Anda di halaman 1dari 43

Volume 3 No.

2, September 2012 ISSN : 1907-1396

HUBUNGAN UMUR KEHAMILAN DENGAN KEJADIAN ASFIKSIA


DI RSI SULTAN HADLIRIN JEPARA

Asmawahyunita, Ita Rahmawati, Sri Sundarsih Pasni

INTISARI
AKB di Indonesia masih cukup tinggi, sementara di Kabupaten Jepara pada tahun 2010
mengalami peninggkatan yaitu dari 77 bayi menjadi 178 bayi yang mana sebagian besar
disebabkan karena asfiksia neonatorum. Penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir
diantaranya adalah faktor ibu (kehamilan lewat waktu), tali pusat, dan bayi (bayi prematur).
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitik dengan pendekatan Case
control (retrospektif). Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin di RSI Sultan
Hadlirin Jepara pada bulan Maret-Mei 2012. Sampel penelitian berjumlah 703 ibu bersalin yang
diperolah dengan total sampling. Data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data tentang
umur kehamilan ibu bersalin dan kejadian asfiksia. Data diolah secara editing, coding,
tabulating, dan entry, serta dianalisis secara univariat dengan distribusi frekuensi dan secara
bivariat menggunakan Uji Exact-fisher.
Berdasarkan hasil analisa bivariat, sebagian besar ibu bersalin dengan umur kehamilan
aterm yaitu sebanyak 641 orang (91,2%), bayi tidak mengalami asfiksia yaitu sebanyak 630
orang (92,3%). Uji Exact Fisher pada α = 0,05 daidapatkan hasil pvalue (0,000) < α (0,05). Hal ini
menunjukkan bahwa Ha diterima.
Kesimpulan penelitian ini adalah ada hubungan yang bermakna antara umur kehamilan
dengan kejadian asfiksia. Penulis menyarankan kepada dinas kesehatan untuk melakukan
tindakan preventif seperti dengan memberi motivasi kepada ibu hamil untuk ANC secara rutin
sehingga dapat melakukan deteksi dini terhadap komplikasi yang mungkin terjadi pada ibu
maupun janinnya. Sedangkan bagi institusi pendidikan, peneliti dan masyarakat dapat dijadikan
bahan informasi untuk menambah wawasan tentang umur kehamilan yang mempengaruhi
kejadian asfiksia.

Kata kunci: umur kehamilan, kejadian asfiksia

PENDAHULUAN
Angka kematian maternal (maternal mortality rate) ialah jumlah kematian maternal
diperhitungkan terhadap 100.000 kelahiran hidup. Sebab-sebab kematian ini dapat dibagi dalam
dua golongan, yakni yang langsung disebabkan oleh komplikasi-komplikasi kehamilan,
persalinan dan nifas, dam sebab-sebab yang lain seperti penyakit jantung, kanker dan sebagainya
(associated causes). Sedang angka kematian bayi (infant mortality rate), yakni angka kematian
bayi sampai umur 1 tahun terhadap 1000 kelahiran. Di negara-negara maju kematian perinatal ini
mencapai angka dibawah 25 per 1000. (Wiknjosastro. 2007; h. 7-8)
Berdasarkan pengamatan WHO, angka kematian ibu adalah sebesar 500.000 jiwa dan
angka kematian bayi sebesar 10.000.000 jiwa tiap tahunnya. Kejadian kematian ibu dan bayi
sebagian besar terdapat di negara berkembang yaitu sekitar 98% sampai 99%. Kematian
maternal dapat terjadi pada saat pertama pertolongan persalinan. Penyebab utama kematian ibu
adalah trias klasik (perdarahan, infeksi, gestosis). Sedangkan penyebab kematian perinatal adalah
asfiksia neonatorum, trauma persalinan, prematuritas, atau berat bayi lahir rendah (BBLR), dan
infeksi neonatorum. (Manuaba, 2010; h. 152)
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 1
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Hasil Survey Demografi Dan Kesehatan Indonesia SDKI 2002/2003 Angka Kematian Ibu
di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran hidup. Demikian pula Angka
Kematian Bayi masih berada pada kisaran 20 per 1000 kelahiran hidup. Target yang diharapkan
dapat tercapai pada tahun 2010 adalah AKI menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan Angka
Kematian Bayi Baru Lahir menjadi 15 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab langsung kematian
ibu dan perinatal yaitu menjadi komplikasi kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani
dengan baik dan tepat waktu (Pujiyatini, 2009; h. 126).
Berdasarkan Hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), AKB di Indonesia
tahun 2007 sejumlah 34 per 1000 kelahiran hidup, Sedangkan berdasarkan laporan rutin AKB
Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 10,8 per 1.000 kelahiran hidup. Masalah utama bayi
baru lahir adalah masalah yang sangat spesifik, yang terjadi pada masa perinatal serta dapat
menyebabkan kematian, kesakitan, dan kecacatan. Di Kabupaten Jepara jumlah kematian bayi
meningkat dari 77 bayi pada tahun 2009 meningkat menjadi 178 bayi pada tahun 2010 (Kesga
DKK Jepara, 2011).
Perkiraan kelahiran di Indonesia sebesar 5.000.000 orang per tahun dapat diperhitungkan
bahwa kematian bayi adalah 56/1000, menjadi sekitar 280.000 per tahun atau sekitar 2,2-2,6
menit sekali. Penyebabnya adalah asfiksia 49-60%, infeksi 24-34%, BBLR 15-20%, trauma
persalinan 2-7%, dan cacat bawaan 1-3%. (Manuaba, 2001; h. 69-70)
Keadaan umum bayi dinilai 1 menit setelah lahir dengan penggunaan Nilai APGAR.
Penilaian ini perlu untuk mengetahui apakah bayi menderita asfiksia atau tidak. Yang dinilai
ialah frekuansi jantung (heart rate), usaha nafas (respiratory effort), tonus otot (muscle tone),
warna kulit (colour), dan reaksi terhadap rangsangan (response to stimuli) yaitu dengan
memasukkan kateter kelubang hidung setelah jalan nafas dibersihkan (Wiknjosastro. 2007; h.
248).
Beberapa kondisi tertentu pada ibu hamil dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah
uteri plasenter sehingga pasokan oksigen ke bayi menjadi berkurang. Hipoksia bayi di dalam
rahim ditunjukkan dengan gawat janin yang dapat berlanjut menjadi asfiksia pada bayi baru
lahir. Penyebab terjadinya asfiksia pada bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu, faktor tali
pusat, dan faktor bayi. (JNPK-KR/POGI, 2008; h. 107)
Prematuritas merupakan salah satu faktor risiko terjadinya Asfiksia pada bayi baru lahir.
Usia bayi pada persalinan preterm menyebabkan fungsi organ-organ bayi belum terbentuk secara
sempurna termasuk juga organ pernapasan sehingga dapat menyebabkan bayi mengalami
gangguan nafas segera setelah lahir. Salah satu karakteristik bayi preterm ialah pernafasan tak
teratur dan dapat terjadi gagal nafas. Pada kehamilan lewat bulan terjadi penurunan fungsi
plasenta, yang berkaitan dengan peningkatan kejadian gawat janin dengan resiko 3x.
(Winkjosastro, 2007; h. 318)
Studi pendahuluan di RSI Sultan Hadlirin Jepara didapatkan hasil bahwa jumlah kelahiran
pada tahun 2011 adalah sebanyak 527. Dari jumlah kelahiran tersebut 26 termasuk persalinan
prematur dan 15 termasuk persalinan serotinus. Dan jumlah bayi yang mengalami asfiksia
sebesar 38 bayi. Pengalaman pada saat praktek selama 4 minggu di dapatkan ibu bersalin
sebanyak 30 dan 5 bayi yang mengalami asfiksia, dimana 3 bayi dengan umur kehamilan
preterm, 1 bayi dengan umur kehamilan aterm, dan 1 bayi dengan umur kehamilan posterm.
Berdasarkan fenomena diatas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian “Hubungan
Umur Kehamilan Dengan Kejadian Asfiksia Di RSI Sultan Hadlirin Jepara”.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 2
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan
Case control (retrospektif study yang dimaksudkan untuk mengkaji hubungan antara efek dapat
berupa penyakit atau kondisi kesehatan) dengan faktor resiko tertentu. Penelitian ini
menggunakan total sampling yaitu semua anggota populasi digunakan sebagai sampel sebanyak
703. Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data sekunder. Analisa data menggunakan
Chi-squre.

HASIL PENELITIAN
Umur Kehamilan
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan umur kehamilan semua bu bersalin di RSI Sultan
Hadlirin Jepara pada bulan Januari Tahun 2010 – Mei Tahun 2011

Kategori Frekuensi Persentase


umur kehamilan (orang) (%)
Preterm
38 5,4 %
28-36 minggu
Aterm
641 91,2 %
37-42 minggu
Posterm
24 3,4 %
>42 minggu
Total 703 100%

Kejadian Asfiksia
Tabel 2 Distribusi frekuensi berdasarkan kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara, pada
bulan Januari Tahun 2010 – Mei Tahun 2011

Kategori Kejadian Asfiksia Frekuensi Persen


Mengalami 54 7,7%
Tidak mengalami 649 92,3%
Total 703 100%

Hubungan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia


Tabel 3 Hubungan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara pada
Bulan Januari 2010 – Mei Tahun 2011

Kejadian Asfiksia
Umur kehamilan Tidak Jumlah
Mengalami
mengalami
Preterm 31 (81,5%) 7 (18,5%) 38 (100%)
Aterm 11 (1,7%) 630 (98,3%) 641 (100%)
Posterm 12 (50%) 12 (50%) 24 (100%)
Jumlah 54 (7,7%) 649 (92,3%) 703 (100%)

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 3
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Penelitian ini menggunakan uji Chi-Square (X2) tetapi tidak terpenuhi karena terdapat nilai
Expected Count < 5 pada 33,2% sel. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan penggabungan
sel, setelah dilakukan penggabungan sel dilakukan lagi uji Chi-Square namun tidak memenuhi
syarat uji Chi-Square karena terdapat nilai Expected Count < 5 pada 33,2% sel. Sehingga
digunakan alternatif uji Exact Fisher kerena setelah dilakukan penggabungan sel jumlah sel
menjadi 2 X 2. Nilai hasil uji Exact Fisher pada α= 0,05 menunjukan Exact Sig(2-sided) = 0,000
(pvalue < 0,05). Hal ini berarti Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan umur
kehamilan dengan kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara dengan keeratan hubungan
sedang karena koefisien kontingestinya 0,553.

BAHASAN
1. Umur kehamilan
Lamanya kehamilan normal di hitung dari hari pertama haid terakhir. Kadang-kadang
kehamilan berakhir sebelum waktunya dan ada kalanya melebihi waktu yang normal.
(Sastrawianta, 2005; h. 1)
Partus prematurus adalah suatu partus dari hasil konsepsi yang dapat hidup tetapi belum
aterm (cukup bulan). Berat janin antara 1000 sampai 2500 gram atau tua kehamilan antara 28
minggu sampai 36 minggu. (Wiknjosastro, 2007; h. 180)
Persalinan prematuritas merupakan masalah besar karena alat-alat vital (otak, jantung,
paru, ginjal) belum sempurna, sehingga mengalami kesulitan dalam adaptasi untuk tumbuh
dan berkembang dengan baik.(Manuaba, 2009; h. 99)
Faktor resiko yang mungkin berperan dalam terjadinya persalinan prematur adalah:
kehamilan usia muda (usia ibu kurang dari 18 tahun), pemeriksaan kehamilan yang tidak
teratur, golongan sosial-ekonomi rendah, keadaan gizi yang kurang, dan penyalahgunaan
obat. Sedangkan masalah pada ibu biasanya berupa: riwayat persalinan prematur pada
kehamilan sebelumnya, kadar alfa-fetoprotein tinggi pada trimester kedua yang penyebabnya
tidak diketahui, penyakit atau infeksi yang tidak diobati (misalnya infeksi saluran kemih atau
infeksi selaput ketuban), kelainan pada rahim atau leher rahim, ketuban pecah sebelum
waktunya, plasenta previa, pre-eklamsi (suatu keadaan yang bisa terjadi pada trimester kedua
kehamilan, yang ditandai dengan tekanan darah tinggi, adanya protein dalam air kemih dan
pembengkakan tungkai), diabetes mellitus, dan penyakit jantung. (Sartono, 2011).
Kejadian persalinan prematur sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Penelitian yang
dilakukan oleh Djaja dkk (2003) menunjukkan bahwa pola penyakit penyebab kematian pada
bayi neonatal dini (0-7 hari) lebih banyak oleh masalah prematuritas dan berat badan lahir
rendah (35%) serta asfiksia lahir (33,6%). (Kurniasih, 2010)
Kehamilan aterm ialah usia kehamilan antara 37 sampai 42 minggu dan ini merupakan
periode dimana terjadi persalinan normal. Kehamilan yang melewati 294 hari atau lebih dari
42 minggu lengkap disebut sebagai posterm atau kehamilan lewat waktu. Kekhawatiran
dalam menghadapi kehamilan lewat waktu ialah meningkatnya resiko kematian dan
kesakitan perinatal. Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu dapat menjadi 3 kali
dibandingkan kehamilan aterm. (Wiknjosastro, 2007; h. 317)
Penyebab kehamilan serotinus, merupakan kombinasi dari faktor ibu dan anak.
Kehamilan serotinus lebih sering terjadi pada primigravida muda dan primigravida tua atau
pada grandemultiparitas. (Sastrawinata, 2005; h.12)

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 4
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Komplikasi yang terjadi pada kehamilan serotinus yaitu komplikasi pada Janin.
Komplikasi yang terjadi pada bayi seperti gawat janin, gerakan janin berkurang, kematian
janin, asfiksia neonatorum dan kelainan letak. (Evi, 2010)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa ibu bersalin dengan umur kehamilan
preterm sebanyak 38 orang (5,4%), ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm sebanyak 641
orang (91,2%) dan ibu bersalin dengan umur kehamilan posterm sebanyak 24 orang (3,4%).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm (37-
42 minggu).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lamanya umur kehamilan pada ibu bersalin di RSI
Sultan Hadlirin jepara dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kehamilan usia muda (usia ibu
kurang dari 18 tahun), ketuban pecah sebelum waktunya, plasenta previa, pre-eklamsi, dan
jumlah paritas.
2. Kejadian Asfiksia
Asfiksia, hipotermia dan prematuritas merupakan masalah perinatal yang paling sering
terjadi pada bayi baru lahir, dimana dapat menyebabkan 40% kematian pada masa bayi baru
lahir. (Maryunani, 2008; h. 153)
Saat dilahirkan bayi biasanya aktif dan segera sesudah tali pusat dijepit bayi menangis
yang merangsang pernafasan. Denyut jantung akan menjadi stabil pada frekuensi 120 sampai
140 per menit dan sianosis sentral menghilang dengan cepat. Akan tetapi beberapa bayi
mengalami depresi saat dilahirkan dengan menunjukkan gejala tonus otot yang menurun dan
mengalami kesulitan mempertahankan pernafasan yang wajar. Bayi-bayi ini dapat
mengalami apnu atau menunjukkan upaya pernafasan yang tidak cukup untuk kebutuhan
ventilasi paru-paru. Kondisi ini menyebabkan kurangnya pengambilan oksigen dan
pengeluaran CO2. (Saifuddin, 2008; h. 347).
Secara fisiologis, pengembangan paru pada bayi baru lahir terjadi pada menit-menit
pertama kelahirannya, setelah itu diikuti dengan pernafasan teratur. Asfiksia janin/ bayi baru
lahir terjadi apabila terdapat gangguan pertukaran gas atau transport oksigen dari ibu ke
janin. Gangguan transport oksigen tersebut dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan
atau segera setelah lahir (Maryunani, 2008; h. 154) .
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur
setelah lahir (Wiknjosastro, 2007; h. 709). Untuk menentukan tingkat asfiksia bayi dengan
tepat perlu pengalaman dan observasi klinik yang cukup. Tes Apgar biasa digunakan untuk
menilai tingkat berat-ringannya asfiksia. Tes Apgar adalah serangkaian pemeriksaan untuk
menilai kemampuan bayi baru lahir beradaptasi terhadap kehidupan diluar rahim ibu
(Maryunani, 2008;h. 156).
Segera setelah lahir bayi dinilai dengan menggunakan penilaian Apgar: (0-3, asfiksia
berat [asfiksia pallida]; 4-6, asfiksia ringan-sedang [asfiksia livida]; 7-10 bayi sehat
[normal]). (Manuaba, 2010; h. 422)
Beberapa faktor tertentu diketahui dapat menjadi penyebab terjadinya asfiksia pada
bayi baru lahir, diantaranya adalah faktor ibu: preeklamsia dan eklamsi, perdarahan
abnormal, partus lama atau partus macet, demam selama persalinan, infeksi berat (malaria,
sifilis, TBC, HIV), dan kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu). Faktor tali pusat: lilitan
tali pusat, tali pusat pendek, simpul tali pusat, dan prolapsus tali pusat. Faktor bayi: bayi
prematur (sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi
kembar, distosia bahu, ekstraksi vakum, ekstraksi forsep), kelainan bawaan (kongenital), dan
air ketuban bercampur mekonium. (NJPK-KR/POGI. 2008; h. 108), faktor ibu (kehamilan
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 5
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

lewat waktu/ sesudah 42 minggu), tali pusat dan bayi (bayi prematur/ sebelum 37 minggu
kehamilan. (JNPK-KR/POGI.2008;h. 108)
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa bayi yang mengalami asfiksia sebanyak
54 orang (7,7%) dan yang tidak mengalami asfiksia sebanyak 649 orang (92,3%). Angka
diatas menunjukkan bahwa sebagian besar bayi tidak mengalami asfiksia yaitu dengan nilai
Apgar 7-10. Dan bayi yang mengalami asfiksia sebagian besar mempunyai nilai Apgar 4-6
(asfiksia ringan-sedang).
Berdasarkan penelitian menunjukkan bahwa kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin
Jepara disebabkan karena preeklamsia dan eklamsi, perdarahan abnormal, partus lama atau
partus macet, kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu), lilitan tali pusat, bayi prematur
(sebelum 37 minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar,
distosia bahu, ekstraksi vakum,) dan air ketuban bercampur mekonium.
3. Hubungan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia
Persalinan preterm adalah persalinan dengan berat bayi kurang dari 2500 gram, dengan
alat vital belum sempurna sehingga mudah terjadi gangguan pernafasan, gangguan
pencernaan makanan, dan mudah terjadi infeksi (Manuaba, 2001; h. 59).
Alat tubuh bayi prematur belum berfungsi seperti bayi matur. Oleh sebab itu, ia
mengalami banyak kesulitan untuk hidup diluar uterus ibunya. Makin pendek usia
kehamilannya makin kurang sempurna pertumbuhan alat-alat dalam tubuhnya, dengan akibat
makin mudahnya terjadi komplikasi dan makin tinggi angka kematiannya. Bersangkutan
dengan kurang sempurnanya alat-alat dalam tubuhnya baik anatomik maupun fisiologik
maka mudah timbul beberapa kelainan seperti gangguan pernafasan. Hal ini disebabkan oleh
kekurangan surfaktan, pertumbuhan dan perkembangan paru yang belum sempurna, otot
pernafasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. (Wiknjosastro, 2007;
h. 775-776)
Dari hasil penelitian Rina Puspita Amri (2008) distribusi frekuensi persalinan preterm
di RSUD Pariaman tahun 2008 sebanyak 53 kasus. Distribusi frekuensi asfiksia neonatorum
di RSUD Pariaman tahun 2008 sebanyak 36 kasus (67,9 %). Distribusi frekuensi asfiksia
neonatorum di RSUD Pariaman tahun 2008 sebanyak 36 kasus (67,9 %). Dan dapat
disimpulkan bahwa Ha: Terdapat hubungan yang signifikan antara persalinan preterm dengan
kejadian asfiksia neonatorum yaitu X2 hitung (25,9)> X2tabel (3,841)
Resiko kematian perinatal kehamilan lewat waktu dapat menjadi 3 kali dibandingkan
kehamilan aterm. Fungsi placenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan
kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu, hal ini dapat dibuktikan dengan
penurunan kadar estriol dan placental lactogen. Rendahnya fungsi placenta berkaitan dengan
peningkatan kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali akibat dari proses penuaan plasenta
maka pemasokan makanan dan oksigen menurun(Winkjosastro, 2007; h. 317-318).
Pada kehamilan berusia 20 minggu, indeks plasenta adalah 0,30; 28 minggu 0,25; 38
minggu 0,15. Jadi makin tua kehamilan makin rendah indeks plasenta, artinya plasenta makin
kurang mampu memberikan nutrisi kepada janinya (Manuaba, 2010; h. 99).
Berdasarkan hasil uji Exact Fisher pada α= 0,05 didapatkan hasil Exact Sig(2-sided) =
0,000 (pvalue < α). Hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan umur kehamilan dengan
kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara dengan keeratan hubungan sedang karena
koefisien kontingestinya 0,553. Hal ini disebabkan karena ibu bersalin dengan umur
kehamilan preterm bayinya mengalami asfiksia sebanyak 31 orang (4,4%), ibu bersalin
dengan umur kehamilan posterm bayinya mengalami asfksia 12 orang (1,7%), dan ibu
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 6
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

bersalin dengan umur kehamilan aterm sebagian kecil bayinya mengalami asfiksia yaitu
sebanyak 11 orang (1,6%). Jadi ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm resiko untuk
melahirkan bayi asfiksia lebih kecil. Sebagian besa bayi yang mengalami asfiksia
mempunyai nilai Apgar 4-6 (asfiksia ringan-sedang).
Begitu juga dengan hasil penelitian Manova (2009) menunjukkan bahwa kasus asfiksia
pada tahun 2009 di Rumah Sakit Umum Provinsi Sulawesi Tenggara sebanyak 115 kasus
dari keseluruhan jumlah kelahiran. Hasil analisis menunjukkan bahwa ada hubungan antara
umur kehamilan dengan kelahiran bayi yang mengalami asfikisa. Ibu-ibu yang umur
kehamilannya beresiko baik preterm maupun serotinus berpeluang melahirkan bayi asfiksia
sebesar 7 kali. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang ditemukan oleh Margarets (2008),
bahwa ada hubungan antara umur kehamilan dengan kejadian asfiksia pada bayi baru lahir.
Berdasarkan teori mengatakan umur kehamilan preterm dan posterm resiko untuk
melahirkan bayi asfiksia lebih tinggi dari pada umur kehamilan aterm. Hal ini sudah sesuai
dengan yang penulis lakukan karena ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm sebagian
besar bayinya tidak mengalami asfiksia. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian asfiksia
dipengaruhi oleh umur kehamilan.
Kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara selain disebabkan oleh hal tersebut,
juga karena preeklamsia dan eklamsi, perdarahan abnormal, partus lama atau partus macet,
kehamilan lewat waktu (sesudah 42 minggu), lilitan tali pusat, bayi prematur (sebelum 37
minggu kehamilan), persalinan dengan tindakan (sungsang, bayi kembar, distosia bahu,
ekstraksi vakum,) dan air ketuban bercampur mekonium.

KESIMPULAN
1. Sebagian besar ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm yaitu sebanyak 641 orang (91,2%)
2. Sebagian besar bayi tidak mengalami asfiksia yaitu sebanyak 649 orang (92,3%)
3. Ibu bersalin dengan umur kehamilan preterm sebagian besar bayinya mengalami asfiksia
yaitu sebanyak 31 orang (4,4%), ibu bersalin dengan umur kehamilan posterm bayinya
mengalami asfksia 12 orang (1,7%), dan ibu bersalin dengan umur kehamilan aterm sebagian
kecil bayinya mengalami asfiksia yaitu sebanyak 11 orang (1,6%)
4. ada hubungan umur kehamilan dengan kejadian asfiksia di RSI Sultan Hadlirin Jepara
dengan keeratan hubungan sedang karena koefisien kontingestinya 0,553.

SARAN
Bagi Dinas Kesehatan diharapkan dapat melakukan tindakan preventif dan meningkatkan
pelayanan kesehatan bagi wanita khususnya pada ibu hamil dengan cara memberikan pendidikan
kesehatan tentang kehamilan dan memberikan motivasi pada ibu hamil untuk meningkatkan dan
menjaga kesehatan. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan
bahan untuk dikembangkan dalam penelitian selanjutnya tentang faktor - faktor yang
mempengaruhi kejadian asfiksia dan diharapkan institusi dapat meningkatkan mutu pendidikan
yang lebih komprehensif dan kompeten di dalam melakukan penelitian sehingga dapat
menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu memberikan asuhan kebidanan yang sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Bagi Masyarakat diharapkan ibu hamil mengetahui komplikasi
yang mungkin terjadi pada saat persalinan baik bagi ibu maupun bayinya sehingga dapat
dilakukan upaya pencegahan dengan cara meningkatkan dan menjaga kesehatan selama hamil,
seperti dengan cara mengatur pola hidup sehat dan melakukan periksa hamil secara rutin.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 7
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

DAFTAR PUSTAKA
Evi. Persalinan Serotinus. 2010 2010 [Diakses tanggal 25 Juli 2011]. Didapat dari:
http://bidanevi.com
JNPK-KR / POGI. Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: Jaringan Nasional Pelatihan Klinik;
2008. h. 107-108; 110; 113.
Kesga DKK Jepara, 2011
Kurniasih, Shinta. Persalinan Prematur. Pada 28 Oktober 2010 [Diakses tanggal 25 Juli 2011].
Didapat dari: Info Kebidanan dan Penyakit Kandungan http://www.facebook.com Manova
(2009)
Manuaba, IA, Manuaba IBGF, Manuaba IB.Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga
Berencana untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC; 2010. h. 40; 75; 99; 107; 152; 421-422.
Pujiyatini, dkk. Asuhan Patologi Kebidanan Plus Contoh Asuhan Kebidanan. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2009. h. 126.Rina Puspita Amri (2008)
Saifudin, Abdul Bari. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta:Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2008.h. 213.
Sartono. kelahiran Prematur atau Prematuritas 12 Mei 2011. [Diakses tanggal 25 April 2011].
Didapat dari: http http://sobatpc.com
Sastrawinata, Sulaiman. Obstetri Patologi. Jakarta: EGC; 2005. h. 1; 12
Wiknjosastro, Hanifah. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo;
2007. h. 7-8; 125; 180; 248-249; 317-318; 709-710; 771.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 8
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

SKRINING PSIKOLOGI SOSIAL DENGAN PSC


PADA SISWA-SISWI KELAS VIII DI SMP ISLAM AL-HIKMAH JEPARA

Ita Rahmawati

INTISARI
Secara psikologi masa remaja merupakan masa-masa krisis dalam tahap perkembangan
hidup manusia. Masa peralihan ini remaja akan mengalami perubahan yang terjadi baik secara
fisik maupun secara psikis. Remaja sangat rentan mengalami masalah psikososial, yakni masalah
psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat pengaruh dari lingkungan, sosial budaya,
lingkungan keluarga serta masalah kemiskinan akan mempengaruhi perilaku remaja sehingga
mereka membentuk perilaku yang berisiko.Tujuan penelitian adalah mengetahui studi deskriptif
skrining psikologi social dengan PSC pada siswa-siswi kelas VIII.
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi Deskriptif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh siswa-siswi kelas VIII Tahun Ajaran 2011/2012 di SMP Islam AlHikmah Jepara
sebanyak 186 siswa-siswi. Sampel diambil menggunakan rumus slovin, dalam penelitian ini
adalah sebagian siswa-siswi kelas VIII di SMP Islam AlHikmah Jepara sebanyak 127 siswa-
siswi yang diambil secara acak melalui teknik lotre. Pengumpulan data penelitian dengan metode
angket, melalui kuesioner, diolah secara editing, scoring, dan tabulating serta dianalisis secara
univariat dengan distribusi frekuensi.
Berdasarkan penelitian Studi Deskriptif Skrining Psikologi Sosial dengan PSC Pada
Siswa-siswi Kelas VIII di SMP Islam AlHikmah Jepara dengan kategori yang tidak mengalami
psikososial sebanyak 71 siswa-siswi (55.9%) dan yang mengalami psikososial sebanyak 56
siswa-siswi (44.1%).
Rekomendasi penelitian yaitu Sekolah sebaiknya lebih mengutamakan Skrining PSC
terhadap siswa-siswi yang dilakukan secara bertahap atau tiap kenaikkan kelas dan mengadakan
kerja sama dengan kepala puskesmas atau kepala RSUD untuk rujukan kasus psikososial yang
telah ditemukan.

Kata kunci : PSC

PENDAHULUAN
Secara psikologis masa remaja merupakan masa-masa krisis dalam tahap perkembangan
hidup manusia. Hal ini disebabkan karena pada masa peralihan ini remaja akan mengalami
perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun secara psikis. Secara umum remaja cenderung
memiliki energi tinggi, tidak stabil, senantiasa berubah-berubah dan selalu ingin mencoba.
Mereka cenderung menggunakan ukurannya sendiri, tidak logis dan cenderung memberontak
(Rita, 2010; h.17)
Sebagai mahluk yang berada pada masa transisi, remaja sangat rentan terhadap pengaruh
dari lingkungannya, sosial budaya, lingkungan keluarga serta masalah kemiskinan akan
mempengaruhi perilaku remaja sehingga mereka membentuk perilaku yang berisiko (Nayar,
2010)
Mengingat karakteristik yang serba ingin tahu dan ingin mencoba, maka remaja menjadi
sangat rentan untuk jatuh pada kebiasaan dan tingkah laku yang berisiko bagi kesehatan, seperti
melakukan hubungan sex sebelum menikah, merokok, menggunakan narkoba, pola makan yang
salah dan perilaku beresiko lainnya seperti ngebut dijalanan (Rita, 2010; h.17).
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 9
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Polwiltabes kota Semarang pada tanggal
14 Maret 2009, menyatakan tingginya jumlah kenakalan remaja (dalam bentuk perilaku-perilaku
patologis) pertanda tingginya kecenderungan kenakalan remaja. Dampak dari perkembangan
zaman yang semakin modern menjadikan segalanya semakin cepat. Perkembangan teknologi
yang serba cepat, menuntut remaja segera mampu menguasai dan mengikuti perubahan jika tidak
mau tertinggal dengan remaja lainnya. Tuntutan tersebut adalah tugas berat yang harus diemban
remaja dewasa ini. Remaja yang memiliki kemampuan dapat terhindar dari kebimbangan,
kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik (konflik internal maupun eksternal), sementara
remaja yang tidak memiliki keahlian tidak dapat ikut berkompetisi dengan remaja lainnya dan
tersisihkan dari pergaulan.
Kenakalan remaja yang terjadi dewasa ini sering bukan lagi kenakalan biasa, melainkan
kenakalan yang menimbulkan gangguan serius dalam masyarakat dan dapat digolongkan
kedalam kejahatan atau crime. Seperti yang terlihat di kota besar, dimana perkelahian antar
pelajar misalnya menjadi trend yang banyak menimbulkan korban. Pencurian, perampokan,
mempergunakan obat-obat terlarang bagi sebagian remaja sudah merupakan hal yang tidak asing
lagi.
Kejahatan yang dilakukan remaja selama tahun 2001 sebanyak 98 kasus. Dari kasus
tersebut, remaja yang melakukan pencurian sebanyak 50 kasus, memakai narkoba 4 kasus,
melanggar lalu lintas 3 kasus, melakukan pengrusakan 2 kasus, melakukan penganiayaan 14
kasus, melakukan tindakan asusila 9 kasus, penjudian 3 kasus, perkelahian menggunakan senjata
tajam 1 kasus, pengeroyokan 1 kasus, pemerkosaan 7 kasus, melakukan tindakan kekerasan 2
kasus, dan melarikan anak di bawah umur 1 kasus (Suara Merdeka, 2001).
Tahun 2003, 4% dari anak-anak SMP dan SMA menjadi pemakai narkoba. Pada tahun
2004, jumlah tersebut naik 100%. Pada tahun 2003, 6% tahanan dan narapidana adalah pemakai
dan pengedar narkoba. Hal itu dikatakan Kepala Seksi Badan Narkotika Provinsi (BNP) DKI
Jakarta (Suara Pembaruan, 2004).
Selain masalah penyalahgunaan narkoba, perkelahian atau tawuran juga sering terjadi di
antara pelajar. Remaja menganggap perkelahian sebagian suatu yang wajar sehingga di kota-kota
besar seperti Jakarta, Surabaya tawuran sering terjadi. Data yang ada di Bimmas Polda Metro
Jaya di Jakarta, tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat
menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan
korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat lain. Tahun 1998 ada 230 kasus yang
menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polri. Tahun berikutnya korban meningkat menjadi 37
orang pelajar yang tewas. Data tersebut menunjukkan jumlah perkelahian dan korban selalu
mengalami peningkatan, bahkan tercatat dalam satu hari sampai 3 perkelahian di tiga tempat
sekaligus.
Tingginya penggunaan narkoba di kalangan remaja ditunjukkan hasil riset yang dilakukan
oleh Universitas Indonesia bahwa hasil angka penyalahgunaan narkoba pada pelajar dan
mahasiswa sejak tahun 2003 sampai dengan 2006 meningkat dari 3,9% menjadi 5,3% atau
jumlah totalnya 1.037.682 siswa.
Hal yang sama dikatakan Rahardjo selaku Ketua Harian Badan Narkoba D.I. Yogyakarta,
bahwa penyalahgunan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (napza) di Indonesia terus
mengalami peningkatan. Data dari Badan Narkotika Nasional, menunjukan bahwwa pengguna
narkoba di Indonesia mencapai 3,2 juta jiwa atau sekitar 1,5% dari penduduk Indonesia, dan
terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Dari jumlah itu, menurut Raharjo, tercatat sekitar
8.000 orang di antaranya menggunakan narkoba dengan alat bantu yang berupa alat suntik.
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 10
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Akibatnya, 60% di antara pengguna yang menggunakan alat bantu suntik tewrjangkit HIV/AIDS.
Tingginya penyalahgunaan narkoba tersebut, di dunia rata-rata 15 ribu jiwa setiap tahun
melayang narkoba (Suara Merdeka, 2008)
Selanjutnya, masalah pornografi dan pergaulan bebas juga sudah menjadi simbol bagi para
pelajar dan remaja. Suatu penelitian menunjukan bahwa persentase pergaulan bebas remaja
bervariasi. Penelitian Zubairi Djoerban di Jakarta menunjukkan 21 dari 864 remaja atau 2,4%
mengaku pernah berhubungan seks, di Jawa Tengah 57 dari 2.748 siswa atau 2,1% mengaku
pernah melakukan hubungan seks pranikah, dan di Bali terdapat 24% remaja pria dan 1% remaja
wanita yang pernah berhubungan seks (BKKBN, 2004).
Kejahatan seksual banyak dilakukan oleh anak-anak usia remaja sampai dengan umur
menjelang dewasa, dan kemudian pada usia pertengahan. Tindak merampok, menyamun dan
membegal, 70% dilakukan oleh anak muda yang berusia 17-30 tahun.
Sementara itu, penelitian yang dilakukan oleh dr. Andik Wijaya tahun 2006 kepada 202
pelajar di kota Malang, Jawa Timur antara lain menyebutkan bahwa 93 persen remaja kota
Malang pernah terlibat pornografi. Dari hasil penelitian tersebut, 82 responden menyatakan
pernah, 105 sering dan sisanya mengaku setiap hari selalu terlibat dengan hal-hal yang berbau
pornografi. Responden yang diteliti terdiri atas 51% laki-laki dan 49% perempuan, 6 persen
berusia antara 13-15 tahun, 67,3% berusia 16-18 tahun, dan 26,7% berusia diatas 18 tahun.
Dalam penelitian ini terungkap hampir 15% responden telah melakukan hubungan seks sebelum
menikah. Bahkan 100% dari mereka yang telah bertunangan mengaku telah melakukan
hubungan seksual. Hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa semua melakukan pornografi
atau seks sebelum menikah mengaku mendapat gagasan itu dari VCD porno, teman, internet dan
dari media lainnya.
Selain seks bebas, kasus aborsi juga sangat menonjol. Kasus aborsi di Indonesia setiap
tahunnya mencapai 2,3 juta dan 30% pelakunya masih remaja. Sebuah survei yang dilakukan di
33 provinsi pada pertengahan tahun 2008 melaporkan bahwa 63% remaja di Indonesia usia SMP
dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21% diantaranya melakukan
aborsi. Secara umum survei itu mengindikasikan bahwa pergaulan remaja di Indonesia makin
mengkhawatirkan.
Kenakalan remaja terjadi karena emosi dan perasaan mereka rusak akibat merasa ditolak
oleh keluarga, orang tua, temen-temen, maupun lingkungannya sejak kecil, dan gagalnya proses
perkembangan jiwa remaja tersebut. Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh remaja yang
gagal dalam menjalani proses perkembangan fisik, psikis, dan emosi yang begitu cepat. Secara
psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang ada terselesaikan
dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja. Seringkali didapati bahwa ada trauma
dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, seperti
kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri. Namun pada kenyataannya orang
cenderung langsung menyalahkan, menghakimi, bahkan menghukum pelaku kenakalan remaja
tanpa mencari penyebab, latar belakang dari perilakunya tersebut (Gunarso, 2003).
Berdasarkan informasi dari guru BK di Di SMP Islam Al-Hikmah Jepara didapatkan
banyak kasus siswa yang suka merokok, bolos sekolah kemudian bentuk pemecahan masalah
dari guru BK yaitu dengan cara memberikan pendekatan kepada para siswa-siswi tentang bahaya
merokok, tawuran juga kerugian jika melakukan bolos sekolah. Pendekatan itu dapat diberikan
melalui pemberian jam tambahan atau pelajaran, yang mungkin selama ini tidak diberikan ke
para siswa-siswi. Jika masih mendapatkan para siswa-siswi melakukan hal di atas maka bisa
diberikan hukuman yang mendidik atau dilaporkan ke orang tua siswa-siswi yang bersangkutan.
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 11
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Sedangkan di Di Smp Islam Al-Hikmah Jepara didapatkan siswa yang suka membolos dan
merokok.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilaksanakan pada tanggal 3 Mei 2012 dengan
cara membagikan kuesioner kepada siwa-siswi kelas VIII di Di Smp Islam Al-Hikmah Jepara,
dari 38 siswa-siswi yang mengalami gangguan atau kelainan psikososial yang nilainya ≥ 28
sebanyak 9 siswa dan yang tidak mengalami gangguan atau kelainan psikososial yang nilainya <
28 sebanyak 29 siswa.

METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian ini menggunakan studi deskriptif. Pengambilan data dalam penelitian ini
dilakukan secara probability dengan menggunakan teknik sampling berupa simpel random
sampling atau pengambilan sampel acak sederhana yang diambil dari sampel sebanyak 127
siswa-siswi. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer. Analisa data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah analisa data univariat.

HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian ini menggunakan analisa univariat yang disajikan dalam bentuk distribusi
frekuensi untuk menggambarkan variabel yang diteliti sebagai berikut :
Tabel 1 Distribusi frekuensi PSC pada siswa-siswi di SMP Islam Al-Hikmah Jepara
No. PSC Frekuensi Presentase (%)
1. Mengalami Psikososial 56 44.1
2. Tidak Mengalami Psikososial 71 55.9
Total 127 100

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar responden tidak mengalami psikososial
sebanyak 71 siswa-siswi (55.9%) dari jumlah 127 siswa-siswi. Hal ini dikarenakan remaja
memiliki kemampuan untuk terhindar dari kebimbangan, kebingungan, kecemasan, dan konflik
internal maupun eksternal (Polwiltabes, 2009).
Hal ini dapat dibuktikan dari jawaban responden yang paling banyak menjawab tidak
pernah mengambil barang bukan miliknya sebanyak 56 orang (39.8%), tidak pernah berperilaku
seolah-olah dikendalikan oleh mesin sebanyak 48 orang (34.1%) dan tidak berkelahi dengan
anak lain sebanyak 59 orang (41.9%).
Menurut Pieter (2010), bahwa remaja dikatakan matang secara emosi, jika mampu
menguasai dan mengontrol emosi, mengungkap emosi dengan cara yang lebih dapat diterima,
kritik terlebih dahulu sebelum bereaksi secara emosi, bereaksi dengan pikiran, emosi lebih stabil
dan tidak berubah-ubah.
Meskipun demikian, hasil penelitian dari 127 responden masih terdapat 56 siswa-siswi
yang mengalami psikososial (44.1%). Dapat dibuktikan dari jawaban responden yang paling
banyak menjawab sering saling mengeluh nyeri atau kesakitan sebanyak 45 orang (25.2%),
membolos di sekolah sebanyak 50 orang (28%). Menurut Gunarso (2003) hal ini disebabkan
karena sejak kecil remaja tersebut ditolak oleh keluarganya, orang tua, temen-temen maupun
lingkungannya sehingga gagal proses perkembangannya jiwa remaja tersebut. Kenakalan remaja
biasanya dilakukan oleh remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan fisik, psikis,
dan emosi yang begitu cepat.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 12
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Masa remaja merupakan masa dimana seorang individu mengalami peralihan dari satu
tahap ke tahap berikutnya dan mengalami perubahan baik emosi, tubuh, minat, pola perilaku, dan
juga penuh dengan masalah-masalah. Karenanya remaja sangat rentan mengalami masalah
psikososial, yakni masalah psikis atau kejiwaan yang timbul sebagai akibat terjadi perubahan
sosial. Dan hal tersebut dapat memicu terjadi kenakalan pada remaja (juvenile delinquency)
(Kartono, 2010; h.6-8).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Polwiltabes kota Semarang pada tanggal
14 Maret 2009, menyatakan tingginya jumlah kenakalan remaja (dalam bentuk perilaku-perilaku
patologis) pertanda tingginya kecenderungan kenakalan remaja. Dampak dari perkembangan
zaman yang semakin modern menjadikan segalanya semakin cepat. Perkembangan teknologi
yang serba cepat, menuntut remaja segera mampu menguasai dan mengikuti perubahan jika tidak
mau tertinggal dengan remaja lainnya. Tuntutan tersebut adalah tugas berat yang harus diemban
remaja dewasa ini. Remaja yang memiliki kemampuan dapat terhindar dari kebimbangan,
kebingungan, kecemasan, dan konflik-konflik (konflik internal maupun eksternal), sementara
remaja yang tidak memiliki keahlian tidak dapat ikut berkompetisi dengan remaja lainnya dan
tersisihkan dari pergaulan.
Menurut Nayar (2010) mengatakan bahwa, remaja sangat rentan terhadap pengaruh dari
lingkungan, sosial budaya, lingkungan keluarga serta masalah kemiskinan akan mempengaruhi
perilaku remaja sehingga mereka membentuk perilaku yang berisiko.
Menurut Gunarso (2003), bahwa secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud
dari konflik-konflik yang ada terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun remaja.
Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak
menyenangkan dari lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah
diri.
Hasil penelitian ini sesuai dengan Fanhat (1999) bahwa terdapat 390 responden yang terdiri
dari 370 responden yang tidak mengalami gangguan sikap psikososial (94.8%) dan 20 responden
yang mengalami gangguan sikap psikososial (05.1%).

KESIMPULAN
1. Sebagaian besar responden tidak mengalami psikososial sebanyak 71 responden (55.9%).
2. Sebagaian hasil penelitian yang mengalami psikososial sebanyak 56 responden (44.1%).

SARAN
Bagi Institusi diharapkan hasil penelitian dapat dijadikan bahan tolak ukur keefektifan materi
pembelajaran psikologi ibu dan anak sehingga dapat dijadikan kajian pustaka. Bagi masyarakat
(Orang tua) diharapkan dapat mengetahui masalah psikososial yang dihadapi oleh anak-anaknya
lebih dini, sehingga tidak terjadi kenakalan remaja dikemudian hari jika tidak ditangani lebih
awal. Bagi Sekolah, diharapkan pihak sekolah terutama guru BK agar 56 siswa-siswi yang
mengalami gangguan psikososial dapat dilakukan rujukan ke psikiater anak di RSUD dan untuk
kedepannya pihak sekolah perlu melakukan kerja sama dengan kepala RSUD untuk melakukan
skrining PSC secara bertahap atau tiap kenaikan kelas.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 13
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad. Psikologi Remaja. Jakarta : Bumi Aksala; 2004. h. 9-10.
AL-Mighwar, Muhammad. Psikologi Remaja. Bandung: Pustaka Setia; 2006. h. 64.
Augustine. Pengertian Psikologi. 7 April 2009 [Diakses tanggal 17 April 2011]. Didapat dari:
http://ilmu-psikologi.blogspot.com/2009/05/pengertian-psikologi.html.
BKKBN. 5 Maret 2007 [Diakses tanggal 6 Mei 2011]. Didapat dari:
http//www.hgweb01.bkkbn.go.id/hgweb/ceria/mbrtpage90.htm/
Darwis, Danim Sudarwan. Metode Penelitian Kebidanan. Jakarta: EGC; 2003. h.82.
http//www.suaramerdeka.com/harian/0201/23/slo6.htm diakses tanggal 7 Mei 2011.
http//www.suarapembaruan.com/new/2004/09/01/jabotabek/jab15.htm diakses 6 Mei 2011.
Iqbal. Contoh Makalah tentang Psikologi Sosial. 14 April 2010 [Diakses
tanggal17April2011].Didapatdari:http:blogtentangpsikologisosial.blogspot.com/2010/04/
contoh-makalah-tentang-psikologisosial.html
Kartono, Kartini. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rajawali Persada; 2010. h. 3; 7.
Lodro, W. Pertumbuhan dan Perkembangan Pada Masa Remaja. 7 Mei 2010 [Diakses tanggal 2
Mei 2011]. Didapat dari: http//.kainsutra.com/info-remaja/pertumbuhan-dan-
perkembangan-pada-masa-remaja
Mahmudah, Siti. Psikologi Sosial. Malang: UIN-MALIKI PRESS; 2010. h.5-6; 9-12.
Majalah Kebidanan. Bidan Media komunikasi Bidan dan Keluarga Indonesia: Sari Husada;
2011. h.17-18.
Notoatmodjo, Soekidjo. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. h. 70-
83; 120.
Nursalam. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan :Pedoman Skripsi,
Tesis dan instrument Penelitian Keperawatan, Edisi Pertama.Jakarta: Salemba; 2003. h.
77.
Pieter, herry Zan. Pengantar Psikologi Untuk Kebidanan. Jakarta: Kencana; 2010. h. 2-25; 163;
169-175.
Setiawan, Ari. Metodologi Penelitian Kebidanan DIII, DIV, S1 dan S2. Yogyakarta: Nuha
Medika; 2010. h. 43.
Soedjatmika. Kesehatan Anak. 7 Mei 2004 [Diakses tanggal 13 April 2011]. Didapat dari:
http://www.idai.or.id/kesehatananak/artikel.asp?q=20063251 1924.
Sugiono. Statiska Untuk Penelitian. Bandung: Alfa Beta; 2010. h. 61-62.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya; 2008. h. 7.
Wisnubroto, A. Perpepsi Remaja Terhadap Kelompok Teman Sebaya Dengan Kenderungan
kenakalan Remaja. 23 Januari 2009 [Diakses tanggal 6 Mei 2011]. Didapatkan dari:
http//www.scribd.com/doc/16176402/perpepsi-remaja-terhadap-kelompok-teman-sebaya-
dengan-kenderungan-kenakalan-remaja/

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 14
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KOMPLIKASI PASSENGER


PADA IBU BERSALIN DI RSUD SUNAN KALIJAGA DEMAK

Yayuk Norazizah, Ristitiati, Ummu Latifah

INTISARI
Penyebab langsung AKI adalah perdarahan 45%, infeksi 15% dan eklamsi 13%.
Penyebab lain komplikasi aborsi 11%, partus lama 9%, anemia 15%, Kurang Energi Kronis
(KEK) 30%. Komplikasi kehamilan dan persalinan sebagai 30%. Komplikasi kehamilan dan
persalinan sebagai penyebab kematian ibu dialami sekitar 15-20% dari seluruh kehamilan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan
komplikasi passenger pada ibu bersalin.
Penelitian ini termasuk jenis penelitian diskriptif dengan pendekatan retrospektif.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu besalin yang mengalami komplikasi passenger
pada bulan Januari – Desember 2010 di RSUD Sunan Kalijaga Demak. Dan sampel dalam
penelitian ini adalah 81 responden yang di peroleh secara total sampling. Data penelitian ini
adalah data sekunder yang diperoleh dari data rekam medik RSUD Sunan Kalijaga Demak pada
bulan Januari – Desember 2010. Data diolah dengan langkah editing, coding, tabulating, data
entri, dan analisa data menggunakan anlisa univariat. Hasil menunjukkan dari 81 ibu bersalin
yang mempunyai komplikasi janin besar (75.0%), yang mempunyai komplikasi presentasi
bokong (82.2%).
Kesimpulan, sebagian ibu bersalin yang mempunyai komplikasi passenger di pengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu janin besar dan malpresentasi (presentasi bahu dan presentasi
bokong).
Kata Kunci : janin besar, malpresentasi, ibu bersalin.

PENDAHULUAN
Di Indonesia angka kematian ibu 228 orang per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007)
dan sekitar 1,69 juta perkiraan 5 juta perempuan melahirkan setiap tahun di Indonesia, tidak
memiliki akses layanan persalinan yang diberikan tenaga kesehatan terlatih. Hal ini
mengakibatkan tingginya angka kematian Ibu dan Bayi yang baru dilahirkan (Depkes, 2008).
Angka kematian Ibu (AKI) di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tiap tahunnya sekitar
14.180 perempuan atau 450/100.000 di Indonesia meninggal karena hamil dan melahirkan
(Sarwono, 2006).
Angka kematian ibu di Jawa Tengah tergolong masih tinggi. Hal ini bisa dilihat dari data
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang menyebutkan pada tahun 2008, AKI mencapai
114.42/100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih berada diatas target Nasional sudah diatas
200/100.000 kelahiran hidup. Jumlah tersebut menurun dari tahun sebelumnya yakni sebesar
116,34/100.000 kelahiran, sedangkan angka nasional sudah diatas 200/100.000 kelahiran bayi
(Sawadi, 2010). Untuk itu pemerintah menetapkan tahun 2010 menurunkan angka kematian
maternal menjadi 125/100.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal menjadi 16/100.000
kelahiran hidup (Ambarwati, 2009; h. 7).
Penyebab langsung AKI diantaranya perdarahan 45%, infeksi 15% dan eklamsi 13%.
Penyebab lain komplikasi aborsi 11%, partus lama 9%, anemia 15%, Kurang Energi Kronis
(KEK) 30%. Komplikasi kehamilan dan persalinan sebagai 30%. Komplikasi kehamilan dan
persalinan sebagai penyebab kematian ibu dialami sekitar 15-20% dari seluruh kehamilan.
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 15
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Sekitar 65% ibu hamil mengalami keadaan “4 terlalu” penyebab kematian ibu dialami sekitar 15-
20% dari seluruh kehamilan. Sekitar 65% ibu hamil mengalami keadaan “4 terlalu” (terlalu muda
menikah, terlalu tua untuk hamil, terlalu sering melahirkan dan terlalu banyak hamil) (Sarwono,
2007; h. 6).
Persalinan merupakan proses normal, berupa kontraksi uterus involunter yang efektif
dan terkoordinasi, yang menyebabkan penipisan dan dilatasi servik secara progresif serta
penurunan dan pelahiran dan placenta. Mendekasi akhir proses, persalinan dapat dipercepat oleh
upaya mengejan yang voulenter untuk membantu kelahiran hasil konsepsi (Benson dan pernol,
2009; h. 149).
Angka kematian akibat letak sungsang di beberapa Rumah Sakit berbeda-beda. Angka
kematian perinatal pada kasus letak sungsang di RS Karyadi semarang 38,5%, RS Hasan Sadikin
Bandung 16,8%, RS Dr Pirngadi Medan 29,4%, Easman melaporkan berkisar 12-14%. Melihat
cukup tingginya angka kematian perinatal, maka kasus letak sungsang memerlukan penanganan
yang tepat sehingga diharapkan dapat menurunkan angka kematian pada kasus tersebut
(Maramelajah. 2010).
Penyebab kegagalan kemajuan persalinan karena masalah-masalah passenger (janin
tunggal/multiple), terdapat empat faktor utama yaitu janin terlalu besar, malposisi, malpresentasi,
abnormalitas janin (Liu DTY, 2008; h. 175).
Masing-masing faktor ini, sendiri ataupun kombinasi, dapat menyebabkan persalinan
dan pelahiran atau dengan komplikasi. Misalnya jika janin besar dan panggul kecil, persalinan
dapat lama atau kemajuan tidak mungkin terjadi meskipun kontraksi kuat, bahkan dengan letak
placenta yang normal pada fundus (Benson dan pernol, 2009; h. 151-152).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di RSUD Sunan Kalijaga Demak pada
tanggal 16 Mei 2012, 89 ibu bersalin mengalami komplikasi persalinan karena janin. Adapun
data sebagai berikut :
Tabel 1 Data ibu bersalin yang mengalami komplikasi pada bulan mei 20110-April 2012 di
RSUD Sunan Kalijaga Demak.
No. Jenis Komplikasi Jumlah
1. Presentasi kaki 3
2. Presentasi bokong 60
3. Presentasi bahu 13
4. Kembar siam 2
5. Letak muka 1
6. Bayi besar 8
7. Distosia bahu 2
Jumlah 89
Sumber: Data Sekunder RSUD Sunan Kalijaga Demak tahun 2010-2011

Dari hasil data diatas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai ”Faktor-
faktor yang Berhubungan dengan Komplikasi Passenger pada Ibu Bersalin di RSUD Sunan
Kalijaga Demak”.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif ang dilakukan untuk
menjelaskan gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi passenger pada ibu
bersalin di RSUD Sunan Kalijaga Demak dan menggunakan pendekatan retrospektif. Populasi
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 16
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin yang mengalami komplikasi passenger di RSUD
Sunan Kalijaga Demak sebanyak 81 ibu bersalin, pada bulan Maret 2011 - April 2012 dan teknik
pengambilan sampel dengan Total Sampling. Dalam penelitian ini jenis data adalah data
sekunder, dengan menggunakan lembar observasi data dari rekam medis ibu bersalin di RSUD
Sunan Kalijaga Demak. Analisa data yang digunakan adalah prosentase.

HASIL PENELITIAN
1. Faktor Janin Besar
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan Faktor Janin Besar
BB janin Jumlah Persentase (%)
4000 gram 2 25.0
>4000 gram 6 75.0
Total 8 100

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa dari 8 Responden yang melahirkan janin dengan
BB >4000 gram sebanyak 6 orang (75.0%), yang melahirkan janin dengan BB 4000 gram
sebanyak 2 orang (25.0%).
2. Faktor Malpresentasi
Tabel 2 Distribusi Frekuensi berdasarkan Faktor Malpresentasi
Malpresentasi Jumlah Persentase (%)
Presentasi Dahi 0 0
Presentasi Muka 0 0
Presentasi Bahu 13 17.8
Presentasi Ganda 0 0
Presentasi Bokong 60 82.2
Jumlah 73 100

Dari tabel diatas menunjukkan bahwa dari 73 Responden yang mengalami presentasi bokong
sebanyak 60 orang (82.2%), yang mengalami Presentasi Bahu sebanyak 13 orang (17.8%).

PEMBAHASAN
1. Faktor Janin Besar
Dari hasil penelitian yang telah di lakukan di RSUD Sunan Kalijaga Demak di dapatkan
sebagian besar Responden melahirkan janin dengan BB >4000 gram sebanyak 6 orang
(75.0%), dan yang melahirkan janin dengan BB 4000 gram sebanyak 2 0rang (25.0%).
Berdasarkan teori yang ada bahwa Janin besar adalah bila berat badannya lebih dari
4000 gram, penyebabnya yaitu faktor keturunan, wanita hamil dengan DM dan
penanganannya yaitu dilakukan seksio sesarea (Prawirohardjo, 2005; h. 628-629).
Dalam fenomena di RSUD Sunan Kalijaga Demak paling banyak ibu yang mengalami
komplikasi passenger dengan kategori BB janin >4000 gram sebanyak 6 orang dan janin
yang BB 4000 sebanyaak 2 orang. Dari hasil diatas peneliti mendapat informasi dari Rumah
Sakit RSUD Sunan Kalijaga Demak bahwasannya ibu bersalin yang mengalami janin besar
mayoritas terjadi pada ibu yang memiliki riwayat keturunan dan yang mengalami riwayat
Diabetes Mellitus.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 17
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

DM hanya merupakan gangguan metabolisme yang ringan, tetapi hiperglikemia ringan


tetap dapat memberikan penyulit pada ibu berupa preeklampsia, polihidramnion, infeksi
saluran kemih, persalinan seksio sesarea, trauma persalinan akibat bayi besar (Sarwono,
2008; h. 290).
Berdasarkan hasil penelitian Yunita (2010) diperoleh bahwa pada kelompok ibu yang
melahirkan dengan BB lahir >3100 gram menunjukkan prosentase yang paling besar
mengalami ruptur perinium. Hal ini menunjukkan bahwa BB lahir memiliki pengaruh
terhadap terjadinya ruptur perinium pada ibu kemudian mengakibatkan perdarahan dan
bahayanya bagi janin bisa mengakibatkan asfiksia.
2. Faktor Malpresentasi
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Sunan Kalijaga Demak di dapatkan
sebagian besar responden mengalami malpresentasi dengan presentasi bokong sebanyak 60
orang (87.7%), dan yang mengalami malpresentasi dengan presentasi bahu sebanyak 13
orang (17.8%).
Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain vertex (syaifuddin 2006; h. 191).
Presentasi bokong ialah bila bokong merupakan bagian terendah janin hal tersebut
disebabkan karena multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefalus, plasenta previa dan
panggul sempit, dan penanganannya dengan persalinan pervaginam oleh tenaga penolong
yang terlatih akan aman bila pelvis adekuat (Prawirohardjo 2005; h. 200).
Presentasi bahu disebabkan karena letak janin yang melintang hal tersebut disebabkan
karena kehamilan multiple, polihidramnion, placenta previa dan abnormalitas uterus
(Chapman 2006; h. 48). Dan penanganannya yaitu dengan Seksio Sesaria efektif di lakukan
jika pelahiran pervaginam dikontraindikasikan, jika ibu tidak dalam persalinan dan pelahiran
pervaginam maka tepat untuk melakukan manuver pada janin ke letak longitudinal. Manuver
ini di lakukan di ruang operasi yang di persiapkan (Liu DTY, 2008; h. 266).
Dalam fenomena di RSUD Sunan Kalijaga Demak paling banyak ibu yang mengalami
komplikasi passenger dengan kategori Presentasi bokong sebanyak 60 orang dan presentasi
bahu sebanyak 13 orang. Dari hasil diatas peneliti mendapat informasi dari Rumah Sakit
RSUD Sunan Kalijaga Demak bahwasannya ibu bersalin yang mengalami malpresentasi
mayoritas terjadi pada ibu yang multiparitas dan hamil kembar.
Berdasarkan hasil penelitian Sinurtina Sihombing (2001) Kejadian komplikasi dalam
persalinan di pengaruhi dari beberapa faktor antara lain multiparitas, riwayat komplikasi
kehamilan, K1, K4, pemberian tablet fe, pemeriksaan antenatal, penolong persalinan dan
tempat persalinan.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagian besar ibu bersalin yang mengalami
komplikasi passenger dikarenakan letak janin. Upaya pencegahan terjadinya komplikasi
persalinan perlu ditingkatkan, dimana deteksi dini terhadap ibu hamil yang mempunyai
faktor resiko tinggi dapat di deteksi dan ditangani secepatnya dengan baik. Penolong
persalinan oleh tenaga kesehatan atau bidan perlu ditingkatkan.

KESIMPULAN
1. Janin Besar pada ibu bersalin sebagian besar adalah berat badan >4000 gram sebanyak 6
orang (75.0%)
2. Malpresentasi pada ibu bersalin sebagian besar adalah presentasi bokong sebanyak 60
orang (82.2%).
SARAN
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 18
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Bagi semua pihak yang terkait seperti dinas kesehatan Kabupaten Demak, RSUD Sunan
Kalijaga Demak untuk meningkatkan kerja sama dalam meningkatkan kemampuan dokter
dan bidan mendeteksi dini komplikasi yang dialami ibu pada saat hamil dengan pelayanan
antenatal yang berkualitas dan pemantauan proses persalinan dengan menggunakan partogtaf,
serta pelatihan asuhan persalinan normal. Bagi institusi, Dengan adanya hasil penelitian ini
maka dapat dijadikan bahan untuk di kembangkan dalam penelitian selanjutnya tentang
faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi passenger pada ibu bersalin dan di
harapkan institusi dapat meningkatkan mutu pendidikan yang lebih komperhensif dan
kompeten dalam melakukan penelitian, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang
berkualitas dan mampu memberikan asuhan kebidanan yang sesuai dengan kebutuhan
masyarakat. Bagi peneliti selanjutnya, peneliti dapat lebih meningkatkan pengetahuan dan
acuan yang luas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan komplikasi passenger
pada ibu bersalin. Bagi ibu bersalin diharapkan agar selalu memantau perkembangan
janinnya selama kehamilan melalui pemeriksaan ANC secara rutin sesuai program
pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Benson RC, pernol NC. Buku saku obtetri dan genekologi. Jakarta: EGC; 2008. h. 151-152.
Chapman V. Asuhan kebidanan persalinan & kelahiran. Jakarta: EGC; 2006. h. 118.
Liu DTY. Manual persalinan. Jakarta: EGC; 2008. h. 175.
Mansjoer dkk. Kapita selekta kedokteran. Jakarta: media aesculaplus; 2000.
Manuaba. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: EGC;
2001.
Mochtar R. Sinopsis obstetri. Jakarta: EGC; 1998.
Notoatmojo S. Metode penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka cipta; 2003.
Notoatmodjo S. Metode penelitian kesehatan. Jakarta: Rineka cipta; 2005
Nursalam. Konsep penerapan metodologi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika; 2003.
Nursalam. Konsep dan penerapan metodelogi penelitian ilmu keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika; 2008. h. 89.
Saifuddin AB. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. h. 191.
Saryono, Anggraeni MD. Metodologi penelitian kualitatif dalam bidang kesehatan. Yogyakarta:
Nuha Medika; 2010. h. 98-99.
Sugiyono. Statistika untuk penelitian. Bandung: CV Alvabeta; 2007.
Sumarah. Perawatan ibu bersalin. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya; 2009 h. 2-126.
Suyanto & Salamah, U. Riset kebidanan metodologi dan aplikasi. Jakarta: Mitra Cendikia; 2009.
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawiroharjo; 2005. h.
600-632.
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawiroharjo; 2006. h.
180.
Wiknjosastro H. Ilmu kebidanan. Jakarta: yayasan bina pustaka sarwono prawiroharjo; 2008. h.
2000.
http://www.enformasi.com/2009/03/kehamilan-kembar_07.html
http://winardi-andalas-putro.blogspot.com/2009/03/cegah-hydrocephalus-sejak-kehamilan.html

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 19
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

GAMBARAN PARITAS IBU BERSALIN TERHADAP KEJADIAN KPD DI RSIA


KUMALA SIWI PECANGAAN JEPARA

Triana Widiastuti, Ummi Haniek, Yuni Nor’aini

INTISARI
Pada tahun 2009 angka kematian ibu di Indonesia sekitar 307 per 100.000 kelahiran
hidup. Sedangkan di Jawa Tengah sebesar 114 per 1000 kelahiran hidup. Penyebab langsung
AKI adalah perdarahan 45 %, infeksi 15 %, dan eklamsi 13 %.Ketuban pecah dini adalah satu
penyebab terjadinya infeksi ibu bersalin. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui
gambaran paritas ibu bersalin terhadap kejadian KPD di RSIA Kumala Siwi Pecangaan Jepara
Jenis penelitian ini termasuk penelitian deskriptif dengan pendekatan retrospektive.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin yang mengalami KPD tahun 2010.
Sampel dalam penelitian ini adalah 38 responden yang diperoleh secara total sampling.
Pengumpulan data melalui data sekunder. Pada analisa data secara Univariat didistribusikan
dalam tabel distribusi frekuensi. Dari penelitian yang dilakukan pada 38 responden menunjukkan
bahwa kejadian KPD yang terjadi pada primipara sebanyak 13 orang (34%), kejadian KPD yang
terjadi pada multipara sebanyak 18 orang ( 48%), kejadian KPD yang terjadi pada
grandemultipara sebanyak 7 orang (18%).
Kesimpulan, saran sebagian besar ibu mengalami KPD pada paritas ibu multipara
sehingga diharapkan untuk ibu hamil melakukan kunjungan ANC rutin.

Kata Kunci : Paritas, KPD

PENDAHULUAN
Menurut WHO (2007) jumlah kematian ibu sekitar 500.000 persalinan hidup, sedangkan
jumlah kematian perinatal sebesar 10.000 orang. Dari jumlah kematian ibu dan perinatal
tersebut, sebagian besar terjadi di Negara berkembang karena kurangan fasilitas, terlambatnya
pertolongan persalinan dan pendidikan masyarakat yang tergolong rendah. Pada kenyataannya
pertolongan persalinan oleh dukun bayi merupakan pertolongan yang masih diminati oleh
masyarakat (Manuaba, 2008; h. 14).
Menurut Survey Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2009, angka kematian ibu di
Indonesia 307 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan bayi 35 per 1000 kelahiran hidup. Angka
kematian ibu dan bayi itu tertinggi di Asia Tenggara. Di Jawa Tengah, angka kematian ibu
tahun 2009 sebesar 114 per 1000 kelahiran hidup (Evarisan, 2010).
Penyebab kematian ibu di jawa tengah antara lain disebabkan pendarahan, usia ibu hamil
yang terlalu tua atau terlalu muda, terlalu sering melahirkan, dan penanganan medis yang
terlambat (Soelaimah, 2010).
Dalam upaya mempercepat penurunan AKI, sekaligus untuk mencapai target AKI
menjadi 125/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2010, dan sasaran Millenium Development
Goals (MDGs) menjadi 102/100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015, salah satu upaya yang
dilakukan adalah Making Pregnancy Safer (MPS) yang diprakarsai oleh WHO dan merupakan
strategi sector kesehatan yang bertujuan menurunkan AKI. (Humas Dinas Kesehatan DKI
Jakarta).

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 20
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Ketuban pecah dini (KPD) merupakan salah satu penyebab terjadinya infeksi. Pada
sebagian besar kasus ketuban pecah dini berhubungan dengan infeksi intra partum (Sujiyatini
dkk, 2009; h. 126).
Dalam menghadapi ketuban pecah dini harus mempertimbangkan lamanya fase laten
yang dapat terjadi infeksi, perkiraan BB janin, presentasi janin intrauteri (Manuaba, 2007; h.
457). Paritas yang tinggi akan berdampak pada timbulnya berbagai masalah kesehatan baik bagi
ibu maupun bayi yang dilahirkan Apriyanti, 2009; h. 16).
Status seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang pernah dilahirkannya. Ibu
yang baru pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam
memeriksakan kehamilanya ke tenaga kesehatan. Sebaliknya ibu yang sudah pernah melahirkan
lebih dari satu kali mempunyai anggapan bahwa ia sudah berpengalaman sehingga tidak
termitivasi untuk memeriksakan kehamilanya (Wiknjosastro, 2008).
Menurut Kep Menkes RI No. 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang Registrasi Praktek dan
Praktik Bidan Bab V pasal 16 ( 1) butir f : pelayanan kebidanan ibu meliputi pertolongan
persalinan abnormal, yang mencakup letak sungsang, partus macet kepala didasar panggul,
ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan post partum, laserasi jalan lahir, distosia
karenan insersia uteri primer, post aterm dan pre aterm. Pasal 18 (i) bidan dalam memberikan
pelayanan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 16 (i) berwenang memberikan infuse
(IBI,2006).
Berdasarkan studi pendahuluan pada bulan Maret 2012 yang dilakukan di RSIA Kumala
Siwi Pecangaan Jepara diperoleh data 29 ibu bersalin mengalami KPD terjadi pada 10 ibu
primipara dan 16 ibu multipara dan 2 ibu grandemultipara.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif dengan
menggunakan pendekatan Retrospektif. Populasi dalam penelitian ini adalah semua ibu bersalin
dengan KPD di RSIA Kumala Siwi Pecangaan Jepara pada tahun 2010 dengan menggunakan
teknik total sampling. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Analisa data
menggunakan prosentase.

HASIL PENELITIAN
Gambaran paritas ibu bersalin terhadap kejadian KPD
Tabel 1 Distribusi frekuensi berdasarkan paritas ibu yang mengalami kejadian KPD di RSIA
Kumala Siwi Pecangaan Jepara

Paritas KPD Frekuensi (f) Persentase (%)


Primipara 13 34,2%
Multipara 18 47,4%
Grandemultipara 7 18,4%
Total 38 100%
Sumber : (Data Hasil Rekam Medis, 2010)
Dari tabel di atas menunjukkan bahwa 38 responden yang mengalami KPD terjadi pada
multipara sebanyak 18 orang (48%), responden yang mengalami KPD pada Grandemultipara
Sebanyak 7 orang (18 %).

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 21
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada tanggal 3 agustus 2011 di RSUD
Sunan Kalijaga Demak. Penelitian dengan judul “Gambaran Paritas Ibu Bersalin Terhadap
Kejadian KPD di RSIA Kumala Siwi Pecangaan Jepara tahun 2010.
Dari hasil rekapan data di di RSIA Kumala Siwi Pecangaan Jepara tahun 2010 ditemukan
bahwa 38 responden yang mengalami KPD terjadi pada primipara sebanyak 13 orang (34%),
responden yang mengalami KPD pada multipara sebanyak 18 orang (48%), responden yang
mengalami KPD pada Grandemultipara Sebanyak 7 orang (18 %).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda mulai persalinan
dan ditunggu 1 jam belum sebelum terjadi inpartu (Ida ayu dkk, 2009; h. 119). Ketuban
dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum proses persalinan berlangsung. (sarwono, 2008; h.
218).
Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina. Aroma air
ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut masih merembes
atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna merah. Cairan ini tidak akan berhenti atau
kering karena terus diproduksi sampai kelahiran. (Sujiyatini dkk, 2009; h. 16).
Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu hidup di luar
rahim (28 minggu) (JHPIEGO, 2008). Menurut Viviroy ( 2008), paritas adalah jumlah anak yang
dilahirkan sendiri oleh responden yang saat dilakukan penelitian masih hidup. Julah anak cukup
(<2 orang), jumlah anak banyak (>2 orang). Paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi
aterm. (Manuaba, 1998. h. 158).
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian maternal. Paritas
1 dan paritas tinggi (lebih dari 3) mempunyai angka kematian maternal lebih tinggi. Lebih tinggi
paritas, lebih tinggi kematian maternal (Winjosastro, 2007; h. 23).
Penelitian lain di sebuah Rumah Bersalin Tiyanti, Maospati Jawa Barat, menyebutkan
faktor paritas yaitu pada multipara sebesar 37,59% juga mempengaruhi terjadinya ketuban pecah
dini, selain itu riwayat ketuban pecah dini sebelumnya sebesar 18,75% dan usia ibu yang lebih
dari 35 tahun mengalami ketuban pecah dini (Agil, 2007).
Dalam fenomena yang ada di masyarakat terutama pada masyarakat Jepara bahwa status
seorang wanita sehubungan dengan jumlah anak yang pernah dilahirkannya. Ibu yang baru
pertama kali hamil merupakan hal yang sangat baru sehingga termotivasi dalam memeriksakan
kehamilanya ke tenaga kesehatan. Sebaliknya ibu yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu
kali mempunyai anggapan bahwa ia sudah berpengalaman sehingga tidak termotivasi untuk
memeriksakan kehamilanya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan didapatkan bahwa paritas ibu yang mengalami KPD
di RSIA Kumala Siwi Pecangaan Jepara tahun 2010 terjadi pada ibu multipara sebanyak 18
orang (48%). ibu yang sudah pernah melahirkan lebih dari satu kali mempunyai anggapan bahwa
ia sudah berpengalaman sehingga tidak termotivasi untuk memeriksakan kehamilanya.

KESIMPULAN
Responden yang mengalami KPD pada primipara sebesar 13 orang (34%), Sebagian
besar responden yang mengalami KPD terjadi pada multipara sebanyak 18 orang (48%), dan
sebagian kecil responden yang mengalami KPD pada Grandemultipara Sebanyak 7 orang (18
%).

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 22
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

SARAN
Bagi tenaga kesehatan yang terkait agar lebih terpacu dalam meningkatkan mutu
pelayanan persalinan KPD, meningkatkan pengetahuan masyarakat dan informasi kesehatan
yang bermanfaat bagi ibu bersalin. Bagi Institusi Pendidikan, dengan adanya hasil penelitian ini
maka dapat dijadikan bahan untuk dikembangkan dalam penelitian selanjutnya. Bagi Peneliti,
meningkatkan pengetahuan dan pengalaman yang luas dalam mengaplikasikan teori tentang
gambaran paritas ibu bersalin terhadap kejadian KPD.

DAFTAR PUSTAKA
Evarisan. Kartini dan pemenuhan hak kesehatan 21 April 2010 (Diakses tanggal 27 April 2011).
Didapat dari: http://www.kartini-dan-pemenuhan-hak –kesehatan-html
Kepmenkes RI Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang praktik dan praktik bidan. Jakarta.
2007
Hidayat A. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika;
2007. h: 51
Manuaba IBG. Ilmu kebidanan penyakit kandungan dan keluarga berencana untuk pendidikan
bidan. Jakarta: EGC; 1998. h. 158
Manuaba IBG. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC; 2007. h. 456 – 457.
Manuaba, Ida Ayu Chandranita. Buku Ajar Patologi untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: EGC;
2009. h: 119
Notoatmodjo Soekidjo. Metodologi penelitian kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta; 2005. h. 27;
46; 79.
Nugraheny esti. Asuhan Kebidanan Patologi. Yogyakarta: Pustaka Rihana; 2009. h. 119.
Mochtar Rustam. Sinopsis Obstetri Jilid 1. Jakarta: EGC; 2005. h. 92.
Prawirorahardjo Sarwono. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Jakarta. YPB; 2008. h: 218 – 219
Prawirorahardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta :YPB; 2007. h. 23
Prawirorahardjo Sarwono. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YPB; 2008. h. 180
Setiawan A saryono. Metodologi Penelitian Kebidanan D III, D IV, S 1dan S 2. Yogyakarta:
Nuha Medika; 2010. h. 131
Sofyan. Mustika. Cetakan V50 tahun IBI Menyongsong Masa Depan. Pengurus Ikatan Bidan
Indonesia. Jakarta. 2006
Sujiyatini dkk. Asuhan Patologi Kebidanan. Jogjakarta. Nuha Medika; 2009. h: 13 -16
Sugiyono. Statistik untuk penelitian. CV Alfabeta. Bandung; 2007. h. 29
Suparyanto. Konsep Paritas/ Partus & Oktober 2010 (Diakses tanggal 15 April 2011). Didapat
dari http://dr.Suparto.blogspot.com/2010/10/konsep-paritas-partus. html
Varney. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta. EGC; 2006. h. 36 – 39.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 23
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

KARAKTERISTIK IBU HAMIL YANG MELAHIRKAN BAYI


DENGAN BERAT BADAN LAHIR RENDAH DI RSU RA KARTINI JEPARA

Gunawan, Anik Sholikah, Aunur Rofiq

INTISARI

BBLR merupakan salah satu indikator Kesehatan ibu dan anak serta determinan utama kematian
perinatal dan neonatal. BBLR adalah bayi yang baru lahir yang berat badannya saat lahir kurang
dari 2500 gram. AKB Kabupaten Jepara meningkat dari 77 bayi pada tahun 2009 menjadi 178
bayi pada tahun 2010. Faktor yang mempengaruhi kejadian BBLR dilihat dari karakteristik ibu
(umur ibu, jumlah anak, keguguran/lahir mati), dan pelayanan antenatal (frekuensi periksa hamil,
umur kehamilan, antenatal care). Ibu bersalin yang melahirkan bayi dengan BBLR dilihat
berdasarkan usia ibu, paritas, jarak kelahiran dan umur kehamilan. Tujuan penelitian ini adalah
Untuk mengetahui karakteristik ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini
Jepara.
Jenis penelitian ini adalah deskriptif retrospektif dengan pendekatan case control. Sampel
dalam penelitian ini sebanyak 141 orang dengan teknik pengambilan sampel adalah Total
Sampling. Data dari Rekam Medik kemudian dianalisa dengan menggunakan SPSS 17.0 For
Windows. Hasil Dari 141 ibu bersalin yang melahirkan bayi dengan BBLR, berdasarkan usia ibu
terbanyak adalah BBLR dilahirkan ibu usia non-resti yaitu sebanyak 108 orang (76,6%).
Berdasarkan paritas, terbanyak pada ibu primipara yaitu sebanyak 70 orang (49,6%).
Berdasarkan jarak kelahiran, terbanyak pada jarak kelahiran terlalu dekat yaitu sebanyak 69
orang (48,0%). Berdasarkan umur kehamilan, terbanyak dilahirkan pada umur kehamilan pre-
term yaitu sebanyak 106 orang (75,2%).
Pemberian penyuluhan terhadap wanita tentang pencegahan BBLR harus diberikan sedini
mungkin terutama dari ibu mulai hamil untuk merawat kehamilannya sebaik mungkin sehingga
tidak melahirkan bayi dengan BBLR.

Kata kunci :Berat Badan Bayi Lahir Rendah, Karakteristik ibu

PENDAHULUAN
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan untuk mempertinggi derajat kesehatan
masyarakat dalam rangka peningkatan kualitas taraf hidup, kecerdasan dan kesejahteraan
masyarakat. Dalam upaya meningkatkan kualitas manusia seyogyanya harus dimulai sedini
mungkin sejak janin dalam kandungan. Oleh karena itu upaya meningkatkan status kesehatan ibu
dan anak di Indonesia merupakan salah satu program prioritas. Kehamilan adalah suatu proses
fisiologis yang terjadi hampir pada setiap wanita. Dari setiap kehamilan yang diharapkan adalah
lahirnya bayi yang sehat sempurna secara jasmaniah dan dengan berat badan lahir yang cukup.
Tetapi adakalanya kelahiran bayi tersebut tidak seperti yang diharapkan, seperti lahirnya bayi dengan
berat lahir rendah yaitu kurang dari 2500 gram. Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) merupakan salah
satu indikator dari tingkat kesehatan ibu dan anak, dan bayi dengan berat lahir rendah merupakan
determinan yang utama pada kematian perinatal dan neonatal. Menurut WHO bayi berat lahir rendah
merupakan penyebab dasar kematian neonatal. (Depkes RI, 2006; hlm. 10).
Berdasarkan hasil survey kesehatan daerah dan Survei Demografi Kesehatan Indonesia
(SDKI), AKB di Indonesia tahun 2007 sejumlah 34 per 1000 kelahiran hidup, Sedangkan
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 24
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

berdasarkan laporan rutin AKB Provinsi Jawa Tengah tahun 2010 sebesar 10,8 per 1.000
kelahiran hidup. Masalah utama bayi baru lahir adalah masalah yang sangat spesifik, yang terjadi
pada masa perinatal serta dapat menyebabkan kematian, kesakitan, dan kecacatan.
Prevalensi bayi berat lahir rendah ( BBLR) diperkirakan 15% dari seluruh kelahiran di dunia
dengan batasan 3,3% - 38% dan lebih sering terjadi di Negara-negara berkembang atau sosio-
ekonomi rendah. Secara statistik menunjukkan 90% kejadian BBLR didapatkan di Negara
berkembang dan angka kematiannya 35 kali lebih tinggi dibanding pada bayi dengan berat lahir
lebih dari 2500 gram. BBLR termasuk faktor utama dalam peningkatan mortalitas, morbiditas
dan disabilitas neonatus, bayi dan anak serta memberikan dampak jangka panjang terhadap
kehidupannya dimasa depan. Angka kejadian di Indonesia sangat bervariasi antara satu daerah
dengan daerah lain, yaitu berkisar antara 9% - 30%, hasil studi di 7 daerah multicenter diperoleh
angka BBLR dengan rentang 2,1% - 17,2% . Secara nasional berdasarkan analisa lanjut SDKI,
angka BBLR yang ditetapkan pada sasaran program perbaikan gizi menuju Indonesia Sehat 2015
yakni maksimal 7%. (Ika Pantiawati, 2010; hlm.3)
Beberapa faktor yang mempunyai pengaruh terhadap kejadian bayi lahir dengan berat badan
lahir rendah (BBLR) dilihat dari karakteristik sosial ekonomi (pendidikan ibu, pekerjaan ibu,
status ekonomi), dan riwayat persalinan (umur ibu, urutan anak, keguguran/ lahir mati), dan
pelayanan antenatal (frekuensi periksa hamil, tenaga pemeriksa hamil, umur kandungan saat
memeriksa kehamilannya). Menurut Irma D.M Sianturi (2007) bahwa beberapa faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian BBLR antara lain Faktor sosial demografis (umur ibu, suku,
agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi), faktor antropometri (berat badan ibu <
39 kg atau > 90 kg, tinggi badan ibu < 145 cm, LILA ibu < 23,5 cm), faktor biomedis ( paritas,
jarak kehamilan, umur kehamilan, kadar Hb menjelang persalinan, tekanan darah ibu sewaktu
hamil) pelayanan medis, perilaku dan lingkungan. Selain itu BBLR dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu: pertama faktor ibu meliputi, penyakit, usia, keadaan sosial dan sebab lain
seperti ibu yang merokok, kedua faktor janin dan yang ketiga adalah faktor lingkungan (Ika
Pantiawati, 2010; hlm.4-5)
Hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan di Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara jumlah
kematian bayi meningkat dari 77 bayi pada tahun 2009 meningkat menjadi 178 bayi pada tahun
2010. (Bagian Kesga DKK Jepara, April 2011).
Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari Ruang Mawar RSU RA Kartini Jepara pada
bulan April 2012 diperoleh data ibu bersalin pada Bulan Januari 2011 sampai dengan April 2012
adalah sebanyak 997 orang dengan spesifikasi sebanyak 72,1% ( 719 orang) bersalin secara
spontan pervaginam maupun dengan tindakan dan sebanyak 27,9% (278 orang) melahirkan
dengan operasi. Dari keseluruhan data ibu bersalin pada Bulan Januari 2011 sampai dengan April
2012 tersebut, angka kejadian ibu yang bersalin dengan berat badan lahir rendah (BBLR) di
ruang Mawar RSU RA Kartini Jepara Angka kejadian BBLR pada bulan Januari – April 2012
adalah sebanyak 57 orang atau rata-rata terjadi kelhiran bayi dengan BBLR sebanyak 14,25
setiap bulan. Sedangkan pada bulan Januari – Desember 2010 adalah sebanyak 141 orang
(14,2%) dari total persalinan (997 orang) atau rata – rata terjadi kelahiran bayi BBLR sebanyak
11,75 setiap bulannya. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan yang cukup
signifikan pada angka kejadian ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR) di RSU RA Kartini Jepara. Hal ini juga diungkapkan oleh Bapak dr. Agus Salim, M.M
selaku Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara, BBLR merupakan penyebab pertama
peningkatan AKB di Jepara pada tahun 2010. Berdasarkan hasil rekapitulasi yang penulis
peroleh dari catatan di Ruang Mawar menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi kejadian
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 25
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

BBLR di RSU RA Kartini ini dikarenakan umur kehamilan preterm yang disebabkan adanya
penyakit penyerta selama kehamilan maupun adanya komplikasi pada saat persalinan seperti Pre-
eklamsia, KPD, kehamilan ganda dan hampir sebagian besar merupakan persalinan pada umur
kehamilan pre-term.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif menggunakan desain case control. Populasi dalam
penelitian ini adalah semua ibu bersalin yang melahirkan bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini
Jepara pada tahun 2011 yaitu sejumlah 141 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan
total sampling. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang meliputi :
umur ibu, paritas, jarak kelahiran, dan umur kehamilan yang diperoleh dari Rekam Medik ibu
bersalin yang melahirkan bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini Jepara tahun 2010. Analisa
data univariate menggunakan prosentase.

HASIL PENELITIAN
1. Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini Jepara Tahun
2011 Berdasarkan Usia
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR
di RSU RA Kartini Jepara Berdasarkan Usia Ibu

Usia Ibu Jumlah


No
(Tahun) n %
1. Non-Resti (20-35) 108 76,6
2. Resti (<20 / >35) 33 23,4
Jumlah 141 100,0

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa, ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR
berdasarkan usia ibu sebagian besar adalah bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan usia
non-resti antara 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 108 orang (76,6%), sedangkan sebagian
kecil bayi dilahirkan oleh ibu yang berusia resti (<20 / >35 tahun) sebanyak 33 orang
(23,4%).
2. Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini Jepara Tahun
2010 Berdasarkan Paritas
Tabel 2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR Di
RSU RA Kartini Jepara Berdasarkan Paritas

Jumlah
No Paritas
n %
1. Primipara (1) 70 49,6
2. Multipara (2 atau lebih) 61 43,3
3. Grande multipara (5 atau lebih) 10 7,1
Jumlah 141 100,0

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 26
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Dari tabel 2 dapat dilihat bahwa, ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR
berdasarkan paritas sebagian besar adalah pada ibu dengan primipara yaitu sebanyak 70
orang (49,6%), sedangkan yang paling sedikit terjadi pada ibu dengan grande multipara
(paritas 5 atau lebih) yaitu sebanyak 10 orang (7,1%).

3. Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini Jepara Tahun
2011 berdasarkan Jarak Kelahiran
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR
di RSU RA Kartini Jepara berdasarkan jarak Kelahiran

Jarak Kelahiran Jumlah


No
(Tahun) n %
1. Terlalu Dekat (<2) 69 48,0
2. Normal (2-4) 13 9,2
3. Terlalu Jauh (>4) 59 41,8
Jumlah 141 100,0

Dari tabel 3 dapat dilihat bahwa, ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR
sebagian besar adalah bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran terlalu dekat
(<2 tahun) yaitu sebanyak 69 orang (48,0%), sedangkan paling sedikit adalah bayi yang
dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran normal (2-4 tahun) yaitu sebanyak 13 orang
(9,2%).
4. Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR di RSU RA Kartini Jepara Tahun
2011 Berdasarkan Paritas
Tabel 4 Distribusi Frekuensi Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR
di RSU RA Kartini Jepara berdasarkan Usia Kehamilan

Umur Kehamilan Jumlah


No
(Minggu) n %
1. Pre-term (<37) 106 75,2
2. Aterm (37 - 41) 34 24,1
3. Post-term (≥42) 1 0,7
Jumlah 141 100,0

Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa, berdasarkan umur kehamilan ibu yang melahirkan bayi
dengan BBLR sebagian besar dilahirkan pada umur kehamilan pre-term (<37 minggu)
yaitu sebanyak 106 orang (75,2%), sedangkan paling sedikit dilahirkan pada umur
kehamilan post-term yaitu hanya 1 orang (0,7%).

PEMBAHASAN
1. Usia Ibu
Berdasarkan hasil penelitian dapat digambarkan secara deskriptif bahwa ibu yang
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah di RSU RA Kartini Jepara pada tahun
2010 didapatkan hasil kejadian terbanyak adalah bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 27
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

usia non-resti (20 – 35 tahun) sebanyak 108 orang (76,6%), sedangkan sisanya sebanyak
33 orang (23,4%) bayi dilahirkan oleh ibu yang berusia resti (<20 / >35 tahun).
Setiawan (1995), melaporkan bahwa ibu hamil pada usia resti ( < 20 dan > 35
tahun) mempunyai risiko melahirkan bayi BBLR 4,1 kali lebih banyak. Sejalan dengan
hasil penelitian yang telah peneliti lakukan bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan
BBLR di RSU RA Kartini Jepara hanya sebesar 23, 4 % bayi yang lahir dari usia ibu
non-resti. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara hasil penelitian dengan teori
yang ada. Namun hal serupa juga ditemukan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh
Irma D.M Sianturi dengan judul Karakteristik Ibu yang Melahirkan Bayi dengan BBLR
di RS Santa Elisabeth Medan Tahun 2003-2006 pada 192 sampel berdasarkan usia ibu
kejadian bayi BBLR terbanyak adalah ibu dengan usia 20 – 35 tahun yaitu sebanyak 152
orang (79,2%).
Besarnya kejadian BBLR pada kelompok umur 20-35 tahun tersebut tergolong
aman untuk melahirkan terkait dengan adanya pergeseran usia menikah dikalangan
masyarakat yang dulu memiliki budaya menikah di usia dini, seperti setelah menstruasi
pertama datang, menjadi setelah tamat SMA atau usia 20 tahun ke atas. Hal tersebut dapat
dijelaskan karena sebagian masyarakat telah banyak mengetahui akibat buruk dari
perkawinan usia muda. Tingginya usia perkawinan pada kelompok usia tersebut juga
dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan masyarakat yang semakin baik tentang kesehatan
reproduksi. Menurut Liliek, masyarakat secara umum sudah mulai mengerti masa
perkawinan yang ideal sesuai dengan kematangan berbagai aspek, seperti reproduksi,
mental, sosial dan sebagainya.
Pada kenyatannya bahwa terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi
terjadinya BBLR antara lain faktor sosial demografis (umur ibu, suku, agama, tingkat
pendidikan, pekerjaan, tingkat ekonomi), faktor antropometri (berat badan ibu < 39 kg
atau > 90 kg, tinggi badan ibu < 145 cm, LILA ibu < 23,5 cm), faktor biomedis ( paritas,
jarak kehamilan, umur kehamilan, kadar Hb menjelang persalinan, tekanan darah ibu
sewaktu hamil) pelayanan medis, perilaku dan lingkungan. Selain itu BBLR dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu: pertama faktor ibu meliputi, penyakit, usia,
keadaan sosial dan sebab lain seperti ibu yang merokok, kedua faktor janin dan yang
ketiga adalah faktor lingkungan. (Ika Pantiawati, 2010; hlm.4-5)
2. Paritas Ibu
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dapat
digambarkan secara deskriptif bahwa ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir
rendah (BBLR) di RSU RA Kartini Jepara pada tahun 2011 sebagian besar adalah bayi
yang dilahirkan ibu primipara sebanyak 70 orang (49,6%), sedangkan yang paling sedikit
terjadi dilahirkan oleh ibu dengan grande multipara (paritas 5 atau lebih) yaitu sebanyak
10 orang (7,1%). Sedangkan untuk ibu multipara sebanyak 43,3 % yaitu 61 orang.
Dari hasil tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ibu dengan paritas pertama
lebih cenderung untuk melahirkan BBLR dibandingkan ibu dengan paritas kedua atau
lebih. Ibu yang hamil untuk yang pertama kalinya secara fisik maupun mental belum
mampu untuk beradaptasi secara baik dengan perubahan yang terjadi pada tubuh yang
sedang hamil. Mereka belum mempunyai pengalaman yang cukup dalam hal perawatan
kehamilan. Berbeda halnya dengan ibu yang sebelumnya sudah pernah melahirkan.
Mereka sedikit tidak akan belajar dari pengalaman yang lalu dalam hal perawatan
kehamilannya. Ibu primigravida yang tidak mempunyai pengalaman dalam hal perawatan
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 28
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

kehamilan maka mereka tidak akan mampu merawat kehamilannya dengan baik sehingga
perkembangan kehamilannya tidak akan baik dan bayi yang dikandungpun akan
mengalami hambatan peertumbuhan dan akan dilahirkan dengan berat badan yang
rendah.
Hal ini sesuai dengan teori Cunningham, yang mengatakan bahwa resiko BBLR
meningkat pada primigravida dan multigravida dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat.
Selain itu, semakin sering ibu melahirkan maka resiko untuk melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah juga meningkat. Begitu juga dengan teori yang menyabutkan
bahwa sesuai dengan teori resiko terjadinya BBLR, tinggi pada paritas 1 kemudian
menurun pada paritas 2 atau 3, selanjutnya meningkat kembali pada paritas 4 atau lebih.
(Manuaba, 2005; h.34-35)
Serta pendapat yang dikemukakan oleh Srimastuti, bahwa pada umumnya berat
badan lahir meningkat dengan semakin tingginya paritas. Bayi lahir pertama cenderung
mempunyai risiko BBLR lebih tinggi. Hal ini disebabkan oleh faktor umur, biologis dan
fisiologis.
3. Jarak Kelahiran
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa berdasarkan jarak
kelahiran ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR terbanyak adalah bayi yang dilahirkan
oleh ibu dengan jarak kelahiran terlalu dekat (<2 tahun) yaitu sebanyak 69 orang (48,0%),
sedangkan terendah adalah bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan jarak kelahiran normal
(2-4 tahun) yaitu sebanyak 13 orang (9,2%).
Angka tersebut membuktikan bahwa sesuai dengan teori untuk kejadian BBLR
pada ibu dengan jarak kelahiran terlalu dekat (< 2 tahun) dan terlalu jauh (> 4 tahun) akan
lebih tinggi daripada ibu dengan jarak kelahiran normal (2-4 tahun). Bahkan menurut
peneliti terdahulu (Prayoga, 1999) didapatkan hasil ibu dengan jarak kelahiran terlalu
dekat (<2 tahun) dan terlalu jauh (>4 tahun) adalah 1,5 kali dibandingkan dengan ibu
yang jarak kehamilannya normal (2-4 tahun). Jarak kehamilan <2 tahun dapat
menimbulkan pertumbuhan janin kurang baik, persalinan lama dan pendarahan pada saat
persalinan karena keadaan rahim belum pulih dengan baik (Departemen Kesehatan, 2006;
h.33).
Ibu yang jarak kehamilan terlalu dekat <2 tahun akan mengalami peningkatan
resiko terhadap terjadinya perdarahan pada trimester III, termasuk juga karena Placenta
previa, anemia, dan ketuban pecah dini dapat menyebabkan bayi BBLR (Ilyas, 1995;
h.106).
4. Umur Kehamilan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan umur kehamilan ibu yang
melahirkan bayi dengan BBLR terbanyak dilahirkan oleh ibu dengan umur kehamilan
pre-term (<37 minggu) yaitu sebanyak 106 orang (75,2%), sedangkan terendah terdapat
pada umurk kehamilan post-term yaitu hanya 1 orang (0,7%).
Data tersebut sesuai pada teori Menurut (Manuaba, 2005; h.152), yang
menyebutkan bahwa berat badan bayi bertambah sesuai umur kehamilan. Umur
kehamilan sangat mempengaruhi tingginya kejadian BBLR karena bayi dengan berat
badan lahir rendah dapat merupakan hasil dari umur gestasi yang pendek dengan
kecepatan pertumbuhan janin yang normal, umur gestasi yang normal dengan kecepatan
pertumbuhan janin yang terganggu, atau umur gestasi yang pendek dengan kecepatan
pertumbuhan janin yang terganggu. Namun menurut Irma D.M Sianturi, bahwa masih
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 29
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

ada beberapa faktor lain yang berpengaruh terhadap kejadian BBLR antara lain faktor
sosial demografis (umur ibu, suku, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, tingkat
ekonomi), faktor antropometri (berat badan ibu < 39 kg atau > 90 kg, tinggi badan ibu <
145 cm, LILA ibu < 23,5 cm), faktor biomedis ( paritas, jarak kehamilan, umur
kehamilan, kadar Hb menjelang persalinan, tekanan darah ibu sewaktu hamil) pelayanan
medis, perilaku dan lingkungan.

KESIMPULAN
1. Sebagian besar responden adalah ibu dengan usia non resti yaitu sebanyak 108 orang
(76,6%).
2. Sebagian besar responden adalah ibu yang primipara yaitu sebanyak 70 orang
(49,6%).
3. Sebagian besar responden adalah ibu dengan yang jarak kelahiran anak terlalu dekat
(<2 tahun) yaitu sebanyak 69 orang (48,0%).
4. Sebagian besar responden adalah ibu dengan umur kehamilan pre-term (<37 minggu)
yaitu sebanyak 106 orang (75,2%)

SARAN
1. Bagi peneliti
Saran bagi penelitan lebih lanjut yaitu untuk tidak hanya meneliti karakteristik ibu
yang melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) pada 6 aspek saja
tetapi juga meneliti karakteristik ibu dari dimensi lain misalnya riwayat melahirkan
bayi BBLR, pekerjaan suami, Status Gizi ibu hamil dan Hb ibu menjelang
persalinan).
2. Bagi tempat penelitian
Bagi Diharapkan pihak rumah sakit meningkatkan mutu pelayanan dengan
menyediakan pelayanan yang memadai khususnya terhadap ibu yang beresiko
melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah sehingga komplikasi yang
ditimbulkan dapat diminimalkan.
3. Bagi Institusi Pendidikan
Diharapkan institusi pendidikan kesehatan memperbanyak referensi tentang faktor
resiko terjadinya BBLR dan menyediakan informasi sebagai sumber untuk penelitian
selanjutnya
4. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat mampu meningkatkan pengetahuan tentang resiko terjadinya
BBLR di lingkungannya sehingga masyarakat mampu mengenali dan mengambil
intervensi yang tepat jika terdapat faktor resiko terjadinya BBLR.

DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, suharsimi. Prosedur penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta; 2006.
h. 131.
Departemen Kesehatan RI. Modul Manajemen BBLR Acuan. Jakarta : Depkes RI ; 2006.h.10
Departemen Kesehatan RI. Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2007. (di akses
tanggal 7 April 2011). http ://www.depkes.go.id/ download/ profil/
provjateng2007.pdf.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 30
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Departemen Kesehatan RI. Penyakit Penyebab Kematian Bayi Baru Lahir (Neonatal) dan system
Kesehatan Yang Berkaitan di Indonesia. 2010. (Di akses tanggal 11 Januari 2011). Di
dapat dari : www.digilib.litbang.Depkes.co.id.
Departemen Kesehatan RI. Buku Panduan Masalah Bayi Baru Lahir untuk Dokter, Bidan dan
Perawat Rumah Sakit. Jakarta : IDAI MNH-JHPIEGO ; 2005 h.33.
Esty. Gambaran Karakteristik Ibu bersalin BBLR. 2009. (di akses tanggal 7 April 2011). Di
dapat dari http ://estyrock.blogspot.com/ 2010/ 02/ gambaran-karakteristik-ibu-bersalin-
BBLR.html/
Hidayat, A. AA. Metode Penelitian Kebidanan & Teknik Analisis Data. Jakarta : Salemba
Medika ; 2007. h. 93
Jihanidar. Kecenderungan Terjadinya BBLR di RSU Langsa Dan Faktor yang
Mempengaruhinya (skripsi). Medan : FKM-USU ; 2005. ( di akses tanggal 4 April 2011).
Di dapat dari : http:/ faktor-yang-mempengaruhi-BBLR.html/
Manuaba. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan & Keluarga Berencana Untuk Pendidikan
Bidan, Jakarta: EGC ; 2005. h.34-35, h.152, h.157
Mochtar, R. Sinopsis Obstetri, Jakarta: EGC ; 2000. h.65, h.75, h.82, h.448
Notoatmojo. S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Ketiga Edisi Revisi. Jakarta: Rineke
Cipta ; 2010. h.70, h.93, h.182, h.188
Nursalam. Konsep Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. (Edisi Pertama).
Jakarta: Salemba Medica ; 2003. h.94
Pantiawati, ika. Bayi Dengan BBLR. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2010. h.1-5,
Proverawati, Atikah, dkk. Berat Badan Lahir Rendah. Yogyakarta : Nuha Medika ; 2010. h.2-4,
h.23-24, h.49-50
Pusdiknakes. Panduan Pengajaran Asuhan Kebidanan Fisiologis bagi Dosen Diploma III
Kebidanan “ Konsep Kebidanan”. Jakarta : WHD-JHPIEGO ; 2003.
Saifudin, AB. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternatal dan neonatal. Cetakan 2.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2001. h.376
Setyowati, dkk. 2005. Faktor-faktor yang mempengaruhi Bayi dengan BBLR.
www.situskespro.info. Di akses Tanggal 12 Februari 2011
Sianturi, irma.D.M. Karakteristik ibu yang melahirkan bayi dengan BBLR di RS Santa Elisabeth
Medan Tahun 2003-2006. Medan ; Universitas Sumatra Utara ; 2006. h. 45-49
Sugiyono. Statistika Untuk Penelitian. Revisi Terbaru. Bandung: CV Alvabeta ; 2007.
Suyanto & Salamah, U. Riset Kebidanan Metodologi Dan Aplikasi. Jakarta: Mitra Cendikia ;
2009. h.32, h.35,
Wiknjosastro, H. 2002. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
h.100-101,h.117-119, h.182, h.587

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 31
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

STUDI DESKRIPTIF PERKEMBANGAN BALITA


USIA 12-24 BULAN DENGAN METODE DDST
DI DESA PANCUR KECAMATAN MAYONG KABUPATEN JEPARA

Luluk Hidayah, Devi Rosita, Sokhiyatun

INTISARI
Anak adalah anugrah paling berharga dari Allah SWT. Sejak lahir sampai usia tiga tahun
anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang sudah mulai dapat menyerap pengalaman-
pengalaman melalui sensorisnya, usia satu setengah tahun sampai kira-kira tiga tahun mulai
memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk mengembangkan bahasanya(berbicara
bercakap-cakap). Tujuan penelitian ini untuk mengetahui perkembangan balita usia 12-24 bulan
dengan metode DDST.
Metode penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional,
populasi dalam penelitian ini adalah semua batita yang ada di Posyandu Nusa Indah Desa Pancur
Jepara tahun 2015 sebanyak 58 batita, sampel di ambil secara aksidental sampling sebanyak 35
batita. Pengumpulan data dengan pemeriksaan langsung dengan DDST. Data di olah sesuai
coding, editing, dan tabulating dan di analisa sesuai Univariat.
Hasil analisa univariat perkembangan batita mayoritas perkembangan abnormal 14 batita (
40,0%).
Saran bagi orang tua menambah pengetahuan tentang stimulasi perkembangan balita dan
deteksi dini keterlambatan perkembangan balita.

Kata Kunci : perkembangan, balita

Latar Belakang
Perubahan tatanan sosial budaya dalam masyarakat di tandai oleh bergesernya peran dan
fungsi keluarga. Salah satu hal yang menandai adanya perubahan tersebut adalah banyaknya ibu
yang memiliki anak juga berfungsi sebagai pencari nafkah. Hal ini sering menimbulkan berbagai
macam persoalan antara lain berkurangnya waktu untuk memperhatikan dan mengawasi anak-
anak mereka setiap hari.
Anak-anak kita adalah anugrah paling berharga dari Allah SWT. Sebagai titipan atau
amanah, kita sebagai orang tua berkewajiban menjaga, mendidik dan mengarahkan mereka agar
dapat berkembang secara optimal, sesuai dengan potensi yang di milikinya, sejatinya jika para
orang tua mengerti, usia dini itu merupakan momentum yang sangat penting bagi tumbuh
kembang anak. Baik secara fisik, psikis atau psikologi, terbentuk mulai usia dini tersebut.
(Wibowo, 2012, h.1).
Sejak lahir sampai usia tiga tahun anak memiliki kepekaan sensoris dan daya pikir yang
sudah mulai dapat menyerap pengalaman-pengalaman melalui sensorisnya, usia satu setengah
tahun sampai kira-kira tiga tahun mulai memiliki kepekaan bahasa dan sangat tepat untuk
mengembangkan bahasanya(berbicara bercakap-cakap). (Theo dan Martin, 2004).
Anak memerlukan berbagai variasi permainan untuk kesehatan fisik, mental dan
perkembangan emosinya. Melalui bermain, anak tidak menstimulasi pertumbuhan otot-ototnya,
tetapi lebih dari itu. Anak tidak sekedar melompat, melempar atau berlari. Tetapi mereka
bermain dengan menggunakan seluruh emosi, perasaannya dan pikiranya. Bermain bukan berarti
membuang buang waktu, juga bukan berarti membuat si anak menjadi sibuk sementara orang
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 32
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

tuanya mengerjakan pekerjaannya sendiri. Tetapi dalam bermain mereka mendapatkan


pengalaman hidup yang nyata. Dengan bermain anak akan menemukan kekuatan serta
kelemahannya, minat dan cara menyelesaikan tugas-tugas dalam bermain. Anak yang cukup
mendapatkan kesempatan untuk bermain akan menjadi orang dewasa yang mudah berteman,
kreatif dan cerdas bila di bandingkan mereka yang masa kecilnya kurang mendapatkan
kesempatan bermain. ( Soetjiningsih, 2012, h.105 ).
Dengan bermain anak memenuhi kepuasan fisik, emosi, sosial, dan perkembangan mental,
sehingga anak dapat mengekspresikan perasaannya, baik itu perasaan kekuatan, kesepian, fantasi
ataupun menunjukan kreatifitasnya. (Suherman,2012, h.56).
Anak memerlukan alat permainan yang bervariasi. Sehingga bila dia bosan permainan yang
satu, dapat memilih permainan yang lainya. Misalnya anak-anak tidak hanya menghabiskan
waktunya untuk bermain dengan pasir, balok ataupun dengan krayon saja, tetapi dia harus punya
waktu walaupun sedikit untuk pertumbuhan oto-ototnya dengan bermain tali, bola, naik sepeda
dan lain-lain. (Soetjiningsih, 2012, h.108 ).
Kadang kala permainan dapat berubah dari menyenangkan menjadi begitu menakutkan.
Anak bisa merasakan kesenangan tersebut menjadi terlalu berlebihan, misalnya bila anda
menjadi raksasa, dan menggelitiknya. ( Laurent , 2009, h.224).
Pertumbuhan dasar yang berlangsung pada masa balita akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya. Setelah lahir terutama pada tiga tahun pertama
kehidupan, pertumbuhan dan perkembangan sel-sel otak masih berlangsung. Pada masa ini,
kecepatan pertumbuhan mulai menurun dan terdapat kemajuan dalam perkembangan motorik
(gerak kasar dan gerak halus). (Marmi, 2012, h.118).
Di usia tiga tahun, sebagian anak sudah mampu menciptakan gambar yang lebih nyata,
sementara anak lainya tidak tertarik atau masih menggambar pola-pola sederhana. Gambar yang
di buat anak perempuan terlihat lebih jelas karena perkembangan koordinasi tangan matanya
berkembang lebih cepat daripada anak laki-laki. ( Erlangga, 2009, h.24).
Dalam usaha mendidik anak harus di perhatikan pula adanya peran aktif dari segi anak itu
sendiri. Anak harus lebih di perlakukan sebagai pribadi anak yang aktif yang perlu di rangsang
(stimulasi) untuk menghadapi dan mampu mengatasi masalah. Melalui interaksi dan komunikasi
antara orang tua dan anak termasuk aspek kesadaran terhadap tanggung jawab (Suherman, 2012,
h.6).
Kemampuan fisik buah hati anda semakin berkembang setiap harinya. Bermain di luar dan
permainan fisik yang tidak terlalu kasar adalah cara yang baik untuk mengasah kemampuanya (
Laurent,2009, h. 159 ).
Orang tua, pengasuh dan pendidik perlu mengetahui tahapan perkembangan anak (anak
didik), apakah perkembanganya berlangsung normal atau ada yang menyimpang. Bilamana
pendidik mencurigai anak didiknya mengalami penyimpangan perkembangan atau terlambat
berkembang dibandingkan dengan usianya maka dapat memberitahu orang tua agar segera
memeriksakan anaknya ke fasilitas kesehatan sehingga dapat ditanggulangi secara dini. Di
ketahui stimuli dari lingkungan tiap anak berbeda. (Marmi, 2012,h.125).
Bermain bagi anak sangat mempunyai arti dalam tumbuh kembangnya. Karena melalui
bermain banyak keuntungan yang di peroleh, tidak saja terhadap pertumbuhan fisik anak, juga
terhadap perkembangan mental dan sosial anak. Dalam memilih alat permainan sebagai alat
stimulasi tumbuh kembang anak, hendaklah dipilih alat alat bermain yang tidak hanya
menyenangkan anak tetapi juga harus bermanfaat dalam mengoptimalkan tumbuh kembangnya.
(Soetjiningsih, 2012, h.114).
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 33
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Dengan bermain anak memenuhi kepuasan fisik, emosi, sosial dan perkembangan mental
sehingga anak dapat mengekspresikan perasaanya baik itu perasaan kekuatan, kesepian, fantasi
ataupun menunjukan kreatifitasnya. (Suherman,2012, h.56).
Permainan telah menjadi bagian krusial perkembangan batita, sekarang batita mulai belajar
tentang dunia melalui mainan. Ia dapat berkonsentrasi lebih lama, tetapi tetap mengandalkan
orang dewasa lainya yang lebih besar sebagai teman bermain. ( Laurent, 2009, h.204).
Berdasarkan data yang di peroleh dari Puskesmas Mayong II di peroleh data balita paling
banyak di desa Singorojo dan Mayong Lor, di Desa Singorojo terdapat 472 balita, dan di Desa
Mayong Lor terdapat 956 balita.
Berdasarkan data yang di peroleh dari Bidan Desa Singorojo batita yang paling banyak di
Posyandu Nusa Indah, terdapat 62 batita, berdasarkan data yang di peroleh dari Bidan Desa
Mayong Lor batita yang paling banyak di Posyandu Nusa Indah, terdapat 67 batita.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada tanggal 13 September 2014 di Posyandu Nusa
Indah Desa Mayong Lor dengan cara observasi dengan lembar DDST atau DENVER II dan
wawancara kepada ibu tentang jenis permainan yang di berikan kepada anak saat di rumah.
Contoh jenis permainan yang di berikan kepada anak seperti mobil-mobilan, bola-bola, boneka
hewan, boneka orang, masak-masakan, bongkar pasang.
Hasil observasi perkembangan pada 5 anak menggunakan DDST atau DENVER II, di
dapatkan 4 anak (80%) normal sesuai tahap perkembangan. Sedangkan 1 anak (20%) di nyatakan
meragukan mengalami penyimpangan perkembangan pada sektor motorik halus yaitu tidak
mampu membentuk 2 kubus dan memegang benda dengan ibu jari dan jari.
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang di laksanakan pada tanggal 13 September 2014
di Posyandu Nusa Indah Desa Pancur dengan cara observasi dengan lembar DDST atau
DENVER II dan wawancara kepada ibu tentang jenis permainan yang di berikan kepada anak
saat di rumah. Contoh jenis permainan yang di berikan kepada anak seperti masak-masakan,
bongkar pasang, sepeda roda tiga, puzzle, boneka dan bola-bola.
Hasil observasi perkembangan pada 5 anak menggunakan DDST atau DENVER II
didapatkan 2 anak (40%) normal sesuai tahap perkembangan. Sedangkan 2 anak (40%)
meragukan, dimana 1 anak tidak mampu pada sektor motorik halus yaitu tidak mampu
membentuk menara dari 6 kubus dan menara dari 4 kubus, dan 1 anak tidak mampu pada sektor
personal sosial yaitu tidak mampu memakai baju dan melepas pakaian. dan 1 anak (20%) di
nyatakan abnormal mengalami penyimpangan perkembangan pada sektor motorik halus yaitu
tidak mampu membentuk menara dari 6 kubus dan menara dari 6 kubus, dan tidak mampu pada
sektor bahasa yaitu tidak mampu berbicara dengan dimengerti, menunjuk 4 gambar dan 2 bagian
badan.

Metode Penelitian
Jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan waktu secara cross sectional. Cross sectional.
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak usia 1 sampai 3 tahun pada bulan Februari 2015
di posyandu nusa indah Desa Pancur sebanyak 53 batita, eknik teknik sampling berupa Insidental
dan didapatkan sebanyak 35 batita. Teknik analisa data univariat dengan prosentase dan
disajikan dalam tabel distribusi frekuensi.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 34
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Hasil Penelitian
Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 35 batita, di Desa Pancur Kecamatan
Mayong Kabupaten Jepara Periode Bulan Pebruari tahun 2015. Hasil penelitian ini disajikan
dalam bentuk tabel untuk menggambarkan variabel yang diteliti agar lebih mudah dalam
memahaminya. Hasilnya adalah sebagai berikut:

Tabel 1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Perkembangan Batita Di Posyandu Nusa Indah
Desa Singorojo Kecamatan Mayong Kabupaten Jepara
perkembangan Frekuensi (f) Prosentase%
Abnormal 14 40,0
Meragukan 13 37,1
Normal 8 22,9
Total 35 100,0
Sumber : Data primer

Berdasarkan tabel di ketahui bahwa dari 35 responden penelitian, sebagian besar perkembangan
batita yaitu abnormal sejumlah (40,0%) dan sebagian kecil perkembangan batita normal yaitu
(22,9%).

Pembahasan
Penelitian pada perkembangan batita di Posyandu Nusa Indah Desa Pancur Kecamatan
Mayong sebagian besar perkembangan abnormal sejumlah 42,9%, hal ini terlihat pada sektor
personal sosial dan bahasa. Hal ini di sebabkan karena orang tua tidak begitu memperhatikan
perkembangan anak, orang tua hanya terfokus pada penambahan berat badan anak dan kesehatan
anak.
Menurut Soetjiningsih (2012) dikatakan perkembangan abnormal apabila terdapat 2
keterlambatan atau lebih pada 2 sektor atau lebih, dikatakan perkembangan meragukan apabila
terdapat 2 keterlambatan atau lebih pada 1 sektor, dan perkembangan normal apabila tidak ada
keterlambatan di berbagai sektor.
Dari beberapa penelitian yang pernah di lakukan ternyata DDST secara efektif dapat
mengidentifikasi antara 85-100% bayi dan anak-anak prasekolah yang mengalami keterlambatan
perkembangan.
Menurut penelitian Luccie Permana Sari (2006) dengan judul hubungan antara alat
permainan edukatif dan perkembangan motorik anak pada taman penitipan anak dengan hasil ada
hubungan yang sangat bermakna dalam skor ketrampilan motorik pada kelompok anak yang
mendapat stimulasi dengan APE dan yang tidak mendapat stimulasi dengan APE.
Aspek perkembangan yang di nilai dalam DDST adalah personal social, fine motor
adaptive (gerakan motorik halus), Language (bahasa), Gross Motor ( Gerakan Motorik Kasar).
(Soetjiningsih, 2012, h. 71-73).

Kesimpulan
Dalam penelitian ini dari 35 responden penelitian, sebagian besar perkembangan batita yaitu
abnormal sejumlah 14 batita (40,0%). Sedangkan sebagian kecil perkembangan batita yaitu
normal 9 batita (22,9%).

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 35
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Saran
Bagi Tenaga Kesehatan, diharapkan dapat memberikan masukan bagi tenaga kesehatan
tentang pentingnya skrining perkembangan batita. Bagi Orang Tua, diharapkan aktif
menanyakan perkembangan anak ke petugas kesehatan dan diharapkan orang tua memberikan
stimulasi perkembangan melalui permainan edukatif dan komunikasi aktif. Bagi Institusi
Pendidikan, diharapkan Karya Tulis Ilmiah ini menjadin pustaka dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan dalam bidang kesehatan. Bagi Peneliti Lain, diharapkan hasil penelitian ini dapat
digunakan sebagai data awal, untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan anak.

Daftar Pustaka
Arikunto, S. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta. 2010. h: 174
Harjaningrum Agnes Tri, Peranan Orang Tua dan Praktisi Dalam Membantu Tumbuh Kembang
Anak Berbakat Melalui Pemahaman dan Teori dan Tren Pendidikan. Jakarta : Prenada
Media Group. 2007. h: 5
Hidayat Azis A. Metode Penelitian Kebidanan Teknik Analisa Data. Jakarta : Salemba Medika.
2010. h: 51
Hidayat Azis A. Ilmu Kesehatan Nak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta : Salemba Medika.
2008. h. 10-13.
IDAI. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta. 2002. h: 1; 7-8; 91-92; 105-107
Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intevensi Dini Tumbuh
Kembang Anak Ditingkkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta. 2010. h: 1; 7; 48-49
Machfoedz ircham, Metodologi Penelitian bidang Kesehatan,Keperawatan, dan Kebidanan.
Yogyakarta : Fitramaya. 2007. h : 61
Marimbi Hanum. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada Balita. Yogyakarta.
2010 h. 72
Noor Nasry Nur. Epidemologi. Jakarta : Rineka Cipta. 2008. h: 136- 137
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2010. h: 56
Notoatmodjo, S. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta. 2005. h: 288
Nursalam, Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : salemba
Medika. 2008. h : 89
Nursalam, Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak. Jakarta : salemba Medika. 2008. h : 57
Proverawati Atikah. Buku ajar gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta : Nuha Medika. 2009. h. 127
Pujiarto, Purnamawati S. Intisari seri Kesehatan Anak. Jakarta: PT. Intisari Mediatama Gedung
Gramedia Majalah. 2005. h: 117
Sugiyono. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta. 2010. h: 3-4, 62-68
Suherman. Perkembangan Anak. Jakarta. EGC. 2000. h: 7.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 36
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

GAMBARAN STATUS GIZI BURUK BERDASARKAN UMUR DAN JENIS KELAMIN


BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MAYONG KABUPATEN JEPARA

Yuni Nuraini, Devi Rosita, Ummi Haniek

Abstrak

Angka kematian balita menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan
anak ( WHO, 2002) karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini. Tingginya
Angka Kematian Bayi (430 setiap hari) di Indonesia disebabkan oleh gizi buruk sebesar 4,9%. Di
Jepara sendiri gizi buruk didapatkan sebanyak 220 balita. Study pendahuluan menunjukkan
bahwa dari 5 desa yang mengalami gizi buruk paling tinggi yaitu Desa Kelet dan yang
mengalami gizi buruk paling sedikit yaitu Desa Damarwulan dan Jlegong . Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui status gizi buruk berdasarkan umur dan jenis kelamin Balita
diWilayah Kerja Puskesmas Keling 1 Kecamatan Keling Kabupaten Jepara.
Penelitian ini menggunakan deskriptif Besar sampel sebanyak 30 balita yang mengalami
Gizi Buruk dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Jenis data sekunder dengan
metode pengumpulan data menggunakan observasi laporan Puskesmas Keling 1. Data diolah
secara editing, koding, tabulating serta analisa univariat dengan distribusi frekuensi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Balita berumur 2 tahun sebanyak 8
Balita (26,7%) dan Umur 4 tahun sebanyak 8 Balita (26,7%) dan sebagian kecil Balita umur 1
tahun sebanyak 4 Balita (13,3%). Balita yang mengalami status gizi buruk mayoritas jenis
kelamin Perempuan sebanyak 16 Balita (53,3%). Memberikan masukan kepada masyarakat
khususnya ibu – ibu yang mempunyai balita agar memperhatikan kecukupan gizi balita sesuai
dengan Umur Balita dan Jenis Kelamin sehingga dapat diberikan nutrisi. Memberikan informasi
kepada pihak Puskesmas tentang pentingnya gizi balita dan bahaya gizi buruk, sehingga dapat
digunakan sebagai dasar pertimbangan dalam perencanaan perbaikan gizi.

Kata Kunci : Status Gizi Buruk, Umur, Jenis Kelamin

Latar belakang
Angka kematian balita menjadi indikator pertama dalam menentukan derajat kesehatan
anak (WHO, 2002) karena merupakan cerminan dari status kesehatan anak saat ini. Tingginya
Angka Kematian Bayi (430 setiap hari) di Indonesia disebabkan oleh berbagai faktor,
diantaranya adalah faktor penyakit infeksi dan kekurangan gizi (Hidayat, 2009; h. 2).
Anak balita (1– 5 tahun) merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat
kekurangaan gizi (KKP) atau termasuk salah satu kelompok masyarakat yang rentan gizi. Gizi
kurang atau gizi buruk pada balita dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan jasmani.
Pertumbuhan terhambat, maka penyakit tertentu akan dialami dan kecerdasan mereka juga
terhambat (Djaeni, 2000; h. 239).
Persentase balita menurut status gizi di Indonesia dilaporkan bahwa pada tahun 2003
terdapat balita dengan status gizi buruk sebesar 4,9%, gizi kurang sebesar 17,9%, gizi normal
sebesar 69,59% dan gizi lebih sebesar 2,24% (Depkes RI, 2010).
Angka kejadian gizi buruk di Jawa Tengah naik dari tahun ke tahun,pada tahun 2005
sebesar 1,03% dari jumlah penduduk, naik menjadi 2,10% pada tahun 2006,dan pada tahun 2007
penderita dari tahun sebelumnya tercatat selama tahun 2006 terjadi kasus gizi buruk sebanyak
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 37
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

9.163 orang. Artinya terjadi peningkatan 15.980 orang pada tahun 2007. Sedangkan balita
dengan gizi kurang pada tahun 2005 sebanyak 9,89% dari jumlah balita di Jawa Tengah naik
menjadi 14,8% pada tahun 2007 (Damar,2008).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Jepara tahun 2010 menunjukkan status gizi
buruk 220 balita, dan status gizi kurang 3610 balita (Profil DKK Jepara, 2010). Di Wilayah
Kabupaten Jepara terdapat 21 Puskesmas diantaranya Kedung I, Kedung II, Pecangaan, Welahan
I, Welahan II, Mayong I, Mayong II, Batealit, Jepara, Mlonggo, Pakis Aji, Bangsri I, Bangsri II,
Keling I, Keling II, Karimunjawa, Tahunan, Nalumsari, Kalinyamatan, Kembang, dan Donorojo.
Hal ini menunjukkan Puskesmas Keling 1 termasuk No. 9 terbanyak kasus gizi buruk di
Kabupaten Jepara.
Anak balita mengalami proses pertumbuhan yang sangat pesat sehingga memerlukan zat –
zat makanan yang relatif lebih banyak dengan kualitas yang lebih tinggi hasil pertumbuhan
menjadi dewasa sangat tergantung oleh kondisi gizi dan kesehatan sewaktu masa balita. Status
gizi balita sangat dipengaruhi oleh karakteristik ibu dan asupan makanan (Djaeni, 2000; h. 10-
11).
Menurut Himawan (2006) bahwa, salah satu sebab gangguan gizi adalah kurangnya
pengetahuan gizi atau kemampuan untuk menerapkan informasi. Resiko kekurangan protein
dapat menyebabkan resiko kwashiorkor dan marasmus (Almatsir, 2002; h.100-104).
Menurut Persagi (1992), umur balita (1 – 5 tahun) dapat dibedakan menjadi dua yaitu, anak
berumur 1-3 tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya.
Anak prasekolah ini akan mencakup perkembangan fisik dan kemampuan motorik serta
emosional anak. Perkembangan fisik yaitu hasil tumbuh kembang fisik adalah bertumbuh
besarnya ukuran antropometri dan gejala atau tanda lain pada rambut, gigi, otot serta jaringan
lemak, darah, dan lainnya. Usia prasekolah lebih dikenal sebagai konsumen aktif. Mereka sudah
dapat memilih makanan yang disukainya. Pada usia ini anak mulai bergaul dengan
lingkungannya atau sekolah playgroup sehingga anak mengalami beberapa perubahan dalam
perilakunya. Pada masa ini anak akan mencapai fase gemar memprotes sehingga mereka akan
mengatakan”tidak” terhadap setiap ajakan.
Hasil penelitian lain dimana didapatkan sebagian besar balita dengan status gizi
kurang (91,67%) dan status gizi buruk 8,33%. Dampak jangka panjang dari gizi kurang maupun
gizi buruk ini penting diketahui karena dapat menyebabkan proses pertumbuhan seperti rambut
rontok, otot lembek, produktivitas menurun, pertahanan tubuh permanen, penurunan kemampuan
berfikir, perilaku yang tidak tenang (Almatsier, 2001; h. 103).
Menurut Depkes (1999), bahwa balita dengan Berat Badan kebanyakan kurang terdapat
pada status gizi kurang dan buruk merupakan masalah yang lebih serius antara lain rambut tipis
dan kusam, kulit keriput, tenaga menurun, cengeng, kemampuan berpikir menurun ditinjau dari
segi kesehatan masyarakat. Menurut Hurlock (1999) jenis kelamin wanita lebih lemah
dibandingkan jenis kelamin laki - laki karena kepercayaan bahwa wanita lebih banyak
mengalami gangguan fisik dan penyakit dibandingkan pria. Hasil penelitian dari poltekes (2008),
didapatkan status gizi kurang dan buruk pada masa balita, ditemukan Berat Badan yang kurang
sebagian besar balita dengan jenis kelamin perempuan maka sangat mempengaruhi tumbuh
kembang anak karena pada usia ini terjadi pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan
menentukan perkembangan anak selanjutnya apalagi bagi anak perempuan dalam rangka
menghadapi masa reproduksi nanti bisa mengganggu kelangsungan hidupnya.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 38
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Hasil studi pendahuluan dari Puskesmas Keling 1, pada tanggal 25 Januari 2012,
didapatkan data sebagai berikut :
Tabel 1.1 Data Studi Pendahuluan Status Gizi Balita pada bulan Desember 2011 diWilayah
Kerja Puskesmas Keling 1.
Wilayah Kerja Jumlah status gizi Jumlah Balita
Puskesmas Buruk Kurang Lebih
Keling 1
Desa 2 21 5 544
Damarwulan
Desa Watuaji 4 8 0 412
Desa Klepu 5 16 4 282
Desa Jlegong 2 8 0 181
Desa Kelet 7 10 4 560
Total 20 42 13 1979
Sumber : Data Sekunder Laporan Puskesmas Keling 1.

Berdasarkan tabel di atas didapatkan jumlah Balita yang mengalami gizi buruk paling
sedikit di Desa Damarwulan dan Desa Jlegong, dan yang paling tinggi di Desa Kelet. Jumlah
balita yang mengalami gizi kurang paling sedikit pada Desa Watuaji, dan Desa Jlegong,
sedangkan yang paling banyak di Desa Damarwulan. Jumlah Balita yang mengalami gizi lebih
paling sedikit Desa Kelet dan Klepu, sedangkan yang paling banyak di Desa Damarwulan. Hal
ini disimpulkan bahwa pada Wilayah Kerja Puskesmas Keling 1 masih terdapat gizi buruk
sebanyak 20 Balita pada bulan Desember 2011. Fenomena masyarakat tentang pola konsumsi
yang tidak sehat seperti membiarkan anak laki – laki mengkonsumsi (jajan sembarang) dan
mengatur secara diit pada anak perempuan sementara untuk anak umur 1 -2 tahun sudah diberi
makanan padat/makanan keluarga seperti nasi, sayur, dan lauk sedangkan untuk anak umur 3 – 5
tahun pola makannya tidak diatur.

Metode penelitian
Jenis penelitian deskriptif menggunakan metode kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah Seluruh Balita yang mengalami Gizi Buruk pada Bulan Februari – Maret 2012 di Wilayah
Kerja Puskesmas Keling 1 sebanyak 30 Balita. Sampling dalam penelitian ini adalah Total
Sampling. Jenis data sekunder dimana data yang diambil adalah Jumlah Status Gizi Buruk data
Umur dan Jenis Kelamin Balita dengan Gizi Buruk, dari Laporan Data Puskesmas Keling 1
pada bulan Februari – Maret 2012. Analisis data menggunakan distribusi dan presentase dari tiap
variable dan disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 39
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

Hasil Penelitian
Peneitian ini dilakukan pada 30 Balita yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Keling 1 pada
bulan Februari – Maret 2012, dengan hasil data univariat sebagai berikut :
1. Umur Balita
Tabel 1 Distribusi Frekuensi Status Gizi Buruk Berdasarkan Umur Balita di Wilayah
Kerja Puskesmas Keling 1.
Umur Frekuensi Presentase
Umur 1 tahun 4 13.3
Umur 2 tahun 8 26.7
Umur 3 tahun 6 20.0
Umur 4 tahun 8 26.7
Umur 5 tahun 4 13.3
Total 30 100.0
Sumber : Data Sekunder Status Gizi Buruk bulan Februari – Maret 2012.

Berdasarkan Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sebagian besar Umur Balita adalah
berkisar antara 2 tahun yaitu sebanyak 8 balita (26,7 %) dan umur 4 tahun sebanyak 8
balita (26,7%), dan sebagian kecil berumur antara 1 tahun yaitu sebanyak 4 balita
(13,3%) dan umur 5 tahun yaitu sebanyak 4 balita (13,3%).

2. Jenis Kelamin Balita


Tabel 2 Distribusi Frekuensi Status Gizi Buruk Berdasarkan Jenis Kelamin Balita di
Wilayah Kerja Puskesmas Keling 1.

Jenis Kelamin Frekuensi Presentase


Laki – laki 14 46.7
Perempuan 16 53.3
Total 30 100.0
Sumber : Data Sekunder Status Gizi Buruk bulan Februari – Maret 2012.
Berdasarkan Tabel 4.3 menunjukkan bahwa sebagian besar Balita Jenis Kelamin
Perempuan sebanyak 16 balita (53,3%).

Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Balita berumur 2 tahun sebanyak 8
Balita (26,7%), Umur 4 tahun sebanyak 8 Balita (26,7%) dan sebagian kecil Balita umur 1 tahun
sebanyak 4 Balita (13,3%).
Anak usia 1 - 5 tahun dapat pula dikatakan mulai disapih atau selepas menyusu sampai
anak pra sekolah. Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan kecerdasannya, faal tubuhnya
juga mengalami perkembangan sehingga jenis makanan dan cara pemberiannya pun harus
disesuaikan dengan keadaannya (Proverawati, 2009;h. 127).
Menurut Engenel (2007), Umur balita (1 – 5) tahun dapat dibedakan menjadi dua yaitu,
anak berumur (1 – 3) tahun yang dikenal dengan Batita merupakan konsumen pasif, artinya anak
menerima makanan dari apa yang disediakan ibunya. Laju pertumbuhan masa batita lebih besar
dari masa usia prasekolah sehingga diperlukan jumlah makanan yang relatif besar. Namun perut
yang masih kecil menyebabkan jumlah makanan yang mampu diterimanya dalam sekali makan

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 40
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

lebih kecil dari anak yang usianya lebih besar. Oleh karena itu, pola makan yang diberikan
adalah porsi kecil dengan frekuensi sering.
Menurut Persagi (1992) dalam buku Proverawati (2009), usia prasekolah (4 – 5) lebih
dikenal sebagai konsumen aktif. Mereka sudah dapat memilih makanan yang disukainya. Pada
usia ini anak mulai bergaul dengan lingkungannya atau sekolah playgroup sehingga anak
mengalami beberapa perubahan dalam perilakunya. Pada masa ini anak akan mencapai fase
gemar memprotes sehingga mereka akan mengatakan”tidak” terhadap setiap ajakan.
Mayoritas Balita yang mengalami status gizi buruk dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 16 Balita (53,3%). Hal ini disebabkan karena kebutuhan status gizi yang dikonsumsi
kurang, sedangkan jenis kelamin laki – laki berjumlah 14 balita (46,7%). Dengan adanya status
gizi buruk pada masa balita ditemukan Berat Badan yang buruk sebagian besar balita dengan
jenis kelamin perempuan maka sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak karena pada usia
ini terjadi pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan perkembangan anak
selanjutnya apalagi bagi anak perempuan dalam rangka menghadapi masa reproduksi nanti bisa
mengganggu kelangsungan hidupnya.
Hasil penelitian lain didapatkan sebagian besar balita dengan status gizi kurang (91,67%)
dan status gizi buruk 8,33%. Dampak jangka panjang dari gizi kurang maupun gizi buruk ini
penting diketahui karena dapat menyebabkan proses pertumbuhan seperti rambut rontok, otot
lembek, produktivitas menurun, pertahanan tubuh permanen, penurunan kemampuan berfikir,
perilaku yang tidak tenang (Almatsier; 2001, h. 103).
Menurut Depkes RI (1999), dalam hasil penelitian Poltekes (2008), bahwa balita dengan
Berat Badan kebanyakan kurang terdapat pada status gizi kurang dan buruk merupakan masalah
yang lebih serius antara lain rambut tipis dan kusam, kulit keriput, tenaga menurun, cengeng,
kemampuan berpikir menurun ditinjau dari segi kesehatan masyarakat. Menurut Hurlock (1999)
jenis kelamin wanita lebih lemah dibandingkan jenis kelamin laki - laki karena kepercayaan
bahwa wanita lebih banyak mengalami gangguan fisik dan penyakit dibandingkan pria.
Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa dari 107 anak balita di Puskesmas Sepatan
diperoleh balita dengan gizi kurang sebesar 57%. Sebagian besar balita berasal dari ibu yang
pendidikannya masih rendah. Persentase balita perempuan (56.1%) lebih banyak dibandingkan
balita laki-laki, persentase umur 13 - 36 bulan (13.1%) (Yunita Hasaroh, 2010). Hasil penelitian
lain menunjukkan bahwa dari 36 anak balita di Posyandu Kadipaten Kecamatan Babadan
diperoleh balita dengan jenis kelamin status gizi buruk sebagian besar 55,56 % perempuan 44,44
% laki – laki (Poltekes, 2008).

Kesimpulan
1. Sebagian besar balita yang mengalami gizi buruk dengan umur balita berkisar antara 2
tahun yaitu sebanyak 8 balita (26,7 %) dan umur 4 tahun sebanyak 8 balita (26,7%), dan
sebagian kecil berumur antara 1 tahun yaitu sebanyak 4 balita (13,3%) dan umur 5 tahun
yaitu sebanyak 4 balita (13,3%).
2. Sebagian besar balita yang mengalami Gizi Buruk dengan Jenis Kelamin Perempuan
sebanyak 16 balita (53,3%).

Saran
1. Bagi Bidan Desa
Diharapkan bidan harus memberikan penyuluhan kepada ibu – ibu yang mempunyai
balita tentang cara pemberian makanan berdasarkan kebutuhan balita / aktivitas balita.
Jurnal Kesehatan dan Budaya
HIKMAH 41
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

2. Bagi Masyarakat
a. Memberikan masukan kepada masyarakat khususnya ibu – ibu yang mempunyai balita
agar lebih mengerti dan memperhatikan kecukupan gizi balita sesuai dengan
memperhatikan Umur Balita dan Jenis Kelamin sehingga dapat diberikan nutrisi yang
cukup yang pada akhirnya status gizinya menjadi baik dan dapat dikonsultasikan ke
Puskesmas untuk terapi secara tepat.
b.Ibu dapat memberikan makanan pada balita sesuai umur meliputi:
1) Pemberian ASI sesuai umur (0-6 bulan) secara on demand / setiap saat.
2) Pemberian Makanan Pendamping ASI meliputi :
6-8 bulan 9-12 bulan 12-24 bulan
Menyusui ASI ASI ASI
Bubur susu / biskut Nasi tim kasar Anak mulai
susu, Nasi tim Buah diperkenalkan makanan
saring, dan jus keluarga
Buah
Air putih
Tidak Bubur Susu formula Susu formula
Menyusui Nasi tim saring Nasi tim kasar Anak mulai
Susu Formula Buah diperkenalkan makanan
Jus Air putih keluarga
Buah
Air putih
Umur 1 ASI Sesuka bayi
tahun Buah 2x 10.00 dan 15.00
Bubur susu 2x 13.00 dan 18.00
Tim saring 1x 08.00
2. Pemberian Makanan pada umur > 2 tahun
Nasi untuk makanan bayi 1 tahun dibuat lebih lunak tetapi juga tidak sampai
menjadi bubur. Selain beras, sumber karbohidrat lainnya bisa kita dapatkan dari
kentang atau jagung. Supaya bayi Anda tercukupi kebutuhan gizinya, maka Anda
harus melengkapi makanan bayi dengan protein, vitamin, dan mineral. Untuk sumber
protein, Anda bisa menggunakan daging sapi segar, daging ayam kampung, telur
ayam kampung, ikan laut, keju, tahu, dan tempe sedangkan untuk vitamin dan
mineral, Anda bisa mendapatkannya dari sayur dan buah-buahan. Cara menyajikan
sayur bisa bersamaan dengan nasi dan lauk, atau bisa juga disajikan sendiri.
c. Orang tua harus menyesuaikan keinginan anak pada saat makan seperti ikut bermain
dengan anak sambil memberi makan anak.
d. Diharapkan orang tua lebih memperhatikan pemilihan jenis makanan bagi anak
sehingga tidak hanya dari makanan siap saji seperti Bubur Instant, Sosis dan lain –
lain.
4. Bagi Instansi Terkait
Memberikan informasi kepada pihak Puskesmas tentang pentingnya
gizi balita dan bahaya gizi buruk, sehingga dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan dalam perencanaan perbaikan gizi.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 42
Volume 3 No. 2, September 2012 ISSN : 1907-1396

5. Bagi Peneliti Lain


Diharapkan dapat melanjutkan penelitian dengan melibatkan beberapa variabel yang
berkaitan dengan status gizi buruk seperti pendidikan ibu, status ekonomi, dan sosial
budaya.

Daftar Pustaka

Almatsir S. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 2002. h. 100 -104.
Arikunto S. Prosedur Penelitian suatu pendekatan praktik. Jakarta: Rineka Cipta ; 2006. h. 134.
Damar . Kasus Gizi Buruk Jateng Terus Meningkat . 14 Maret 2008. [ diakses tanggal 25 Januari
2012] didapat :http://pks-jateng.or.id.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Standar Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta:
Depkes RI Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat; 2005. h. 22, 23.
Djaeni A. Ilmu Gizi . Jakarta : Dian Rakyat ; 2000. h. 10 -11, 239.
Hidayat A. Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah . Jakarta : Salemba Medika ; 2007.
h. 68, 81, 121, 122.
Himawan, 2006. Hubungan Karakteristik Ibu dengan Status Gizi. [ diakses
Tanggal 23 Januari 2012] didapat :
http./digilib.unnes.ac.id/gsdl/collect/skripsi/index/assoc/HESH4efb/1844a8c6dir/doc.pdf
Kartasapoetra G, Marsetyo. Ilmu Gizi. Jakarta: Rineka Cipta, 2008; h. 1-3.
Laura. 2008. Obesitas&overweight. [diakses tanggal 27 April 2012] didapat: http//. Obesitas
& overweight. com
Mamaimut. Kebutuhan gizi pada balita. 2012. [ diakses tanggal 2 februari 2012] didapat
dari:mamaimut.wordpress.com.
Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta;
2010. h. 83, 103.
Notoatmodjo S. Metodologi Penelitian Kesehatan . Jakarta: Rineka Cipta;
2005. h. 138.
PMI, 2011. Leaflet Penanganan Gizi Buruk Pada Anak. [diakses 2 Mei 2012] didapat dari :
rochiyat.wordpress.com
Proverawati A., Asfuah S. Buku Ajar Gizi untuk Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika; 2009.h.
127-128.
Riyanto, Agus. 2009. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Sugiono . Statistika untuk Penelitian. Bandung; ALFABETA. 2010. h. 1.
Sumber : http://psstudiografis.blogspot.com/view/classic. [diakses 8 Mei 2012].
Supariasa, dkk. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2002. h. 17 – 18.

Jurnal Kesehatan dan Budaya


HIKMAH 43

Anda mungkin juga menyukai