Anda di halaman 1dari 27

Makalah Mata Kuliah Farmakologi Kemoterapi

ANTIJAMUR

Disusun oleh :
Iman Firmansyah
260110130044

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
2015
Definisi
Obat anti jamur merupakan obat yang digunakan untuk menghilangkan
organisme mikroskopis tanaman yang terdiri dari sel, seperti cendawan dan ragi,
atau obat yang digunakan untuk menghilangkan jamur (Batubara, 2010).

Patofisiologi
Infeksi jamur dapat dialami orang yang terpajan pada keadaan apa pun
dalam hidupnya. Faktor predisposisi infeksi ini dapat terjadi tanpa alasan yang
jelas. Tetapi seringkali orang terpajan akibat lingkungan atau perilakunya.
Sebagai contoh, seorang atlet dapat terinfeksi jamur yang tumbuh di loker dari
keringat dan mandi yang sering. Selain itu juga terjadi pada orang yang
mengalami penurunan fungsi imun, misalnya pasien diabetes, wanita hamil, dan
bayi. Mereka yang menderita imunodefisiensi berat, termasuk pengidap AIDS,
berisiko mengalami infeksi jamur yang kronik dan berat. Pada kenyataannya,
infeksi ragzi pada vagina atau mulut seringkali merupakan infeksi oportunistik
yang ditemukan pada para pengidap HIV. Pasien dengan infeksi jamur kronik
harus dievaluasi untuk mencari diabetes melitus dan AIDS. Pengobatan dengan
antibiotik untuk infeksi bakteri dapat membunuh bakteri vagina normal yang
biasanya berada dalam keseimbangan dengan ragi vagina. Hal ini dapat
menimbulkan infeksi ragi pada vagina wanita atau perempuan muda (Farah,
2014).

Penggolongan Obat

Secara klinik, infeksi jamur dapat digolongkan menurut lokasi infeksinya,


yaitu :

1. Mikosis sistemik (infeksi jamur sistemik) terdiri dari deep mycosis


(misalnya aspergilosis, blastomikosis, koksidioidomikosis,
kriptokokosis, histoplasmosis, mukormikosis, parakoksidio –
idomikosis, dan kandidiasis) dan sub – cutan mycosis (misalnya,
kromomikosis, misetoma, dan sporottrikosis).
2. Dermatofit, yaitu infeksi jamur yang menyerang kulit, rambut, dan
kuku, biasanya disebabkan oleh epidermofiton dan mikrosporum.
3. Mikosis mukokutan, yaitu infeksi jamur pada mukosa dan lipatan
kulit yang lembab, biasanya disebabkan oleh kandida (UNSRI, 2004).

Menurut indikasi klinis obat – obat antijamur dapat dibagi atas 2 golongan,
yaitu:

1. Antijamur untuk infeksi sistemik, termasuk : amfoterisin B,


flusitosin, imidazol (ketokonazol, flukonazol, mikonazol), dan
hidroksistilbamidin.
2. Antijamur untuk infeksi dermatofit dan mukokutan, termasuk
griseofulfin, golongan imidazol (mikonazol, klotrimazol, ekonazol,
isokonazol, tiokonazol, dan bifonazol), nistatin, tolnaftat, dan
antijamur topikal lainnya (kandisidin, asam undesilenat, dan
natamisin) (UNSRI, 2004).

Obat antijamur sistemik :

A. Golongan Azol
Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan
jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol,
mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol
(itrakonazol, flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga
nitrogen (Onyewu, 2007). Kedua kelompok ini memiliki spektrum dan
mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek
samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah
para peneliti berusaha mengembangkan golongan triazol daripada
imidazol (Gupta, 2002).
Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis
ergosterol yang merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas
membran sel jamur. Bekerja dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P
450, C-14-α-demethylase yang bertanggung jawab merubah lanosterol
menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur menjadi
permeabel dan terjadi penghancuran jamur (Ashley et.al., 2006).
1. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap
Blastomyces dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis,
Histoplasma capsulatum, Malasezzia furfur, Paracoccidiodes
brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak
efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes. Dosis
ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis
untuk anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan
untuk tinea korporis dan tinea kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk
kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida esofagitis, tinea
versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.
Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya
pada jamur. Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-
10% pasien. Untuk pengobatan jangka waktu yang lama, dianjurkan
dilakukan pemeriksaan fungsi hati (Bennet, 2006).
2. Itrakonazol
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,
Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif
terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif
terhadap Zygomycetes (Bennet, 2006).
Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada
onikomikosis kuku tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan,
sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3 bulan. Itrakonazol
tersedia juga dalam bentuk kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan
dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi maksimal, karena
cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan
keluhan gastrointestinal (Gupta, 2002).
3. Flukonazol
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral
atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain
dinyatakan efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral)
(Gupta, 2002).
Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis
mukotan. Pada pediatrik digunakan untuk terapi tinea kapitis yang
disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6 mg/kg/hr selama 20 hari,
dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada
infeksi Mycoplasma canis. Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg,
100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral solusio 10 mg/ml dan 40
mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada
anak-anak <6 bulan (Bellantoni, 2008).
Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah
150 mg dosis tunggal. Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg
tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea pedis dengan 150 mg tiap
minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu ke-4.
Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu
lebih utama dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24
minggu. Pada pitiriasis versikolor digunakan 400 mg dosis tunggal.
Pada suatu penelitian open label randomized meneliti pitiriasis
versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal
dibandingkan dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih
efektif dibandingkan itrakonazol dengan dosis sama (Bellantoni,
2008).
4. Varikonazol
Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus
sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol
resistant., Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma
capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap
Zygomycetes (Gubbins, 2009).
Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral
200 mg setiap 12 jam untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12
jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk aspergilosis invasif dan penyakit
jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum dan
Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12
jam untuk 24 jam pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4
mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian intravena atau 200 mg
setiap 12 jam per oral (Wu, 2004).
5. Posakonazol
Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak
ditemukan resistensi silang posakonazol dengan flukonazol.
Posakonazol merupakan satu-satunya golongan azol yang dapat
menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat
digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis (Marr, 2002).
Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat
diberikan dengan rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal
posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna mencapai level plasma
adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari
pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih
baik bila diberikan bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi
(Huang, 2004).
B. Golongan Alilamin
1. Terbinafin
Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif
terhadap dermatofit yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk
Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal terhadap Candida
parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,
Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix
schenxkii dan beberapa dermatiaceous moulds (Bellantoni, 2008).
Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan
dermatofita, pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada
itrakonazol dosis puls. Oral terbinafin efektif untuk pengobatan
dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis terbinafin oral untuk dewasa
yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar atau
fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum
kreatinin > 300 μmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis
tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2 minggu, tinea korporis dan
kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan selama
3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih (Bennet, 2006).
C. Golongan Polien
1. Amfoterisin B
Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillus sp., Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp.,
Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma
capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.
Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur,
Scedosporium sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten (Bennet,
2006).
Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis
1-2 gr amfoterisin B deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa
dengan fungsi ginjal yang normal diberikan dosis 0,6-1,0 mg/kg BB.
Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg
amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2
jam (anak-anak dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis
0,5 mg) kemudian diobservasi dan dimonitor suhu, denyut jantung dan
tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa pasien dapat
timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat
ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2
minggu pengobatan, konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar
obat di jaringan makin bertambah dan memungkinkan obat diberikan
pada interval 48 atau 72 jam (Gupta, 2002).
Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis
1,0 mg/kg BB dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih.
Formula ini harus diberikan intravena dalam waktu 2 jam, jika
ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat menjadi 1
jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis
kumulatif 15 g tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang
dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari (Ray, 2000).
Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid
kompleks yaitu 5 mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata
2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah diberikan pada individu selama 11
bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping toksik yang
signifikan (Ray, 2000).
Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB
diberikan intravena dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika
dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-4,0 mg/kgBB. Obat
ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa
efek samping toksik yang signifikan (Gupta, 2002).
2. Nistatin
Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur,
diisolasi dari Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan
kandidiasis oral, nistatin diberikan tablet nistatin 500.000 unit setiap 6
jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml yang diberikan
4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan
dewasa 5 ml (Bennet, 2006).
D. Golongan Ekinokandin
1. Kaspofungin
Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas.
Kaspofungin efektif terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus
dan Aspergillus terreus. Kaspofungin mempunyai aktifitas yang
berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma capsulatum
dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian
besar Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan
Candida parpsilosis dan Candida krusei kurang efektif, dan resisten
terhadap Cryptococcus neoformans (Wu, 2004).
Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari
pertama dan 50 mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus
diberikan intravena melalui infus dalam periode 1 jam. Pasien dengan
kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin
diturunkan menjadi 35 mg (Gupta, 2002).
2. Mikafungin
Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis
kandida pada pasien HIV (Onyewu, 2007).
Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari
menyebabkan respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien
kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden efek simpang hanya 2,8%
(1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi
aspergilosis invasif (Rubin, 2002).
Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas
mikafungin dengan flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882
pasien yang menjalani transplantasi stem sel hemopoietik. Mikafungin
diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak selama
enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin
sebagai antijamur profilaksis lebih baik dibanding flukonazol (80%
dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini konsisten terhadap semua
subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia
persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog (Gupta,
2002).
3. Anindulafungin
Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah
disetujui FDA tahun 2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis
esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen disebabkan kandida
(Onyewu, 2007).
E. Golongan Antijamur Lain
1. Flusitosin
Flusitosin efektif terhadap Candida sp., Cryptococcus neoformans,
Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora verrucosa
(Bennet, 2006).
Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian
flusitosin diawali dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4
dosis dengan interval 6 jam namun jika terdapat gangguan ginjal
pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB (Bennet,
2006).
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di
dalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai
jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga
dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah
obat dihentikan (Bennet, 2006).
2. Griseofulvin
Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya
untuk spesies Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan
Trichophyton sp., yang merupakan penyebab infeksi jamur pada kulit,
rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap kandidiasis kutaneus
dan pitiriasis versikolor (Bennet, 2006).
Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize
(mikrochryristallin) dan ultramicrosize (ultramicrochrystallin).
Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran pencernaan 1,5 kali
dibandingkan dengan bentuk microsize (Bellantoni, 2008).
Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk
pengobatan tinea kapitis. Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada
anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans. Dosis pada anak-
anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize)
selama 6-8 minggu (Bellantoni, 2008).
Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000
mg/ hari (microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari
(ultramicrosize) dosis tunggal atau terbagi (Rubin, 2002). Lama
pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk
tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis
selama 4-8 minggu dan untuk tinea unguium selama 3-6 bulan
(Bennet, 2006).

Obat antijamur topikal :

A. Golongan Azol – Imidazol


1. Klotrimazol
Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis,
kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral
kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5 kali sehari selama 2
minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan
dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6
yang dimasukkan ke dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur
pada kulit digunakan krim klotrimazol 1% dosis dan lamanya
pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4
minggu dan dioleskan 2 kali sehari (Bennet, 2006).
2. Ekonazol
Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis
vaginalis diberikan dosis 150 mg yang dimasukkan ke dalam vagina
selama 3 hari berurut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2
kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan cepat di stratum korneum.
Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah (Bennet, 2006).
3. Mikonazol
Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, serta kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol
cepat berpenetrasi pada stratum korneum dan bertahan lebih dari 4 hari
setelah pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah. Absorpsi
kurang dari 1,3% di vagina. Pengobatan kandidiasis vaginalis
diberikan dosis 200 selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang
dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan kandidiasis oral, diberikan
oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit
digunakan mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan
tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu
dan dioleskan 2 kali sehari (Bennet, 2006).
4. Ketokonazol
Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan
mencapai keratin dalam waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin.
Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika mencapai lapisan basal
epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih
tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan (Kyle, 2004).
Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis
versikolor, kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan
dermatitis seboroik. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan
sekali sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2
kali sehari. Pengobatan pitiriasis versikolor menggunakan ketokonazol
2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu selama 8 minggu
(Kyle, 2004).
5. Sulkonazol
Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis kutaneus. Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan
sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari
kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea kruris
ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3
minggu dan untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu
(Kyle, 2004).
6. Terkonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis kutaneus dan genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis
yang disebabkan Candida albicans, digunakan terkonazol krim vagina
0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3
hari berturut-turut dan vaginal supositoria dengan dosis 80 mg
terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu
tidur selama 3 hari berturut-turut (Huang, 2004).
7. Tiokonazol
Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
kandidiasis kutaneus dan genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis
yang disebabkan Candida albicans, digunakan terkonazol krim vagina
0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina
menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3
hari berturut-turut dan vaginal supositoria dengan dosis 80 mg
terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali sehari sebelum waktu
tidur selama 3 hari berturut-turut (Huang, 2004).
8. Sertakonazol
Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis
dan candida sp, digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali
sehari selama 4 minggu (Huang, 2004).
B. Golongan Alilamin / Benzilamin
1. Naftifin
Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan
Candida sp., Untuk pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida
krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1 minggu (Bellantoni, 2008).
2. Terbinafin
Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis,
pitiriasis versikolor dan kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin
krim 1% yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari. Untuk pengobatan tinea
korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea
pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2
minggu dan untuk pitiriasis versikolor selama 2 minggu (Bennet,
2006).
3. Butenafin
Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya
sama dengan golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap
dermatofita dan dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis,
tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4 minggu
(Gupta, 2002).
C. Golongan Polien
1. Nistatin
Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada
kulit atau membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Untuk
pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal
suppossitoria (100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang
lebih 14 hari (Bennet, 2006).
D. Golongan Lain
1. Asam Udesilenat
Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal
apabila terpapar lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur.
Tersedia dalam bentuk salep, krim, bedak spray powder, sabun, dan
cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam undesilenat dan
20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan
inflamasi. Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis,
khususnya tinea pedis. Efektifitas masih lebih rendah dari imidazol,
haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan pada ruam
popok, dan tinea kruris (Bennet, 2006).
2. Salep Whitefield
Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang
mengandung 12% asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini
dikenal dengan salep Whitefield. Asam benzoat bekerja sebagai
fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga
menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur.
Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea kruris (Bennet,
2006).
3. Amorolfin
Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan
cara menghambat biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya
luas, dapat digunakan untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris,
tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit
amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan
untuk tinea pedis selama 6 bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer
diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan tanpa adanya
keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-
12 bulan. Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki
angka kesembuhan 60-76% dengan pemakaian satu atau dua kali
seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali setiap minggu
selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12
bulan (Ashley, 2006).
4. Siklopiroks olamin
Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone,
bersifat fungisidal, sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada
kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk pengobatan tinea korporis,
tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan
pitiriasis versikolor (Huang, 2004).
Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali
sehari selama 2-4 minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis
digunakan siklopiroks nail lacquer 8%. Setelah dioleskan pada
permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam
waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa
berdifusi menembus lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail
bed) dalam beberapa jam sudah mencapai kedalaman 0,4 mm dan
secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat
akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±0,25
mikrogram tiap milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat
terus hingga 30-45 hari setelah pemakaian dan selanjutnya konsentrasi
akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat minimal yang
berefek fungisidal. Konsentrasi obat yang berefek fungisidal
ditemukan di setiap lapisan kuku (Bennet, 2006).
Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian
kuku yang terinfeksi diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat
kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan tipis. Dilakukan setiap 2
hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan kedua
dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam
pengobatan. Pemakaian cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan
(Ashley, 2006).
5. Haloprogin
Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk
pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis
versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali sehari selama 2-4
minggu (Bennet, 2006).
6. Timol
Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam
bentuk tingtur untuk mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai
antiseptik membunuh organisme pada saat alkohol menguap. Tidak
tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol ke
dalam larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol.
Pemakaiannya jari ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai
menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan tekanan permukaan secara
cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang subungual
(Kyle, 2004).
7. Castellani’s paint
Castellani’s paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas
antijamur dan antibacterial. Digunakan sebagai terapi tinea pedis,
dermatitis seboroik, tinea imbrikata (Huang, 2004).
8. Alumunium Chloride
Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan
Castellani’s paint pada terapi tinea pedis (Huang, 2004).
9. Gentian Violet
Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk
yang dipasarkan mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl
congeners campuran ini membentuk kristal violet. Solusio gentian
violet dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur
mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial
(Huang, 2004).
10. Potassium Permanganat
Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada
pengenceran 1:5000 sering digunakan untuk meredakan inflamasi
akibat kandidiasi intertriginosa (Huang, 2004).
11. Selenium Sulphide
Losio 2,5% selenium sulphide untuk terapi pitiriasis versikolor dan
dermatitis seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali
sehari selama pemakaian 7 hari, tidak terjadi absorpsi perkutaneus
yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo dapat
menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut.
Losio selenium sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea
kapitis yang telah diberikan terapi oral griseofulvin (Huang, 2004).
12. Zinc Pyrithione
Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan
mengatasi pitiriasis sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi
pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap hari selama 2 minggu
(Huang, 2004).
13. Sodium Thiosulphate dan Salicylic Acid
Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic
acid tersedia preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor
(Huang, 2004).
14. Prophylen Glycol
Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi
pitiriasis versikolor. Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik,
yang secara in vitro bersifat fungistatik terhadap Malassezia furfur
kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio propylene glycol-
urea- asam laktat juga telah digunakan untuk onikomikosis (Huang,
2004).

Farmakokinetik

Obat antijamur sistemik :

1. Ketokonazol
Ketokonazol merupakan antijamur pertama yang dapat diberikan
per oral. Ketokonazol diabsorbsi dengan baik melalui oral yang
menghasilkan kadar yang cukup untuk menekan pertumbuhan berbagai
jamur. Dengan dosis oral 200 mg, diperoleh kadar puncak 2-3 mcg/ml
yang bertahan selama 6 jam atau lebih. Absorbsi akan menurun pada pH
cairan lambung yang tinggi, atau bila diberikan bersama antasida atau
antihistamin H2. Setelah pemberian oral, obat ini dapat ditemukan dalam
urin, kelenjar lemak, air ludah, kulit yang mengalami infeksi, tendon, dan
cairan sinovial. Ikatan dengan protein plasma 84% terutama dengan
albumin, 15 % diantaranya berikatan dengan sel darah dan 1% terdapat
dalam bentuk bebas. Sebagian besar obat ini mengalami metabolisme
lintas pertam. Diperkirakan ketokonazol diekskresi kedalam empedu,
masuk ke usus dan sebagian kecil saja yang diekskresi melalui urin;
semuanya dalam bentuk metabolit tidak aktif (UNSRI, 2004).
2. Flukonazol
Flukonazol diserap baik melalui saluran cerna, dan kadarnya dalam
plasma, setelah pemberian IV, diperoleh lebih dari 90% kadar plasma.
Absorpsi per oral tidak dipengaruhi oleh adanya makanan. Kadar puncak
dalam plasma diperoleh 0,5 jam sampai 1,5 jam setelah pemberian dengan
waktu paruh sekitar 30 jam. Kadar menetap dalam plasma dengan dosis
harian diperoleh pada hari ke 4 sampai ke 5 yang kira – kira 80% kadar
plasma (UNSRI, 2004).

Obat anti jamur topikal :

1. Griseofulvin
Absorpsi griseofulvin sangat bergantung pada keadaan fisik obat
ini dan absorpsinya dibantu oleh makanan yang banyak mengandung
lemak. Senyawa dalam bentuk partikel yang lebih kecil diabsorbsi 2 kali
lebih baik daripada partikel yang lebih besar. Griseofulvin berukuran
mikro dengan dosis 1 gram / hari akan menghasilkan kadar dalam darah
0,5 – 1,5 mcg/ml. Griseofulvin berukuran ultramikro diabsorpsi 2 kali
lebih baik dari senyawa berukuran mikro (UNSRI, 2004).
Metabolisme terjadi di hati. Metabolit utamanya adalah 6-
metilgriseofulvin. Waktu paruhnya kira – kira 24 jam. Jumlah yang
diekskresikan melalui urine adalah 50% dari dosis oral yang diberikan
dalam bentuk metabolit dan berlangsung selama 5 hari. Kulit yang sakit
mempunyai afinitas lebih besar terhadap obat ini, ditimbun dalam sel
pembentuk kreatin, terikat kuat dengan kreatin dan akan muncul bersama
sel yang baru berdiferensiasi sehingga sel baru ini akan resisten terhadap
serangan jamur. Kreatin yang mengandung jamur akan terkelupas dan
digantikan oleh sel baru yang normal. Griseofulvin ini dapat ditemukan
dalam sel tanduk 4 – 8 jam setelah pemberian (UNSRI, 2004).
2. Nistatin
Nistatin hampir tidak diabsorpsi melalui kulit, membran mukosa,
atau saluran cerna. Semua nistatin yang masuk kesaluran cerna
dikeluarkan kembali melalui tinja, dan tidak ditemukan adanya nistatin
dalam darah atau jaringan (UNSRI, 2004).

Mekanisme Obat

Mekanisme kerja obat antijamur adalah dengan mempengaruhi sterol


membran plasma sel jamur, sintesis asam nukleat jamur, dan dinding sel jamur
yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol


Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas
membran sel jamur dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan
dinding membran sel jamur. Kerja obat antijamur secara langsung
(golongan polien) adalah menghambat sintesis ergosterol dimana obat
ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di membran
sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa
kebocoran ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan
kerja antijamur secara tidak langsung (golongan azol) adalah
mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara mengganggu
demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor
ergosterol) (Gubbins, 2009).
2. Sintesis asam nukleat
Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat
adalah dengan cara menterminasi secara dini rantai RNA dan
menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh obat antijamur yang
mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC), dimana 5
FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam
sel jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang
menyebabkan terminasi dini rantai RNA. Trifosfat ini juga akan
berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat yang akan
menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA
(Gubbins, 2009).
3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans
Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas
mannoproteins, kitin, dan α dan β glukan yang menyelenggarakan
berbagai fungsi, diantaranya menjaga rigiditas dan bentuk sel,
metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai unsur
penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan
ekinokandin menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara
kompetitif. Sehingga apabila β glukan tidak terbentuk, integritas
struktural dan morfologi sel jamur akan mengalami lisis (Gubbins,
2009).

Efek Samping
Obat antijamur sistemik :

A. Golongan Azol
1. Ketokonazol
Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering
dijumpai terjadi pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari.
Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan gatal tanpa rash terjadi
sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol. Hepatitis drug
induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat
terjadi berbulan-bulan setelah pemberian terapi ketokonazol.
Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat menghambat human
adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan
alopesia, ginekomastia dan impoten (Bennet, 2006).
2. Itrakonazol
Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal
seperti mual, nyeri abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti
sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi (Gupta, 2002).
3. Flukonazol
Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti
mual, muntah, diare, nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu
hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma Stevens Johnsons,
hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat
(Bellantoni, 2008).
4. Verikonazol
Efek toksik vorikonazol yang sering ditemukan adalah gangguan
penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik, pada
10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga
dalam pemberian vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar
(Bennet, 2006).
B. Golongan Alilamin
1. Terbinafin
Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan
nyeri abdomen. Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien
dengan penyakit hepar kronik atau aktif (Bennet, 2006).
C. Golongan Polien
1. Amfoterisin B
Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat
segera menimbulkan efek samping seperti demam, menggigil dan
badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3 jam pemberian obat.
Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek
lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling
serius adalah kerusakan tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang
mendapat formula konvensional sering menderita kerusakan fungsi
ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari
0,5/kgBb/hari. Formula konvensional dapat juga menyebabkan
hilangnya potasium dan magnesium. Pasien yang mendapat
pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik
dan normositik sedang (Ray, 2000).
D. Golongan Ekinokandin
1. Kaspofungin
Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam
kulit, mual, muntah (Ashley, 2006).
E. Golongan Antijamur Lain
1. Flusitosin
Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare.
Trombositopenia dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di
dalam darah meninggi, menetap (>100 mg/L) dan dapat juga dijumpai
jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat juga
dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah
obat dihentikan (Bennet, 2006).
2. Griseofulvin
Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala,
mual, muntah, dan nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan
erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian pasien (Bellantoni, 2008).

Obat antijamur topikal :

A. Golongan Azol – Imidazol


1. Ekonazol
Sekitar 3% pasien mengalami eritema lokal, sensasi terbakar,
tersengat, atau gatal (Bennet, 2006).
2. Mikonazol
Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal
atau iritasi 7% kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%),
sakit kepala, urtika, atau skin rash. Iritasi, rasa terbakar dan maserasi
jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman digunakan
pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian
pada kehamilan trimester pertama (Bennet, 2006).
B. Golongan Polien
1. Nistatin
Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi kadang-kadabng dapat
timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi
(Bennet, 2006).
C. Golongan Lain
1. Salep Whitefield
Preparat nini sering menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai
pada permukaan kulit yang luas. Selain itu absorpsi secara sistemik
dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya
pada pasien yang mengalami gagal ginjal (Bennet, 2006).
2. Timol
Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak
menyenangkan (Kyle, 2004).
3. Castellani’s paint
Efek sampingnya adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol
(Huang, 2004).

Indikasi dan Kontraindikasi

Obat antijamur sistemik :

A. Golongan Azol
1. Itrakonazol
Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap
Aspergillosis sp., Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes
immitis, Cryptococcus neoformans, Histoplasma capsulatum,
Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium
apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif
terhadap dematiaceous mould dan dermatofita tetapi tidak efektif
terhadap Zygomycetes (Bennet, 2006).
Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak
direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui, karena
dieksresikan di air susu (Gupta, 2002).
2. Flukonazol
Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral
atau esophageal, criptococcal meningitis dan pada penelitian lain
dinyatakan efektif pada sporotrikosis (limfokutaneus dan visceral)
(Gupta, 2002).
Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan
ginjal. Obat ini termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan
untuk wanita hamil dan menyusui (Bellantoni, 2008).
3. Varikonazol
Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus
sp., Blastomyces dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol
resistant., Cryptococcus neoforams, Fusarium sp., Histoplasma
capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif terhadap
Zygomycetes (Gubbins, 2009).
Vorikonazol bersifat teratogenik pada hewan dan kontraindikasi
pada wanita hamil (Bennet, 2006).
4. Ketokonazol
Ketokonazol terutama efektif terhadap histoplasmosis paru, tulang,
sendi, dan jaringan lemak. Obat ini efektif untuk kriptokokosis
nonmeningeal, parakoksidioidomikosis, beberapa bentuk
koksdioidomikosis, dermatomikosis, dan kandidosis (mukokutan,
vaginal, dan rongga mulut) (UNSRI, 2004).
Ketokonazol dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitif,
ibu hamil dan menyusui, serta penyakit hepar akut (UNSRI, 2004).
DAFTAR PUSTAKA

Ashley ES et.al. 2006. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical


Infectious Disease D;43 (Suppl 1):28-39.

Batubara, P. 2010. Farmakologi Dasar. Jakarta : Leskonfi.

Bellantoni MS, Konnikov N. 2008. Oral antifungal agents. In: Wolff K,


Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds.
Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc
Graw-Hill.p 2211-2217

Bennet JE. 2006. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo
JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of
Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill.

Farah, Nur. 2014. Asuhan keperawatan infeksi pada kulit akibat jamur, bakteri,
virus. Tersedia online di http://nurs_farah-
fkp11.web.unair.ac.id/artikel_detail-93836-Umum-
Asuhan%20Keperawatan%20infeksi%20pada%20kulit%20akibat%20jamur
,%20bakteri,%20virus.html [Diakses pada 25 November 2015].

Gupta AK. 2002. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor.
Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B.
Saunders Company; Pp75-99.

Huang DB. 2004. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection.


Dermatologic Therapy; 17: 517-522.

Kyle AA, Dahl MV. 2004. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin
Dermatol:5(6):443-461.

Marr KA. 2002. Empirical Antifungal Therapy – New Options, New Tradeoffs. N
Engl J Med; 346(4): 278-280
Onyewu C, Heitman J. 2007. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug
Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry; 6: 3-15.

Ray A, Anand S. 2000. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic


mycoses. Indian J Chest Dis Allied Sci;42:357-366.

Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. 2002. Six Novel Antimycotics. Am J Clin
Dermatol; 3(2): 71-81.

UNSRI, Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK. 2004. Kumpulan Kuliah


Farmakologi.Jakarta : EGC.

Gubbins PO, Anaissie EJ. 2009. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn
MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. p161-196.

Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. 2004. Therapy of Systemic Fungal
Infections. Dermatologic Therapy; 17: 532–538.

Anda mungkin juga menyukai