Pembimbing :
dr. Ade Senorita, Sp.PD
Disusun oleh :
Asepky Zakia
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji Syukur kita panjatkan kehadiran Allah SWT yang telah memberikan nikmat
islam, iman, dan ikhsan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Shalawat serta salam kita curahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW yang telah
membawa kita ke zaman yang terang benderang ini.
Terima kasih saya ucapkan kepada dr. Ade Senorita,Sp.PD yang telah memberi
kesempatan dan waktunya untuk menjadi pembimbing dalam menyelesaikan makalah
ini. Saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Kritik dan saran
yang bangun saya harapkan dari semua pihak demi kesempurnaan makalah ini.
Demikian semoga makalah “Lupus Eritematosus Sistemik” ini dapat bermanfaat.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………….....2
DAFTAR ISI…………………………………………………………………………..........3
.
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………..…..4
2.1 Definisi……………..……………………………………………………….5
2.2 Epidemiologi……..………………………………………………………...5
2.3 Etiologi…..………………………………………..………………………..7
2.4 Patogenesis……….………………………………………………..….......10
2.5 Patofisiologi…………………………………..…………………….….….14
2.11 Pengelolaan……………………………………………………………...26
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………...34
BAB I
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ
atau sistem dalam tubuh.4 Menurut kamus kedokteran Dorland, Lupus
Eritematosus Sistemik adalah gangguan jaringan penyambung generalisata kronik
yang dapat bersifat ringan hingga fulminans dimana adanya temuan autoantibodi
yang menyerang komponen sitoplasma dan inti sel, ditandai oleh adanya erupsi
kulit, atralgia, arthritis, nefritis, pleuritis, pericarditis, leucopenia atau
trombositopenia, anemia hemolitik, lesi organ, manifestasi neurologik,
5
limfadenopati, demam dan berbagai gejala konstitusional lainnya. Sedangkan
menurut buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, LES adalah prototipe penyakit autoimun
yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang
1
berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Perjalanan penyakit LES
6
bersifat fluktuatif yang ditandai dengan periode tenang dan eksaserbasi.
Kata “lupus” dalam bahasa latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari
bahasa yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah
merah sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar
4
rash.
2.2 Epidemiologi
Dalam 30 tahun terakhir, LES telah menjadi salah satu penyakit rematik
utama di dunia dan dalam 40 tahun terakhir ini, insidensi LES meningkat tiga kali
lipat karena kemajuan ilmu kedokteran bidang reumatologi dalam mendiagnosis
1,7
LES melalui kriteria ACR. Di Amerika Serikat dilaporkan prevalensi LES yaitu
52 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi per tahunnya sekitar 5.1 kasus per
100.000 penduduk. Di negara Asia-Pasifik, prevalensi LES yaitu sekitar 4.3-45.3
kasus per 100.000 penduduk dengan Australia sebagai negara dengan prevalensi
tertinggi yaitu 45.3 kasus per 100.000 penduduk. Di Asia, prevalensi LES yaitu
sekitar 4.3-37.7 kasus per 100.000 penduduk dimana negara Cina memiliki
4
insidensi terbanyak yaitu 3.1 kasus per 100.000 penduduk.
Di Indonesia belum ada data epidemiologi LES yang mencakup seluruh wilayah
Indonesia. Beberapa data di Indonesia dari pasien yang dirawat di Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ditemukan 37,7 % kasus
1
LES pada tahun 1998-1990. Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM)
Jakarta, didapatkan 1.4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik
Reumatologi Penyakit Dalam, sementara pada tahun 2010 di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 pasien (10.5%) dari total pasien yang berobat ke poliklinik
3
Reumatologi.
Onset penyakit LES 65% terjadi antara usia 16-55 tahun, 20% sebelum usia 16
tahun dan 15% setelah usia 55 tahun dimana 90% pasien LES adalah perempuan usia muda
1,7
dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi.
3
Rasio penyakit LES pada perempuan dan laki-laki adalah 9:1. Berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Rupert W.Jakes, dilaporkan prevalensi LES pada
perempuan yaitu sekitar 7.7-68.4 kasus per 100.000 penduduk dengan insidensi 1.4-5.4
kasus, sedangkan prevalensi LES pada laki-laki 0.8-7.0 kasus per 100.000 penduduk
4
dengan insidensi 0.4-0.8 kasus tiap tahunnya.
Angka morbiditas dan mortalitas pasien LES masih cukup tinggi, dimana angka
3
kematian pasien LES hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum.
Dilaporkan survival rate 5 tahun pasien LES di RSCM adalah 88% dari pengamatan
3
108 orang pasien yang berobat dari tahun 1990-2002.
Sedangkan berdasarkan usia, angka survival rate SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20,
3
dan 20 tahun adalah 93-97%, 84-95%, 70-85%, 64-80%, dan 53-64%. Hasil studi yang
dilakukan oleh Rupert W.Jakes tahun 2012 menyatakan survival rate
4
LES 93-98% dalam 1 tahun, 60-97% dalam 5 tahun, dan 70-94% dalam 10 tahun.
Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan
infeksi (termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam
jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis Penyebab tingginya
angka morbiditas dan mortalitas pada LES di negara Asia-Pasifik yaitu 30-80% karena
infeksi, 19-95% penyakit LES yang aktif, 6-40% keterlibatan kardiovaskular, dan 7-
4
36% karena adanya abnormalitas ginjal.
Prognosis LES sangat bervariasi. Di negara Asia-Pasifik, prognosis LES tampak
lebih baik pada negara Cina (Shanghai, survival rate 98% dalam 5 tahun),
Hong Kong (survival rate 97% dalam 5 tahun dan 94% dalam 10 tahun), Korea
Selatan (survival rate 94% dalam 5 tahun), akan tetapi di negara Australia survival
4
rate LES hanya 60% dalam 5 tahun.
2.3 Etiologi
Faktor genetik, imunologis, lingkungan dan hormon dianggap sebagai
etiologi LES, yang mana keempat faktor ini saling terkait. Faktor lingkungan dan
hormon berperan sebagai pencetus penyakit pada individu peka genetik. Faktor
lingkungan yang dianggap sebagau pencetus antara lain yaitu infeksi, sinar
8
ultraviolet, pemakaian obat-obatan, stress mental maupun fisik.
9
a) Antibodi Antinuklear (ANA)
ANA diarahkan untuk melawan beberapa antigen nucleus dan dapat
dikelompokkan menjadi empat kategori:
1. Antibodi terhadap DNA
2. Antibodi terhadap histon
3. Antibodi terhadap protein nonhiston yang terikat pada RNA
4. Antibodi terhadap antigen nucleolus
7,9
b) Faktor Genetik
1. Terdapat indeks yang tinggi (25%) pada kembar monozigotik dan
kembar dizigotik (1-3%).
2. Anggota keluarga mempunyai risiko yang meningkat untuk menderita
LES dan hingga 20% pada kerabat tingkat pertama yang secara klinis
tidak terkena dapat menunjukkan adanya autoantibodi. Ikatan saudara
kandung memiliki risiko 30 kali lebih besar untuk menderita penyakit
LES.
2,7,9
c) Faktor Lingkungan
Adanya sindrom menyerupai lupus pada pasien yang meminum obat
tertentu, seperti prokainamid dan hidralazin. Obat-obat ini mengganggu
ekspresi dari sel T CD4+ dengan menghambat metilasi DNA dan
menstimulus ekspresi antigen LFA-1 sehingga memicu autoreaktivasi pada
LES. Oleh karena itu, sebagian besar penderita yang diobati dengan
prokainamid selama lebih dari 6 bulan akan menghasilkan ANA disertai
gambaran LES yang muncul 15% - 20% pada pasien tersebut.
Pajanan sinar ultraviolet merupakan faktor lingkungan lain yang dapat
memperburuk penyakit tersebut pada banyak individu. Sekitar 70% pasien
LES akan mengalami flare ketika terpajan dengan sinar ultraviolet. Sinar
ultraviolet dapat meningkatkan apoptosis keratinosit, merusak DNA dan
meningkatkan jejas jaringan yang akan melepaskan pembentukan kompleks
imun DNA / anti-DNA yang dapat menstimulus respon autoimun pada LES.
Infeksi Epstein-Barr Virus (EBV) merupakan faktor yang dapat
meningkatkan terjadinya LES. EBV akan mengaktivasi sel limfosit B dan
menstimulus interferon α (IFN α) untuk produksi sel plasmasitoid dendirtik
yang akan memicu respon imun. Selain itu, EBV juga memiliki untaian asam
amino yang menyerupai untaian asam amino manusia yang akan
menstimulus respon autoimun pada LES.
9
d) Faktor Imunologis
Bermacam-macam kelainan imunologis baik pada sel T maupun sel B
pada pasien LES sulit untuk mengidentifikasi setiap salah satunya sebagai
penyebab. Analisi molekular terhadap antibodi anti-DNA untai ganda
member petunjuk bahwa antibodi tersebut tidak dihasilkan oleh susunan
acak sel B aktif poliklonal, tetapi lebih banyak berasal dari respon sel-B
oligoklonal yang lebih selektif terhadap antigennya sendiri. Sebagai contoh,
antibodi anti-DNA pathogen pada pasien LES adalah kationik, sedangkan
antibodi yang dihasilkan oleh sel B yang teraktivasi secara poliklonal adalah
anionik dan nonpatogen. Oleh sebab itu, tanggung jawab autoimunitas pada
LES telah beralih ke sel T helper CD4+.
2
e) Faktor Hormonal
Perempuan memiliki respon antibodi lebih tinggi daripada laki-laki. Hal
ini disebabkan oleh efek estrogen yang bermanfaat terhadap sintesis
antibodi. Perempuan yang mengkonsumsi kontrasepsi oral yang terdapat
kandungan estrogen atau yang menggunakan hormone replacement therapy
memiliki risiko 2 kali lipat terkena LES. Estradiol akan
berikatan pada reseptor sel T dan sel limfosit B,
meningkatkan aktivasi sel T dan sel limfosit B tersebut.
2.4 Patogenesis
Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan
mempertahankan toleransi-diri. Akibatnya terdapat autoantibodi
dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara langsung
ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut
melawan komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak
9
spesifik terhadap organ. Proses ini diawali dengan faktor
pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia.
Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam tubuh
8
yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi autorektif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara
lain
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di
kompleks imun maupun sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan
apoptosis
B. Gejala Muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia
(90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering
terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat
terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris, terjadi pada beberapa
sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada
tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang
berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah
13
dalam pengobatan kortikosteroid.
C. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus LES.
Gambar 2.8 Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.
2.7 Diagnosis
3
Rekomendasi
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
Anti-ds-DNA
Anti autoantibody yang lain selain ANA ialah anti-ds-DNA, yang spesifik untuk
S.L.E, tetapi hanya ditemukan pada 40-50% penderita. Antibodi ini mempunyai
hubungan dengan glomerulonefritis. Adanya antibodi tersebut dan kadar
komplemen yang rendah dapat meramalkan akan terjadinya hematuria dan atau
16
proteinuria.
Anti-Sm
Selain anti-ds-DNA, masih ada antibody yang lain yang spesifik ialah anti-Sm,
tetapi hanya terjadi pada sekitar 20-30% penderita dan tidak ditemukan pada
16
penyakit lain.
3
2.9 Diagnosis Banding
Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes
laboratorium yang serupa dengan LES yaitu:
a. Undifferentiated connective tissue disease
b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis
Beberapa penyakit yang berasosiasi dengan L.E.S mempunyai gejala-gejala
yang dapat menyerupai L.E.S yakni artritis reumatika, sklerosis sistemik,
12
dermatomiositis, dan purpura trombositopenik.
Artritis Reumatika. Otot dan kekakuan sendi biasanya paling sering di pagi
hari. Pola karakteristik dari persendian yang terkena adalah mulai pada
persendian kecil di tangan, pergelangan, dan kaki. Awitannya biasanya akut,
bilateral, dan simetris. Persendian dapat teraba hangat, bengkak, kaku pada pagi
14
hari berlangsung selama lebih dari 30 menit.
Sklerosis Sistemik. Penyakit ini disebut juga skleroderma sistemik.
Skleroderma merupakan kolagenosis kronis dengan gejala khas bercak-bercak
putih kekuning-kuningan dan keras yang seringkali mempunyai halo ungu
disekitarnya. Sklerosis sistemik seperti skleroderma sirkumskripta tetapi secara
12
berturut-turut mengenai alat-alat viseral.
Dermatomiositis. Penyakit mulai dengan perubahan khas pada muka (terutama
pada palpebra) yakni terdapat eritema dan edema berwarna merah ungu kadang-
kadang juga livid. Pada palpebra terdapat telangiektasis, disertai paralisi otot-
otot ekstraokular. Pada fase berikutnya timbul perubahan-perubahan kutan yang
menetap dan menyerupai Lupus Eritematosus. Kelainan di muka menjalar ke
leher, toraks, lengan bawah, dan lutut. Manifestasi patognomonik ialah papul
Gottron yaitu papul keunguan di bagian dorsolateral sendi interfalangeal dan
atau metakarpofalangeal. Fase ini disertai demam intermiten, takikardi,
12
hiperhidrosis, dan penurunan berat badan.
Purpura Trombositopenik. Penyakit ini juga dikenal sebagai sindrom
Moschowite dengan trias : trombositopenia, anemia hemolitik, dan gangguan
susunan saraf pusat. Gejala yang timbul adalah demam, purpura berupa
ekimosis, ikterus, pembesaran limpa, disfungsi ginjal, artritis, pleuritis,
15
fenomena Raynaud, nyeri perut, dan pembesaran hati.
2.10 Derajat Berat Ringannya LES
Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah:
1. Secara klinis tenang
2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
25
3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal,
susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit.
Contoh LES dengan manifestasi arthritis dan kulit.
Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang ditemukan:
1. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
2. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
3. Serositis mayor
Obat-obatan
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
3
sebagaimana tercantum pada bagan .
Gambar 2.12 Algoritma penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.
Sumber : Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011
Tabel 2.1 Jenis Dan Dosis Obat Yang Dipakai Pada SLE
Siklofosfamid Per oral; 50- Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
150 mg per , gangguan lengkap, mielo- lengkap dan
hari. IV : limfoprolifera hitung jenis supresif, urin lengkap
500-750 tif, leukosit, hematuri tiap bulan,
2
mg/m keganasan, urin a dan sitologi urin
dalam imunosupresi lengkap. infertilita dan pap smear
Dextrose f, sistitis s. tiap tahun
250 ml, hemoragik, seumur hidup.
infuse infertilitas
selama sekunder.
1jam.
Metotreksat 7,5-20 mg/ Mielosupresif Darah tepi Gejala Darah tepi
minggu, , fibrosis lengkap, mielo- lengkap,
dosis hepatic, foto toraks, supresif, terutama
tunggal atau sirosis, serologi sesak hitung
terbagi 3. infiltrate hepatitis nafas, trombosit tiap
Dapat pulmonal dan B&C, AST, mual dan 4-8 minggu,
diberikan fibrosis. fungsi hati muntah, AST/ALT dan
pula melalui kreatinin. ulkus albumin tiap 4-
injeksi. mulut. 8 minggu, urin
lengkap dan
kreatinin.
Siklosporin 2,5-5 Pembengkaka Darah tepi Gejala Kreatinin,
A mg/kgBB n, nyeri gusi, lengkap, hipersens LFT, Darah
atau sekitar peningkatan kreatinin, itifitas tepi lengkap.
100-400 mg TD, urin terhadap
per hari peningkatan lengkap castor oil
dalam 2 pertumbuhan LFT. (bila obat
dosis rambut, diberikan
tergantung gangguan injeksi),
berat badan. fungsi ginjal, TD,
nafsu makan fungsi
menurun, hati dan
tremor. ginjal.
Kortikortikosteroid
17
Pencegahan
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang
sangat dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:
Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah
Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
Istirahat
Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.
Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress
oksidatif
Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya
mengurangi kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas
yang berlebih, dan mampu mengubah gaya hidup.
Hindari Merokok
Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
Hindari stres dan trauma fisik
Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.
3
2.12 LES dan Kehamilan
Kesuburan penderita LES sama dengan populasi wanita bukan LES. Beberapa
penelitian mendapatkan kekambuhan lupus selama kehamilan namun umumya
ringan, tetapi jika kehamilan terjadi pada saat nefritis masih aktif maka 50-60%
eksaserbasi, sementara jika nefritis lupus dalam keadaan remisi 3-6 bulan sebelum
konsepsi hanya 7-10% yang mengalami kekambuhan. Kemungkinan untuk
mengalami preeklampsia dan eklampsia juga meningkat pada penderita dengan
nefritis lupus dengan faktor predisposisi yaitu hipertensi dan sindroma anti fosfolipid
(APS). Penanganan penyakit LES sebelum, selama kehamilan dan pasca persalinan
sangat penting. Hal-hal yang harus diperhatikan adalah:
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editors. Buku ajar
th
ilmu penyakit dalam. Jilid II. 4 ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2009.
2. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper
D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012.
H 2724-35.
3. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Jakarta. Perhimpunan Rheumatologi Indonesia. 2011.
4. Jakes RW, et al. Systematic review of the epidemiology of systemic lupus
erythematosus in the Asia-Pasific region: prevalence, incidence, clinical
features, and mortality. Americam College of rheumatology 2012; 64(2) : 159-
68.
th
5. Dorland WAN. Kamus saku kedokteran dorland. 28 ed. Hartanto YB, editor.
Jakarta: EGC; 2012.
6. Rosani S. Lupus eritematosus sistemik dalam kapita selekta kedokteran ed IV.
Jakarta : Media Aesculapius; 2014.h 842-45.
7. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical
features. Eular textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
8. Tjokoprawiro A. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Surabaya : Universitas
Airlangga; 2007. h 235-41.
th
9. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7 ed. Jakarta:
EGC; 2009.
10. Ginzler EM. Systemic lupus erythematosus rheumatic disease clinics of north
America. Elsevier 2010; 36(1).
11. Pathak S. Cellular and molecular pathogenesis of systemic lupus erythematosus:
lessons from animal models. BioMed central 2011; 241(13) : 1-9.
12. Gill JM, et al. Diagnosis of systemic lupus eritematosus. American family
physician 2003; 68(11) : 1-6.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,
Philadelphia. 2003. p810-813.
14. Bartels C, et al. Systemic lupus erythematosus (SLE) [Internet]. Medscape; 2014
[cited 2016 des 10]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/332244-overview
15. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus
Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.
16. Budianti WK. Lupus eritemarosus kutan dalam ilmu penyakit kulit dan kelamin
Ed 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2015. h.300-302.
17. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of
th
Clinical Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5 edition.
2005. h 384-7.