Anda di halaman 1dari 10

INDERA PENDENGARAN

1. PEMERIKSAAN FISIK TELINGA

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan
1. Melakukan inspeksi dan palpasi aurikula, posisi telinga dan mastoid.
2. Melakukan pemeriksaan meatus auditorius eksternus (MAE) dengan
otoskop.
3. Melakukan pemeriksaan membran timpani dengan otoskop.
4. Menggunakan lampu kepala.

Alat pemeriksaan
1. Otoskop
2. Lampu kepala
3. Garpu tala 512 Hz

Teknik Pemeriksaan
1. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
2. Mencuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
3. Lakukan inspeksi dan palpasi aurikula:
a. Pasien dipersilahkan duduk di kursi periksa.
b. Pemeriksa duduk di samping pasien dengan posisi mata pemeriksa
setinggi telinga pasien yang akan diperiksa.
c. Pemeriksa menggunakan lampu kepala. Pemeriksaan telinga dilakukan
satu per satu, dimulai dari telinga kanan.
d. Arahkan lampu kepala ke arah telinga yang akan diperiksa.
e. Lakukan pemeriksaan dimulai dari preaurikula, aurikula dan
retroaurikula.
f. Pada preaurikula lakukan inspeksi adanya kelainan kongenital, tanda-
tanda inflamasi atau kelainan patologis lain.
g. Lalu lakukan palpasi untuk menilai adakah nyeri tekan tragus atau
benjolan di depan tragus yang berhubungan dengan kelainan
kongenital.
h. Aurikula yang normal diliputi oleh kulit yang halus, tanpa adanya
kemerahan atau bengkak.
i. Bila didapatkan kelainan seperti diatas, pemeriksa mempalpasi daerah
kemerahan tersebut dengan punggung jari tangan untuk menilai
apakah area tersebut lebih hangat dibandingkan dengan kulit
sekitarnya.
j. Bila terdapat bengkak, maka pemeriksa menggunakan jempol dan
telunjuknya untuk menilai konsistensi dan batas benjolan. Saat
melakukan pemeriksaan ini, amati wajah pasien untuk menilai adanya
nyeri.
k. Bila didapatkan anting atau pearcing di aurikula atau MAE, palpasi
juga area tersebut.
l. Pemeriksa kemudian menginspeksi MAE. Normalnya bersih atau
mungkin didapatkan sedikit serumen berwarna kuning kecoklatan di
tepi MAE. Nilai pula adakah cairan atau pus yang keluar dari MAE.
m. Pemeriksa kemudian menekan tragus dan tanyakan kepada pasien
apakah terdapat nyeri.
n. Pegang puncak aurikula pasien dengan jempol dan jari telunjuk dan
tarik ke arah postero superior agar pars kartilago MAE dan pars oseus
MAE berada dalam satu garis lurus.
o. Nilai MAE. Normalnya terdapat sedikit rambut dan kadang serumen
kuning kecoklatan. Perhatikan bila ditemukan pembengkakan,
kemerahan, atau terdapat lapisan selain serumen pada MAE.
p. Tidak seperti pada pasien dewasa, pada anak, daun telinga ditarik ke
arah anteroinferior untuk melihat MAE karena adanya perbedaan
anatomi.

4. Inspeksi dan palpasi prosesus mastoideus (retroaurikula):


a. Pertama-tama pemeriksa menentukan letak prosesus mastoideus
dengan meretraksikan aurikula ke anterior (retroaurikula).
b. Saat inspeksi, nilai warna kulit yang diatas retroaurikula. Perhatikan
adanya tanda-tanda inflamasi pada area tersebut.
c. Palpasi retroaurikula. Nilai adanya tanda-tanda inflamasi. Bila ada,
periksa apakah benjolan tersebut mobile atau melekat pada dasarnya
serta adanya fluktuasi atau tidak.
5. Pemeriksaan MAE dan membran timpani dengan otoskop:
a. Posisi pasien dan pemeriksa seperti pada prosedur sebelumnya.
b. Ambil otoskop dan pasang spekulum telinga dengan ukuran yang
sesuai dengan telinga pasien. Pastikan lampu otoskop menyala.
c. Saat memeriksa telinga kanan, pemeriksa memegang aurikula pasien
dengan tangan kiri dan menariknya ke arah posterosuperior, sedangkan
tangan kanan pemeriksa memegang otoskop. Pegang otoskop seperti
memegang pinsil.
d. Agar posisi tangan pemeriksa yang memegang otoskop stabil, tempelkan
kelingking di pipi pasien.
e. Saat ujung spekulum berada di depan MAE, pemeriksa melihat melalui
lensa. Jarak mata pemeriksa dan lensa harus dekat. Dengan hati-hati
masukkan spekulum ke dalam MAE sehingga pasien merasa nyaman.
f. Nilai permukaan kulit pada MAE, nilai adakah tanda-tanda inflamasi.
Mungkin liang telinga dapat tertutup oleh serumen yang menumpuk
atau telah mengeras. Apabila terlihat adanya pus, periksa apakah pus
tersebut berasal dari dinding MAE atau dari telinga tengah.
g. Pada MAE pars oseus, pemeriksa dapat melihat membran timpani.
Daerah membran timpani yang dapat terlihat melalui otoskop sekitar
seperempat bagian dari seluruh permukaan membran timpani, oleh
karena itu pemeriksa harus menggerakkan otoskop secara hati-hati ke
arah jam 3, jam 6, jam 9 dan jam 12 untuk dapat mengeksplorasi
seluruh permukaan membran timpani.
h. Saat memeriksa membran timpani, pertama-tama pemeriksa
menginspeksi refleks cahaya (pantulan cahaya). Karena membran
timpani merupakan suatu struktur berbentuk kerucut, maka saat
disorot cahaya dari sudut yang miring, pantulannya berupa bentuk
segitiga. Apabila membran timpani retraksi ke arah medial, maka
pantulan cahaya semakin menyempit. Apabila permukaan membran
timpani semakin datar (bulging), pantulan cahayanya semakin lebar
atau menghilang.
i. Lebar dari pantulan cahaya dapat memberikan informasi mengenai
posisi membran timpani. Hal ini penting untuk mengetahui proses yang
sedang terjadi di dalam telinga tengah. Apabila tekanan di dalam telinga
tengah menurun karena disfungsi tuba eustachius, maka membran
timpani akan tertarik ke dalam sehingga lebih mengerucut. Apabila
terdapat banyak cairan atau pus di dalam telinga tengah, maka
membran timpani akan terdorong keluar sehingga lebih datar.
j. Warna membran timpani normalnya abu-abu seperti mutiara. Bila
terjadi iritasi, karena inflamasi atau pada anak yang menangis,
membran timpani dapat berwarna kemerahan. Sedangkan pada
inflamasi berat, membran timpani dapat berwarna merah terang.
k. Apabila terdapat akumulasi cairan di dalam kavum timpani, maka
membran timpani dapat berwarna kuning kecoklatan, tampak air fluid
level atau gelembung udara sesuai dengan jenis cairan di belakangnya
(glue ear atau otitis media efusi).
l. Membran timpani juga dapat ruptur akibat peningkatan tekanan yang
hebat dari telinga tengah (barotrauma) atau akibat trauma dari luar
(saat membersihkan telinga) atau akibat otitis media akut atau kronik.
Hal ini disebut perforasi. Saat terjadi penyembuhan dapat terbentuk
jaringan ikat. Baik perforasi maupun jaringan ikat ini dapat
mempengaruhi getaran gendang telinga sehingga menyebabkan
gangguan pendengaran.

Analisis Hasil Pemeriksaan


1. Telinga luar:
Kelainan yang mungkin dapat ditemukan pada pemeriksaan aurikula
antara lain:
a. Kista brakialis kongenital.
b. Mikrotia
c. Tophus, akibat deposit kristal asam urat.
d. Keloid, masa jaringan hipertrofi yang keras, berbentuk nodular, yang
terjadi pada area yang pernah mengalami luka.
e. Hematoma
f. Karsinoma sel skuamosa
g. Karsinoma sel basal

Nyeri saat aurikula dan tragus digerakkan (nyeri tekan tragus)


menunjukkan adanya otitis eksterna akut (inflamasi pada liang telinga),
namun tidak terjadi pada otitis media. Nyeri di belakang telinga dapat
terjadi pada otitis media.

2. MAE dan membran timpani:


a. Pada otitis eksterna akut, kanalis auditorius edem, kemerahan, tampak
sedikit sekret, pucat dan nyeri.
b. Pada otitis eksterna kronis, kulit dalam kanalis auditorius menebal,
merah dan gatal. Dapat pula disertai debris pada otomikosis.
c. Pada otitis media akut stadium hiperemis, membran timpani tampak
hiperemis, refleks cahaya berkurang.
d. Pada otitis media akut stadium purulen, membran menonjol dan
berwarna merah, sedangkan pada efusi serosa berwarna pucat, refleks
cahaya menghilang.
e. Perforasi membran timpani dapat terjadi akibat tekanan di dalam
telinga tengah yang meningkat pada otitis media akut atau adanya
trauma akibat benda asing dari luar.
f. Adanya perforasi membran timpani tipe atik, merupakan ciri adanya
pertumbuhan kolesteatoma pada telinga tengah (otitis media supuratif
kronik tipe bahaya) sehingga harus segera dirujuk.
g. Timpanosklerosis: adanya bercak putih, luas pada bagian inferior
membran timpani, dengan batas ireguler. Ciri khasnya berupa deposisi
membran hialin pada lapisan membran timpani.

Referensi
1. Bickley. Bate’s Guide to Physical Examination and History Taking. 8th
Edition. 2002-08.
2. Duijnhoven, Belle. Skills in Medicine: The Pulmonary Examination. 2009.
3. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. 13th ed.
Edinburg: Elsevier, 2013.

2. PENILAIAN TAJAM PENDENGARAN

Tingkat keterampilan : 4A
Tujuan: Melakukan pemeriksaan:
1. Tes suara
2. Rinne
3. Weber
4. Swabach

Alat dan Bahan: Garpu tala 512 Hz


Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Jelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Minta pasien duduk di kursi periksa.

Tes Suara:
a. Pemeriksaan dilakukan pada salah satu telinga secara bergantian dimulai
dari telinga kanan. Pasien diminta menutup telinga kirinya dengan tangan.
b. Gesekkan jari-jari pemeriksa di depan telinga pasien yang tidak ditutup
dengan cepat dan lembut. Tanyakan apakah pasien mendengar suara
tangan pemeriksa. Bandingkan kanan dan kiri.
c. Kemudian pemeriksa mengambil posisi di sisi pasien dengan jarak 1 meter
dari telinga pasien.
d. Pemeriksa mengucapkan kata-kata di depan telinga pasien yang tidak
ditutup, ketinggian mulut pemeriksa sejajar dengan telinga pasien.
Pastikan pasien tidak melihat gerakan bibir pemeriksa. Pilih kata yang
terdiri dari dua suku kata yang dikenal pasien, seperti "bola" atau "meja"
dan dapat diulang sampai 3 atau 4 kali.
e. Jika perlu, tingkatkan intensitas suara pemeriksa menjadi suara bisik,
suara biasa, suara keras, berteriak dan berteriak di depan aurikula
(penilaian semi kuantitatif)
f. Minta pasien mengulang kata yang disebutkan pemeriksa. Nilai apakah
jawaban pasien benar.
g. Lakukan prosedur yang sama untuk telinga yang lain.

Pemeriksaan Rinne:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya di prosesus
mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia
sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Kemudian segera pindahkan garpu tala sehingga ujung garpu tala berada
di depan kanalis auditorius (tidak bersentuhan).
e. Tanyakan apakah pasien mendengar suara garpu tala.
f. Pemeriksa juga dapat memulai pemeriksaan ini dari lubang telinga
kemudian ke prosesus mastoideus.
g. Lakukan prosedur yang sama pada telinga lainnya.
h. Tes Rinne dikatakan abnormal bila konduksi tulang lebih baik dari
konduksi udara.

Pemeriksaan Webber:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan di tengah kening atau puncak
kepala pasien dengan perlahan.
c. Minta pasien menyebutkan dimana ia lebih baik mendengar suara (kanan
atau kiri).

Pemeriksaan Swabach:
a. Pemeriksa memegang garpu tala pada bagian pangkal (column handle).
b. Getarkan garpu tala (512 Hz) dan letakkan dasarnya pada prosesus
mastoideus pasien.
c. Minta pasien memberi tanda (misal dengan mengangkat tangan) bila ia
sudah tidak lagi mendengar suara garpu tala.
d. Pindahkan dasar garpu tala ke prosesus mastoideus pemeriksa. Bila
pemeriksa masih dapat mendengar suara, maka test Swabach abnormal.

Analisis Hasil Pemeriksaan


Pemeriksaan Rinne:
1. Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan konduksi tulang dengan
konduksi udara pada satu telinga. Normalnya, gelombang suara (air
conduction) lebih baik dihantarkan melalui udara dibandingkan dengan
tulang (bone conduction).
2. Bila pasien masih dapat mendengar suara garpu tala saat pemeriksa
memegangnya di depan telinga pasien atau terdengar lebih keras
dibandingkan dengan saat garpu tala ditempelkan di tulang mastoid
pasien, maka tes Rinne dikatakan positif (+). Hal ini menandakan bahwa
pendengaran pasien normal atau mengindikasikan adanya tuli sensori
neural.
3. Bila pasien mengatakan tidak dapat mendengar suara garpu tala saat
diletakkan di depan telinga, maka tes Rinne dikatakan negatif (-). Hal ini
menandakan pasien mengalami tuli konduktif.

Pemeriksaan Weber:
1. Tujuan pemeriksaan Weber adalah membandingkan hantaran tulang (bone
conduction) pada telinga kiri dan kanan.
2. Apabila pendengaran pasien baik, maka pada pemeriksaan ini tidak
ditemukan lateralisasi dimana pasien tidak dapat menentukan di mana ia
lebih baik mendengar suara (kanan atau kiri).
3. Pada pasien dengan tuli sensorineural, maka pasien mendengar lebih keras
pada telinga yang sehat (lateralisasi ke telinga yang sehat).
4. Pada pasien dengan tuli konduktif, maka pasien mendengar lebih keras
pada telinga yang mengalami kelainan (lateralisasi ke telinga yang sakit).

Pemeriksaan Swabach:
Tujuan pemeriksaan ini adalah membandingkan hantaran udara telinga
pasien dengan telinga normal (telinga pemeriksa= normal).

Referensi
1. Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History
Taking, 10th Edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009. P 265 –
266.
2. Douglas G, Nicol S, Robertson C. Macleod’s clinical examination. 13th ed.
Edinburg: Elsevier, 2013.

3. PENILAIAN TAJAM PENDENGARAN PADA ANAK

Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan pemeriksaan: Melakukan pemeriksaan pendengaran pada anak
Alat dan Bahan
1. Otoskop
2. Bel atau alat penghasil suara

Teknik pemeriksaan
1. Siapkan alat dan bahan.
2. Menjelaskan kepada pasien jenis dan prosedur pemeriksaan yang
dilakukan.
3. Cuci tangan sebelum melakukan prosedur pemeriksaan.
4. Posisikan anak pada meja periksa atau kursi periksa.

Terdapat dua macam posisi yang sering digunakan: anak dibaringkan atau
dipangku oleh orang tua.
- Apabila anak dibaringkan dengan posisi terlentang, minta orang tua untuk
memegang kedua lengan anak baik direntangkan maupun diapit dekat
dengan tubuh untuk memfiksasi posisi anak. Pemeriksa dapat memegang
kepala dan menarik tragus dengan satu tangan dan tangan lain memegang
otoskop.
- Apabila anak berada di pangkuan orang tua, posisikan kedua tungkai
anak diantara tungkai orang tua. Orang tua dapat membantu memegangi
anak dengan cara memeluknya menggunakan salah satu tangan dan
tangan yang lain memegangi kepala anak.

Pemeriksaan dengan otoskop


a. Gunakan mainan atau benda-benda yang menarik untuk membuat anak
tenang saat dilakukan pemeriksaan.
b. Pemeriksa memegang otoskop dengan tangan kanan untuk memeriksa
telinga kanan dan sebaliknya.
c. Tangan lain memegang aurikula dan menariknya ke superoposterior.
d. Untuk pemeriksaan ini, gunakan spekulum dengan ukuran sebesar
mungkin sesuai dengan besar liang telinga anak.
e. Jangan menekan otoskop terlalu keras.
f. Masukkan otoskop sejauh ½ sampai dengan 1 cm kedalam kanalis
aurikularis.
g. Pertama-tama nilai permukaan kanalis aurikularis.
h. Kemudian nilai membran timpani pasien.

Pemeriksaan pendengaran pada anak < 12 bulan (acoustic blink reflex)


a. Pemeriksa membuat suara yang tajam secara cepat seperti menjentikkan
jari, membunyikan bel atau alat penghasil suara lain pada jarak kurang
lebih 30 cm dari telinga anak.
b. Pastikan tidak ada aliran udara atau angin yang melewati daerah sekitar
wajah anak yang dapat membuatnya berkedip.
c. Perhatikan respon dan adanya refleks berkedip pada anak.

Pemeriksaan pendengaran pada anak:


a. Pemeriksa berada kurang lebih 2,5 m di sebelah telinga anak.
b. Lakukan tes berbisik dengan memberikan pertanyaan atau perintah
sederhana kepada anak.
c. Nilai respon anak.
d. Semakin besar anak, pemeriksaan yang dilakukan dapat mendekati teknik
pemeriksaan pendengaran pada dewasa.

Analisis Hasil Pemeriksaan


Pada bayi baru lahir, pemeriksaan telinga dengan otoskop hanya dapat
mendeteksi kanalis aurikularis karena membran timpani tertutup oleh
akumulasi vernix kaseosa pada beberapa hari kehidupan. Acoustic blink
refleks dapat sulit dinilai pada 2-3 hari pertama kehidupan. Jangan
melakukan pemeriksaan ini berulang kali dalam satu waktu karena dapat
terjadi habituasi sehingga refleks ini tidak akan muncul.

Penyebab gangguan pendengaran


Prenatal
Genetik herediter
Non genetik:
- Gangguan atau kelaianan pada masa kehamilan
- Kelainan struktur anatomis
- Kekurangan zat gizi seperti yodium

Perinatal
- Prematuritas
- BBLR (< 2500 gram)
- Hiperbilirubinemia berat
- Asfiksia (lahir tidak menangis)
Postnatal
- Infeksi bakteri atau virus seperti rubela, campak, parotis
- Infeksi otak (meningitis dan ensefalitis)
- Perdarahan telinga tengah
- Trauma temporal

Banyak anak dengan defisit pendengaran yang tidak terdiagnosa sampai


dengan usia 2 tahun. Tanda-tanda defisit pendengaran pada anak antara lain
keterlambatan bicara dan gangguan perkembangan yang berhubungan
dengan pendengaran.
Hal-hal yang menandakan anak dapat mendengar berdasarkan usia
 0-2 bulan
o Respon berkedip pada suara yang tiba-tiba.
o Menjadi tenang dengan suara atau musik.
 2-3 bulan
o Perubahan gerakan tubuh saat merespon suara.
o Perubahan ekspresi wajah terhadap suara yang familiar.
 3-4 bulan
o Memutar mata dan kepala ke arah sumber suara.
 6-7 bulan
o Memutar untuk mendngarkan suara dan percakapan.

Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History
Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009. P 676-680.

4. PEMERIKSAAN MULUT DAN TENGGOROKAN (TONSIL)

Tingkat keterampilan: 4A
Tujuan: menilai kondisi bibir, mulut, lidah, gigi, gusi, palatum, mukosa pipi,
dan tonsil
Alat dan Bahan
1. Sarung tangan
2. Spatula
3. Kaca mulut
4. Kain kasa

Teknik Pemeriksaan
1. Minta pasien duduk dengan nyaman di kursi periksa.
2. Jelaskan kepada pasien prosedur dan tujuan pemeriksaan.
3. Lakukan cuci tangan dan gunakan sarung tangan.
4. Jika pasien menggunakan gigi palsu, minta pasien untuk melepasnya
terlebih dahulu.
5. Lakukan inspeksi pada bibir, perhatikan warna, kelembaban, apakah
simetris, terdapat deformitas, luka atau penebalan.
6. Lakukan inspeksi pada mukosa oral dan gusi dengan pencahayaan yang
cukup dan spatula lidah. Perhatikan warna, ulserasi, bercak, dan nodul.
Jika pada inspeksi ditemukan adanya benjolan, perhatikan apakah
benjolan tunggal atau multipel, kemudianlakukan palpasi, perhatikan
ukuran, konsistensi, permukaan, mobilitas, batas dan nyeri tekan.
7. Lakukan inspeksi pada gigi, perhatikan apakah ada gigi yang tanggal,
warna gigi, disposisi, atau ada gigi yang patah. Gunakan kaca mulut
untuk melihat gigi belakang atau atas.
8. Minta pasien untuk menjulurkan lidah. Lakukan inspeksi pada lidah,
perhatikan warna dan tekstur lidah, apakah terdapat nodul, ulserasi,
atau lesi lainnya. Kemudian pegang lidah pasien menggunakan tangan
kanan, lakukan palpasi, perhatikan apakah terdapat indurasi atau
penebalan.
9. Minta pasien membuka mulut dengan lidah tidak terjulur. Kemudian
minta pasien untuk mengatakan ‘ahh’, perhatikan faring, uvula, dan
tonsil. Perhatikan perubahan warna dan apakah terdapat eksudat,
ulserasi, bengkak, atau pembesaran tonsil.
10. Pemeriksaan selesai, lepaskan sarung tangan dan lakukan cuci tangan.

Analisis Hasil Pemeriksaan


Simpulkan hasil temuan secara deskriptif dan kaitkan dengan kemungkinan
diagnosis.

Referensi
Bickley, LS & Szilagyi PG 2009, Bates’ Guide to Physical Examination and
History Taking, 10th edn, Lippincott Williams & Wilkins, China, hh. 160-162.

5. PALPASI KELENJAR LIMFE

Tingkat Keterampilan: 4A
Tujuan: Menilai kelenjar limfe
Alat dan bahan: -
Teknik Pemeriksaan

Area kepala dan leher


1. Jelaskan kepada pasien jenis pemeriksaan yang akan dilakukan dan
prosedurnya
2. Cuci tangan 7 langkah
3. Minta pasien untuk duduk berhadapan dengan pemeriksa
4. Inspeksi daerah leher
 Perhatikan kesimetrisan, massa atau scars
 Lihat apakah ada kelenjar limfe yang terlihat
5. Palpasi menggunakan bantalan dari jari telunjuk dan jari tengah dengan
gerakan memutar yang lemah lembut, minta pasien untuk relax, dengan
leher fleksi. Palpasi secara berurutan:
 Preauricular di depan telinga
 Posterior auricular superfisial di mastoid
 Occipital dasar tulang kepala posterior
 Tonsillar di bawah angulus mandibula
 Submandibular di tengah di antara sudut dan ujung mandibula
 Submental di garis tengah beberapa sentimeter di belakang ujung
mandibula
 Superficial cervical superfisial di sternomastoid
 Posterior cervical sepanjang tepi anterior dari trapezius
 Deep cervical chain bagian dalam di sternomastoid dan terkadang
sulit untuk diperiksa. Kaitkan kedua ibu jari dengan jari-jari di sekitar
otot sternomastoid
 Supraclavicular di dalam sudut yang dibentuk oleh klavikula dan
sternomastoid
6. Rasakan ukuran, bentuk, batas, mobility, konsistensi, dan nyeri

Analisis Hasil Pemeriksaan


Palpasi kelenjar limfe daerah kepala dan leher:
 Kelenjar limfe tonsillar yang ada pulsasi kemungkinan itu adalah arteri
karotis
 Pembesaran kelenjar limfe supraklavikula, terutama sebelah kiri harus
dicurigai sebagai keganasan yang metastasis dari torakal atau abdominal.
 Kelenjar limfe yang teraba lunak kemungkinan merupakan inflamasi,
kelenjar limfe yang teraba keras atau yang tidak bergerak kemungkinan
merupakan keganasan
 Limfadenopati yang difus harus dicurigai sebagai HIV atau AIDS

Coba untuk membedakan antara limfadenopati lokal dan generalisata dengan


menemukan (1) lesi penyebab di drainage area atau (2) pembesaran limfe
setidaknya di area yang tidak berdekatan.

Referensi
Bickley, LS. Szilagyi PG: Bates’ Guide to Physical Examination and History
Taking, 10th edition. Lippincott Williams & Wilkins, China, 2009, p 481-483

Anda mungkin juga menyukai