PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan
dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa
hingga akhir kehidupan pasien (World Health Organization, 2014). Perawatan
paliatif juga merupakan suatu pendekatan dalam perawatan pasien yang
terintegrasi dengan terapi pengobatan untuk mengoptimalkan kualitas hidup
pasien dengan penyakit kronis atau mengancam jiwa (National Consensus
Project for Quality Palliative Care, 2009). Pada tahun 2011, 29.063.194 orang di
dunia meninggal karena penyakit yang membutuhkan perawatan paliatif dan 6%
dari jumlah tersebut merupakan anak-anak. Perkembangan perawatan paliatif di
Indonesia masih belum merata. Rumah sakit yang mampu memberikan
pelayanan perawatan paliatif di Indonesia masih terbatas di 5 (lima) ibu kota
provinsi yaitu Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar dan Makassar.
Sedangkan pasien membutuhkan pelayanan perawatan paliatif yang bermutu,
komprehensif dan holistik. Sehingga Departemen Kesehatan Republik
Indonesia mengeluarkan kebijakan tentang perawatan paliatif agar dapat
memberikan arah bagi sarana pelayanan kesehatan untuk menyelenggarakan
perawatan paliatif (SK Menteri Kesehatan Indonesia Nomor 812/ Menkes/ SK/
VII/ 2007). Perawatan paliatif dapat meningkatkan kesejahteraan fisik,
psikologis, sosial dan spiritual pada anak dan keluarga (Liben et al, 2008).
Perawat bertindak sebagai fasilitator untuk memenuhi kebutuhan spiritual agar
pasien tetap melakukan yang terbaik sesuai dengan kondisinya.
1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Dunia?
2. Bagaimana Aspek Etika keperawatan Paliatif di Indonesia?
3. Bagaimana Trend ke depan dalam Pendidikan di bidang Keperawatan
Paliatif?
4. Bagaimana Trend ke depan dalam Penelitian di bidang Keperawatan Paliatif?
5. Bagaimana penjelasan tentang Euthanasia?
C. Tujuan Penulisan
1. Mampu memahami Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Dunia.
2. Mampu memahami Aspek Legal Keperawatan Paliatif di Indonesia.
3. Mengetahui Trend ke depan dalam Pendidikan di bidang Keperawatan
Paliatif.
4. Mengetahui Trend ke depan dalam Penelitian di bidang Keperawatan Paliatif.
5. Memahami Euthanasia dan permasalahannya.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
Perawatan paliatif sangat luas dan melibatkan tim
interdisipliner yang tidak hanya mencakup dokter dan perawat tetapi
juga ahli gizi, ahli fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater,
rohaniwan, dan lainnya yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani
sepenuh hati. Perawatan dapat dilakukan secara rawat inap, rawat jalan,
rawat rumah (home care), day care dan respite care. Rawat rumah
dilakukan dengan kunjungan ke rumah pasien, terutama mereka yang tidak dapat
pergi ke rumah sakit. Kunjungan dilakukan oleh tim untuk
memantau dan memberikan solusi atas masalah-masalah yang dialami
pasien dan keluarganya, baik masalah medis maupun psikis, sosial,
dan spiritual. Day care adalah menitipkan pasien selama jam kerja
jika pendamping atau keluarga yang merawatnya memiliki keperluan
lain (seperti day care pada penitipan anak). Sedangkan respite care adalah
layanan yang bersifat psikologis melalui konseling dengan psikolog atau
psikiater, bersosialisasi dengan penderita kanker lain, mengikuti terapi
musik.
8
3. Bantuan bunuh diri: ini sering diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
euthanasia. Hal ini terjadi ketika seorang individu diberikan informasi dan
wacana untuk membunuh dirinya sendiri. Pihak ketiga dapat dilibatkan,
namun tidak harus hadir dalam aksi bunuh diri tersebut. Jika dokter terlibat
dalam euthanasia tipe ini, biasanya disebut sebagai ‘bunuh diri atas
pertolongan dokter’. Di Amerika Serikat, kasus ini pernah dilakukan oleh dr.
Jack Kevorkian.
9
mengizinkan kematian terjadi. Jika konsekuensinya adalah kematian, maka tidak
menjadi masalah jika itu dibantu dokter, bahkan lebih disukai jika kematian
terjadi dengan cepat dan bebas rasa sakit.
10
lisan (dengan tenggang waktu 15 hari di antaranya) dan sekali secara tertulis
(dihadiri dua saksi dimana salah satu saksi tidak boleh memiliki hubungan
keluarga dengan pasien).
Dokter kedua harus mengkonfirmasikan diagnosis penyakit dan
prognosis serta memastikan bahwa pasien dalam mengambil keputusan itu
tidak berada dalam keadaan gangguan mental. Hukum juga mengatur secara
tegas bahwa keputusan pasien untuk mengakhiri hidupnya tersebut tidak
boleh berpengaruh terhadap asuransi yang dimilikinya baik asuransi
kesehatan, jiwa maupun kecelakaan ataupun juga simpanan hari tuanya.
Belum jelas apakah undang-undang Oregon ini bisa dipertahankan di masa
depan, sebab dalam Senat AS pun ada usaha untuk meniadakan UU negara
bagian ini. Mungkin saja nanti nasibnya sama dengan UU Northern Territory
di Australia. Sebuah lembaga jajak pendapat terkenal yaitu polling (Gallup
Poll) menunjukkan bahwa 60% orang Amerika mendukung dilakukannya
euthanasia.
2. Indonesia
Berdasarkan hukum di Indonesia maka euthanasia adalah sesuatu
perbuatan yang melawan hukum, hal ini dapat dilihat pada peraturan
perundang-undangan yang ada yaitu pada Pasal 344 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang menyatakan bahwa "Barang siapa menghilangkan
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya
dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12
tahun". Juga demikian halnya nampak pada pengaturan pasal-pasal 338, 340,
345, dan 359 KUHP yang juga dapat dikatakan memenuhi unsur-unsur delik
dalam perbuatan euthanasia. Dengan demikian, secara formal hukum yang
berlaku di negara kita memang tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh
siapa pun. Ketua umum pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Farid
Anfasal Moeloek dalam suatu pernyataannya yang dimuat oleh majalah
Tempo Selasa 5 Oktober 2004 menyatakan bahwa : Euthanasia atau
"pembunuhan tanpa penderitaan" hingga saat ini belum dapat diterima dalam
nilai dan norma yang berkembang dalam masyarakat Indonesia. "Euthanasia
hingga saat ini tidak sesuai dengan etika yang dianut oleh bangsa dan
melanggar hukum positif yang masih berlaku yakni KUHP.”
11
Beberapa kasus euthanasia
1. Kasus Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 oktober
2004 telah diajukan oleh seorang suami bernama Hassan Kusuma karena
tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun,
tergolek koma selama 2 bulan dan disamping itu ketidakmampuan untuk
menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula.
Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang
diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi
terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan
kesehatannya.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perawatan paliatif merupakan pendekatan untuk meningkatkan kualitas
hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
dengan cara meringankan penderitaan terhadap rasa sakit dan memberikan
dukungan fisik, psikososial dan spiritual yang dimulai sejak tegaknya diagnosa
hingga akhir kehidupan pasien (World Health Organization, 2014). Perawatan
paliatif sangat luas dan melibatkan tim interdisipliner yang tidak
hanya mencakup dokter dan perawat tetapi juga ahli gizi, ahli
fisioterapi, pekerja sosial, psikolog/psikiater, rohaniwan, dan lainnya
yang bekerja secara terkoordinasi dan melayani sepenuh hati. Betapa
pentingnya perawatan paliatif untuk pasien-pasien yang telah memasuki fase
terminal dari penyakit yang diderita sehingga Menteri kesehatan sampai perlu
menerbitkan sebuah Kepmenkes No. 812/Menkes/SK/VII/2007 yang isinya agar
setiap rumah sakit menyediakan perawatan paliatif di masing-masing rumah sakit
untuk meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat.
B. Saran
Perawatan paliatif merupakan perawatan total dan aktif dari untuk penderita
yang penyakitnya tidaklagi responsive terhadap pengobatan kuratif. Artinya tidak
memperdulikan pada stadium dini atau lanjut, masih bisadisembuhkan atau tidak,
mutlak perawatan paliatif harus diberikan kepada penderita itu, perawatan paliatif
tidak berhenti setelah penderita meninggal, tetapi masih diteruskan
denganmemberikan dukungan kepada anggota keluarga yang berduka.
Bagi seorang perawat paliatif harus mampu mengetahui lingkup perawatan
paliatif dan mampu membderi asuhan keperawatan paliatif kepada pasien paliatif
sejak stadium dini sampai lanjut sesuai dengan hak yang di inginkan pasien.
13
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie. Jimly, 2005, Demokrasi Dan Hak Asasi Manusia, Ketua Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia dan Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
Rasjidi. Imam, 2010, Perawatan Paliatif Suportif & Bebas Nyeri Pada Kanker, CV
Sagung Seto, Jakarta
https://www.scribd.com/mobile/document/330819009/issue-dan-trend-keperawatan-pal
iatif
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/16227/BAB%20I.pdf?sequenc
e=5&isAllowed=y
http://ipc336.ddp.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/sites/392/2015/09/3.-Trend-Perk
embangan-Paliative-Care.pptx
14