Anda di halaman 1dari 4

Pembunuhan Bayi: Beberapa Isu Forensik dan Etika

Abstrak: Investigasi forensik dan penanganan klinis untuk ibu yang melakukan pembunuhan
terhadap bayinya sendiri merupakan suatu kesempatan untuk merefleksikan stigma sosial yang
berkaitan dengan kejahatan ini. Penilaian terhadap kasus ini dilakukan melalui pendekatan
forensik-psikiatrik dimana penilaian berdasarkan hubungan klinis yang otentik terhadap sang
pelaku atau ibu kandung, tanpa misinterpretasi dan dinamika perasaan penyidik terhadap
pelaku seperti stigma dan rasa ketidakpercayaan.

Kata kunci: pembunuhan bayi, psikodiagnosis, rehabilitasi, stigmatisasi

Kata Pengantar

Pembunuhan bayi atau infanticide adalah kejahatan hasil dari stigma sosial. Berdasarkan aturan
pidana pada kebanyakan negara, pelaku kejahatan pada kasus infanticide hanyalah ibu kandung
yang membunuh bayi yang baru dilahirkannya itu dalam waktu segera setelah bayi itu
dilahirkan. Unsur psikologis dari kejahatan ini adalah niat sadar dan kenginginan sendiri dari ibu
untuk mengabaikan bayi yang baru dilahirkannya itu, baik secara moral maupun materiil.
Bentuk kejahatannya yang lain ialah kelalaian maupun penyembunyian dari bayi tersebut.
Berdasarkan jenis dari pembunuhan, analisis data dari Italia (2000-2005) menunjukan
prevelansi tertinggi dimulai dengan asfiksia mekanis (19% tenggelam, 18% sufokasi, 10%
strangulasi), dilempar dari jendela (15%), ditembak atau dilukai (15%) dan yang paling jarang
sekitar 4% dilukai dengan senjata api. Lokasi pembunuhan paling sering di rumah (85%), di
kamar mandi (64%) dan di tempat tidur (20%).1 Beberapa penelitian menjabarkan tipe-tipe
situasi serta alasan-alasan bagi seorang ibu untuk membunuh anaknya sendiri. Laporan
pertama mengenai pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri terjadi pada tahun 1969
oleh Resnick2, yang memeriksa 131 kasus yang dilaporkan pada literatur diantara tahun 1951
sampai 1967.

Lima pola psikologis dari pembunuhan anak oleh ibu kandungnya antara lain:

- Altruistik (juga dikenal sebagai pembunuhan karena pietatis atau dasar belas kasihan) 3
sering ditandai dengan Sindrom Beck dimana terdapat pandangan pesimistis terhadap
diri sendiri, dunia, dan masa depan ibu dan anaknya1;
- Psikotik, dimana kejahatan dilakukan dibawah tekanan dari halusinasi;
- Pembunuhan yang dilakukan oleh ibu kandung dimana sang ibu dihadapkan pada
keadaan menjadi orang tua yang tidak diinginkan, hasil dari perselingkuhan diluar
perkawinan atau ketidakmampuan ibu untuk menghadapi rasa sakit yang berat,
penelantaran, kekerasan;
- Aksi balas dendam terhadap sang ayah, yang dikenal sebagai Medea complex4;
- Kematian yang tidak disengaja5, merupakan salah satu kejadian dramatis dari sindrom
penyiksaan anak atau Sindrom Battered Child, dimana ibu menjadi penyebab kematian
anaknya yang diawali dengan tangisan atau teriakan dari sang anak.

Banyak penelitian terhadap ibu pelaku infanticide yang dipublikasikan sejak Resnick
mengklasifikasikan berdasarkan motivasi, situasi klinis dan keinginan dasar untuk membunuh 6-8.

Tipe lain yang harus dipertimbangkan dari pembunuhan terhadap anak kandung adalah
pengabaian dari kebutuhan sang anak, seperti kebutuhan terhadap makanan, perlindungan,
pakaian yang layak dan kebutuhan medis. Pada kasus-kasus lain, ibu yang membunuh anaknya
sendiri merupakan suatu bentuk pelampiasan pelaku untuk rasa frustasinya. Atau alasan
lainnya adalah bahwa sang anak memiliki keinginan untuk membunuh ibunya sendiri 9. Ibu-ibu
yang lain mengalami histeria seelama kehamilan mereka dan “mengubah limbah” berupa bayi
yang baru lahir tersebut10 melalui mekanisme defensif primitif yang “membantu untuk
menghindari kesadaran dari aspek realitas eksternal yang sulit untuk dihadapi”. Telah dikatakan
bahwa “para wanita ini hamil dengan ‘gangguan’ yang pada akhirnya akan dibuang di tempat
sampah atau di toilet”.11

Diskusi

Pola-pola Kriminalitas

Pembunuhan terhadap bayi yang baru lahir atau neonaticide biasa dilakukan oleh ibu yang
masih sangat muda (biasanya dengan usia dibawah dua puluh lima tahun), belum dewasa,
belum menikah, tidak bekerja atau masih pelajar; mereka tidak dapat bertanggung jawab
ataupun menghadapi stres sebagai seorang ibu muda12. Mereka biasanya adalah para wanita
muda yang tidak memiliki hubungan yang stabil dengan ayah dari bayi mereka dan tidak
melakukan ANC13. Lebih sering mereka menjalani persalinan di rumah atau di tempat-tempat
non-rumah sakit lainnya, walaupun telah muncul catatan mengenai kelahiran di rumah sakit
pada beberapa kasus14. Sering kasus diawali dengan penolakan terhadap kehamilan, sampai
pada satu titik dimana wanita tersebut kaget akan terjadinya kontraksi 10. Wanita-wanita yang
melakukan neonaticide biasanya mendeskripsikan gejala disosiatif yang mereka alami seperti
depersonalisasi, derealisasi and halusinasi disosiatif15. Wanita pada umumnya jarang
mengalami gangguan mental serius saat melakukan kejahatan16,17.
Spinelli18 telah menunjukkan bahwa orang-orang yang melakukan kejahatan ini biasanya
dibesarkan dalam lingkungan dengan pengabaian secara emosional, terisolasi, dan kebingungan
dimana peranan dan batasan-batasan perilaku disalahgunakan. Wanita-wanita ini kekurangan
panutan yang suportif dalam keluarga, dimana ibu mereka biasanya hanya berkontribusi
minimal dalam membesarkan mereka, biasanya disebabkan oleh penyakit yang mungkin
diderita atau adanya kekerasan dalam keluarga. Banyak juga yang dipaksa untuk memikul
absennya tanggung jawab orang tua. Diantara para wanita, pembunuhan bayi dan
pembunuhan anak kandung (grup-grup yang sangat mirip antara satu sama lain, neoniticide
atau infanticide) adalah merupakan bentuk dari penolakan ‘anak yang tidak diinginkan’, dimana
pembunuhan anak atau filicide merupakan alasan dari sebuah bentuk gangguan atau kelainan
mental dibandingkan faktor-faktor psikososial7,19,20. Fitur lain dari tipe pelaku pembunuhan
anak biasanya berumur lebih dari dua puluh lima tahun, telah menikah dan memiliki pendidikan
yang bagus2. Wanita-wanita ini juga mempunyai kecenderungan untuk merencanakan
kejahatannya, sebagai bentuk pembelasan dendam terhadap orang lain, atau sebelumnya
pernah dianiaya atau disakiti.5

Faktor-faktor risiko dan gangguan mental

Dalam menganalisa para ibu pelaku infanticide terdapat tiga kategori yang penting: struktur
kepribadian perilakunya, hubungan dengan keluarga (terutama dengan ibu), dan hubungan
dengan pasangannya. Seringkali wanita-wanita itu telah mengalami berbagai bentuk
penganiayaan, dari yang bersifat emosional sampai seksual, dengan kecenderungan untuk
menekan emosi dalam konteks familiar yang didominasi oleh ketidakadaannya figur ayah,
kehadiran ibu yang kaku dan membosankan, terabaikan dan sering menderita gangguan mood
yang parah1. Karena kemampuan seorang ibu mengurus anak merupakan sebuah hasil yang
diajarkan oleh sang ibu, membuat seolah-olah wanita-wanita pelaku tersebut merupakan
korban dari kekerasan secara mental, dan bukan kekerasan yang dilakukan secara fisik.

Dapat dikatakan bahwa infanticide merupakan kejahatan trans-generasi. Ketika seorang ibu
membunuh anaknya, tidak jarang harapan yang kuat dari “kelainan” atau mungkin bias
kelainan, karena kejahatan ini melanggar kebiasaan dari perilaku normal psikis yang bersandar
pada masyarakat, bahkan dianggap “melawan kebiasaan”21,22. Pada praktek psikiatri forensik
telah diamati bahwa pembunuhan anak-anak yang terjadi dapat berhubungan dengan proses
yang tidak selalu dipengaruhi oleh adanya penyakit atau gangguan mental yang dapat
menyebabkan penurunan kemampuan dari penilaian akan kecerdasan.

Penelitian tentang gangguan mental yang dialami oleh para ibu yang membunuh bayinya
sendiri dikelompokkan menjadi kelompok kecil dan menunjukkan kesimpulan yang tidak sesuai.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Krischer teridentifikasi 2 kelompok gangguan mental, yang
paling banyak adalah spektrum Skizofrenik (sekitar 63%), termasuk skizofrenia (42%), gangguan
skifo afektif (14%) , atau paranoid (7%) yang bertolak belakang dengan gangguan afektif (30%) ,
juga termasuk depresi berat (12,3%), depresi dengan gejala psikotik (10,5%) dan post partum
(3,5%) dan gangguan bipolar. Sebaliknya penelitian yang dilakukan oleh Haapasalo dan Petaja
ibu pelaku infanticide dengan diagnosa depresi berat terdapat lebih dari 82%. Penderita juga
memiliki komorbiditas axis II, khususnya kelompok gangguan personalitas tipe B, border line,
anti sosial sering dihubungkan dengan pencandu alkohol.

Evaluasi Penyembuhan dari Pengobatan ibu yang Melakukan Infanticide

Tes diagnosis psikologis berdasarkan diagnosis psikiatrik, baik secara klinis maupun pendekatan
forensik. Biasanya penyidik meminta seorang psikiater forensik untuk menyelidiki lebih dalam
deskripsi nosographik untuk memastikan pengadilan dapat memasukkan standart yang
dibutuhkan oleh hukum pidana. Di lapangan, prosedur observasi yang spesifik dapat
menyediakaan ide dan saran yang berguna untuk sebuah tujuan atau pengobatan rehabilitasi
yang secara etis signifikan.

Wawancara klinis adalah kesempatan penting untuk sebuah pertemuan yang secara esensial
akan mengenali dan mengembalikan martabat kriminal sebagai manusia dan fokus yang
penting untuk pengembangan diagnosis dalam epentingan yang lebih berstruktur berdasarkan
defini metodologi yang diarahkan dalam deskripsi netralitas dan berdasarkan kemampuan
perorangan dan konvergensi dari berbagai multipel struktur dan profesionalisme.

Sampai saat ini ahli forensik bagaimanapun tidak setuju dengan pelaku dalam perilaku dan
respon yang bukan hanya secara emosional tetapi juga secara budaya dan sosial,
konsekuensinya dia memiliki kewajiban moral untuk mempromosikan komunikasi secara sadar
dan bertanggung jawab berdasarkan pertimbangan terhadap para ibu pelaku infanticide yang
lain sebagai seorang manusia dengan riwayat yang kaya secara materi dan tidak dipertanyakan
atau dihindari dengan berbagai perilaku. Sayangnya, tindak kejahatan seperti infanticide
membangkitkan berbagai kekuatan dinamik yang kuat yang menghasilkan reaksi emosional
ketidakpercayaan, penghinaan, dan stigma pelaku, yang dipertimbangan akan menghambat
pemahaman psikologi dan aspek psikopatologi. Untuk menghindari para ibu tersebut dari
penderitaan investigasi pada dinamika ini berbagai reaksi antitransferan akan dibicarakan dan
dikembangkan dalam staff terapi dan bekerja dibawah supervisi (baik individual maupun
kelompok).

Anda mungkin juga menyukai