Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan
dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa
hingga akhir kehidupan pasien (World Health Organization, 2014). Perawatan
paliatif juga merupakan suatu pendekatan dalam perawatan pasien yang
terintegrasi dengan terapi pengobatan untuk mengoptimalkan kualitas hidup
pasien dengan penyakit kronis atau mengancam jiwa (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2009). Pada tahun 2011, 29.063.194 orang di
dunia meninggal karena penyakit yang membutuhkan perawatan paliatif dan 6%
dari jumlah tersebut merupakan anak-anak. Perkembangan perawatan paliatif di
Indonesia masih belum merata. Rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota
provinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar.
Sedangkan pasien membutuhkan pelayanan perawatan paliatif yang bermutu,
komprehensif dan holistik. Sehingga Departemen Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang perawatan paliatif agar dapat
memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
perawatan paliatif (SK Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 812/ Menkes/ SK/
VII/ 2007). Perawatan paliatif dapat meningkatkan kesejahteraan fisik,
psikologis, sosial dan spiritual pada anak dan keluarga (Liben et al, 2008).
Perawat bertindak sebagai fasilitator untuk memenuhi kebutuhan spiritual agar
pasien tetap melakukan yang terbaik sesuai dengan kondisinya.

1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Dunia?
2. Bagaimana Aspek Etika keperawatan Paliatif di Indonesia?
3. Bagaimana Trend ke depan dalam Pendidikan di bidang Keperawatan
Paliatif?
4. Bagaimana Trend ke depan dalam Penelitian di bidang Keperawatan Paliatif?
5. Bagaimana penjelasan tentang Euthanasia?

C. Tujuan Penulisan
1. Mampu memahami Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Dunia.
2. Mampu memahami Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Indonesia.
3. Mengetahui Trend ke depan dalam Pendidikan di bidang Keperawatan
Paliatif.
4. Mengetahui Trend ke depan dalam Penelitian di bidang Keperawatan Paliatif.
5. Memahami Euthanasia dan permasalahannya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Keperawatan Paliatif


Paliatif berasal dari bahasa Latin pallium, sejenis jubah pada
zaman Yunani kuno dan Romawi. Paliatif berarti berfungsi seperti
jubah yang melindungi, menyamankan, dan menyembunyikan atau
mengurangi keburukan. Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit
yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit
dan memberikan dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak
tegaknya diagnosa hingga akhir kehidupan pasien (World Health Organization,
2014).

B. Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Dunia


Perawatan paliatif mulai dikenalkan pada tahun 60-an di
Inggris oleh Cicely Saunders. Dia adalah peletak konsep dasar
perawatan paliatif. Sebagai perawat, pekerja sosial dan kemudian
dokter, Cicely banyak menghadapi pasien yang sakit parah dan
tergerak untuk melakukan sesuatu bagi mereka. Filosofi dasar
perawatannya adalah bahwa kematian adalah fenomena yang sama alaminya
dengan kelahiran, sehingga melihat kematian sebagai proses yang
harus meneguhkan hidup dan bebas dari rasa sakit. Berkat jasanya, saat ini ada
sekitar 220 panti perawatan paliatif (hospis) di Inggris dan lebih dari
8.000 di seluruh dunia. Tanggal 6 Oktober seluruh masyarakat dunia
memperingati World Hospice Palliative Care Day, Hari Perawatan Hospis dan
Paliatif Sedunia. Dulu perawatan ini hanya diberikan kepada pasien kanker yang
secara medis sudah tidak dapat disembuhkan lagi, tetapi kini diberikan pada
semua stadium kanker, bahkan juga pada penderita penyakit-penyakit lain yang
mengancam kehidupan seperti HIV/AIDS dan berbagai kelainan yang bersifat
kronis.

3
Perawatan paliatif sangat luas dan melibatkan tim
interdisipliner yang tidak hanya mencakup dokter dan perawat tetapi
juga ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater,
rohaniwan, dan lainnya yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani
sepenuh hati. Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan,
rawat rumah (home care), day care dan respite care. Rawat rumah
dilakukan dengan kunjungan ke rumah pasien, terutama mereka yang tidak dapat
pergi ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim untuk
memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami
pasien dan keluarganya, baik masalah medis maupun psikis, sosial,
dan spiritual. Day care adalah menitipkan pasien selama jam kerja
jika pendamping atau keluarga yang merawatnya memiliki keperluan
lain (seperti day care pada penitipan anak). Sedangkan respite care adalah
layanan yang bersifat psikologis melalui konseling dengan psikolog atau
psikiater, bersosialisasi dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi
musik.

C. Aspek Etika Keperawatan Paliatif di Indonesia


Di Indonesia perawatan paliatif baru dimulai pada tanggal 19 Februari
1992 di RS Dr. Soetomo (Surabaya), disusul RS Cipto Mangunkusumo (Jakarta),
RS Kanker Dharmais (Jakarta), RS Wahidin Sudirohusodo (Makassar), RS Dr.
Sardjito (Yogyakarta), dan RS Sanglah (Denpasar). Di RS Dr. Soetomo
perawatan paliatif dilakukan oleh Pusat Pengembangan Paliatif dan Bebas Nyeri.
Pelayanan yang diberikan meliputi rawat jalan, rawat inap (konsultatif), rawat
rumah, day care, dan respite care. Dari tahun 1992-2010 pelayanan perawatan
paliatif baru ada di 6 ibukota besar yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Yogyakarta,
JawaTimur, Bali dan Sulawesi Selatan. Betapa pentingnya perawatan paliatif
untuk pasien-pasien yang telah memasuki fase terminal dari penyakit yang
diderita sehingga Menteri kesehatan sampai perlu menerbitkan sebuah
Kepmenkes No. 812/Menkes/SK/VII/2007 yang isinya agar setiap rumah sakit
menyediakan perawatan paliatif di masing-masing rumah sakit untuk
meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan yang
paripurna tidak hanya yang dilakukan di rumah sakit, tetapi juga meliputi
perawatan pra-rumah sakit, selama di rumah sakit, dan purna rumah sakit.
4
Tujuannya mencakup aspek promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, yang tujuan
utamanya mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri secara optimal
selama mungkin. Pada kasus yang oleh tim dokter dinyatakan sulit sembuh atau
tidak ada harapan lagi, bahkan mungkin hampir meninggal dunia atau yang
dikenal pasien stadium terminal (PST), tentunya dibutuhkan pelayanan yang
spesial.
Di sinilah perawatan paliatif menjadi aspek penting pada pengobatan,
khususnya bidang geriatri (masalah kesehatan pada lansia). “Dalam perawatan
paliatif ini membutuhkan tim multidisiplin,” kata dokter dari Subbagian Geriatri,
Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FK UGM/SMF Geriatri RSUP Dr. Sardjito tersebut.
Senada dengan itu, dr. Ali Agus Fauzi, PGD Pall Med dari Pusat Pengembangan
Paliatif dan Bebas Nyeri RSU Dr. Soetomo-FK Unair Surabaya menjelaskan
perawatan paliatif tidak saja untuk menyembuhkan penyakit. Selain penderita,
yang ditangani juga pihak keluarga. Beberapa tempat yang memungkinkan untuk
dilakukan perawatan paliatif adalah rumah sakit, puskesmas, rumah singgah
(panti/hospis), dan rumah pasien. Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan FK
UGM, Christantie Effendy, S.Kp., M.Kes.pada kesempatan tersebut mengangkat
persoalan dan kebutuhan pasien kanker di Indonesia dan Belanda. Menurut
Christantie, meskipun Indonesia dan Belanda sangat berbeda, pasien kanker pada
kedua kelompok ini memiliki masalah fisik yang nyaris sama, dengan kelelahan
dan nyeri di urutan atas. Dari semua masalah yang dialami pasien, unmeet needs
(kebutuhan yang tidak terpenuhi) di Indonesia lebih tinggi daripada di Belanda.
Untuk prevalensi masalah pskikososial dan sosial di Indonesia lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok penelitian di Belanda. Perbedaan dalam budaya
dan juga sistem kesehatan mungkin telah berkontribusi terhadap kondisi ini.

Aspek Medikolegal Dalam Perawatan Paliatif


( Kep. Menkes NOMOR : 812/Menkes/SK/VII/2007)
1. Persetujuan tindakan medis/informed consent untuk pasien paliatif
Pasien harus memahami pengertian, tujuan dan pelaksanaan perawatan
paliatif. Pelaksanaan informed consent atau persetujuan tindakan kedokteran
pada dasarnya dilakukan sebagaimana telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan. Meskipun pada umumnya hanya tindakan kedokteran
(medis) yang membutuhkan informed consent, tetapi pada perawatan paliatif
5
sebaiknya setiap tindakan yang berisiko dilakukan informed consent. Baik
penerima informasi maupun pemberi persetujuan diutamakan pasien sendiri
apabila ia masih kompeten, dengan saksi anggota keluarga terdekatnya.
Waktu yang cukup agar diberikan kepada pasien untuk berkomunikasi
dengan keluarga terdekatnya. Dalam hal pasien telah tidak kompeten, maka
keluarga terdekatnya melakukannya atas nama pasien. Tim perawatan
paliatif sebaiknya mengusahakan untuk memperoleh pesan atau pernyataan
pasien pada saat ia sedang kompeten tentang apa yang harus atau boleh atau
tidak boleh dilakukan terhadapnya apabila kompetensinya kemudian
menurun (advanced directive). Pesan dapat memuat secara eksplisit tindakan
apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, atau dapat pula hanya menunjuk
seseorang yang nantinya akan mewakilinya dalam membuat keputusan pada
saat ia tidak kompeten. Pernyataan tersebut dibuat tertulis dan akan dijadikan
panduan utama bagi tim perawatan paliatif. Pada keadaan darurat, untuk
kepentingan terbaik pasien, tim perawatan paliatif dapat melakukan tindakan
kedokteran yang diperlukan, dan informasi dapat diberikan pada kesempatan
pertama.

2. Resusitasi/Tidak resusitasi pada pasien paliatif


Keputusan dilakukan atau tidak dilakukannya tindakan resusitasi dapat
dibuat oleh pasien yang kompeten atau oleh Tim Perawatan paliatif.
Informasi tentang hal ini sebaiknya telah diinformasikan pada saat pasien
memasuki atau memulai perawatan paliatif. Pasien yang kompeten memiliki
hak untuk tidak menghendaki resusitasi, sepanjang informasi adekuat yang
dibutuhkannya untuk membuat keputusan telah dipahaminya. Keputusan
tersebut dapat diberikan dalam bentuk pesan (advanced directive) atau dalam
bentuk informed consent menjelang ia kehilangan kompetensinya. Keluarga
terdekatnya pada dasarnya tidak boleh membuat keputusan tidak resusitasi,
kecuali telah dipesankan dalam advanced directive tertulis. Namun demikian,
dalam keadaan tertentu dan atas pertimbangan tertentu yang layak dan patut,
permintaan tertulis oleh seluruh anggota keluarga terdekat dapat dimintakan
penetapan pengadilan untuk pengesahannya. Tim perawatan paliatif dapat
membuat keputusan untuk tidak melakukan resusitasi sesuai dengan
pedoman klinis di bidang ini, yaitu apabila pasien berada dalam tahap
6
terminal dan tindakan resusitasi diketahui tidak akan menyembuhkan atau
memperbaiki kualitas hidupnya berdasarkan bukti ilmiah pada saat tersebut.
3. Perawatan pasien paliatif di ICU
Pada dasarnya perawatan paliatif pasien di ICU mengikuti
ketentuan-ketentuan umum yang berlaku sebagaimana diuraikan di atas.
Dalam menghadapi tahap terminal, Tim perawatan paliatif harus mengikuti
pedoman penentuan kematian batang otak dan penghentian peralatan
life-supporting.

4. Masalah medikolegal lainnya pada perawatan pasien paliatif


Tim Perawatan Paliatif bekerja berdasarkan kewenangan yang
diberikan oleh Pimpinan Rumah Sakit, termasuk pada saat melakukan
perawatan di rumah pasien. Pada dasarnya tindakan yang bersifat kedokteran
harus dikerjakan oleh tenaga medis, tetapi dengan pertimbangan yang
memperhatikan keselamatan pasien tindakan-tindakan tertentu dapat
didelegasikan kepada tenaga kesehatan non medis yang terlatih. Komunikasi
antara pelaksana dengan pembuat kebijakan harus dipelihara.

D. Trend ke Depan dalam Pendidikan di bidang Keperawatan Paliatif


Perawatan paliatif di hari depan dalam pendidikan yaitu dengan menyiapkan
sumber daya manusia yang handal. Dengan ini tidak luput dari pendidikan dan
pelatihan baik dokter, perawat, apoteker, termasuk para relawan. Karena untuk
menangani pasien terminal, tenaga perawatan paliatif harus menjaga
keseimbangan psikologis dan spiritual pasien dan berusaha agar pasien tetap aktif
sampai akhir hayatnya.

E. Trend ke depan dalam Penelitian bidang Keperawatan Paliatif


Penelitian yang terkait dengan keperawatan paliatif di masa yang akan datang
ditemukan pada pengobatan penderita HIV/AIDS. Dimana pengobatan
HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu pengobatan suportif,
pengobatan infeksi oportunistik, dan pengobatan antiretroviral. Pengobatan yang
terkait dengan perawatan paliatif adalah pengobatan suportif karena pengobatan
ini untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari
pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin dan dukungan psikososial.
7
Dukungan psikososial inilah yang dapat meningkatkan kualitas hidup penderita
selama ia sakit sehingga penderita dapat melakukan aktivitas seperti
semula/seoptimal mungkin.

F. Euthanasia dan Permasalahannya


Sejarah Euthanasia
Kata eutanasia berasal dari bahasa " Yunani yaitu "eu" (baik) and
"thanatos" (maut, kematian) yang apabila digabungkan berarti "kematian yang
baik". Hippocrates pertama kali menggunakan istilah "euthanasia" ini pada
sumpah Hippocrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut
berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang
mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam
sejarah hokum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat "bunuh
diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan. Menurut
KNMG (Ikatan Dokter Belanda): Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek hidup atau mengakhiri hidup seorang
pasien, dan ini dilakukan untuk kepentingan pasien sendiri. Secara umum,
kematian adalah suatu topik yang sangat ditakuti oleh publik. Hal demikian tidak
terjadi di dalam dunia kedokteran atau kesehatan. Dalam konteks kesehatan
modern, kematian tidaklah selalu menjadi sesuatu yang datang secara tiba-tiba.
Kematian dapat dilegalisir menjadi sesuatu yang definit dan dapat dipastikan
tanggal kejadiannya. Euthanasia memungkinkan hal tersebut terjadi. Euthanasia
adalah tindakan mengakhiri hidup seorang individu secara tidak menyakitkan,
ketika tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai bantuan untuk meringankan
penderitaan dari individu yang akan mengakhiri hidupnya.
Ada empat metode euthanasia:
1. Euthanasia sukarela: ini dilakukan oleh individu yang secara sadar
menginginkan kematian.
2. Euthanasia non sukarela: ini terjadi ketika individu tidak mampu untuk
menyetujui karena faktor umur, ketidak mampuan fisik dan mental. Sebagai
contoh dari kasus ini adalah menghentikan bantuan makanan dan minuman
untuk pasien yang berada di dalam keadaan vegetatif (koma).

8
3. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan
wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan,
namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr.
Jack Kevorkian.

Euthanasia dapat menjadi aktif atau pasif. Euthanasia aktif menjabarkan


kasus ketika suatu tindakan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan
kematian. Contoh dari kasus ini adalah memberikan suntik mati. Hal ini ilegal di
Britania Raya dan Indonesia. Euthanasia pasif menjabarkan kasus ketika
kematian diakibatkan oleh penghentian tindakan medis. Contoh dari kasus ini
adalah penghentian pemberian nutrisi, air, dan ventilator.

Argumen Pro Euthanasia


Kelompok pro euthanasia, yang termasuk juga beberapa orang cacat,
berkonsentrasi untuk mempopulerkan euthanasia dan bantuan bunuh diri. Mereka
menekankan bahwa pengambilan keputusan untuk euthanasia adalah otonomi
individu. Jika seseorang memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan atau
berada dalam kesakitan yang tak tertahankan, mereka harus diberikan kehormatan
untuk memilih cara dan waktu kematian mereka dengan bantuan yang diperlukan.
Mereka mengklaim bahwa perbaikan teknologi kedokteran merupakan cara untuk
meningkatkan jumlah pasien yang sekarat tetap hidup. Dalam beberapa kasus,
perpanjangan umur ini melawan kehendak mereka. Mereka yang
mengadvokasikan euthanasia non sukarela, seperti Peter Singer, berargumentasi
bahwa peradaban manusia berada dalam periode ketika ide tradisional seperti
kesucian hidup telah dijungkir balikkan oleh praktek kedokteran baru yang dapat
menjaga pasien tetap hidup dengan bantuan instrumen. Dia berargumen bahwa
dalam kasus kerusakan otak permanen, ada kehilangan sifat kemanusian pada
pasien tersebut, seperti kesadaran, komunikasi, menikmati hidup, dan seterusnya.
Mempertahankan hidup pasien dianggap tidak berguna, karena kehidupan seperti
ini adalah kehidupan tanpa kualitas atau status moral. Falsafah Utilitarian Singer
menekankan bahwa tidak ada perbedaan moral antara membunuh dan

9
mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak
menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian
terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.

Oposisi terhadap Euthanasia


Banyak argumen anti euthanasia bermula dari proposisi, baik secara
religius atau sekuler, bahwa setiap kehidupan manusia memiliki nilai intrinsik
dan mengambil hidup seseorang dalam kondisi normal adalah suatu kesalahan.
Advokator hak-hak orang cacad menekankan bahwa jika euthanasia dilegalisasi,
maka hal ini akan memaksa beberapa orang cacad untuk menggunakannya karena
ketiadaan dukungan sosial, kemiskinan, kurangnya perawatan kesehatan,
diskriminasi sosial, dan depresi. Orang cacad sering lebih mudah dihasut dengan
provokasi euthanasia, dan informed consent akan menjadi formalitas belaka
dalam kasus ini. Beberapa orang akan merasa bahwa mereka adalah beban yang
harus dihadapi dengan solusi yang jelas. Secara umum, argumen anti euthanasia
adalah kita harus mendukung orang untuk hidup, bukan menciptakan struktur
yang mengizinkan mereka untuk mati.

Euthanasia menurut hukum dibeberapa Negara


Sejauh ini euthanasia diperkenankan yaitu dinegara Belanda, Belgia serta
ditoleransi di negara bagian Oregon di Amerika, Kolombia dan Swiss dan
dibeberapa negara dinyatakan sebagai kejahatan seperti di Spanyol, Jerman dan
Denmark.
1. Amerika
Euthanasia agresif dinyatakan ilegal dibanyak negara bagian di
Amerika. Saat ini satu-satunya negara bagian di Amerika yang hukumnya
secara eksplisit mengizinkan pasien terminal (pasien yang tidak mungkin lagi
disembuhkan) mengakhiri hidupnya adalah negara bagian Oregon, yang pada
tahun 1997 melegalisasikan kemungkinan dilakukannya euthanasia dengan
memberlakukan UU tentang kematian yang pantas (Oregon Death with
Dignity Act). Tetapi undang-undang ini hanya menyangkut bunuh diri
berbantuan, bukan euthanasia. Syarat-syarat yang diwajibkan cukup ketat,
dimana pasien terminal berusia 18 tahun ke atas boleh minta bantuan untuk
bunuh diri, jika mereka diperkirakan akan meninggal dalam enam bulan dan
keinginan ini harus diajukan sampai tiga kali pasien, dimana dua kali secara

10
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan
prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu
tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara
tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak
boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara
bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory
di Australia. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu polling (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
euthanasia.
2. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik
dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh
siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid
Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah
Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Euthanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia
hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.”

11
Beberapa kasus euthanasia
1. Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 oktober
2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena
tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang
diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.

2. Kasus seorang wanita New Jersey - Amerika Serikat


Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada
tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat
bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan
zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat
penderitaan sang anak, maka orangtuanya meminta agar dokter
menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan
ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama
permohonan orangtua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding
permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31
Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat
bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan
tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal
akibat infeksi paru-paru (pneumonia).

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan
dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa
hingga akhir kehidupan pasien (World Health Organization, 2014). Perawatan
paliatif sangat luas dan melibatkan tim interdisipliner yang tidak
hanya mencakup dokter dan perawat tetapi juga ahli gizi, ahli
fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater, rohaniwan, dan lainnya
yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani sepenuh hati. Betapa
pentingnya perawatan paliatif untuk pasien-pasien yang telah memasuki fase
terminal dari penyakit yang diderita sehingga Menteri kesehatan sampai perlu
menerbitkan sebuah Kepmenkes No. 812/Menkes/SK/VII/2007 yang isinya agar
setiap rumah sakit menyediakan perawatan paliatif di masing-masing rumah sakit
untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

B. Saran
Perawatan paliatif merupakan perawatan total dan aktif dari untuk penderita
yang penyakitnya tidaklagi responsive terhadap pengobatan kuratif. Artinya tidak
memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisadisembuhkan atau tidak,
mutlak perawatan paliatif harus diberikan kepada penderita itu, perawatan paliatif
tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan
denganmemberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka.
Bagi seorang perawat paliatif harus mampu mengetahui lingkup perawatan
paliatif dan mampu membderi asuhan keperawatan paliatif kepada pasien paliatif
sejak stadium dini sampai lanjut sesuai dengan hak yang di inginkan pasien.

13
DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV
Sagung Seto, Jakarta

https://www.scribd.com/mobile/document/330819009/issue-dan-trend-keperawatan-pal
iatif

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16227/BAB%20I.pdf?sequenc
e=5&isAllowed=y

http://ipc336.ddp.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/sites/392/2015/09/3.-Trend-Perk
embangan-Paliative-Care.pptx

14

Anda mungkin juga menyukai