Kumpulan Teori Hukum
Kumpulan Teori Hukum
Austin adalah tokoh yang memisahkan secara tegas antara hukum positif
dengan hukum yang dicita-citakan, dengan kata lain ia memisahkan secara tegas
antara hukum dengan moral dan agama. Ilmu hukum hanya membahas hukum
positif saja, tidak membahas hubungan antara hukum positif dengan moral dan
agama.
John Austin fokus pada aliran hukum positif yang analitis. Bagi Austin,
hukum merupakan sebuah perintah dari penguasa, dan hukum secara tegas
dipisahkan dari moral. Hakekat dari semua hukum adalah perintah (command),
yang dibuat oleh penguasa yang berdaulat yang ditujukan kepada yang diperintah
dengan disertai sanksi apabila perintah itu dilanggar.
Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior itulah yang menentukan apa
yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat. Ia
memberlakukan hukum dengan cara menakut-nakuti, dan mengarahkan tingkah
laku orang lain ke arah yang diinginkannya. Hukum adalah perintah yang
memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya.
John Austin membagi hukum menjadi dua, yaitu hukum yang dibuat oleh
Tuhan untuk manusia (law set by God to men= law of God). Dan Hukum yang
dibuat oleh manusia (law set by men to men=human law). Hukum yang dibuat oleh
manusia untuk manusia ini dibagi lagi menjadi dua, yaitu hukum yang tepat
disebut hukum (law properly so colled=positive law) adalah hukum yang dibuat
oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang
secara politis ada dibawah kekuasaannya, contohnya undang-undang. Selanjutnya
hukum yang tidak tepat disebut hukum (law improperly so colled) adalah aturan-
aturan yang tidak dibuat oleh penguasa politik, baik secara langsung maupun tidak
langsung, contohnya : ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-
perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kesusilaan,
ketentuan-ketentuan hukum Internasional.
Prinsip dasar positivism hukum adalah yang pertama merupakan suatu
tatanan hukum negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan
sosial, jiwa bangsa, dan hukum alam, melainkan karena mendapat bentuk
positifnya suatu instansi yang berwenang. Selanjutnya dalam mempelajari hukum
hanya bentuk yuridisnya yang dipandang. Hukum sebagai hukum hanya ada
dengan bentuk formalnya.
Isi material hukum memang ada, tetapi tidak dipandang sebagai bahan ilmu
pengetahuan hukum, karena isi merupakan variabel yang bersifat sewenang-
wenangan. Isi hukum tergantung dari situasi etis dan politik suatu negara, maka
harus dipelajari ilmu pengetahuan lain
Selanjutnya Austin, mengemukakan bahwa hukum yang tepat disebut
hukum (hukum positip) mempunyai 4 (empat) unsur, yaitu: Command
(perintah),Sanction (sanksi=ancaman hukuman), Duty (kewajiban), dan
Sovereignty (kedaulatan)
Hukum positip semacam “perintah” (command), karena perintah, maka
mesti berasal dari satu sumber tertentu. Bila suatu perintah dikeluarkan atau
diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan
atau tidak dilaksanakan oleh pihak yang lain (kewajiban), dan pihak yang terakhir
ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (sanksi) yang akan dibebankan
kepadanya, jika ia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama. Tiap
hukum positip dibuat oleh seseorang / badan yang berdaulat yang memegang
(suvereign).
Dengan penggunaan aliran ini di mana penegakkannya mengandalkan sanksi
bagi siapa yang tidak taat, para pengikutnya berharap (bahkan telah memitoskan)
akan tercapai kepastian dan ketertiban serta mempertegas wujud hukum dalam
masyarakat.
Aliran ini mendekonstruksi kosep-konsep hukum aliran hukum alam, dari
konsepnya yang semula metafisik (hukum sbg ius atau asas-asas keadilan yang
abstrak) kekonsepnya yang lebih positif (hukum sebagai lege atau aturan
perundang-undangan), oleh sebab itu harus dirumuskan secara jelas dan pasti.
GUSTAV RADBRUCH
(Gustav Radbruch) ke dalam ranah pencarian makna yang sesungguhnya tanpa mencari makna
baru…. melainkan menggali makna yang sudah lama terbenam dan ditutup oleh hingarbingar
otoritas “budaya massa”- yang kemudian diamini begitu saja…… mendekonstruksi, itulah
alternatifnya…. mendekonstruksi nilai dasar hukum……. dekonstruksi ala DERRIDA “sang
postmodernis”……
Derrida memahami bahwa teks itu tidak berdiri secara independen, melainkan ia ibarat tenunan
atau rajutan kain yang terikat antara satu dengan lainnya. Maka pemahaman bukanlah melalui
hubungan intersubjektivitas seperti yang dikemukakan oleh Husserl, melainkan sifatnya bahasa
yang dapat dipahami dengan menggunakan perspektif intertekstualitas. Teks itu terdiri dari
jaringan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Kita tidak bisa menemukan makna teks
tanpa mengkorelasikan dengan beragam teks lain (oleh Awaludin Marwan – Teori Hukum
Kontemporer)….
Mendekonstruksi nilai dasar hukum bukanlah suatu pekerjaan gampangan….. dibutuhkan waktu
berkontemplasi masuk dalam relung-relung kejiwaan dan hati nurani untuk benar-benar
menemukan makna yang terkandung di dalam teks yang hendak didekonstruksi….. kembali
kepada 3 (tiga) nilai dasar hukum yang hendak didekonstruksi yaitu KEPASTIAN HUKUM,
KEMANFAATAN, dan KEADILAN….. ketiga hal ini telah mewarnai keberadaan “eksistensi”
hukum dewasa ini….
Pertama, KEPASTIAN HUKUM… kepastian hukum merupakan prinsip yang sangat populer
di kalangan profesional (hakim, jaksa, polisi) bahkan dikalangan dosen (akademisi) – seolah-
olah telah menjadi darah-sumber tenaga dalam keberlangsungan penegakan hukum di negeri
tercinta ini….. kepastian hukum bak kata-kata ampuh bagi para polisi untuk menegakkan
undang-undang, bagi jaksa untuk menuntut dan bagi hakim untuk memutuskan suatu
perkara…… kepastian hukum telah menjadi harga mati dalam berhukum, tiada lain selain
kepastian hukum….. ada apa dengan kepastian hukum? kepastian hukum itu adalah kepastian
undang-undang (peraturan)…. segala macam cara, metode dan lain sebagainya musti
berdasarkan undang-undang
(peraturan)….. kadangkala (untuk tidak mengatakan sering) kepastian hukum sering
meninggalkan manusia dan kemanusiaan….. demi kepastian hukum, seorang anak yang mencuri
sendal musti mengikuti proses peradilan yang bertele-tele, seorang suami musti mengemban
tanggung jawab seorang aparat yang melindas tubuh istrinya di jalan raya, demi kepastian hukum
– sekalipun telah diketahui bukanlah Sengkon dan Karta pelaku pembunuhan namun, mereka
musti menjalani proses persidangan bahkan hingga mereka dipidana….. sangat melukai nurani
yang tak bergeming ini….. nurani yang makin hari semakin meronta untuk keluar dan
menantang si “beton” tangguh itu…..
Kepastian hukum telah menghilangkan rasa “kemanusiaan” kita…. seolah-olah rasa
kemanusiaan itu bisa terjawab dalam setiap lembaran undang-undang/peraturan…… kepastian
hukum telah membungkam kemanusiaan….. namun, semuanya belumlah terlambat…. jauh-jauh
hari Derrida menawarkan dekonstruksi untuk penggalian makna yang terbenam di dalam teks….
menggali makna sejati dari kepastian hukum….. hukum adalah untuk manusia dan kemanusiaan
– bukan sebaliknya (Prof. Tjip)…. oleh sebab itu pemaknaan terhadap kepastian hukum juga
tidak boleh meninggalkan basisnya, yaitu manusia…. kepastian hukum berarti kepastian kepada
manusia menuju pada kepastian kemanusiaan…. kepastian yang menghantarkan manusia pada
kebahagiaan…. sebagai mana Prof. Tjip pernah mengemukakan bahwa “Hukum adalah suatu
institusi yang bertujuan menghantarkan manusia kepada kehidupan yang adil dan sejahtera dan
membuat manusia bahagia”….. seperti itulah hendaknya hukum dimaknai….. penggalian
terhadap makna kepastian hukum mustinya membuahkan hasil bagi manusia dan
kemanusiaan……. lebih dari itu pemaknaan terhadap kepastian hukum hendaknya juga tidak
dimaknai sebagai pencekalan terhadap undang-undang/peraturan…. tentunya hal ini senada
dengan kata-kata Prof. Tjip. Bahwa “kita belum di surga, kita masih di dunia, kita masih butuh
undang-undang, peraturan…. undang-undang tetap harus ada namun jangan sampai kemudian
manusia terbelenggu oleh undang-undang/peraturan yang ia buat sendiri”….. marilah
menggunakan teks “kepastian hukum” tidak untuk mengakali hukum untuk menjerumuskan
manusia, melainkan sebaliknya menggunakan hukum sebaik mungkin untuk memberikan yang
terbaik bagi manusia dan kemanusiaan……
Kedua, KEMANFAATAN…. sejalan dengan kepastian hukum di atas, jika kita
menempatkannya pada pemahaman kepastian hukum untuk manusia dan kemanusiaan, maka
kemanfaatan akan beriringan menghampiri manusia dan kemanusiaan…. namun, kadangkala
kemanfaatan ini sering di arahkan kepada kemanfaatan untuk diri sendiri, kelompok, bahkan
meninggalkan masyarakatnya….. sehingga kemanfaatan juga tidak luput dari kupasan
dekonstruksi….. yang perlu di dekonstruksi adalah pemahaman kemanfaatan yang sebatas pada
pribadi atau golongan
semata tanpa menghiraukan kelompok masyarakat yang lebih luas….. memperalat hukum atas
nama kemanfaatan dengan semena-mena menaikkan harga BBM, semena-mena plesiran ke luar
negeri, semena-mena membeli pesawat kepresidenan tentunya dengan alasan yang “khas” yaitu
prinsip kemanfaatan….. prinsip kemanfaatan telah dileburkan dalam kedok-kedok hukum….
skema-skema/skeleton-skeleton sengaja dibuat seolah-oleh tidak bertentangan dengan
kemanusiaan dan memperalat hukum untuk melegalkan segala tindakan yang “abnormal” itu…..
kemanfaatan yang tidak berpijak pada kemanusiaan tapi berpijak pada akal busuk….. teks ini
musti didekonstruksi, pemaknaan terhadapnya musti digali, ditenun dan dirajut kembali untuk
menghantarkan pada hasrat untuk memberikan yang terbaik bagi manusia dan kemanusiaan…..
kemanfaatan hendaknya kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat bagi semua kalangan….
paradoks memang, tetapi setidaknya menghilangkan maksud dan kepentingan pribadi dalam
kerangkan perwujudan kemanfaatan….. kemanfaatan yang benar-benar bermanfaat……
kemanfaatan yang tidak memperalat hukum untuk tujuan pelanggengan kekuasaan tetapi
kemanfaatan yang menciptakan suasana kebersamaan, kebahagiaan, dan kesejahteraan……
Ketiga, KEADILAN…. sesuatu barang yang mahal dan teramat mahal…. sulit dicapai walau
mudah nan gampang untuk diucapkan….. seolah dalam membicarakan hukum, keadilan tidak
pernah ditinggalkan…. hukum dan keadilan adalah 2 in 1…. pemahaman yang keliru….
pemahaman yang terlalu memberikan beban berat bagi hukum…. pemahaman yang memperalat
hukum dengan modus-modus tertentu…. tanpa menghiraukan bahwa keadilan itu sifatnya sangat
individual, subjektif dan tak terukur…. memaksakan keadilan seorang hakim kepada pelaku,
korban dan lainnya adalah sikap yang musti didekonstruksi….. sikap yang gampang
menguniversalkan segala sesuatu…. sikap yang beriringan dengan paksaan, intervensi dan
kekerasan…..” hukum tok”
tidaklah identik dengan keadilan, karena banyak faktor di luar sana yang bisa menjadi teman
bermain bagi hukum untuk menciptakan atau setidaknya mendekati keadilan, seperti
kebudayaan, ekonomi, politik, pluralisme dan lainnya…… tidaklah hukum sendiri mampu
mendekati keadilan karena dari sononya hukum telah diperalat untuk menciptakan sekalian
keadilan yang memang tak adil….. keadilan adalah ketika kita tidak tertekan, ketika kita tidak
terhina, ketika kita tidak dipaksa, ketika kita bebas untuk menentukan pilihan hidup kita tanpa
mereduksi/melukai manusia dan kemanusiaan…. berkali-kali bahwa keadilan semestinya tidak
menjadi patokan untuk mengarahkan hukum membunuh rasa kemanusiaan…… hidup bersama,
dengan damai, indah, dan berbahagia itulah keadilan….. masih jauh untuk menggapai namun
itulah hidup “proses untuk menjadi”…………
Gustav Radbruch sejak mencetuskan tiga nilai dasar hukum di atas telah mengingatkan bahwa
ketiganya pasti akan menemui jalan kebuntuan masing-masing, saling hantam-menghantam,
saling senggol menyenggol….. dan itulah kenyatannya hingga hari ini….. terlambat? tidak….
semuanya bisa dirajut kembali, bisa ditenun kembali bersamaan dengan dekonstruksinya
Derrida, kita diajak, kita dibangunkan dan kita ditegur untuk melek, untuk bangun dan untuk
terus berada dalam jalur kebenaran….. kebenaran dalam menjalankan hukum….. hukum yang
bermartabat…. hukum yang berbicara tentang manusia bukan hukum yang berbicara hukum…..
hukum yang benar-benar untuk manusia….. hukum yang memanusiakan manusia…. itulah
sejatinya hukum…. dan selamat mencoba……
Hans Kalsen
SEKILAS TENTANG HANS KELSEN
Teori Hukum Murni (The Pure Theory of Law) diperkenalkan oleh seorang filsuf dan ahli hukum
terkemuka dari Austria yaitu Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen lahir di Praha pada 11 Oktober 1881.
Keluarganya yang merupakan kelas menengah Yahudi pindah ke Vienna. Pada 1906, Kelsen
mendapatkan gelar doktornya pada bidang hukum. Kelsen memulai karirnya sebagai seorang teoritisi
hukum pada awal abad ke-20. Oleh Kelsen, filosofi hukum yang ada pada waktu itu dikatakan telah
terkontaminasi oleh ideologi politik dan moralitas di satu sisi, dan telah mengalami reduksi karena ilmu
pengetahuan di sisi yang lain. Kelsen menemukan bahwa dua pereduksi ini telah melemahkan hukum.
Oleh karenanya, Kelsen mengusulkan sebuah bentuk kemurnian teori hukum yang berupaya untuk
menjauhkan bentuk-bentuk reduksi atas hukum.
Hans Kelsen meninggal dunia pada 19 April 1973 di Berkeley. Kelsen meninggalkan hampir 400 karya,
dan beberapa dari bukunya telah diterjemahkan dalam 24 bahasa. Pengaruh Kelsen tidak hanya dalam
bidang hukum melalui The Pure Theory of Law, tetapi juga dalam positivisme hukum kritis, filsafat
hukum, sosiologi, teori politik dan kritik ideologi. Hans Kelsen telah menjadi referensi penting dalam
dunia pemikiran hukum. Dalam hukum internasional misalnya, Kelsen menerbitkan Principles of
International Law. Karya tersebut merupakan studi sistematik dari aspek-aspek terpenting dari hukum
internasional termasuk kemungkinan adanya pelanggaran atasnya, sanksi-sanksi yang diberikan,
retaliasi, spektrum validitas dan fungsi esensial dari hukum internasional, pembuatan dan aplikasinya.
Law as a tool of sosial engineering merupakan teori yang dikemukakan oleh Roscoe
Pound, yang berarti hukum sebagai alat pembaharuan dalam masyarakat, dalam istilah ini hukum
diharapkan dapat berperan merubah nilai-nilai sosial dalam masyarakat. Dengan disesuaikan
dengan situasi dan kondisi di Indonesia, konsepsi “law as a tool of social engineering” yang
merupakan inti pemikiran dari aliran pragmatic legal realism itu, oleh Mochtar Kusumaatmadja
kemudian dikembangkan di Indonesia. Menurut pendapat Mochtar Kusumaatmadja[1], konsepsi
hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat Indonesia lebih luas jangkauan dan ruang
lingkupnya daripada di Amerika Serikat tempat kelahirannya, alasannya oleh karena lebih
menonjolnya perundang-undangan dalam proses pembaharuan hukum di Indonesia (walau
yurisprudensi memegang peranan pula) dan ditolaknya aplikasi mekanisme daripada konsepsi
tersebut yang digambarkan akan mengakibatkan hasil yang sama daripada penerapan faham
legisme yang banyak ditentang di Indonesia. Sifat mekanisme itu nampak dengan digunakannya
istilah “tool” oleh Roscoe Pound. Itulah sebabnya mengapa Mochtar Kusumaatmadja cenderung
menggunakan istilah “sarana” daripada alat. Disamping disesuaikan dengan situasi dan kondisi
di Indonesia konsepsi tersebut dikaitkan pula dengan filsafat budaya dari Northrop[2] dan policy-
oriented dari Laswell dan Mc Dougal. Hukum yang digunakan sebagai sarana pembaharuan itu
dapat berupa undang-undang atau yurisprudensi atau kombinasi keduanya, seperti telah
dikemukakan dimuka, di Indonesia yang paling menonjol adalah perundang-undangan,
yurisprudensi juga berperan namun tidak seberapa. Agar supaya dalam pelaksanaan perundang-
undangan yang bertujuan untuk pembaharuan itu dapat berjalan sebagaimana mestinya,
hendaknya perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti
pemikiran aliran sociological Jurisprudence yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan
hukum yang hidup didalam masyarakat[3]. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan
tersebut akan tidak dapat dilaksanakan dan akan mendapat tantangan-tantangan. Beberapa
contoh perundang-undangan yang berfungsi sebagai sarana pembaharuan dalam arti merubah
sikap mental masyarakat tradisional kearah modern, misalnya larangan penggunaan koteka di
Irian Jaya, keharusan pembuatan sertifikat tanah dan sebagainya[4].
Dalam hal ini dengan adanya fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat,
dapat pula diartikan, bahwa hukum digunakan sebagai alat oleh agent of change yang merupakan
pelopor perubahan yaitu seseorang atau sekelompok orang yang mendapatkan kepercayaan
masyarakat sebagai pemimpin dari satu atau lebih lembaga-lembaga kemasyarakatan. Pelopor ini
melakukan penekanan untuk mengubah sistem sosial[5], mempengaruhi masyarakat dengan
sistem yang direncanakan terlebih dahulu disebut social engineering ataupun planning atau
sebagai alat rekayasa sosial.
Law as a tool of social engineering dapat pula diartikan sebagai sarana yang ditujukan
untuk mengubah perilaku warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
sebelumnya[6]. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini adalah apabila terjadi apa
yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment yaitu dimana hukum-hukum
tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif[7]. Gejala-gejala semacam itu akan
timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat
berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan-
golongan lain dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena suatu
kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan tanpa mempertimbangkan
sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. kalau hukum merupakan sarana yang
dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut maka prosesnya tidak hanya berhenti pada
pemilihan hukum sebagai sarana saja tetapi pengetahuan yang mantap tentang sifat-sifat hukum
juga perlu diketahui untuk agar tahu batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana
untuk mengubah ataupun mengatur perilaku warga masyarakat. Sebab sarana yang ada,
membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana mana yang tepat
untuk dipergunakan.
Hukum di dalam masyarakat modern saat ini mempunyai ciri menonjol yaitu
penggunaannya telah dilakukan secara sadar oleh masyarakatnya. Di sini hukum tidak hanya
dipakai untuk mengukuhkan pola-pola kebiasaan dan tingkah laku yang terdapat dalam
masyarakat, melainkan juga untuk mengarahkannya kepada tujuan-tujuan yang dikendaki,
menghapuskan kebiasaan yang dipandangnya tidak sesuai lagi, menciptakan pola-pola kelakuan
baru dan sebagainya. Inilah yang disebut sebagai pandangan modern tentang hukum itu yang
menjurus kepada penggunaan hukum sebagai instrument[8] yaitu law as a tool social
engineering.
Penggunaan secara sadar tadi yaitu[9] penggunaan hukum sebagai sarana mengubah
masyarakat atau sarana pembaharuan masyarakat itu dapat pula disebut sebagai social
engineering by the law. Dan langkah yang diambil dalam social engineering itu bersifat
sistematis, dimulai dari identifikasi problem sampai kepada jalan pemecahannya, yaitu :
1. Mengenal problem yang dihadapi sebaik-baiknya. Termasuk di dalamnya mengenali dengan
seksama masyarakat yang hendak menjadi sasaran dari penggarapannya tersebut.
2. Memahami nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, hal ini penting dalam hal social engineering
itu hendak diterapkan pada masyarakat dengan sektor-sektor kehidupan majemuk, seperti
tradisional, modern dan perencanaan. Pada tahap ini ditentukan nilai-nilai dari sektor mana yang
dipilih.
3. Membuat hipotesa-hipotesa dan memilih mana yang paling layak untuk bisa dilaksanakan.
4. Mengikuti jalannya penerapan hukum dan mengukur efek-efeknya.
KONSEP HUKUM ROSCOE POUND
TENTANG SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
Roscoe Pound adalah salah satu ahli hukum yang beraliran Sociological Jurisprudence
yang lebih mengarahkan perhatiannya pada ”Kenyataan Hukum” daripada kedudukan dan fungsi
hukum dalam masyarakat. Kenyataan hukum pada dasarnya adalah kemauan publik, jadi tidak
sekedar hukum dalam pengertian law in books. Sociological Jurisprudence menunjukkan
kompromi yang cermat antara hukum tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum demi
terciptanya kepastian hukum (positivism law) dan living law sebagai wujud penghargaan
terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan hukum dan orientasi hukum[10].
Keadilan adalah kepentingan manusia yang paling luhur di bumi ini. Bagaimanapun juga
keadilan itulah yang dicari orang tiada hentinya, diperjuangkan oleh setiap orang dengan
gigihnya, dinantikan oleh orang dengan penuh kepercayaan tetapi perkataan keadilan
mempunyai lebih dari satu arti. Di dalam etika, keadilan dapat dianggap sebagai budi pekerti
perseorangan atau sebagai suatu keadaan dengan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan atau
tuntutan-tuntutan manusia secara adil dan layak. Di dalam ilmu ekonomi dan ilmu politik
berbicara tentang keadilan sosial sebagai suatu sistem yang menjamin kepentingan-kepentingan
atau kehendak manusia yang selaras dengan cita-cita kemasyarakatan. Di dalam hukum berbicara
tentang pelaksanaan keadilan tersebut yang berarti mengatur hubungan-hubungan dan
menerbitkan kelakuan manusia di dalam dan melalui aturan-aturan tentang tingkah laku.
Gagasan negara berdasar atas hukum muncul dari para pendiri bangsa ini dengan
dilandasi oleh prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan sosial, artinya hukum dan segala wujud
nilai-nilai yang kemudian diimplementasikan kedalam peraturan perundang-undangan tidak
boleh menyimpang, baik secara nyata maupun tersamar dari prinsip-prinsip demokrasi maupun
keadilan sosial. Hukum dalam gagasan para pendiri tersebut justru seyogyanya menjadi dasar
pertama dan utama bagi nilai-nilai demokrasi dan keadilan sosial. Dalam negara hukum maka
negara berfungsi menegakkan keadilan, melindungi hak-hak sosial dan politik warga negara dari
pelanggaran-pelanggaran, baik yang dilakukan oleh penguasa maupun warga negara sehingga
warga negara yang ada dapat hidup secara damai dan sejahtera sesuai dengan yang diamanatkan
oleh UUD 1945.
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan untuk merubah sutu kondisi yang
dianggap kurang baik tau bahkan buruk ke kondisi atau keadaan yang baik. Pembnagunan yang
ada dilaksanakan tentu saja dengan berpijak pada hukum yang jelas, dapat
dipertanggungjawabkan, terarah, serta proposional dalam hal fisik maupun non fisik.
Pada dasarnya, semua masyarakat yang sedang membangun selalu dicirikan oleh
perubahan dan pembangunan. Oleh karena itu, bagaimanapun pembangunan diartikan atau
dimaknai serta apapun ukuran yang digunakan oleh masayarakat dalam pembangunan pasti
didasarkan atas tujuan untuk kesejahteraan masyarakat dengan menjamin bahwa pembangunan
yang ada berjalan secara damai dan teratur.
Istilah pembaharuan hukum pada dasarnya mengandung makna yang luas, menurut
Friedman, sistem hukum terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) struktur kelembagaan hukum,
yang terdiri dari sistem dan mekanisme kelembagaan yang menopang pembentukan dan
penyelenggaraan hukum di Indonesia, termasuk di antaranya adalah lembaga-lembaga peradilan,
aparatur penyelenggara hukum, mekanisme-mekanisme penyelenggaraan hukum, dan sistem
pengawasan pelaksanaan hukum. (2) materi hukum, yaitu meliputi kaedah-kaedah yang telah
dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan tertulis maupun yang tidak tertulis yang
hidup dan berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta bersifat
mengikat bagi semua lapisan masyarakat dan (3) budaya hukum. Ketiga unsur penopang sistem
hukum tersebut saling berkaitan dalam rangka bekerja menggerakkan roda hukum suatu negara
(Friedman, 1990:5-6).
Dalam prosesnya, ternyata pembangunan membawa konsekuensi terjadinya perubahan di
beberapa aspek sosial termasuk pranata hukum. Artinya perubahan yang dilakukan dalam
perjalannya menuntut adanya perubahan-perubahan dalam bentuk hukum. Perubahan tersebut
memiliki arti positif dalam rangka menciptakan sistem hukum baru yang sesuai dengan kondisi
nilai-nilai yang ada pada masyarakat.
Pada dasarnya pembangunan hukum merupakan upaya untuk merombaka struktur hukum
lama yang merupakan warisan kolonial dan dianggap eksploitatif dan diskriminatif sedangkan
dilain pihak pembangunan sistem hukum dilaksanakan dalam rangka untuk memenuhi tuntutan
perkembangan masyarakat yang sangat kompleks serta cenderung untuk berubah kapan saja.
Hukum diakui memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam memacu
percepatan pembangunan suatu negara. Usaha ini tidak semata-mata dalam rangka memenuhi
tuntutan pembangunan jangka pendek tetapi juga jangka menengah serta jangka panjang
walaupun disadari setiap saat hukum dapat berubah sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Pada negara berkembang seperti Indonesia pembangunan hukum menjadi prioritas utama,
terlebih lagi jika negara yang dimaksud merupakan negara yang baru merdeka dari penjajahan
bangsa lain. Oleh karena itu pembangunan hukum di negara berkembang senantiasa
mengesankan adanya peranan ganda. Pertama, sebagai upaya untuk melepaskan diri sendiri dari
lingkaran struktur kolonial. Upaya tersebut terdiri dari penghapusan, penggantian dan
penyesuaian ketentuan hukum warisan kolonial guna memenuhi tuntutan masyarakat nasional.
Kedua, pembangunan hukum berperan pula dalam mendorong proses pembangunan, terutama
pembangunan dalam bidang ekonomi yang memang diperlukan dalam rangka mengejar
ketertinggalan dari negara maju, dan demi kepentingan kesejahteraan masyarakat.
TEORI KEADILAN JOHN RAWLS
PROF.MR.DR.L.J.VAN APELDOORN
Prof.van Apeldoorn dalam bukunya “Inleiding tot de studie van het Nederlandse recht”
mengatakan,bahwa tujuan hokum ialah mengatur pergaulan manusia secara damai.Hukum
menghendaki perdamaian. Perdamaian diantar manusia dipertahankan oleh hukum dengan
melindungi kepentingan-kepentingan hukummanusia tertentu, kehormatan, kemerdekaan, jiwa,
harta benda pihak yang merugikannya. Kepentingan perseorangan selalu bertentangan dengan
kepentingan golongan-golongan manusia.Pertentangan kepentingan ini dapat menjadikan
pertikaian bahkan dapat menjelma menjadi peperangan,seandainya hukum tidak bertindak
sebagai perantara untuk mempertahankan perdamaian.Adapun hokum mempertahankan
perdamaian dengan menimbang kepentingan yang bertentangan itu secara teliti dan mengadakan
keseimbangan diantaranya,karena hukum hanya dapat mencapai tujuan jika ia menuju persatuan
yang adil;artinya peraturan pada manusia terdapat keseimbangan anata kepentingan-kepentingan
yang dilindungi,pada setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi
bagiannya.Keadilan tidak dipandang sama arti dengan persamarataan.Keadilan bukan berarti
bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama.
Dalam tulisannya “Rhetorica,” Aristoteles membedakan dua macam keadilan,yaitu keadilan
keadilan “distributif” dan keadilan “komulatif”. Keadilan distributif ialah keadilan yang
memberikan kepada setiap orang jatah menurut jasanya (pembagian menurut haknya masing-
masing).Ia tidak menuntut supaya tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya;bukan
persamaan melainkan kesebandingan. Contoh UUD-1945 pasal 27 ayat 2 : (“Tiap-tiap
warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”), maka ini
belum berarti setiap warga Negara mempunyai pekerjaan yang sama karena sesuai dengan
keahliannya masing masing. Keadilan komutatif ialah keadilan yang memberikan pada setiap
orang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perorangan.Ia memegang peranan
dalam tukar menukar;pada pertukaran barang dan jasa dalam mana sebanyak mungkin harus
terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan.Keadilan komutatif lebih-lebih menguasai
hubungan antara masyarakat (khususnya negara) dengan perseorangan khusus.