliar dan terigu produksi dari Indonesia itu diekspor ke Filipina,
9
Singapura, Korea Selatan, dan Jepang. Akan tetapi, Indonesia masih belum bisa
disebut telah memiliki kemandirian pangan akan komoditi terigu karena dari naiknya
peningkatan produksi terigu juga dibarengi dengan semakin meningkatnya jumlah
gandum yang 100% diimpor dari luar negeri.
Salah satu bentuk perlindungan kuantitatif bagi pertanian kelima komoditas
pangan strstegis tersebut di Indonesia, pemerintah menerapkan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 05 /PMK.011/2008 mengenai penetapan tarif bea masuk atas impor
tepung gandum guna untuk menghambat laju pertumbuhan konsumsi per kapita bagi
komoditas-komoditas yang konsumsi per kapitanya dinilai sudah berlebihan,
sekaligus mendorong pertumbuhan produksi beras, jagung, kedelai, gula dan daging
sapi, sehingga swasembada dapat lebih cepat tercapai. Sampai dengan 1997 (sebelum
deregulasi) hanya ada lima pabrik terigu dengan total kapasitas 6.5 juta ton/thn setelah
itu muncul pabrik baru mulai sejak 2007 pada 2013 jumlah pabrik menjadi 23 dengan
kapasitas 9 juta ton/thn dan enam pabrik baru direncanakan akan mulai berproduksi
pada 2014-2015, menambah kapasitas menjadi sekitar 10.3 juta ton/thn.
Sekarang ini bertambahnya perusahaan pakan semakin mendongkrak volume
impor gandum, kehadiran perusahaan pakan dalam impor gandum ini memercikkan
persoalan baru mengenai pajak impornya. Pasalnya, impor gandum untuk industri
pakan ternak bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena dikategorikan sebagai
barang strategis. Sedangkan impor terigu untuk industri tepung terigu mendapat PPN
10%. Dari hal tersebut menimbulkan permasalahan antara industri tepung terigu
dengan pemerintah terkait kebijakan yang dirasa kurang adil.
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan nasional, pemerintah menugaskan
salah satu badan usaha milik negara yaitu BULOG untuk menjaga ketersediaan
pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen yang terdiri
atas beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe,
daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam. Perum BULOG melakukan
pengendalian ketersediaan dan distribusi Pangan meliputi kegiatan pengadaan,
pengolahan, pemerataan stok antar wilayah sesuai kebutuhan, dan distribusi.
a) Keberhasilan Bulog dalam mengurangi masalah yang timbul dan membuat jenis
intervensi, tergolong sebagai productive state, karena yang dilakukan Bulog
adalah melakukan intervensi tidak langsung. Intervensi yang dilakukan adalah
dengan cara mempengaruhi penawaran komoditas pangan (beras) di pasar tanpa
mempengaruhi harga secara langsung. Namun tidak dengan komoditi tepung
10
terigu, karena Bulog bukanlah penggiling langsung, ketergantungan terhadap
pabrik penggiling dalam hal ini Bogasari Flour Mills menjadi lebih besar dan
banyak issue monopoli politik produksi tepung terigu antara keduanya.
b) Pada awalnya, pengembangan industri tepung terigu di Indonesia ternyata pada
awal pembangunannya tidak mampu dikelola oleh negara secara mandiri.
Keterbatasan sumber-sumber daya, khususnya sumber daya modal berupa mesin
dan peralatan, pada akhirnya negara dalam hal ini Bulog meminta bantuan kepada
pihak swata lokal yaitu Bogasari Flour Mills untuk membantu kelancaran
produksi dan distribusi tepung terigu, sekalipun hal ini bertentangan dengan
aturan yang tercantum dalam tata niaga tepung terigu. Karena yang berwenang
dalam pengadaan gandum adalah Bulog, sementara Bogasari Flour Mills maupun
P.T. Berdikari Sari Utama hanya bertugas menggiling gandum untuk menjadi
tepung terigu saja, tidak sampai kepada aktivitas tawar-menawar harga gandum di
pasar luar negeri. Kerjasama yang dilakukan BULOG tersebut karena menurut
kalangan internal Bulog jaringan mobilisasi dan alokasi tepung terigu berjalan
dengan solid dan berada dalam satu penguasaan manajemen Bogasari Flour Mills.
Hal ini disebabkan Bogasari Flour Mills memiliki pelabuhan tersendiri dengan
prosedur administrasi tersendiri pula. Bahkan Bogsari Flour Mills mengelola
pengapalan dan pengiriman bulir gandum ke Indonesia.
2. Distribusi
Di Indonesia pola distribusi tepung terigu saat ini diduga masih bermasalah, ada
beberapa faktor perlu dikenali seperti karakteristik pelaku perdagangan tepung terigu
(produsen, pedagang besar, pengecer) faktor-faktor yang mempengaruhi pemasaran
seperti kualitas tepung terigu, disparitas harga tepung terigu lokal antar wilayah pada
33 kota di Indonesia cukup besar dibandingkan disparitas harga tepung terigu impor.
Banyak faktor yang menjadi penyebab disparitas harga, yang dapat dijelaskan dari
keseimbangan pasar dan sistem distribusi.
Dari sisi keseimbangan pasar yaitu ketika permintaan lebih besar dari
penawaran. Penawaran tidak dapat mengantisipasi permintaan, kondisi ini dapat
terjadi saat produsen keliru dalam mem-forecast permintaan, yang berakibat pada
pasokan yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan perubahan lonjakan permintaan.
Selain itu, ada faktor spekulasi yang dapat menjelaskan terjadinya kelangkaan barang.
Motif spekulasi umumnya dilakukan oleh produsen atau pedagang yang didorong
untuk menimbun barang pada harga rendah untuk kemudian dijual ketika harga naik.
11
Kelemahan manajemen distribusi juga menjadi penyebab kelangkaan barang.
Distribusi barang yang tidak lancar, dengan lead time yang jauh dari waktu normal
akan menyebabkan barang tidak sampai ke pasar dengan tepat waktu. Sistem
distribusi suatu komoditas banyak ditentukan oleh beberapa faktor model saluran
distribusi, infrastruktur transportasi, pelabuhan, prosedur administrasi, moda
transportasi, dan lain-lain.
a) Secara rata-rata nasional, harga tepung terigu relatif stabil dengan harga bulanan
untuk periode bulan April 2011 sampai dengan bulan April 2012 sebesar 0,3
persen. Hal ini berarti perubahan rata-rata harga bulanan adalah sebesar 0,3
persen. Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia kota Gorontalo
memiliki nilai koefisien keragaman tertinggi dengan koefisien sebesar 5,9 persen
dan kota yang memiliki nilai koefisien harga terendah adalah Medan, Padang,
Bandar Lampung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Palangkaraya, Ambon,
Jayapura dan Manokwari dengan koefisien keragaman di bawah 1 persen (IKU
koefisien keragaman Kementerian Perdagangan 5-9). Tingkat perbedaan harga
antara wilayah yang ditunjukkan dengan menghitung koefisien keragaman harga
antar wilayah pada bulan April 2012 sebesar 10,8%. Hal ini menunjukkan bahwa
secara nasional disparitas harga tepung terigu antar wilayah relatif tinggi. Wilayah
dengan harga yang relatif tinggi adalah kota Kupang, Jayapura, dan Manokwari
dengan tingkat harga sebesar Rp.10.200,-/kg, Rp.9.000,-/kg, Rp.9.000,-/kg dan,
Rp.9.000,-/kg. Sedangkan wilayah dengan tingkat harga yang relatif rendah
adalah kota Semarang, Denpasar dan Mamuju dengan harga masing-masing
sebesar Rp. 6.860,-/kg, Rp. 6.600,-/kg, dan Rp. 6.000,-/kg.
3. Konsumsi
Keterkaitan antara pendapatan dan permintaan akan pangan disebutkan dalam
teori harga bahwa semakin tinggi harga satu barang cenderung akan mengurangi
permintaan akan barang tersebut dan sebaliknya. Dengan berkurangnya permintaan,
khususnya terhadap pangan, akan menurun pula tingkat konsumsi penduduk. Teori
psikologi hierarki maslow menduga bahwa ketika seseorang mampu memenuhi
kebutuhan pokoknya maka ia akan termotivasi untuk memenuhi kebutuhan penting
berikutnya, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Apabila tingkat pendapatannya
naik maka konsumen akan mengurangi konsumsi beras dan cenderung meningkatkan
konsumsi terigu, baik dalam bentuk roti, pasta, kue basah, maupun kering.

12
a) Konsumsi terigu di Indonesia mengancam ketahanan pangan dengan tingkat
konsumsi mencapai 4,3 juta ton/tahun pada tahun 2010 dengan kenaikan yang
tetap setiap tahunnya. Menurut Franciscus Welirang, Ketua Umum Aptindo
(Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia), pada tahun 2013, konsumsi terigu
di Indonesia diperkirakan naik 7% menjadi 5,43 juta ton. Kenaikan tersebut
dikarenakan adanya peningkatan produksi industri makanan, terutama biskuit.
Diversifikasi pangan yang dikenalkan pemerintah untuk mengurangi konsumsi
beras dan memperkenalkan penggantinya yaitu bahan pangan yang berbasis
gandum masih tetap saja membuat Indonesia menjadi salah satu negara pengimpor
gandum terbesar setelah Mesir.
b) Kebutuhan impor gandum yang berlebih tentu memberikan dampak negatif dari
sisi devisa negara, juga memberikan dampak yang kurang baik bagi kesehatan,
terutama pada anak autis. Diketahui bahwa tepung terigu mengandung gluten
yang tidak dapat dicerna dengan baik oleh anak autis dan penderita diabetes
melittus. Kebanyakan anak penyandang autis mempunyai masalah dalam proses
mencerna/ memecah protein gluten. Penyelesaian masalah impor beras di
Indonesia sama halnya seperti memilih pil yang kurang pahit, yang meredam
gejala penyakit, tapi tidak mengobati penyebabnya yaitu sistem kurs ganda
(multiple exchange rates). Dalam sistem ini, ada beberapa kurs rupiah, masing-
masing diberlakukan untuk kelompok transaksi devisa tertentu. Bagi transaksi
yang menyangkut devisa keluar (impor, transfer keluar), setiap dolar yang
diperlukan harus dibayar dengan kurs yang lebih mahal. Sebaliknya, bagi
transaksi devisa masuk (ekspor), setiap dolar yang masuk ditukar dengan rupiah
yang jumlahnya lebih sedikit.

13
BAB III
REKOMENDASI

3.1 Upaya Peningkatan Produksi Pangan Terigu


Bustanul Arifin secara konkret menjelaskan bahwa tonggak ketahanan pangan
adalah ketersediaan atau kecukupan pangan dan aksesibilitas bahan pangan oleh
masyarakat dapat dicapai dengan produksi sendiri, dengan cara memanfaatkan dan
alokasi sumberdaya alam, manajemen dan pengembangan sumberdaya manusia, serta
aplikasi dan penguasaan teknologi yang optimal. Hal tersebut sudah mulai
dikembangkan oleh salah satu Universitas di Indonesia yaitu Universitas Andalas,
Sumatera Barat, yang melakukan penelitian dan pengembangan gandum di Indonesia
yang memiliki iklim tropis dengan curah hujan yang tinggi.
Sejak 2011 Fakultas Pertanian Universitas Andalas sudah mengembangkan
gandum seluas tiga hektare di dataran tinggi nagari Alahan Panjang Kabupaten Solok
Sumatera Barat. Pengembangan ini hasil kerja sama antara Universitas Andalas dan
Osivo, perusahaan benih dari Slovakia. Tanaman subtropis tersebut dapat tumbuh
dengan baik di dataran tinggi nagari Alahan Panjang yang berketinggian 1.620 meter di
atas permukaan laut. Pengembangan gandum di Indonesia terkendala oleh curah hujan
yang tinggi dan tersedianya benih. Pengembangan gandum di Indonesia sangat penting
karena Indonesia menjadi negara pengimpor gandum terbesar di Asia Tenggara dengan
impor sebesar 7,5 ton per tahun.
Menurut Ketua Tim Gandum Universitas Andalas, Indonesia punya cukup potensi
karena bisa menghasilkan gandum 3 hingga 5 ton per hektare. Sedangkan di negara
asalnya, gandum bisa mencapai 8 ton per hektare. Pengembangan gandum layaknya
menanam padi di lahan kering, tumbuhnya mudah dan tidak mudah terserang hama
penyakit sehingga biaya perawatannya tidak mahal.
Tanaman gandum sendiri siap dipanen dalam waktu tiga bulan. Tujuan
pengembangan ini ingin mensosialisasi bahwa tanaman gandum juga dapat ditanam di
Indonesia dan agar para petani tahu tanaman gandum. Hasil panen ladang
gandum Universitas Andalas sebagian dijadikan bibit dan sebagian diolah menjadi roti
dan bubur gandum. Maka dari itu, dapat dilakukan pengoptimalan penelitian dan
teknologi di berbagai tempat di Indonesia yang memungkinkan untuk ditanami gandum
dan memperluas lahan tani serta memproduksi sendiri gandum yang dihasilkan.

14
3.2 Upaya Penurunan Ketergantungan Impor Pangan Terigu
Permasalahan ketergantungan terhadap gandum dan terigu harus segera dipecahkan.
Ketergantungan ini dapat menjadi ancaman terhadap kedaulatan pangan Indonesia. Isu
pemanasan global dan perubahan iklim menjadi ancaman dibidang pertanian. Apabila
cadangan gandum dunia menipis dan negara pengekspor gandum memilih menimbun
gandum mereka karena ancaman perubahan iklim maka negara pengimpor seperti
Indonesia akan menjadi korban. Harga yang mahal karena barang yang sedikit akan
menguras devisa, sedangkan negara harus tetap membeli karena gandum telah masuk ke
sistem perekonomian dari industri besar seperti industri penggilingan gandum dan mie
instan hingga industri kecil seperti mie basah, mie ayam, dan gorengan. Pemerintah
secara perlahan harus mulai melepaskan diri dari ketergantungan gandum dengan
menggunakan tepung lokal. Ketika Indonesia telah dapat mandiri dan tidak terikat dengan
negara lain dalam menentukan kebijakan panganya guna menjamin hak atas pangan bagi
rakyatnya dengan sumber daya lokal, maka pada saat itu telah tercapailah kedaulatan
pangan yang sesungguhnya.
a. Memperbanyak ekspor untuk menyeimbangkan devisa dan impor dari negara lain,
dengan menjaga perolehan devisa yang memadai dari sektor perekonomian untuk
menjaga neraca keseimbangan perdagangan luar negeri.
b. Sedangkan komponen kedua dalam ketahanan pangan atau aksesibilitas setiap individu
terhadap bahan pangan dapat dijaga dan ditingkatkan melalui perberdayaan sistem
pasar serta mekanisme pemasaran yang efektif dan efisien, yang juga dapat
disempurnakan melalui kebijakan tata niaga, atau distribusi bahan pangan dari sentra
produksi sampai ke tangan konsumen. Akses individu ini dapat juga ditopang oleh
intervensi kebijakan harga yang memadai, menguntungkan, dan memuaskan semua
pihak.
c. Manajemen distribusi komoditas bahan pokok merupakan salah satu isu penting dalam
sistem logistik nasional, yang memastikan kelancaran distribusi komoditas bahan
pokok dari daerah surplus dari produsen ke daerah minus yang merupakan daerah
banyak konsumsi. Sistem manajemen logistik yang baik akan memastikan kelancaran
distribusi komoditas bahan pokok dari daerah produsen ke daerah-daerah konsumen
setiap saat dan sepanjang waktu secara berkesinambungan dengan cara penggunaan
teknologi informasi untuk mengurangi asimetri informasi antara pasar penawaran
dengan pasar permintaan komoditas bahan pokok dapat meminimalkan kelangkaan
barang dan disparitas harga. Informasi permintaan dapat di-capture secara harian dan
15
bahkan realtime. Perkembangan teknologi internet memungkinkan data permintaan
dapat diolah dari big data, secara personal, detil, dan komprehensif. Data ini yang akan
dimanfaatkan oleh produsen dalam merencanakan berapa jumlah produksi yang tepat
untuk memenuhi permintaan. Secara agregat, data pasokan dan permintaan suatu
komoditas antardaerah dapat diperoleh, sehingga bila suatu daerah kelebihan pasokan
suatu komoditas, maka komoditas tersebut segera diperdagangkan ke daerah yang
kekurangan pasokan komoditas tersebut.
3.3 Upaya Menjaga Keseimbangan Produksi dan Konsumsi Pangan Terigu
Konsumsi tepung terigu yang semakin meningkat jika tidak ditunjang dengan
produksi yang mencukupi dapat mengakibatkan permasalahan yang kompleks.
Konsumsi terigu di Indonesia baik berupa olahan produk terigu maupun untuk pakan
ternak semakin meningkat. Jika tidak segera diatasi dapat mengakibatkan
ketersediaannya tidak mencukupi untuk kebutuhan nasional. Oleh karena itu, untuk
menjaga keseimbangan produksi dan konsumsi terigu dapat dilakukan pengembangan
lahan diwilayah strategis yang bisa ditanami oleh gandum. Pemanfaatan lahan ini
bertujuan agar indonesia tidak terus menerus mengimpor gandum dalam jumlah yang
besar mengingat sampai sekarang indonesia masih mengandalkan gandum dari luar.
Dengan melakukan kegiatan produksi bahan baku terigu secara mandiri tersebut dapat
mengurangi ketergantungan impor gandum sehingga jika ada kenaikan harga gandum
dunia maupun terjadi konflik antara indonesia dengan negara pengekspor gandum ke
indonesia dapat ditangani dengan bijak yang pada akhirnya tidak akan menimbulkan
dampak pada ketersediaan terigu nasional.
3.4 Upaya Meningkatkan Daya Saing dan Nilai Tambah Produk Pangan Terigu
Tepung terigu banyak digunakan sebagai bahan dasar berbagai macam produk
olahan seperti produk makanan. Industri makanan berbahan baku terigu berkembang
sangat pesat di Indonesia, hal ini menyebabkan meningkatnya permintaan produk terigu
dari tahun ketahun. Terigu merupakan produk pangan yang bisa dikatakan menjadi
kebutuhan orang banyak. Oleh karena itu, tepung terigu menjadi komoditas yang sangat
penting bagi masyarakat Indonesia.
Untuk meningkatkan daya saing dan nilai tambah terigu nasional dapat dilakukan
dengan mengembangkan produk hasil olahan terigu. Pengembangan hasil olahan ini
sebagai salah satu cara meningkatkan daya saing produsen dan nilai tambah pangan itu
sendiri. Produk-produk turunan tepung gandum berupa roti, kue dan mie sangat terbuka

16
untuk dikembangkan secara kreatif. Selera masyarakat Indonesia sangat terbuka untuk
hal-hal yang sifatnya baru dan berbeda.
Produk olahan terigu dapat dikemas dalam lingkup ekonomi kreatif yang didukung
oleh pemerintah. Adapun yang dimaksud dengan “Ekonomi Kreatif” menurut Diktum
Pertama Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2009 tentang Pengembangan Ekonomi Kreatif
adalah: “...kegiatan ekonomi berdasarkan pada kreativitas, keterampilan, dan bakat
individu untuk menciptakan daya kreasi dan daya cipta individu yang bernilai ekonomis
dan berpengaruh pada kesejahteraan masyarakat Indonesia”.
Pengembangan produk (product development) yang diperankan oleh industri
pengolahan makanan untuk meningkatkan cita-rasa dan citra-produk pangan khas
nusantara dengan menggunakan bahan tepung terigu. Dengan demikian salah satu hal
yang perlu ditekankan adalah bagaimana upaya pemerintah dalam menciptakan iklim
bisnis industri atau usaha menengah kecil mikro yang kondusif. Sehingga tindakan
intensifikasi ataupun ekstensifikasi tidak berhenti pada produksi yang besar namun juga
pada upaya penciptaan suasana yang kondusif bagi usaha ekonomi yang dikelola
masyarakat berbagai tingkatan.
3.5 Strategi Untuk Mewujudkan Kemandirian Pangan Terigu Dimasa yang akan
Datang
Jika ditinjau dari jumlah ketersediaan gandum dunia yang melimpah dan harga
gandum yang jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan harga beras. Maka kebijakan
liberalisasi pangan tepung terigu diharapkan akan berdampak positif terhadap
kesuksesan pelaksanaan program diversifikasi pangan di Indonesia. Namun untuk
mencapai kesuksesan dalam implementasi program diversifikasi pangan berbasis tepung
terigu, hanya akan tercapai apabila pemerintah dan seluruh elemen masyarakat saling
memahami akan urgensi program diversifikasi pangan.
Dalam rangka mewujudkan peningkatan ketahanan pangan, setidaknya ada lima
kegiatan pokok yakni :
1. Pengawalan ketahanan pangan lewat produksi dalam negeri melalui optimalisasi
lahan sawah (terutama didaerah subtropis)
2. Pengembangan lahan pertanian gandum
3. Peningkatan mutu intensifikasi
4. Perbaikan pascapanen
5. Percepatan diversifikasi konsumsi pangan.

17
Untuk membangkitkan pertanian dalam upaya perwujudan kedaulatan pangan yang
berkelanjutan, pemerintah harus memiliki tiga agenda utama yakni mencegah alih fungsi
lahan, melakukan reforma agraria, dan mendorong percepatan perluasan lahan pertanian
tanaman pangan terigu di Indonesia.
Proyeksi prediksi ketahanan pangan dimasa mendatang
Menurut Welirang (Ketua Aptindo), kapasitas terpasang industri tepung terigu
nasional di Tahun 2008 adalah 7 juta ton gandum per tahun. Dimana baru terpakai 4,5
juta ton gandum dan menghasilkan 3,5 juta ton tepung terigu. Jumlah konsumsi tepung
terigu masyarakat Indonesia sebesar 16,5 kilogram per kapita per tahun. Diperkirakan
penggunaaan kapasitas terpasang/utilisasi secara penuh akan tercapai pada tahun 2025.
Apabila harga gandum diasumsikan US$ 200 per ton, maka diperlukan devisa 1,4 miliar
dollar AS. Namun di sisi lain, saat ini tepung terigu telah terbukti menjadi lokomotif
tumbuhnya usaha kecil dan menengah serta sebagai bahan ingredient industri makanan.
Strategi untuk mewujudkan kemandirian pangan terigu
Strategi yang bisa dilakukan untuk mewujudkan kemandirian pangan terigu di masa
mendatang meliputi:
A. Strategi Produksi
Upaya pencapaian produksi gandum dilakukan melalui:
1. Ekstensifikasi Gandum
Sosialisasi pada daerah baru mempunyai yang memiliki potensi besar untuk
dikembangkan. Mengingat potensi lahan kering maupun lahan marginal masih
cukup luas. Upaya pengembangan pada daerah-daerah bukaan baru dilakukan oleh
Pemerintah dengan menyediakan lahan bagi petani Gandum melalui identifikasi
wilayah, dan sosialiasi komoditas gandum.
2. Pengembangan Daerah Binaan
Pengembangan daerah binaan dilakukan di lahan milik petani yang sudah
terbiasa melakukan budidaya gandum. Upaya pengembangan ini dilakukan dengan
perluasan areal tanam menuju pada usaha tani yang memenuhi skala ekonomi.
Selain itu perlu pengawalan areal tanam seluas 30%, untuk produksi benih bagi
pertanaman tahun berikutnya oleh BPSB, BPTP dan Perguruan Tinggi setempat,
atau penyiapan benih melalui APBD (agar provinsi dan kabupaten mengalokasikan
dana untuk pengawalan tersebut).
Pengembangan gandum melalui demarea di beberapa provinsi, meliputi
Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara
18
Timur dan Sulawesi Selatan. Untuk mendukung pengembangan gandum selain
dengan membudidayakan varietas gandum dataran tinggi yang ada saat ini, PATIR
BATAN (Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi, Badan Tenaga Nuklir
Nasional) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian bekerja sama dengan
Perguruan Tinggi telah melakukan uji multilokasi varietas gandum pada dataran
rendah-medium. Sehingga pengembangannya diharapkan dapat lebih luas tidak
saja pada lokasi dengan ketinggian > 800 m dpl, tetapi juga pada lahan kering
dataran medium.
3. Pengembangan Sentra Produksi
Pengembangan sentra produksi merupakan upaya pengembangan usaha tani yang
memenuhi skala ekonomi. Sehingga memungkinkan tumbuh dan berkembangnya
sistem dan usaha-usaha agribisnis berkelanjutan. Pengembangan sentra produksi
dilakukan dengan pendekatan:
a. Pengembangan sentra produksi berskala ekonomis berbasis kabupaten andalan
b. Pemantapan peran kelembagaan dalam rangka penguatan modal usaha
c. Kegiatan yang dikembangkan dalam subsistem budidaya di sentra produksi
perlu dipadukan dengan subsistem lainnya seperti penyediaan infrastruktur,
pengelolaan industri pedesaan, pemasaran dan lain-lain, sehingga tercipta
keterpaduan dan keharmonisan pengembangan agribisnis secara utuh.
B. Strategi Kebijakan dan Kerjasama
1. Penyusunan Kebijakan Pengembangan Gandum
Penyusunan kebijakan pemerintah untuk mendukung pengembangan gandum
antara lain dilakukan melalui demarea berupa bantuan paket teknologi budi daya
(saprodi lengkap) yang tersebar di beberapa provinsi pada kabupaten yang
berpotensi secara agroklimat cocok untuk budi daya gandum.
Selain itu juga dilaksanakan pelatihan petugas dalam rangka adopsi teknologi
budidaya sampai dengan pascapanen, pemasyarakatan pengolahan hasil melalui
demonstrasi pengolahan, pemberian alat penepung gandum skala rumah tangga,
bimbingan kepada petugas dan petani serta media publikasi.
2. Kerjasama dengan Insitusi Pendidikan
Ditjen Tanaman Pangan telah bekerja sama dengan beberapa Perguruan Tinggi
Negeri maupun Swasta dalam rangka pengembangan teknologi budidaya dan
penyiapan benih gandum antara lain, dengan Institut Pertanian Bogor, Universitas
Padjadjaran, Universitas Kristen Satya Wacana, dan Universitas Slamet Riyadi.
19
3. Pelatihan Pembuatan Pangan Alternative
Pada tahun 2005 telah dilaksanakan pelatihan untuk petugas pengembangan
gandum, yang merupakan wakil dari provinsi dan kabupaten pelaksana
pengembangan gandum. Pelatihan yang dilaksanakan di Kecamatan Tosari,
Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa Timur dengan materi teori dan praktek
lapangan, serta demo masak dari salah satu stakeholder yang bergerak di bidang
pertepungan nasional. Demo masak dilakukan dengan membuat beberapa pangan
alternatif berbasis gandum dengan memperlihatkan beberapa keunggulan gandum
produksi Tosari dibandingkan dengan tepung terigu yang bahan bakunya berasal
dari impor.
Pada tahun 2007 kembali diadakan pelatihan petugas pengembangan gandum
dengan tema Pelatihan Peningkatan Kapasitas SDM di Ciawi, Kabupaten Bogor.
Pelatihan diikuti oleh petugas dari pusat dan daerah. Selain materi yang diberikan
di ruangan, peserta juga mendapat materi lapangan (field trip) dengan
mengunjungi salah satu lokasi kebun percontohan gandum Perguruan Tinggi di
Bandung.
4. Membuka lapang kerja untuk memproduksi tepung terigu serta bekerja sama
dengan pabrik industri pangan untuk memanfaatkan produk dalam negeri.
5. Program pengembangan gandum berdasarkan Renstra 5 tahun ke depan (2015-
2019)
Program ini dilakukan dengan mengalokasikan dana bansos yang selama ini
terputus yang mengakibatkan budidaya gandum mulai menurun. Bantuan sosial
akan dilaksanakan tiap tahun berupa demarea pada provinsi dan kabupaten yang
mempunyai potensi pengembangan. Demarea gandum diharapkan membantu
kelompok tani sekitarnya dan kelompok tani di daerah lain. Sasaran luas panen,
produktivitas, dan produksi gandum pada tahun 2015- 2019 terlihat pada Tabel.

Tabel Sasaran luas panen, produktivitas dan produksi gandum tahun 2015-2019

20
6. Intervensi Pemerintah
Masalah persaingan usaha dalam industri tepung terigu menjadi hal yang
krusial, dan apabila pemeritah tidak melakukan intervensi dalam pengaturan
persaingan usaha, dikhawatirkan akan berdampak negatif terhadap ketersediaan
tepung terigu bagi industri pangan berbasis tepung terigu dan konsumen rumah
tangga. Di sini intervensi pemerintah menjadi positif, karena intervensi
dimaksudkan mencegah praktek monopoli akibat penguasaan industri tepung
terigu oleh perusahaan dominan.
Salah satu upaya terpenting yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah
melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat, terutama kepada generasi muda
akan pentingnya budaya pola konsumsi yang variatif, yang mengkombinasikan
konsumsi pangan beras dan bahan pangan berbasis tepung terigu secara
berkesinambungan. Program diversifikasi pangan ini harus didasari oleh political
will pemerintah, dan difahami dengan bijaksana oleh masyarakat Indonesia.
7. Menerapkan kebijakan ekonomi
Terutama kebijakan fiskal dalam membatasi import tepung gandum dan
melindungi produk tepung gandum lokal.
a. Tarif barrier
Hal ini bisa berupa peningkatan bea masuk spesifik untuk produk tepung
gandum.
b. Non tarif barriers
Dengan semakin ketatnya peraturan dari World Trade Organization (WTO)
tentang penerapan tariff barrier makan non-tariff barrier menjadi alternatif
yang digunakan negara-negara dunia untuk melindungi produk-produk
lokalnya. Hal ini bisa berupa kebijakan-kebijakan berikut antara lain :
1. Penerapan lisensi (ijin) khusus impor
2. Kuota atau pembagian kuota (quota shares)
3. Embargo
4. Peningkatan standard barang atau spesifikasi barang impor
8. Penguatan kelembagaan
Strategi pengembangan komoditas gandum melalui penguatan kelembagaan
meliputi: (a) penguatan Kelompok tani/Gapoktan gandum, (b) penangkar benih,
ketersediaan benih yang terbatas sehingga perlunya pemberdayaan penangkar
benih melalui dukungan dana APBD dan kemitraan usaha untuk penyiapan
21
kebutuhan benih, (c) asosiasi pengguna tepung, (d) kelembagaan pengolahan dan
pemasaran hasil, serta (d) lembaga pembiayaan usaha tani seperti KUR.

22
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Ketahanan pangan terigu menjadi isu strategis dalam upaya untuk mewujudkan
diversifikasi pangan di Indonesia. Konsumsi terigu yang meningkat setiap tahunnya
mendorong pemerintah untuk menyediakan terigu baik melalui produksi lokal maupun
impor dari luar negeri. Namun impor terigu dari luar bisa menimbulkan permasalahan
lain terkait penyelundupan terigu dimana terigu tersebut tidak sesuai dengan kebijakan
standar nasional Indonesia yang dapat mengakibatkan kerugian baik pada produsen
nasional terkait persaingan bebas maupun terhadap konsumen nasional dari segi kualitas.
Untuk itulah perlu intervensi dari pemerintah untuk mencegah hal tersebut. Stategi untuk
menciptakan ketahanan pangan terigu di Indonesia pada masa mendatang dapat dilakukan
dengan memproduksi terigu menggunakan gandum lokal yang ditanam pada wilayah
yang cocok di Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menjaga ketersediaan bahan baku
terigu nasional sehingga tidak perlu menghabiskan devisa negara yang banyak karena
harus mengimpor 100% gandum dari luar.
Untuk mencapai produksi terigu yang optimal diperlukan kerjama dari berbagai
lintas sektor. Kerjasama tersebut berupa peningkatan penelitian dengan institusi
pendidikan untuk mengidentifikasi jenis gandum yang bisa dikembangkan di lahan
Indonesia, kerjasama dengan pemerintahan untuk menyediakan lahan yang bisa
dimanfaatkan oleh petani gandum, penguatan kelembagaan berupa penguatan kelompok
tani gandum serta dukungan dana APBD, pembentukan asosiasi pengguna tepung, serta
pembuatan kelembagaan pengolahan dan pemasaran hasil tepung terigu.

23
DAFTAR PUSTAKA

Alexandi,Muhammad Findi.2008.”Negara dan Usaha”. Skripsi:FISIP Universitas Indonesia.


Attar,Asmawan.dkk.2014.”Analisis Kebijakan Impor Tepung”.Manajemen dan bisnis.Institut
Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statistik.2014.”Distribusi Perdagangan Komoditi Tepung Terigu Indonesia
2014”.
Boediono. 2016. “Ekonomi Indonesia”. Bandung : PT Mizan Pustaka
Hanafie, Rita. 2010. “Pengantar Ekonomi Pertanian”. Yogyakarta : ANDI, diakses pada 22
September 2017 pukul 4.37 [Online]
https://books.google.co.id/books?id=RQ_mXpuCl9oC&printsec=frontcover#v=o
nepage&q&f=false.
Kementrian Perdagangan RI. 2012. “Tinjauan Pasar Tepung Terigu”
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016. “Penugasan Kepada
Perusahaan Umum (PERUM) BULOG dalam Rangka Ketahanan Pangan
Nasional”. 25 Mei 2016. Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 106 Tahun
2016. Jakarta.
http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/2070-mewujudkan-kemandirian-dan-ketahanan-
pangan.html diakses 14 september 2017
http://www.S2-2014-327132-chapter1.pdf diakses 14 september 2017
Sembiring, Hasnul dan Diana. “Kebijakan Pengembangan Gandum di Indonesia”. Direktorat
Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian

Gandum
Disusun

24

Anda mungkin juga menyukai